Let It Flow
Matsui-sensei adalah pemilik sah Ansatsu Kyoushitsu
Warning : Typo(s), melenceng dari EYD, minim diksi, maybe little bit OOC and Sinetron-able.
But, Keep enjoying my story~~~
Happy Reading!
.
.
Kelas di hari Rabu ini berakhir lebih cepat dari biasanya karena para guru sedang mengadakan rapat bulanan di gedung utama. Koro-sensei, satu-satunya guru yang tidak mengikuti rapat karena memang tidak diperbolehkan memasuki gedung utama dengan penuh semangat langsung melesat ke luar negeri untuk membeli cemilan manis. Seluruh siswa 3-E melihat kepergiannya dengan tatapan, enaknya yang bisa ke luar negeri sesuka hati…
"Wah… Aku iri dengan Sensei yang bisa pergi ke luar negeri sesuka hatinya." Ucap Yada sembari membereskan buku-buku yang masih ada di meja.
"Sekali-kali aku ingin ikut dengan Sensei mencoba makanan manis dari Negara lain." Sambung gadis penyuka binatang di sebelahnya.
"Hmm, bagaimana kalau setelah ini kita mampir dulu ke toko kue?" ajakan Kurahasi ditanggapi dengan anggukan beberapa teman sekelasnya. Tanpa banyak perdebatan, sebagian dari mereka segera bersiap-siap untuk pulang. Melihat ada temannya yang hanya berdiam diri, Kurahasi mendekati orang tersebut.
"Anoo,,, Rinka-chan, kamu ingin ikut?"
"Maaf Kurahasi-chan, aku sudah ada rencana terlebih dahulu."
"O,, souka. Ya sudah kalau begitu lain kali kita makan kue bersama yaaaa~~~" Kurahasi langsung menyusul rombongan 3-E yang akan mampir ke toko kue di dekat stasiun.
.
.
Melihat kelas sudah cukup sepi, Hayami beranjak dari bangkunya dan berjalan menuju ke ruang ganti. Ia mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga. Hari ini dia sudah berjanji untuk berlatih bersama dengan rekan snipernya, Chiba. Selesai berganti, ia melangkah keluar gedung kelas dan berjalan menuju tempat latihan.
.
.
Iris zamrudnya menangkap sosok remaja dengan wajah yang tertutup poni sedang berdiri di samping kolam buatan guru gurita kuning mereka. Ya, kali ini mereka akan latihan menembak dari dalam kolam untuk meningkatkan kemampuan menembak keduanya di medan yang kurang stabil, seperti di dalam air. Kegagalan mengeksekusi monster 20 mach di pulau selatan kemarin itulah yang memotivasi mereka berlatih lebih serius lagi.
.
"Maaf terlambat, aku membereskan buku-bukuku terlebih dahulu." Gadis itu membuka suara.
"Tidak masalah, aku sudah memasang beberapa papan target di beberapa titik." Chiba menunjukan beberapa papan target yang menggantung di pepohonan sekitar kolam.
"Biar aku lanjutkan sisanya." Tanpa memerlukan waktu yang lama, Hayami telah memasang target tembakan yang nanti akan di eksekusi oleh duo sniper tersebut. Setelah melakukan pemanasan, Chiba dan Hayami masuk ke dalam kolam buatan itu dan berenang selama beberapa saat. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu mulai mengerahkan senjata andalannya untuk menghabisi sasaran. Angin yang berhembus sedikit lebih kencang membuat duo tersebut sedikit kewalahan, namun mereka senang juga, karena kesulitan yang didapat justru membuat mereka semakin tertantang.
.
.
.
Sudah satu jam lebih mereka berada di kolam, semua target telah mereka habisi beberapa menit yang lalu, Chiba dan Hayami pun memutuskan untuk menyudahi latihan mereka dan beristirahat di pinggir kolam.
.
"Hayami-san, tingkat kestabilanmu dalam menembak sungguh mengagumkan." Puji sang lelaki bersurai hitam.
"Tidak, menurutku itu tidak ada apa-apanya dibanding kemampuanmu." Hayami mengingatkan kejadian yang baru saja terjadi di mana Chiba berhasil menembak target yang dipasang Hayami meski jarak dari target ke kolam cukup jauh. Keduanya saling merendah dengan kemampuan masing-masing, padahal sudah jelas diketahui bahwa mereka adalah yang terbaik dalam menggunakan senapan di kelas pembunuhan tersebut.
"Ya sudah, sebelum hari semakin sore, ada baiknya kita segera bergegas." Chiba mengajak partnernya kembali ke gedung kelas untuk berberes sebelum pulang ke rumah masing-masing. Mereka harus mengganti pakaiannya kembali. Gadis bersurai jingga bergerak menuju kamar mandi wanita untuk membilas diri dan mengenakan kembali seragam sekolahnya. Tidak lupa pula ia mengeringkan rambutnya agar bisa kembali ia kuncir menjadi dua.
.
.
Hayami yang telah selesai berganti baju lantas berjalan menuju kelas untuk mengambil tas sekolahnya. Tak disangka, ia mendapati temannya itu sedang tertidur di kursinya. Wajah yang tertutup poni tersebut tampak sedikit kelelahan. Baru saja Hayami mendekat untuk mengambil tasnya, ia mendengar Chiba mengucapkan sesuatu.
.
"H-Ha-Hayami…" sang pemilik nama terkejut.
'Mengapa namaku disebut dalam tidurnya?' Tanpa sadar, Hayami mundur, dan kakinya terantuk kaki meja.
"Aduh!" pekiknya.
Mendengar suara mengaduh, pemilik nama lengkap Chiba Ryuunosuke terbangun dari tidur singkatnya dan segera melihat ke sumber suara.
" Hayami-san?, kenapa?"
"Hanya terkena kaki meja, tidak apa-apa kok."
Tanpa disuruh, Chiba langsung memeriksa kaki perempuan di hadapannya itu. Melihat kakinya disentuh oleh lawan jenis, panas menjalar ke pipi sang tsundere. Segera ia menjauhkan kakinya.
"M-maaf Hayami-san, aku tidak bermaksud yang bukan-bukan"
"Sudah kubilang aku tidak apa-apa."
"Syukurlah kalau memang benar begitu." Chiba menghembuskan napas lega.
.
Sejenak mereka terdiam, namun rasa penasaran menggelitik Hayami.
.
"Kukira kamu sudah pulang duluan, kenapa masih di sini?"
"Aku menunggumu untuk pulang bersama, tidak baik meninggalkan perempuan sendirian di gunung sore begini."
"A-Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa pulang sendiri." Bantah Hayami yang kembali menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Mari pulang." Ajak sniper boy dari kelas 3-E itu. Hayami menyadari sesuatu.
.
"Rambutmu masih basah, apa lebih baik dikeringkan dahulu?"
Mendengar pertanyaan dari Hayami, Chiba menjawab, "Tidak perlu, nanti juga kering sendiri."
"Jangan begitu, nanti kau masuk angin." Hayami terdiam sejenak, "B-Bukan berarti aku perhatian padamu, tapi aku tidak ingin ada teman yang sakit. Terlebih sehabis berlatih bersama." Mendengar perkataan gadis yang rambutnya diikat dua itu membuat Chiba tersenyum.
"Baiklah, tapi dengan apa aku mengering-"
"Bodoh!" Hayami Rinka berjalan menuju loker yang berada di belakang kelas, lalu mengambil sebuah hairdryer, "Tentu saja menggunakan ini." Ia menyerahkan benda itu kepada Chiba. Yang menerima segera menuju ke depan kelas untuk mencolokan hairdryer dan segera menggunakannya.
.
.
'RRrrrrrrrrr'
.
Chiba masih sibuk mengeringkan rambutnya. Dari tempat duduknya, Hayami mengamati pria berponi itu. Lebih tepatnya memerhatikan bagaimana angin panas yang keluar dari alat tersebut menggoyangkan tiap helai hitam di kepalanya. Diam-diam ia melihat manik cokelat kemerahan yang sekilas nampak.
.
.
Diam-diam ia menikmati itu.
.
.
Yang tidak Hayami ketahui adalah, bahwa Chiba sebenarnya mengetahui gerak-gerik partnernya. Hanya saja ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.
.
.
"Sini aku bantu." Di tangan Hayami terdapat satu lagi hairdryer yang langsung saja ia arahkan ke rambut Chiba yang tidak menolak dengan bantuan tersebut.
"Jangan salah paham, aku hanya ingin segera sampai rumah."
"Terima kasih, Hayami-san."
"Hmm…"
.
.
Tidak ingin mengulur waktu lebih lama untuk sampai ke rumah, pasangan sniper terbaik kelas 3-E ini segera meninggalkan gedung kelas setelah urusan mengeringkan rambut selesai. Seperti biasa, tidak banyak percakapan yang keluar dari kedua mulut siswa yang terkenal pendiam itu. Keheningan yang tercipta menyebabkan suasana sore ini semakin sunyi, hanya suara daun bergesek dan sayup-sayup kicauan burung yang terdengar.
Keduanya berjalan lebih cepat, saling beriringan, namun tetap saling membisu. Berhentinya langkah Hayamilah yang menjadi alasan Chiba membuka suara.
.
"Hayami, kau kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa." Hayami berbohong.
"Bohong. Pasti karena kakimu tadi." Cepat-cepat Chiba mendekati gadis berkulit putih itu, lalu berlutut. "Lihatlah, kakimu sedikit membiru. Ini yang kau sebut baik-baik saja?"
"A-aku hanya ingin segera sampai rumah dan mengompresnya."
"Tapi tidak baik menundanya, nanti akan semakin parah. Biar aku pijat sebentar"
"T-tidak usah."
"Diamlah saja dulu." Chiba mulai memijat pelan area sekitar kaki Hayami yang memar.
"Aku tidak akan berbuat macam-macam." Lanjutnya.
.
Hayami diam menurut, ia memilih duduk bersandar di bawah pohon sementara Chiba masih mencoba mengurangi sakit yang dirasakan temannya itu. Keduanya terdiam menikmati semilir angin yang berhembus.
.
.
"Bagaimana?"
"Sudah terasa lebih baik."
"Syukurlah." Chiba berdiri seraya mengulurkan tangannya untuk membantu Hayami berdiri. Hayami menerima uluran tangannya dengan rona wajah yang dibuat senormal mungkin.
"Mari…" Mereka bersiap melanjutkan perjalanan, namun langkah Hayami yang masih tertatih tertangkap oleh kedua netra Chiba. Ia lalu membungkukan badannya,
"Naiklah." Chiba menunjuk punggungnya
"Eh?"
"Biar kubantu kau sampai ke bawah."
"Ti-tidak perlu Chiba-kun!" Hayami tergagap, tentu saja ia menolaknya. Malu.
"Baiklah." Chiba kembali berdiri, kali ini ia menarik tangan gadis itu kemudian melingkarkannya ke pundaknya, sementara tangannya melingkar di pinggang ramping Hayami.
"Kali ini jangan menolak, aku hanya ingin membantumu agar kita sampai ke stasiun tepat waktu." Hayami membisu. Jangan tanyakan warna mukanya, mungkin sudah lebih merah dari warna rambut teman sekelas mereka. Beruntung sinar mentari sore menyamarkannya.
Yang Hayami tidak sadari, pipi Chiba lebih merah dari miliknya.
.
.
Mereka telah sampai di depan stasiun, Chiba melihat arloji yang melingkar di tangannya. Masih 10 menit lagi sebelum kereta yang ditunggu tiba.
"Anoo,,, Chiba-kun…"
"Ya, Hayami-san ?"
"Bisa kau lepaskan tanganmu dariku?" Chiba tersadar bahwa tangan kanannya masih melingkar, cepat-cepat ia melepaskan.
"M-maafkan aku Hayami-san."
"….."
Mereka serentak terdiam, mencoba untuk menetralkan segalanya.
.
.
"Nggg… Hayami-san..." Suara Chiba kembali terdengar setelah degupan jantungnya kembali normal.
"Ya, Chiba-kun?"
"Kalau kita tidak cepat-cepat, kita akan ketinggalan kereta."
"Hm… Baiklah," Hayami mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu berhenti di satu fokus. Lagi, Chiba menyadari apa yang Hayami perhatikan. Bibirnya tersenyum lebar.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan."
"Hah?" Pandangannya kembali menatap mata yang tersembunyi di balik poni.
"Kereta berikutnya baru datang 45 menit lagi. Masih cukup untuk menikmati sepotong cake di toko sebelah. Kau pasti sebenarnya ingin ke situ bersama yang lain sepulang sekolah tadi kan?" Hayami terkesima mendengar jawaban Chiba yang tepat.
.
.
"Ne~ Hayami-san, bagaimana? Mau mampir?"
"Hmm…" Hayami berpikir sejenak, "Tapi kau harus bertanggung jawab menjelaskan keterlambatanku pada ibuku."
.
"Bukan masalah bagiku." Senyum kembali merekah, kali ini terpatri pada bibir keduanya.
.
.
~Selesai~
.
.
.
Yaps, ini fic ke-empat saya di AnsaKyou. Masih mencoba untuk menggali ide-ide romantis. Semoga kalian semua terpuaskan, khususnya Chiba-Hayami shipper. Kalo masih belum, biar nanti saya coba bikin lagi coretkalogakmagercoret. Kalo masih belum juga, saya kembali ke angst saja /ditimpuk.
Review ditunggu ya,,, saran maupun kritik yang membangun saya tampung xD
Tengkyuuuu….
Salam ndusel,
Nekompuss (feel free to call me Neko or Mpuss, but personally, I prefer Mpuss xD)
