Saran: lebar paragraf ½, verdana, ukuran huruf standar. Kecepatan membaca pelan-pelan saja~
Peringatan: 3-4YL. Pemakaian bahasa slang. Sebagian besar Fran's POV. Mungkin sedikit OOC. Ketidaksesuaian genre. Crack-ish, Random-ish, Genderbender-ish. ProtectiveLilBro!Hibari. ProtectiveLilSis!I-Pin. AdultForm!Arcobaleno
Pairing: Fon/fem!Viper. Untuk mereka yang yakin Viper cowok, genderbender di depan. Untuk mereka yang yakin Viper cewek, jangan pedulikan peringatan genderbender ini.
Normal. "Dialog." Emfasis/istilah asing/pikiran/e-mail. Sound effect (hard). Sound effect (soft)
.
Maestra – guru (perempuan)
.
.
.
"Urmph…"
Fran mengerjap dan membuka-tutup mulutnya. Hal yang terakhir kali diingatnya adalah memakan kue dari dapur—kemudian pandangannya menggelap. Tampaknya kue itu telah dibubuhi obat tidur. Ia mencoba bergerak, namun keempat tungkainya diikat ke kursi tempatnya duduk. Dan ruangan tempatnya berada gelap gulita.
Aku diculik, pikirnya, namun ia menyanggah dugaannya sendiri. Fran sedang berada di markas Vongola dan tempat itu sedang dipenuhi para mafia aliansi. Jangankan penculik, lalat tak diundang saja sulit bergerak leluasa di situ. Tapi siapapun pelaku penculikan ini, mungkin ia berhubungan dengan orang dalam sampai bisa mendapatkannya.
Fran menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikirannya. Berhubung mulutnya tidak disumpal ia bisa mencoba mengenali penculiknya dari suara mereka. "Haloo…?" serunya. "Ada orang di sini?"
Sesuatu atau seseorang bergerak di kegelapan. Dari suaranya, Fran menduga jumlahnya lebih dari satu. Langkah-langkah tegas mendekati si ilusionis, disusul bunyi klik dan cahaya lampu terang yang menyorot ke wajahnya.
"Oi, Fran," seseorang duduk di belakang lampu yang menyorotinya. Nada suaranya yang tegas terasa sedikit feminin. "Apa kau tahu mengapa kau berada di sini?"
"Karena… aku melanggar perintah Master Mukuro untuk tidak mempromosikan gaya rambutnya kepada teman-teman Lussuria?"
Orang di belakang lampu menepuk dahinya. Fran mendengar suara geseran di belakang orang itu, disusul kekehan seorang pria, "jadi itu sebabnya Rokudo Mukuro pergi mengasingkan diri ke Zimbabwe…" si ilusionis merasa suara itu agak familiar.
"Oh, bagus," suara pria lain berkata sarkastis. "Setidaknya kita tahu mengapa beberapa waktu lalu banyak banci berkepala nanas berparade di jalanan Firenze." Tawa sinis memenuhi ruangan.
"Diam kalian," seru orang di belakang lampu lagi, "ini sama sekali tidak berhubungan dengan tujuan kegiatan kita."
"Menurutku sih berhubungan, ko—uhuk." Pria ketiga berbicara, entah mengapa menyamarkan akhir kalimatnya menjadi batuk.
"Begitu?" tanya si penginterogasi Fran. "Beritahu aku, bocah, akibat yang ditimbulkan kepadamu atas pengasingan diri Rokudo Mukuro ke pedalaman Zimbabwe."
Tepat saat itu perut Fran berkeruyuk. "Beri aku kaviar dulu baru kuceri—aw, sakit." Sebilah belati menancapkan diri di topi apelnya, hanya sesenti dari kulit kepala si ilusionis. "Berhubung latihanku masih banyak dan aku tak suka tempat panas, Master membayar Arcobaleno Mammon untuk mengajariku."
Fran bisa merasakan para penculiknya bergumam rendah, tampak tertarik. Orang di belakang lampu melengkungkan tubuhnya ke depan.
"Nah, Fran… ceritakan pada kami apa yang terjadi selama kau menjadi murid Mammon. Sedetil mungkin, selengkap yang kau ingat."
.
.
~The Dragon, The Wicked Witch and The Apathetic Toad~
Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira
.
.
"HIII!"
Brak.
Apa yang kulihat benar-benar membuatku ketakutan sampai aku membanting pintu, padahal Maestra jelas-jelas memperingatkanku untuk tidak membuat kerusakan sekecil apapun. Benar saja, kepala Maestra yang bertudung langsung menyembul dari sudut ruangan. Ia mendecakkan lidahnya.
"Mu, kalau sampai ada sedikit saja retak di pintu, biaya reparasinya akan kutagihkan pada guru nanasmu, Fran."
"Tapi… tapi, Maestra…" aku menunjuk pintu sambil gemetar. Maestra melewati aku dan mengintip dari celah pintu. Ia bergidik ngeri.
"Sampai kapan Lussuria mau terus mengundang banci-banci itu?" omelnya kesal. "Gara-gara itu, kami Varia jadi kesulitan menjalankan misi." Rupanya sejak teman-teman Lussuria sering berdatangan ke markas Varia, semua staf pria mengurung diri di ruangan masing-masing—takut mendapatkan pelukan mendadak. Maestra pun tak luput dari serangan para banci yang berusaha mendandaninya dengan pakaian-pakaian imut.
"M, Maestra, aku lapar… tapi aku tak bisa makan dengan tenang kalau banci-banci itu masih ada di sini."
Mata Maestra yang tersembunyi di bawah tudung melirikku. Aku mendadak paham apa yang sedang dipikirkannya. "Jangan umpankan aku!" seruku buru-buru.
"Muu, jangan konyol," Maestra berkacak pinggang. "Rokudo Mukuro membayarku untuk mengajarimu. Dan aku tak bisa mengajarimu kalau mereka menculikmu, yang berarti Mukuro takkan membayarku." Ia meraih telepon dan menghubungi seseorang. "Aku tahu di mana kita bisa makan gratis."
.
.
Maestra Mammon membawaku ke rumah bergaya Jepang, yang kelihatan kontras dengan rumah-rumah berarsitektur khas Roma di kiri-kanannya. Kami disambut sepasang penjaga gerbang dengan rambut berjambul—gaya yang aku tahu umum dijumpai pada berandalan sekolah di Jepang. Mereka membungkuk memberi hormat pada kami.
"Maestra, ini rumah siapa?" tanyaku.
Seakan menjawab pertanyaanku, seorang anak perempuan bermata sipit dengan rambut dikepang muncul dari pintu dalam. "Aa~ sudah datang, mereka datang!"
"Halo, I-Pin," Maestra menyapa anak perempuan itu. Aku mengingatnya sebagai anak perempuan yang menumpang tinggal di rumah Sawada Tsuna. Kudengar setelah kutukan gurunya dilepas, ia pindah tinggal bersamanya. Berarti rumah ini…
"Viper, Fran," pria berbaju ala China menyapa kami. "Aku senang akhirnya kau memenuhi undanganku," katanya pada Maestra.
Aku memerhatikan bahu I-Pin menegang mendengar kata-kata gurunya. Dahi lebarnya mengerut dan lirikannya pada kami memancarkan… ketidaksukaan. Namun ketika ia sadar aku mengamatinya, ia tersenyum.
"Dan aku senang kau mengundangku, Fon. Aku dan kecebong ini tak bisa makan dengan tenang di markas Varia. Tidak dengan diadakannya konferensi banci-berkepala-nanas di sana," Maestra menepuk punggungku. "Kasihan dia kalau kutinggal sendirian."
"Tak masalah, lagipula aku masak banyak."
Aku berani sumpah mendengar I-Pin mendesis seperti ular. Tapi sekali lagi, begitu aku menatapnya, ia tersenyum. Fon tertawa kecil lalu mengajak kami ke ruang makan. I-Pin mengekor di dekatnya.
"Wow," ucapku tak sadar. Meja makan sudah dipenuhi berbagai macam masakan, baik masakan Eropa maupun China. Rasanya pun jauh lebih lezat daripada masakan koki-koki Varia, padahal koki mereka crème de la crème. Sebelum kami mulai makan, Fon membawa senampan makanan ke lantai atas, katanya itu untuk keponakannya.
"Dia lebih suka makan di kamar," jelasnya sebelum pergi.
"Aku tak tahu Fon-san punya keponakan," kataku pada I-Pin. "Apa aku kenal dia?"
"Aa~ kenal, kenal," I-Pin mengangguk-angguk dengan wajah cerah. "Hibari Kyouya-nii."
Dan ketika I-Pin mengarahkan senyumannya ke arah Maestra Mammon—yang sibuk menenggak susu stroberinya—aku merasa anak itu menyembunyikan niat membunuh intens di baliknya.
Makan malam berlangsung normal. Maestra dan Fon-san mengobrol soal rekan-rekan Arcobaleno mereka. Aku berusaha mengajak ngobrol I-Pin, tapi anak manis itu sibuk mendelik ke arah Maestra.
Aku nggak tahu kenapa. Ah, perempuan memang sulit dimengerti.
.
.
Keesokan harinya, kekacauan meledak di markas Varia. Apakah aku sudah menyebutkan bahwa teman-teman Lussuria itu Bukan Banci Biasa? Belum? Jadi hari itu aku baru tahu bahwa—
BLAAR!
"DEMI GIGI FANTASMA, LUSSURIA! KENDALIKAN TEMAN-TEMANMU ATAU KUJUAL KAU KE PASAR GELAP!"
—mereka adalah teman seperguruan Muay Thai Lussuria. Banci biasa? Itu seram. Banci berkepala nanas? Lebih seram, dan mungkin lucu bagi mereka yang selera humornya tak sepaham dengan Master. Banci berkepala nanas ahli Muay Thai? Mendengarnya saja sudah membuat pria-pria waras berniat menyusul Master ke Zimbabwe.
Aku sedang mempelajari teori ilusi dengan Maestra ketika pintu ruangan kami meledak—bukan, diledakkan oleh banci-banci itu. Sepertinya mereka kesal karena rekan-rekan kerja Lussuria (yang disebut si banci mohawk sebagai bishonen kelas hiu) tak kunjung menampakkan diri, jadi mereka memutuskan untuk mendobrak setiap pintu demi menemukan para bishonen.
Maestra langsung mengamuk. Sebagai bendahara Varia, dialah yang akan menghitung semua kerusakan di markas. Memikirkan hal itu sudah cukup untuk membuat Maestra murka. Tapi, saat ini ada yang lebih gawat daripada berkurangnya saldo kas Varia….
"Oho~ Ketemu, ketemu! Ada yang moe di sini!"
"Aduh, imudh bangedh yach ciynn~"
"Pingin deh poke-poke topi apelnya…"
"Wha…?" aku tersentak kaget. "Aku nggak moe," protesku.
"Peduli amat~!" dan kawanan banci itu menyerbu masuk ke kantor Maestra.
Kling~
"Ugh! Uwaa!" mendadak mereka berhenti di tempat, luka toreh segar menghiasi permukaan kulit mereka.
"Siapapun yang menganggap kecebong ini moe," raung Maestra Mammon dari belakangku, "akan dihancurkan!"
"Viper Mirage R! Bagus, Maestra!"
"Muuu! Bagus apanya!" sembur Maestra. Pembuluh darah di sekitar tato ungunya berkedut. "Kenapa kau malah meladeni mereka? Ayo pergi!" ia menyambar lenganku. Fantasma melesat ke arah sebuah sapu lidi; yang langsung melayang rendah begitu ia melingkarkan diri ke ujung gagangnya. Maestra duduk menyamping di atas sapu, "naik, Fran!"
Aku mengerjap, ragu. "Ah, Maestra berdarah," aku menunjuk luka segar yang mendadak muncul di pipinya.
Maestra mengusap darah yang mengalir dari sana. "Sudah, naik saja!" bentaknya. Aku buru-buru membonceng di belakangnya.
Cara Maestra membawa kami keluar dari bangunan penuh banci membuat masyarakat digegerkan oleh penampakan penyihir dengan sapu terbang di langit sore Roma.
.
.
"…Dan Fon, kalau aku ketemu banci jelek bermohawk itu, aku bersumpah akan melelang koleksi bajunya. Orangnya sekalian kalau bisa."
"Viper, kurasa Lussuria-san tidak bermaksud buruk pada kalian." Fon yang sedari tadi dicurhati tutorku menenangkannya. "Sekarang pasti mustahil kembali ke markas Varia, jadi bagaimana kalau kau dan Fran menginap di sini?"
Kepala Maestra yang sedari tadi direbahkan di meja langsung tegak kembali begitu mendengar prospek makan dan tidur tanpa membayar. "F, Fon… serius?"
Fon tersenyum lebar. "Serius."
"Hmm…" Maestra menelengkan kepalanya. "Tapi kalau itu berarti aku akan mendengarkan ceramahmu lebih sering…."
"Aku tak akan memprotes caramu memperlakukan uang, Viper, tenang saja."
"Muu~" senyum Maestra melebar, tangannya terulur menggenggam tangan Fon erat-erat penuh rasa terima kasih. Begitu guruku melepaskannya, aku memerhatikan warna pipi pucat si kempoka China berubah menjadi nyaris sama merah dengan bajunya.
Grak!
Suara itu berasal dari belakangku, dari balik pintu ke ruang keluarga. Aku melihat sekelebat dua kepangan rambut menghilang dari celah pintu. Serpihan batu bata berserakan di lantai.
Perasaanku tak enak.
Ketika kami makan malam itu, I-Pin tidak bergabung dengan kami seperti kemarin. Namun—seolah membuktikan perasaan tak enakku tadi—yang menggantikannya di meja makan adalah Hibari Kyouya. Fon tampak senang keponakannya yang penyendiri akhirnya 'turun gunung' juga. Maestra netral, jelas terbiasa dengan kehadiran makhluk berbahaya di meja makan. Karena kedua Arcobaleno itu sibuk bercengkerama selama makan, hanya aku yang tahu kehadiran Hibari di meja bukanlah sesuatu yang baik.
Hibari Kyouya tak suka berkerumun dalam kelompok. Hibari Kyouya benci ilusionis. Dan malam ini ia memilih makan bersama dua ilusionis dari meja yang sama. Ini jelas membuktikan ia punya maksud tertentu. Dan dilihat dari durasi death glare yang aku dan Maestra terima darinya sepanjang sesi makan malam, kurasa dalam waktu dekat Hibari Kyouya akan menggigit Maestra Mammon sampai mati.
.
.
Selama lima hari aku dan Maestra menginap di kediaman Fon, aku memerhatikan beberapa hal yang… tidak umum bagi orang awam. Pertama-tama, semua pelayan di rumah itu berpenampilan seperti murid SMA berandalan, lengkap dengan gakuran dan jambul anehnya. Konon mereka diimpor dari Jepang dan merupakan anak buah Hibari Kyouya di komite disiplin Namimori Gakuen. Di hari pertama kunjunganku, mereka bersikap ramah, tetapi sejak hari kedua dan seterusnya mereka selalu mengawasi setiap gerak-gerik aku dan Maestra.
Kedua, pada waktu-waktu tertentu aku mendapati kerumunan gadis-gadis remaja di depan gerbang, berteriak-teriak bak melihat penampakan Jastin Bibir. Mungkin kalau tak ada barisan pelayan di gerbang mereka bakal merangsek masuk ke dalam. Para pelayan sering menyita banyak barang dari para gadis itu: karangan bunga, poster, makanan manis, sampai satu set produk perawatan bulu monyet super mahal dari Azerbaijan. Semua barang itu akan langsung dimusnahkan oleh para pelayan, kecuali makanan yang mereka makan sendiri.
Ketiga, Maestra bilang Fon sibuk mengajar bela diri di sebuah dojo tak jauh dari pusat kota. Anehnya, ia tak pernah meninggalkan rumah tanpa dikawal minimal lima orang pelayan. Menurutku Fon tak butuh dikawal—ia ahli bela diri; salah satu Arcobaleno, lagi. Setelah kupikir-pikir pengawalan itu mungkin lebih karena kaitannya yang cukup dekat dengan anggota inti Vongola.
Keempat, baik I-Pin maupun Hibari Kyouya tampak ingin mendepakku dan Maestra pergi—sesuatu yang tidak disadari oleh kedua Arcobaleno. Awalnya kukira itu karena kebencian Hibari pada ilusionis menulari anak perempuan itu, sampai pada suatu sore mereka menyudutkanku selepas berlatih dengan Maestra.
"Her-bi-vo-ra," kata I-Pin menirukan Hibari. "Kami mau tanya kau."
Aku menelan ludah. Ini dia, ini saatnya—mereka akan menggigitku sampai mati!
I-Pin bertukar pandang dengan Hibari sebelum bertanya, "apa tujuan kalian ke sini?"
"Tu-tujuan?" aku menjawab, setengah mencicit di bawah tatapan tajam sang karnivora dari Vongola. "Fon-san me-mengundang kami menginap di sini, berhubung markas Varia saat ini t-tak aman ditinggali…."
"Kenapa?" desis Hibari tajam.
"Ada banyak banci berambut nanas di sana! Me-mereka sungguh mengerikan!"
"Kenapa ada banyak… banci nanas di Varia?" tanya Hibari lagi, tampak jijik.
"Mereka diundang Lussuria dan mencari Master Mukuro yang mereka tiru model rambutnya tapi Master sudah kabur duluan ke Zimbabwe makanya mereka ngamuk!" jawabku buru-buru.
"Jadi kalau mereka pergi," ujar I-Pin, "kalian herbi-vora akan kembali ke sana?"
"Eh? A-aku nggak tahu. Terakhir kulihat markas Varia rusak berat dan kami di sini atas undangan Fon-san, rasanya tidak sopan ka-kalau kami mendadak pergi. Tapi asal banci-banci itu pergi, keadaan sudah cukup aman."
"Begitu." Hibari membalikkan tubuh dan langsung pergi.
"Kau boleh pergi, herbivo-ra," I-Pin menyusul pemuda itu.
Malamnya aku berniat memberitahu Maestra soal peristiwa sore itu, namun sesuatu yang dikatakannya membuat hal itu terhapus dari pikiranku.
"Fran… aku merasa tak enak menumpang selama ini di rumah Fon."
Aku tersedak. Maestra Mammon, bisa merasa tak enak karena menumpang makan dan tidur gratis? "Maestra sakit?"
Ia mendelik padaku. "Muu…! Tentu saja tidak! Apalagi Fon memasakkan kita makanan lezat empat sehat lima sempurna tiga kali sehari. Aku hanya merasa kita harus menggantikan semua bahan mentah yang kita habiskan. Itu saja."
"Ngg, bagaimana kalau berbelanja? Belanja makanan," aku mengusulkan. "Tapi Maestra yang bayar, kalau Maestra mau…" tambahku, mengingat sikapnya terhadap uang. Aku sudah siap menerima penolakannya, namun Maestra malah senang.
"Mu, idemu bagus, kecebong!" ia langsung berdiri dan keluar dari kamar yang kami tempati, tak diragukan lagi untuk memberitahu Fon.
Tak lama setelah Maestra keluar, aku melihat sebuah kepala berdahi lebar mengintip ke dalam ruangan. Saat itu juga aku langsung teringat akan peristiwa tadi sore.
"Hibari Kyouya akan menggigitnya sampai mati, herbivora," ia berbisik. "Camkan itu."
.
.
Esok harinya sudah masuk akhir minggu, jadi kami bersepuluh—aku, Maestra, Fon, Hibari, I-Pin dan lima pengawal—pergi belanja ke supermarket lokal. Begitu kami sampai, dua pengawal memisahkan diri untuk menjaga pintu masuk, sementara tiga yang lain berjaga dalam radius lima meter dari Fon dan Maestra, memberi keleluasaan berbelanja pada mereka berdua. Ya, cuma kedua Arcobaleno yang benar-benar menikmati aktivitas itu.
Hibari beberapa langkah di belakang kami, tangannya berkedut tak nyaman seolah tak sabar ingin segera menggenggam tonfa, siap menggigit kerumunan pengunjung supermarket sampai mati. I-Pin sibuk dengan ponselnya, bertukar e-mail kepada seseorang dan sesekali mendelik pada Maestra. Aku sendiri menempel pada tutorku, siap melindunginya kalau-kalau udara mendadak dipenuhi aroma bawang Gyoza-ken atau sebuah tonfa meluncur mengincar kepalanya.
Maestra kadang tidak sabaran dalam mengajariku, tapi setidaknya ia tak pernah menusuk topiku dengan benda tajam—tidak seperti Master atau salah satu rekan kerja Maestra yang sok bangsawan itu. Karena itu, aku takkan membiarkannya digigit karnivora sinting!
"Fran, Fran?"
Aku berhenti melamun. "Eh—ya, Fon-san?"
"Kau mau beli sesuatu, tidak?" tanya si kempoka sambil mendorong troli yang penuh kebutuhan rumah tangga. "Kami sudah mau ke kasir. Oh, dan tanyakan I-Pin dan Hibari juga ya, kalau-kalau mereka mau beli sesuatu."
Baik pemuda itu maupun si anak perempuan tak terlihat dalam radius kawalan ketiga pelayan. Aku mampir ke bagian makanan beku, mengambil pai apel siap saji. Ketika aku berniat kembali ke kasir, aku menemukan Hibari dan I-Pin bersandar di ujung lorong berlabel makanan impor. Keduanya sibuk memerhatikan sesuatu di layar ponsel I-Pin. Aku berhenti di mulut lorong dan sebisa mungkin menghapus hawa keberadaanku untuk menguping mereka.
"I-Pin, apa katanya?" suara Hibari begitu pelan, nyaris sekeras bisikan.
"Respon yang kudapat semuanya positif. Baik dari Kyoko-chan, Haru-chan dan Hana-san," I-Pin terdengar tegang. "Kegiatan berbelanja ini berarti bahaya, Kyouya-nii."
"Hn," Hibari menggeram. "Sudah waktunya aku menggigit herbivora itu sampai mati."
Aku bisa mendengar sirene imajiner meraung di otakku. Perang akan segera berkobar.
.
.
.
.
"Oi, oi Fran! Siapa yang menyuruhmu berhenti? Ayo lanjutkan ceritanya!"
Fran menjilati bibirnya yang kering. "Nggak kuat…! Aku lapar, capek, lemas dan bibirku kering gara-gara lampu sorot itu! Aku sudah menyemburkan dua ribu tujuh puluh kata non-stop dan itu bahkan belum setengah jalan! Setidaknya beri aku air!" si ilusionis menggoyang-goyangkan kursi sekuat tenaga, berharap ikatannya mengendur namun siapapun yang mengikatnya tampaknya ahli soal tali temali; simpulnya erat sekali.
"Seseorang!" orang di belakang lampu membentak rekan-rekannya. "Ambilkan jus atau susu dari dapur! CEPAAAT!" Fran sekarang yakin sekali orang itu seorang wanita galak.
"Tak perlu ke dapur," kata pria bersuara sinis. "Si kacung ini sedari tadi minum susu coklat. Ambil," botol susu coklat berukuran satu liter mendarat di tangan wanita di belakang lampu, diiringi erangan lemah pria keempat yang langsung berhenti begitu ada bunyi duk pelan. Tak lama kemudian, Fran merasakan mulut sedotan menyentuh bibirnya. Ia segera minum dengan lahap.
"Perut sudah terisi, tak ada alasan untuk menunda lagi," kata si wanita galak begitu Fran berhenti minum. "Lanjutkan kisahmu, hai prajurit!"
"Hei, dia bukan muridmu, ko—uhuk!" lagi-lagi pria ketiga mengakhirkan kalimatnya dengan batuk.
Fran mendelik ke arah kegelapan di ruangan. Ia menyumpahi siapapun yang menculiknya akan mendapatkan mimpi buruk saat mereka tidur malam ini dan 39 malam berikutnya.
.
.
Aaaand... CUT!
Author's Notes:
Fanfiksi ini rencananya akan dibuat jadi oneshot, tapi ternyata panjangnya sudah menembus delapan ribu kata, padahal belum termasuk omake. Pembaca yang budiman, menurut kalian apakah sebaiknya fanfiksi ini dibiarkan jadi multichapter atau saya edit jadi oneshot (yang mungkin menembus sembilan ribu setelah omake ditulis)? Beri saya saran~ oh, dan kalau ada yang punya ide sebaiknya fanfiksi ini masuk genre mana, jangan lupa beritahu~
EDIT: mengubah sedikit detil; plus menetapkan fic ini sebagai multichapter.
Until then, ciao!
