Sebuah letusan peluru menggema di sebuah ruangan, timah panas itu menembus tubuh seorang pria berbalut pakaian tradisional Cina berwarna merah. Raga pria Asia itu perlahan rubuh hendak mencium lantai, membelalakkan mata setiap pasang mata seluruh rekannya. Mammon menyaksikan pemandangan itu tanpa menyadari mulutnya sedikit menganga.
Pria berkepang itu menoleh ke arahnya, mengulas senyum tipis dan lembut yang semakin melebarkan luka. Bibirnya bergerak perlahan, menyampaikan sebuah pesan yang membuat manik violet sang ilusionis tergenang air mata.
'Wo ai ni, Mammon. Terus hidup, ya?'
.
Hei, bagaimana jika takdir gila itu kita ubah sejenak?
.
.
.
Title : Merubah Takdir
Disclaimer : Katekyou Hitman Reborn by Amano Akira
Pairing : FonMammon
Warning: BL, OOC, typo(s). Sosok 'aku' yang tidak jelas asal-usulnya namun mengendalikan keseluruhan cerita, silahkan para readers tentukan sendiri bagusnya 'aku' itu makhluk apa.
Hope you like it~
.
.
.
Waktu tiba-tiba berhenti berjalan, aku memasuki ruangan tadi yang digunakan oleh beberapa Arcobaleno dan musuhnya sebagai tempat pertempuran. Kulangkahkan kaki mengitari setiap manusia yang ada, mengamati raut muka setiap orang di sana. Perhatianku terpaku pada dua makhluk yang ada, satu seorang pria Asia dengan pakaian tradisional Cina dan terakhir adalah si pemilik keping violet menawan yang tersembunyi di balik tudung panjangnya. Keduanya berada dalam jarak yang cukup jauh, namun entah kenapa raut wajah keduanya terlihat tersambung mengisyaratkan hal yang sama; kepedihan yang lebih dalam dari lautan, kasih sayang, enggan melepaskan, permintaan maaf, dan entah apa lagi saking terlalu banyaknya.
Kini aku beralih mengitari dua makhluk tersebut yang sangat terlihat begit putus asa, namun ada serpihan kecil di mata keduanya bahwa mereka ingin tak menyerah, meski dilihat dari mana pun akhirnya akan sama sia-sia. Sebuah seringai terukir jelas dibibirku, pandanganku tak terlepas dari dua makhluk itu.
"Hee, jadi ini. Arcobaleno no Arashi dan Arcobaleno no kiri, Fon dan Viper—ups, kurasa sekarang aku harus memanggilnya Mammon, eh?" gumamku. Kali ini kakiku lebih memilih mengitari Mammon yang masih berdiri terpaku, pancaran keping violet yang begitu pilu ia sembunyikan dibalik tudung kelamnya hingga tak begitu terlihat oleh sebagian besar rekannya.
"Jika ini berjalan sesuai takdir—di mana Fon mati dan Mammon pun akan mengikutinya pergi—kurasa tak akan ada kepuasan apa pun yang kudapat di sini." Aku pura-pura menggembungkan sebelah pipi.
"Ah!" Kutepuk kedua tanganku, memperlihatkan raut wajah cerah. "Bagaimana jika kita ubah saja kisah ini?" Sebuah seringai tercetak jelas di wajahku. Kubalikkan badan, menatap Mammon yang mulutnya sedikit menganga, hendak menjeritkan nama pria kelahiran Asia di depannya.
"Berterima kasihlah padaku, Ilusionis," ucapku seraya mengelus pipi sang kabut. "Tapi aku tak bilang kau tak akan membayar apa pun setelah kuselamatkan nyawa pria yang roboh di depanmu itu."
Aku melangkah ke tengah ruangan, tersenyum tanpa ragu. Kuangkat tanganku, membuat sebuah cahaya menyilaukan mata yang tak mungkin dapat terjadi saat berhentinya waktu.
"Nah, ayo ubah takdir ini."
Lalu entah bagaimana waktu mereka mundur pada saat sengitnya pertarungan.
.
.
.
Mammon masih berada dalam jarak yang cukup jauh saat itu, namun manik violet-nya mendapati satu musuh yang tengah dalam posisi siap membidik salah satu di antara mereka. Lalu, dalam sepersekian sekon setelahnya, ia menemukan target empuk paling mulus untuk dijadikan sasaran; Fon. Tangan kanannya ia julurkan ke depan, dengan cepat ia membuat ilusi sebagai hadiah untuk musuhnya.
Yang lain menangkap sebuah jerit kesakitan di belakang mereka, ditolehkannya kepala dan mendapati satu mayat yang terbujur kaku tak berdaya. Manik karamel Fon mendapati sebuah pistol hitam yang tergenggam erat ditangan jasad itu. Ia kembali membalikkan badan, menatap Mammon yang masih memasang wajah tanpa ekspresi. Ilusionis itu mengalihkan pandangan, enggan melakukan kontak mata.
Dan saat itu Fon tahu siapa yang benar-benar menjadi penyelamat nyawanya.
.
.
.
"Mammon." Panggilan itu membuyarkan lamunan sang ilusionis dalam memandangi taburan bintang pada dirgantara. Pemilik nama asli Viper itu menoleh ke asal suara, menemukan pria Asia yang baru saja diselamatkannya—secara diam-diam.
"Muu, apa?"
"Terima kasih," kata pria itu tenang, tulus dari hati.
"Untuk?"
Fon tersenyum mahfum, lagipula ia sudah menduga bahwa tak mungkin sang kabut akan langsung mengakui tindakannya itu.
"Menyelamatkanku."
"Muu, jangan salah paham, Martial arts sialan. Aku hanya tak ingin kutu itu menganggap remeh Arcobaleno. Aku sama sekali tak berniat menolongmu," elak Mammon seraya memalingkan wajahnya, membuat Fon sejenak dapat menangkap rona merah muda tipis yang muncul di sekitar pipinya.
"Baiklah jika begitu," kata pria berkepang tersebut seraya mencoba tak tertawa. "Tapi aku sungguh-sungguh berterima kasih untuk itu."
"Muu, terserah," putus sang ilusionis sembari memutar bola mata dibalik tudung panjangnya, menyembunyikan rasa malunya. Sang angin menggulum senyum, sejenak senyap lah yang menggantikan percakapan di antara mereka.
"Mammon," pria berpakaian tradisional Cina itu kembali memanggil.
"Apa la—"
Kalimat itu tak pernah selesai setelahnya, kata-kata tersebut lebih dulu dipotong dengan pertemuan bibir dua makhluk terkutuk yang telah kembali ke wujudnya semula. Ciuman itu berlangsung lembut, tanpa nafsu atau perlawanan dari keduanya. Cukup lama, Fon memutus ciuman itu dan menatap lembut pria yang ia benci—sekaligus ia cintai. Mammon mengerjapkan mata, pikirannya melayang dan ia tak tahu harus mengatakan apa.
"Sebagai tanda terima kasih dariku," ucap pria Asia tersebut sembari menggulum senyum tak bersalah. Ia membalikkan badan kemudian melambaikan tangan seraya melangkah ke depan meninggalkan sang ilusionis yang masih membeku.
"M- Martial arts sialan! Hei!" Ilusionis itu baru selesai menganalisis apa yang tengah terjadi di antara mereka. Rona merah terlukis begitu jelas pada wajah sang kabut.
"Sampai jumpa, Mammon." Bukannya berhenti atau menjawab panggilan itu, Fon malah terus melangkah, kali ini bahkan sembari melambaikan satu tangannya. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, terlihat jelas ia tengah senang meski pria bertudung di belakangnya tak akan pernah melihatnya.
"T- Ti odio, Martial arts sialan!"
Sebuah tawa kecil keluar tanpa bisa dicegah. "Aku juga," timpal Fon setelahnya.
.
.
.
Harusnya itu menjadi acara liburan yang sepi tanpa gangguan siapa pun bagi sang ilusionis. Namun, kala ia masih asyik meneguk susu stroberi yang disukainya, sebuah suara yang paling ia kenal terdengar begitu dekat di telinganya.
"Aku tak tahu kau menyukai pemandangan musim gugur begini, Mammon."
Viper menghentikan acara minumnya, sedikit jengkel harus bertemu dengan orang ini lagi meski jauh di lubuk hatinya ia juga merasakan bahwa mereka merasa beruntung dapat bertemu di sini.
"Katakan apa maumu kemari," kata Mammon sembari menjauhkan minuman yang dinikmatinya.
Fon tersenyum seperti biasa. "Bisa kujawab kalau aku ingin bersamamu?"
"Tentu saja tidak. Kau harus membayar untuk itu," dengus pemegang indigo pacifier Arcobaleno tersebut seperti biasa.
Napas dihela. "Padahal aku sudah jauh-jauh datang untuk menemuimu."
"Kau kira itu akan berpengaruh padaku? Sekarang kau harus bayar dua kali lipat," dengus Mammon tak peduli.
"Kau masih sama, Mammon." Alih-alih menghela napas lagi, pria Asia itu justru langsung mengambil duduk di sebelah orang yang ia benci.
"Muu, aku tak pernah bilang kau boleh duduk di sana," desis Viper tak suka. Manik violet-nya mengirim tatapan tajam penuh emosi.
"Berdiri terus itu melelahkan, Mammon," kata Fon tenang.
Ilusionis berbalut jubah hitam itu bungkam, kali ini ia beralih menegak kembali minumannya yang sempat terlupakan. Kotak susu itu sedikit mengkerut tanda bahwa isinya sudah kosong, membuat Mammon melepaskan sedotan yang digunakannya untuk meminum susu tadi.
"Oi, Martial arts sialan," pemilik indigo pacifier itu menyerahkan kotak susunya yang telah tandas, membuat wajah pria ahli beladiri itu dipenuhi tanda tanya.
"Belikan ini lagi jika kau memang ingin bersamaku," terang Mammon tanpa melakukan kontak mata.
Butuh waktu lima detik sebelum akhirnya Fon paham dan tersenyum kembali. "Tentu saja."
.
.
.
Aku mengeluarkan jam bandul perak dari dalam saku, kemudian membukanya dan memperhatikan waktu.
"Sudah saatnya, eh?" gumamku. Segera kututup benda itu, lalu kembali memasukkannya ke saku. Aku berdiri dari bangkuku, memandangi sebentar layar monitor yang memperlihatkan adegan di mana sang ilusionis dan seorang pria pirang dengan pakaian tentara yang terdesak musuh.
"Sudah saatnya kau membayar ini, Ilusionis." Dan seringai menghiasi wajahku.
.
.
.
Fon berlari tergesa-gesa, ia baru mendengar dari Aria bahwa ada lagi Arcobaleno yang tewas setelah Verde dan Skull. Begitu melihat sosok beberapa kenalannya, kakinya langsung melesat menuju ke sana.
"Dua orang sekaligus? Sinting!" Itu suara Reborn, terlihat sekali ia sedikit frustasi.
"Ada apa, Reborn?" tanya Fon begitu ia sampai di dekat rekannya itu.
"A- ah, Fon-kun, napasmu berantakan sekali. Bagaimana jika kau duduk di samping Lal dulu di sana?" tawar Aria sembari menunjuk Lal yang tengah duduk di sebuah batu yang cukup besar dengan kepala tertunduk.
"Kurasa bukan hal yang bijak beristirahat sekarang, Aria," tolak sang angin halus. "Jadi, siapa korbannya? Kudengar tadi ada dua, apa itu benar?" tanyanya.
Aria dan Reborn bertukar pandang, menambah kecurigaan dalam insting sang pria Asia. Akan ada hal yang menyakitkan di sini untuknya, entah kenapa hatinya berkata begitu.
"Begini, Fon," Reborn menghela napas berat, memutuskan untuk memberitahu sang badai akan hal yang sesungguhnya, "sebaiknya kau tenang dulu sebelum melihat itu."
"Apa maksudmu?" Dahi Fon berkerut sedikit.
Aria menundukkan kepalanya, napas berat keluar begitu saja. "Maafkan aku, Fon-kun."
Bayangan negatif melayang-layang di pikiran si pria Asia, ini akan jadi hal terburuk baginya. Pasti.
.
.
.
Langkah kaki itu terhenti tepat di depan sebuah tubuh yang telah terbujur kaku, mulut pria itu terbuka sedikit namun tak ada satu pun kata yang keluar bahkan hanya untuk sekedar memanggil nama orang yang telah mati itu.
Fon berlutut di depan jasad tersebut, meneliti lagi setiap detail sosok yang sejak dulu menjadi hantu dalam pikirannya. Jubah hitamnya masih melekat di tubuhnya meski ada beberapa bagian yang sobek akibat pertarungan, tudung panjangnya juga masih terpakai di kepalanya. Tangan kanannya terjuntai dengan jari telunjuk yang baru saja menulis sesuatu di tanah. Pria Asia itu melirik apa yang tertulis di sana dengan napas tertahan, membaca dalam hati apa yang ditulis orang itu di saat terakhirnya.
Ti odio —begitu yang tertulis di sana.
Tolol kalau Fon tak tahu untuk siapa pesan itu disampaikan, bodoh jika dia berkata tak tahu apa arti lain dalam pesan yang tertulis itu.
Mammon duduk bersender pada dinding di belakangnya, bibirnya mengalirkan cairan merah yang siapa pun tahu pastilah darah, kepalanya miring sedikit ke samping, dan meski matanya tertutup tudung panjangnya, Fon tahu bahwa manik violet yang sejak dulu dikaguminya itu sudah tak akan pernah melayangkan tatapan kesal padanya.
Jemari sang badai tergerak hendak menyentuhnya, namun belum sempat melakukannya gerakan itu terhenti di udara. Bibir Fon berniat melontarkan sesuatu padanya, namun suaranya tak pernah terlontar dari sana. Reborn serta Aria memperhatikan pria itu tanpa berkomentar apa-apa, menelan pahit bahwa memang orang inilah yang paling bersedih akan kematian pria bertudung panjang yang telah menutup mata di sana.
Fon menatap sosok itu tanpa menggulum senyum lembutnya, bahkan saking syok ia lupa memuntahkan air mata.
'Hei, kenapa kau diam saja?'
Sosok bertudung itu bungkam, membiarkan tak ada siapa pun yang mengisi kekosongan diantara mereka.
'Mammon, kau tak melihatku?'
Aria memandangi Reborn penuh arti, sang hitman hanya meliriknya kemudian menundukkan kepala.
'Hei, kau tak melayangkan tatapan itu? Tatapan tak suka yang hangat itu. Kenapa kau tak memunculkan rona merah meski aku sudah berada di jarak terdekat denganmu?'
"F- Fon-kun…"
Tanpa diduga, badai itu sudah merengkuh tubuh sang ilusionis dalam pelukannya, menenggelamkan kepala pria bertudung itu di dada bidangnya. Fon tak pernah merasa seegois ini, tapi ia sama sekali tak sanggup menahannya sekarang. Biar saja Reborn dan Aria akan melihatnya, atau mungkin takdir tengah tertawa puas akan penderitaannya.
Pria Asia itu mengecup lembut puncak kepala orang yang ia benci dan kasihi, namun tak ada setetes pun air mata yang turun dari manik karamel sang badai.
"Wo ai ni, Mammon," ia berbisik pada pria yang dipeluknya. Tak ada jawaban atau bahkan makian untuknya, tak ada balasan apa pun untuk si Arcobaleno pemegang pacifier berwarna merah.
Fon mengeratkan dekapannya, menenggelamkan kepalanya di bahu sang ilusionis yang pernah menyelamatkan nyawanya. Ia terisak pelan, begitu pelan sampai Reborn tak dapat mendengarnya. Ia terisak, namun tak ada air mata yang keluar dari sana.
Ia menangis tanpa suara, menangis tanpa air mata.
Seburuk inikah yang dinamakan kehilangan?
.
.
.
"Nah, bagaimana menurutmu?" tanyaku seraya mengalihkan tatapanku dari monitor yang memperlihatkan adegan Fon yang tengah memeluk erat jasad sang ilusionis.
Mammon terdiam, membiarkan tayangan itu terus memperlihatkan apa yang terjadi setelah ia tewas.
"Dia menangis?" tanya sang ilusionis.
"Un," aku mengangguk. "Badaimu tengah menangis tanpa suara, tanpa air mata—dia tersiksa karena kau meninggalkannya tanpa kata-kata."
"Muu, padahal kalau ia tak mati waktu itu dia akan melakukan hal ini juga kan padaku?" Mammon mendengus setelahnya. Oh, aku sudah menceritakan dari awal mengapa dia bisa menyelamatkan sang angin kala itu hingga akhirnya ia berada di tempat ini.
"Begitulah."
"Kalau begitu biarkan saja," katanya sembari memalingkan wajah.
"Hoo?" Sebelah alisku terangkat satu. "Jadi, kau lebih suka melihatnya menderita ketimbang mengikutimu melangkah ke seberang gerbang kematian?"
"Dia juga melakukan hal yang sama. Anggap saja ini balasannya," kata kabut itu sembari memeluk kedua lututnya.
"Baiklah kalau begitu, Mammon-kun. Aku pergi dulu, kau bisa terus menonton ini sampai kapan pun. Sampai jumpa~," pamitku sembari melambaikan tangan, lalu lenyap tak bersisa.
Mammon melirik lagi ke arah layar, memperhatikan tiap detail sang badai yang tengah kehilangannya. Diam-diam, dibalik tudung panjangnya, manik violet sang ilusionis sudah tergenang air mata, namun ia menahan mati-matian suaranya.
"Fon…."
.
.
.
"Oi, Fon,"
"Hm?" Fon mengalihkan fokusnya dari teh favoritnya, mendapati Lal yang mengambil tempat duduk tepat di depannya dengan sebuah minuman olahraga di tangannya.
"Kau tak seperti biasa," kata perempuan itu.
"Bisa kau terangkan apa maksudnya?" tanya Fon sembari menghentikan acara minumnya.
"Kau tak seperti dulu sebelum Viper mati," cetus perempuan itu tanpa takut si pria akan tersinggung pada perkataannya.
Fon tersenyum mafhum, diletakkannya gelas berisi minuman kesukaannya itu di meja, memfokuskan diri pada percakapan yang akan memakan habis batin serta perasaannya. "Memang benar, ya."
"Apanya?"
"Badai itu akan hambar tanpa ditemani kabutnya," jawab sang angin tenang.
Lal menatapnya datar, kemudian memangku wajahnya dengan tangannya yang lain. "Begitu…."
"Bukannya kau juga? Colonello tewas bersamaan dengan Mammon di sana."
Lal Mirch menggoyangkan minumannya, namun siapa pun tahu kalau ia tengah menerawang seorang pria pirang yang tak akan mungkin ada lagi di dunia. "Mungkin ini karena kita sama-sama kehilangan."
Fon menghela napas pelan, dialihkannya objek pandangan ke luar. "Kau tahu apa, Lal Mirch?"
"Apa?"
"Aku berpikir, apa kami bisa bertemu lagi nanti…?"
Lal ikut mengarahkan tatapannya ke arah lain. "Entahlah…."
.
.
.
"Yup, sudah waktunya," gumamku sembari memasukkan jam bandulku ke dalam saku, memandangi layar monitor yang memberi gambaran terakhir sang Arcobaleno badai.
"Sudah waktunya kau menemui kabutmu, Fon." Aku menyeringai setelahnya.
.
.
.
END
.
.
.
A/N : HALO HALO SEMUANYAAA~! Yey saya berhasil buat FonMammon lagi yeeeaahhhhh! /o/ #stahp. Aduh saya galau gegara buat Pergi, eh, saya malah kepikiran gimana kalo waktu itu Fon yang nggak mati, makanya fik ini pun lahir :| #plak. Eh, btw saya saranin sekalian dengerin lagu Miyuki Ishikawa – Love Story sama ada di yutub judulnya Anata Ga Inai (You're Not Here), saya buat ini sambil dengerin itu 8D #plak. Ti odio berarti aku membencimu, kalau wo ai ni aku mencintaimu 8D #plak #dasargakreatif #tamparinaja.
Btw, sori nih kalo feels tidak dapat, OOC, tipo yang terlewat saking saya males ngedit (#tamparinaja), dsb. Semua kritik, saran, komen, fangirlingan, akan saya tampung 8D ayo penuhin kotak review saya~~ #plak. Sampai jumpa di karya saya yang lain!
-Salam-
Profe Fest
