.

Warning !

This is a FanFiction, may contain OOC-ness, typos and pointless craps.

.

Love is Not a Pity
by Ashelia Elnora

.

Chapter 1

"Holy shit, Cagalli! Apa yang terjadi dengan rambutmu!"

Seorang wanita berambut merah berteriak horor dengan raut wajah yang tidak kalah horror. Begitu dia tersentak dari keterkejutannya, dia berlari dengan tergesa-gesa. Heels sepatu wanita itu beradu dengan lantai bandara tanpa ampun, merupakan salah satu kehebatan wanita bisa berlari menggunakan heels setinggi enam inci tersebut. Sementara itu orang yang dituju wanita itu masih berdiri mematung ditempatnya, raut wajah tak percaya tercetak jelas di wajah cantiknya.

"Flay! What the hell are you doing here?" kata wanita dengan nama Cagalli.

Wanita ber-dress pink itu sama sekali tidak menggubris perkataan si pirang. Dia meraih bahu Cagalli kemudian memutar badannya berkali-kali sampai Cagalli memutuskan melepaskan cengkraman Flay sebelum dia sendiri mengalami mabuk darat.

"Flay, apa yang kau lakukan disini? Aku sama sekali tidak memberi tahu apapun tentang kepulanganku," tuntut Cagalli, matanya menajam menunjukkan kecurigaan.

Flay ingin sekali memutar matanya sebagai respond tapi diurungkannya karena itu tidak cantik. Dia melipat kedua tangannya didepan dada, sikap defensive meniru kebiasaan orang didepannya. "Well, that's a benefit for being so famous. Everyone keeps a tab on you," jawab flay sinis.

Cagalli memutar matanya sudah tahu bahwa diskusi mengenai bagaimana bocornya berita kepulangannya adalah hal yang percuma, mungkin dia akan menelepon assistant-nya nanti. Cagalli merendahkan topi hitam yang sedang dipakainya, dia ingin sekali menyembunyikan rambut pirangnya yang panjang dengan topinya tapi sepertinya itu akan memakan waktu ̶̶ mengingat rambutnya yang panjang sepunggung. Cagalli cepat-cepat mencengkram lengan flay dan kabur dari tempatnya mematung sebelum seseorang mengenalinya. Dia bukan tipe orang yang ingin menarik perhatian tapi karena pekerjaan sampingannya, dia terpaksa mempoles acting skill-nya walaupun itu bukan hal baru untuk seorang Cagalli Yula Athha. Satu-satunya anak dari business tycoon terkenal ̶ Uzumi Nara athha dan tolong jangan lupakan kalau dia masih punya darah bangsawan di ORB. Jadi bisa dibilang Cagalli bukan gadis biasa disini, dia termasuk salah satu gadis paling sempurna di dunia.

"Cagalli sudah kembali? Darimana kau mendapat berita itu, Martin?" tanya seorang gadis berambut bubblegum. Perhatiannya dari majalah yang dibacanya terpecah karena pernyataan orang yang dipanggilnya Martin.

"Hanya rumor dari beberapa paparazzi yang sering mengekorinya, belum ada konfirmasi pasti," jawab Martin, assistant dari gadis berambut bubblegum, dengan enteng.

Sang gadis kembali menekuri majalah yang tadi dibacanya walaupun saat ini pikirannya tidak pada artikel majalah tersebut melainkan pada gambar seorang gadis berambut pirang panjang mengenakan gaun putih tulang sederhana yang tampak elegan dibadannya, model terkenal yang menjadi icon dari brand fashion designer terkenal, Dawn.

KRRIINNGG

Suara telepon menggema di ruangan lebar yang hanya dihuni oleh satu orang. Pemuda dengan rambut yang acak-acakkan duduk diatas kursi bos, disamping kiri dan kanannya terdapat setumpuk kertas yang membutuhkan perhatianya. Tapi perhatian pemuda itu setia tertuju pada kertas yang ada didepannya, dia tidak mempedulikan telepon yang terus berdering dimejanya.

Untuk kesekian kalinya, telepon kantornya berdering lagi. Dia merutuki siapapun yang meneleponnya hari ini. Apa mereka tidak tahu kalau ini masih jam kerja? Sebagai orang paling penting dan sibuk di kantornya atau mungkin malah di seluruh dunia, dia paling tidak suka diganggu disela jam kerjanya.

Dia mengangkat telepon yang berada dipojok sebelah kiri mejanya dan tidak sengaja menyenggol tumpukan kertas yang sudah menggunung. Alhasil hukum Gravitasi Newton terbuktikan, berkas-berkas yang ditumpuk dengan rapi tadi kini berserakan tak beraturan dilantai dan jangan lupakan dengan bunyi dentuman keras yang mengiringi.

"Halo," sapaan yang sama sekali tidak ramah dilontarkan oleh pemuda itu. Setelah telepon terkutuk ini dia akan memanggil sekretaisnya untuk membereskan berkas dilantai tersebut, dia tidak ingin lagi membuang waktu berharganya hanya untuk hal sepele.

"Sweetheart, apa seperti itu sapaanmu pada orang terkasihmu? Kau tahu aku sudah meneleponmu selama setengah jam ini! Kau sama sekali tidak mengangkat ponselmu dan ketika aku menelepon ke kantormu sekretaris centilmu itu melarangku menghubungimu! Kau tahu aku harus mengancamnya terlebih dahulu agar bisa tersambung denganmu! Walaupun begitu ̶ "

"Flay! Calm down," potong pemuda itu dengan jarinya yang berada diantara kedua matanya. Memijit pelan daerah itu untuk menenangkan diri sebelum dia meledak pada kekasihnya, yang tentunya tidak akan berakhir dengan baik.

"Hm."

Dia menghela nafas, kekasihnya marah. Dia tahu saat ini kekasihnya itu sedang mengerucutkan bibirnya seperti gadis kecil yang dilarang memakan permen terlalu banyak. Kadang dia sendiri heran bagaimana dia bisa mempertahankan hubungan mereka dengan sifat mereka yang saling bertolak belakang. Dia adalah pria dewasa ̶ umur bukan isu disini, mereka memiliki umur yang sama. Sedangkan kekasihnya, tampak seperti gadis SMA yang baru memasuki masa puberitas dengan segala tingkah kekanak-kanakannya. Dia tahu, Flay adalah anak orang kaya dan pastilah itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Dia sangat mengerti tapi tidak bisakah Flay mengerti dirinya saat dia mengatakan tidak ada telepon selama jam kerja?

"Cagalli sudah pulang."

Jawaban singkat dari kekasihnya cukup memberikan tamparan cukup keras diwajah tampan pemuda itu. Dia sekarang merasa seperti orang munafik, dia mengkritik kebiasaan Flay yang suka overdramatic tapi disini lah dia mengeluh seperti seorang idiot. Dia melupakan bahwa Flay tidak pernah meneleponnya pada jam kerja kecuali ada hal yang sangat penting untuk disampaikan. Flay mengerti dirinya, dia yang tidak mengerti Flay.

"Hm, hm, hm,hm...hm…"

Suara dengungan alunan nada tanpa lirik terdengar dari arah dapur. Disana terlihat seorang gadis menggunkan celemek pink menyiapkan beberapa hidangan makan malam. Suara air mendidih menandakan sayur yang dimasaknya matang lalu penggorengan yang sibuk menggoreng beberapa daging. Dapur terasa lebih hidup dibanding dengan ruangan lainnya dan semua itu berkat kehadiran dan hobi dari sang gadis.

Larut dengan aktivitasnya, sang gadis tidak menyadari bahwa dari tadi sepasang mata telah mengamatinya. Dia ingin menyapa sang gadis tapi tidak tahu harus mengatakan apa karena biasanya sang gadis selalu menyambut kepulangannya dan dia hanya perlu menjawabnya. Tak tahu akan berbuat apa pemuda itu memilih untuk diam dan mengamatinya, menunggu sampai sang gadis menyadari keberadaannya.

Harapan pemuda itu terkabul dengan cepat. Ketika sang gadis berbalik untuk mengambil mangkuk dan piring dalam cabinet yang berada disebelah kanannya, dia menangkap sosok pemuda itu dari ekor matanya.

"Athrun? Apa yang kau lakukan disana? Bukankah biasanya kau masih di rumah sakit? Kapan kau pulang?" berondong sang gadis yang tampak masih terkejut dengan kehadiran sang pemuda.

"Pekerjaanku selesai lebih cepat dan aku baru saja tiba. Kenapa kau masak banyak sekali?" mengabaikan beberapa pertanyaan gadis itu, dia mengarahkan pandangannya pada beberapa makanan yang sudah siap di meja makan. Sebagian makanan itu adalah favorite-nya dan sisanya sepertinya untuk orang lain. Apa akan ada tamu hari ini? Pikirnya diam.

"Ahh ya, saudaraku akan berkunjung hari ini dan aku ingin menyambutnya. Kau tahu kan betapa sibuknya dia?" kata gadis itu, tidak mengacuhkan kalau athrun tidak menjawab sebagian pertanyaannya. Dia cukup senang karena suami tercintanya itu pulang lebih cepat dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi tapi akan selalu disambut dengan suka cita olehnya walaupun dia tidak pernah menyuarakan keinginannya. Dia tidak ingin menjadi istri penuntut atau manja, suaminya sudah memberikannya lebih dari cukup.

"Kemana bibi Eijah? Kau tidak perlu memasaknya sendiri."

"Dia meminta cuti selama tiga hari pagi ini, anaknya sakit. Aku tidak masalah memasak sendiri, Ath. Aku suka memasak, lagipula ini juga bagian dari tugasu sebagai istrimu," ucap gadis itu, tangan kirinya berusaha meredam tawa kecil yang keluar dari sela bibirnya. Jika tadi dia merasa cukup senang karena Athrun pulang cepat, sekarang dia serasa melayang. Dia tahu dari ucapan datar yang dilontarkan suaminya, sebenarnya terdapat kekhawatiran dalam pertanyaan itu sendiri. Lima tahun menikah bukanlah waktu yang singkat, dia mulai mengerti bagaimana Athrun mengekspresikan kepeduliannya. Jika itu belum cukup, dia bisa menunjukakan kerutan didahi Athrun sebagai sebuah bukti. Menjadi istri seorang Athrun Zala memang membutuhkan kemampuan untuk membaca ekspresi wajah dan gerak tubuh.

Athrun mengangguk singkat, "Kalau begitu aku akan menghubungi ibu untuk mengirim salah satu pembantunya kemari. Apa ada yang bisa kubantu disini?"

Astaga rasanya gadis itu ingin pingsan saat itu, Athrun tidak pernah menawarkan bantuan untuk memasak. Walaupun itu karena sudah ada pembantu yang selalu membantunya. Mungkin tidak buruk juga hidup tanpa pembantu, dia bisa sering menghabiskan waktu dengan suaminya. Lagipula rumah mereka tidak begitu besar, hanya rumah dua lantai bergaya minimalis.

"Hei, kau tidak apa? Wajah merah, kau demam?" nada khawatir tidak lagi tertutupi. Istrinya itu bukan gadis pada umumnya jadi dia juga perlu perhatian lebih walaupun selama ini Athrun tidak mengekspresikannya secara terbuka.

"A-Ah ya, ak-aku tidak apa, Ath," jawab gadis itu gelagapan. Wajahnya merona cantik menyaingi warna rambutnya sendiri. Suaminya itu memang memiliki caranya sendiri untuk membuat setiap gadis merasa special dan memimpikan sosoknya sebagai pendamping hidup. Athrun Zala adalah laki-laki sempurna bagi kaum wanita.

Sepasang suami-istri itu menghabiskan sepanjang sore memasak bersama. Membuat gambaran sempurna bagaimana kehidupan rumah tangga seharusnya. Suami yang tampan dan istri cantik yang setia dan penurut. Mereka bekerja dalam diam.