Ijinkan hamba menutur sebuah cerita.
Kisah ini terjadi seratus sepuluh tahun lampau.
Batavia masih sebuah kota yang ramai, tanpa gedung pencakar langit, dan segalanya masih sunyi. Pagi hari hanya ada para pembantu di rumah-rumah besar menyapu daun kuning yang berserakan dengan sapu lidi. Pria-pria paruh baya, dengan segelas kopi tubruk, bersantai dengan baju tidur mereka. Udara segar pagi hari pun menyemangati, sembari kokok ayam terdengar, bersamaan dengan suara kereta api atau trem—manapun, yang relnya lebih dekat dari tempatmu berada.
Biar demikian, Batavia bukan kota yang besar jika dibandingkan dengan ibu kota negeri lain. Misalnya seperti negeri besar, jauh di hamparan pasifik, ada negeri bernama Amerika Serikat. Di sisi itu juga, ada juga negeri sentral yang bernama Belanda. Dari Sunda Kelapa, kapal berlalu-lalang setiap harinya. Kisah para pelajar, petualang, atau pedagang paling ramai datang dari pelabuhan Sunda Kelapa. Berbagai macam orang datang, dan dalam detail-detail kecilnya, tersimpan gambaran akan bagaimana dunia di luar kota Batavia.
Karena itu, bagi Raka kecil, ia lebih dari senang untuk datang ke Sunda Kelapa. Bocah kecil yang usianya tak lebih dari sembilan tahun itu lebih suka menunggu di depan dermaga sampai sore hari selepas pulang sekolah, saat biasanya kapal besar dari berbagai tanah di seberang lautan datang, membawa banyak cerita. Jika tidak ada klien, tentu saja kapal seng kecilnya yang sudah karatan akan jadi teman mainnya, sebab tidak setiap hari Razak—anak dari tanah Melaka yang pindah tiga bulan lalu itu—mau berhangus ria diterpa matahari yang menyengat di pelabuhan.
Terlepas dari ia menjadi kuli angkut kecil selepas pulang sekolah, bukan uang saja yang bisa didapat Raka. Sadar dirinya sejak kecil, jika pengetahuan yang diberikan di sekolah hanyalah sebatas baca dan tulis; pula, cerita dari para pendatang ataupun mereka yang datang kembali lebih menarik daripada menerbangkan layangan.
Di luar ruang kelas ini, ia akan lancar bercakap dalam berbagai bahasa. Lain dari bahasa Melayu, ada Belanda, Inggris, dan sedikit Cina, selagi aksen Betawinya masih terdengar kental. Biar saja orang-orang itu menertawai aksennya, toh, malah itu yang membuat Raka digemari. Anak itu mulutnya manis, sopan, dan tidak protes walaupun barangnya sampai lebih dari sepuluh kilo sekalipun.
"Darimana kuli angkut sepertimu belajar bahasa Belanda?"
Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada penasaran dari seorang pria yang baru memasuki usia dua dekadenya. Seorang pria Londo yang gagah, tinggi menjulang. Apalah Raka di sampingnya, benar-benar membawa ibarat upik abu menjadi kenyataan—karena dirinya berkulit cokelat gelap, dan mata cokelat mudanya yang bersinar tidak cukup terang untuk menjadi daya tariknya. "Dari mendengar orang sepertinya berbicara, meester." jawabannya sederhana, dan gigi dekil Raka tertunjuk jelas.
"Mendengar kami berbicara saja tidak akan membuatmu bisa berkata-kata selancar ini, bukan?" pria Belanda itu menanyai Raka sekali lagi. "Kau hebat sekali jika memang begitu, bisa paham walau hanya terbiasa mendengar saja."
Raka tersenyum. Pujian dari orang asing sering jadi penyemangat bocah itu. "Danke!" Serunya. "Aku mau belajar lebih banyak dari ini, sebabnya. Aku ingin tahu lebih segalanya tentang dunia luar, jadi siapa nama tuan?"
"Panggil saja Jan. Sedang ingin menjalankan studi tentang psikologi." Jan, pria itu, tersenyum. Ia membenarkan posisi suspender hijau pucat yang ia gunakan, kemudian merenggangkan tubuhnya sambil terus berjalan di samping Raka. "Siapa namamu? Oh ya, kita tunggu saja di sini. Jemputanku akan sampai sebentar lagi di sini, katanya."
"Raka!" Bocah itu tersenyum lagi. Berhenti mengikuti gerak Jan, lalu berdiri di bawah lampu yang belum menyala; ini masih pukul empat sore, matahari masih tinggi di langit. "Psikologi itu apa? Aku baru pertama kali mendengarnya."
Jan tertawa. "Jangankan kamu, di antara kami saja masih banyak yang belum tahu tentang itu." Pria muda itu nampak semangat, entah mengapa. Mungkin bosan dan rasa senang karena ada yang tertarik dengan tutur katanya membuat Jan tersenyum lebar. "Itu bidang ilmu baru. Mempelajari tentang bagaimana cara manusia berpikir, dan kupikir sepertinya menarik. Maka dari itu aku ingin mempelajarinya lebih lanjut sebagai kelanjutan dari studiku."
Oh, Raka suka sekali dengan yang seperti ini. "Aku ingin tahu lebih lanju—"
Naas bagi Raka, seorang wanita muda telah memanggil Jan. Menghampirinya, selagi Jan hanya bisa menghela napas dan tersenyum sedih. "Ah, sayang sekali. Adikku sudah datang." Jan memberikan dua gulden, tersenyum lebar selagi membungkuk di depan Raka. "Kita lanjutkan pembicaraan kita jika takdir memutuskan kita bertemu lagi, ya? Aku harap kita bertemu lagi, Raka."
Bocah itu tersenyum senang. Membawa barang bawaan milik Jan sampai di kendaraannya, dan melambai pada pria yang berbicara dengan banyak kata-kata yang sebenarnya belum bisa dipahami Raka.
"Sampai jumpa lagi!"
Di tahun 1910, segalanya masih sederhana. Belum ada kota besar, belum ada mobil yang berjalan cepat, dan para pengendara delman dan becak masih banyak ditemui.
Maka dari itu, Raka tidak melintaskan pikiran jika pria muda nan gagah yang hanya ia tahu dengan panggilan Jan itu, adalah pria yang suatu hari akan menjadi karakter utama dalam hidupnya.
.
Yang terpenggal di selatan Jakarta.
.
Akhir dari Prolog - (akan) bersambung.
Batavia
Hetalia : Axis Powers adalah milik Hidekazu Himaruya. Tidak ada hak apapun yang diambil dari pembuatan fanfiksi ini terlepas daripada kesenangan pribadi.
Terinspirasi dari lagu Kisah dari Selatan Jakarta milik White Shoes and the Couples Company. Boleh didengar sambil membaca cerita ini.
Fanfiksi ini diusahakan seakurat mungkin secara historikal. AU. Sudah jelas OOC. Update sporadis.
Daftar nama karakter
Raka Pratama Mandala = Indonesia
Razak = Malaysia
Johann van Kanne/Jan = Netherlands
Amelie van Kanne/Amel = Belgium
A/N : Iya, saya bangkit dari kubur dan mendadak kangen bikin cerita. Sekalian bikin yang lebih berbobot sekali-kali ahuhuhuhu.
