Xúnzhǎo Xìngfú

.

(1)

Author : Jonanda Taw

Main Cast : Kris Wu and Huang Zitao

Genre : Damn, I Love ANGST. Actually, Romance too.

Rated : Teen

Disclaimer : Cast milik TUHAN YME(kecuali other cast), tidak ada yang berhak meng-claim mereka sebagai milik siapa pun termasuk orang tua, keluarga, dan perusahaan. Plot milik saya pribadi tanpa ada campur tangan pihak manapun, murni.

.

WARNING!

Regular : Normal PoV

Italic : Tao's Flashback

Bold : Kris' Flashback

Semua style EXO disini karangan saya sendiri. Maksudnya tidak sesuai waktu. Misalnya tahun sekian potongan rambutnya gini dsb. Wkwkwk

Oh ya, typo merajalela, FF ini non edit.

.

p.s : Xunzhao Xingfu dalam bahasa Mandarin artinya 'mencari kebahagiaan'. Thx for gugel trenslet yang bantu bikin judul *diinjek rame-rame* =_=

.

.

.

Happy Reading~

.

.

.

.


Hidupkan lagi mimpi-mimpi

Cita-cita

Cinta-cinta, yang lama kupendam sendiri

Berdua, kubisa percaya

.

Ku bahagia

Kau telah terlahir di dunia

Dan kau ada di antara milyaran manusia

Dan kubisa, dengan radarku

Menemukanmu

.

Tiada lagi yang mampu berdiri

Halangi rasaku, cintaku padamu

.

(Maudy Ayunda – Perahu Kertas)

.

Butir-butir salju berjatuhan ke pucuk jejeran cemara dan pinus di beberapa sudut kota Beijing kala itu. Beberapa pucaknya membeku dan seakan dapat patah jika disentuh sedikit pun. 2012 akan segera berakhir masanya beberapa hari kedepan, besok sudah Natal. Namun bukan berarti semua orang merasakan kebahagiaan malam Natal sekarang.

Huang Zitao tetap berlari walau ia merasa kakinya yang telanjang menjadi beku dan berdarah karena suhu ekstrem malam itu. Ia semakin merapatkan mantelnya memeluk badan, pandangannya liar penuh ketakutan, nafasnya memburu, keadaannya mengenaskan. Sepasang lututnya terasa lemas namun ia masih harus kabur dari seorang wanita tua perokok yang menjadi germonya dua tahun terakhir, juga seorang pria berbadan tinggi besar yang menyewanya semalam ini, menggaulinya dalam siksaan yang perih.

Mereka semua selalu seperti itu. Madam Yu selalu memaksanya menarikan gerakan-gerakan menjijikkan di tiang dengan tubuh polos tiap malam, demi menarik pelanggan-pelanggan berkantong tebal agar mau menidurinya. Para pria kesepian yang selalu menahannya dibawah juga tak pernah peduli tangisannya yang menusuk keheningan kamar, bersahut-sahutan dengan lenguhan kenikmatan palsu yang keluar dari belah bibirnya. Mereka semua hanya peduli tentang ia yang pasrah dimasuki, membuka kakinya dan tertahan diatas ranjang, menerima gaji kotor yang sebenarnya tak seberapa.

Sudah tak terhitung berapa kali Zitao ─atau dengan nama 'ranjang' Tao─ bertanya pada Tuhan tentang presepsi hidup bagi manusia. Mengapa semua yang ia kecap berbeda dari yang lainnya? Abu-abu, tak berona, tak ceria, dirundung kesedihan tanpa batas.

Ia tidak kuat berlari lebih lama lagi. Kakinya benar-benar memerah karena darah, ia harus berhenti.

Tao semakin kencang berlari. Tak apalah kakinya terasa seperti dihujam paku selama kurang-lebih satu menit kedepan. Setelah ia benar-benar jauh, Tao akan bersembunyi dan berusaha sebisa mungkin untuk tak pernah kembali.

.

Menemukan kehidupan barunya.

Kembali mewarnai hidupnya dengan sisa-sisa crayon harapan.

.

.

.


Kris Wu mengeluarkan asap rokok dari mulut dan hidungnya. Ia sedang berada di ujung gang sempit. Gelap, hitam, tanpa temaram bulan purnama yang menyelimuti Beijing di malam Natal. Pikirannya melayang tanpa arah tujuan. Pria-pria berekening gendut yang menjadi incarannya dan telah tiada seperti tengah mencekiknya. Polisi-polisi bodoh itu sudah mulai mencium jejak darah di ujung pisaunya, mulai mengetahui siapa ia sebenarnya.

Sekali lagi ujung batang Bai Sha mint itu diapit bibirnya, dengan relaks ia menyesap kenikmatan merusak itu dengan mulutnya dan seketika ia keluarkan perlahan.

Kris benci hidupnya. Tapi ia suka menjadi seperti ini.

Membingungkan?

Hidup juga terasa membingungkan untuknya.

Ia melihat ada seorang pemuda berlari di gang. Lalu ia duduk dan nampak bersembunyi di samping bak sampah besar di seberang, tepat di depannya. Kris mengernyit saat melihat kaki pria itu yang nampak terluka dan berdarah. Saat ia melirik bibir si pemilik kaki di tengah kegelapan, yang Kris temukan hanya siluet-siluet samar yang terlihat pucat.

Kasihan sekali.

Pemuda itu mengangkat kepalanya. Pandangannya bertemu di bola mata Kris dan Kris semakin sadar bahwa bukan hanya bibirnya yang memutih, wajah pria itu juga seperti mayat. Satu lagi, ada bayang hitam dibawah matanya. Orang itu menempelkan telunjuknya yang bergetar di bibir, menandakan bahwa ia harus diam.

Ketika Kris mendengar seseorang menggebrak tong sampah lain dengan keras, ia menoleh dan langsung berdiri.

"Huang Zitao! Keluar!"

Kris mengerling sekilas ke arah pemuda yang mungkin bernama Huang Zitao itu, lalu ia menatap wanita tua yang berteriak tadi. "Aku disini sendiri," ujarnya dingin. "Kalian mengganggu masa istirahatku."

"Aku yakin ia disini!" wanita itu berteriak.

"Benar!" seorang pria berkepala botak menyeru dari sebelah wanita tua itu. "Aku melihatnya berlari kesini!"

Kris maju beberapa langkah sambil menghisap rokoknya. Ia memejamkan mata selama beberapa detik sambil menghembuskan nafas sekaligus asap abu-abu dengan wajah tenang dan kemudian berubah serius lagi. Kris tidak suka kedua orang asing itu. Pertama, ia memang merasa terganggu dengan cara mereka. Kedua, Kris merasa mereka mencari Zitao dengan alasan buruk, mungkin. Lihat saja, Zitao nampak ketakutan setengah mati tadi. Kakinya juga terluka hebat.

"Sudah kubilang, aku sendirian disini."

Pria botak itu maju dengan tubuh jagoan. Dadanya membusung, punggungnya menegak, pandangannya tajam dan langkahnya berirama. "Aku akan mengeceknya sendiri."

Di ujung gang, samping bak sampah, Zitao membelalakkan mata sambil menutup mulutnya yang melebar dengan kedua tangan.

Kris menahan laju pria itu dengan tangan kirinya. Ia menghisap rokoknya sekali lagi sebelum membuangnya ke tanah dan menginjak rokok itu hingga sumbunya padam dengan sepatunya yang mahal. "Ini wilayahku," ujarnya.

"Hah!" Pria itu berkacak pinggang. "Bocah, apa buktinya kau memiliki wilayah ini?! Ini tempat umum dan artinya aku bisa mencari orang sewaanku di tempat ini juga!"

Tunggu! Sewaan?

Oh please, harusnya Kris tidak memperdulikan ucapan pria botak yang ternyata nafasnya bau alkohol itu.

"Ini buktinya!" Kris mengepalkan tangan kanannya kuat dan memukul rahang pria itu hingga punggungnya membentur tembok. Saat itu purnama mengintip dari celah-celah gedung, Kris bisa melihat lebam di bagian yang baru ia pukul.

Kris merilekskan lehernya hingga berbunyi 'tak-tak' dan begitu pun jari-jarinya. Ia tersenyum meremehkan dan malah terlihat makin tampan. "Ingin bertarung secara laki-laki demi wilayah ini? Atau ingin bertarung dengan naluri anjing?"

Pria itu mendesis. Dengan cepat ia berlari dan berusaha meninju dada Kris, tapi Kris terlebih dahulu menahan kepalan tangan itu tepat beberapa centimeter di depan dadanya.

"Wow, sayang sekali."

Kris menarik lengan pria itu. Membantingnya ke tembok berlumut di dekatnya sebelum menendang perutnya yang cukup buncit. Saat Kris melirik wanita tua yang datang bersama pria yang sekarang hampir pingsan di depannya, ia melihat ekspresi takut dan sebuah tatapan horror tertuju padanya.

"Apa nyonya mau bernasib seperti pria ini?" Kris menekan dada si pria gendut dengan sepatunya.

Si wanita tua menggeleng cepat.

"Bawa dia," ujar Kris sambil membersihkan pakaiannya dengan menepuk-nepuk pelan. "Jangan kembali."

Dasar wanita bodoh. Ia setuju tanpa syarat.

Kris menghitung waktu. Kedua pengganggu tadi memerlukan waktu lebih dari lima menit untuk enyah dari wilayah yang ia klaim sebagai miliknya barusan. Ia berbalik ke ujung gang, namun menghampiri Zitao.

Pria berambut cepak hitam kemerahan tersebut cukup terkejut melihat Zitao menangis. Bahunya bergetar dan ia bisa melihat air mata merembes keluar dari jari-jarinya yang menutup sebagian besar wajah pucat itu. Kris ingin membantu, lebih banyak lagi, sayangnya ia bukan seseorang yang pandai merangkai kata-kata menghibur.

Jadi Kris menyentuh rambut pria itu dengan hati-hati, perlahan menyusuri helai itu mengikuti gravitasi. Tanpa menyentuh kulit kepalanya. Tanpa mencoba untuk berbicara. Karena ia tak bisa membuat hal lebih banyak dari ini, Kris hanya menunggu hingga pria bernama Huang Zitao itu berhenti meluapkan kesedihannya.

.

.

.


Dan Tuhan mengirimmu

Padaku

Hadiah Natal terindah dalam hidupku

Apa kau pun begitu?

Apa aku juga yang terbaik dalam hidupmu?

.

Tao merasa bahagia ketika samar-samar ia merasakan usapan lembut di kepalanya, tepatnya hanya menyentuh rambutnya. Sebenarnya ia ingin berhenti menangis karena matanya sudah lelah. Apa daya, rasa bahagia ini malah membuat air matanya tumpah karena merasa diperhatikan. Disayangi. Diakui keberadaannya sebagai insan yang juga diberi perasaan, walau hanya rasa kasihan dan prihatin.

Ketika Tao merasa jauh lebih baik, ia mengangkat kepalanya dan menghapus air mata di wajahnya dengan cepat. Ia juga melihat pria yang tadi membelanya tersenyum setelah itu.

"Mereka sudah pergi," suara pria itu terasa berat dan Tao merasa ia mendapat logat yang sedikit berbeda. Orang ini sepertinya pernah hidup di luar negeri. "Kau baik-baik saja kan?"

Tao mengangguk canggung.

"Baguslah." Pria itu mengulurkan tangannya, "Aku tahu namamu Huang Zitao, dan namaku Kris Wu."

Tao membalas uluran tangan itu dengan rasa takut. Rasanya dingin, tegas, dan Tao berpikir jantung Kris Wu sangat besar mengingat tangannya juga raksasa. "Panggil saja Tao."

"Baiklah, kalau begitu panggil aku Kris."

Tao mengangguk pelan. Setelah itu mereka tak berbicara selama dua menit, hanya saling menatap satu sama lain.

"Apa kau tidak pulang?"

Tao membelalakkaan matanya.

"Perlu kuantar? Mobilku diparkir tidak jauh dari sini."

Tao menggeleng pelan sambil menunduk. "Aku tidak punya rumah."

Hening kembali. Kris terlihat merasa bersalah menanyakan hal itu.

Saat Tao berusaha berdiri dengan telapak kakinya yang luka dan tanpa alas kaki, Kris menahannya dan mendongak. "Mau tinggal bersamaku?"

"Ap-apa?"

"Kalau kau butuh tempat tinggal, kau boleh tinggal bersamaku. Aku tinggal sendirian."

Tao menggeleng. "Tidak, tidak. Aku akan mencari pekerjaan dan menyewa apartemen kecil."

"Apa kau yakin bisa mengumpulkan uang secepat itu untuk menyewa apartemen, walau yang paling murah sekali pun?" Kris berdiri, ia lebih tinggi dari Tao.

Tao berpikir. Benar juga. Jadi ia menggeleng.

"Kau boleh tinggal di rumahku."

Tao merogoh sakunya untuk mencari sisa-sisa uang yang menyelip. "Berapa uang mukanya? Dalam satu bulan, berapa uang yang harus kukeluarkan?"

Kris tertawa pendek dan tangannya mengisyaratkan penolakan. "Kau tidak perlu melakukannya."

Tao mengerutkan dahi. "Tidak, aku harus membayar."

"Mungkin kau bisa menjadi asisten pribadiku."

"Pembantu?" tanya Tao.

"Bukan," jawab Kris. "Kata-kata itu terlalu kasar. Kau tidak bekerja keras di rumahku karena aku juga sesekali membersihkan rumahku sendiri. Mungkin kau hanya perlu membantuku. Kalau kau sanggup, kau boleh bekerja part-time diluar."

Syaratnya terlalu enteng.

"Kau yakin? Aku boleh tinggal di rumahmu dengan syarat itu?"

Kris tersenyum tipis. "Ya. Hitung-hitung kau bisa menemaniku saat rumah terasa sepi."

Tao juga tersenyum. "Terima kasih, Kris."

"Jadi, ayo pulang."

.

Pulang.

Akhirnya Tao bisa pulang, walau ke tempat yang berbeda.

.

.

.


Rambutnya hitam. Bibirnya pucat. Kulitnya seputih mayat. Ada bagian hitam melingkar di bawah matanya. Rasa dingin membuat jari-jarinya beku karena tidak pakai sarung tangan. Pria kecil itu berdiri di dekat jendela, menatap salju yang turun perlahan di luar sana. Sendirian, di koridor sekolah yang sepi.

"Hey, Hantu!"

Pria kecil bernama Huang Zitao itu menoleh.

"Apa yang kau lakukan disini?" seorang anak lain mendekatinya, memandangnya remeh.

"Aku menunggu ibuku," jawab Tao, si Hantu.

"Aku kira kau dihukum."

Zitao menggeleng sambil memainkan rumbai rajutan syalnya. "Ibuku dipanggil Kepala Sekolah, dan katanya aku harus menunggu disini."

"Oh. Kudengar ibumu dipanggil Kepala Sekolah karena kau berbuat nakal!"

Tao membelalakkan matanya yang kecil. "Apa kesalahanku?"

Anak dengan rambut dicukur rapi didepannya menunjuk tepat di depan hidungnya. "Karena kau seperti hantu! Kau menakuti anak gadis di kelas kita saat pertama kali masuk sekolah!"

Tao menunduk. "Tapi aku bukan hantu."

"Yah lihat saja nanti." Anak itu melambaikan tangannya, tersenyum meremehkan lagi. "Aku ke kelas dulu ya!" lalu ia berlari meninggalkan Tao.

Lagi-lagi Tao kecil sendiri. Tapi tak apa, ia sudah biasa.

Kembali Tao berdiri di depan jendela, melihat keadaan diluar. Tao suka berdiri di depan jendela dan menjadi seorang pengamat daripada bermain lempar bola salju bersama teman-temannya. Kadang Tao juga menggambar sesuatu dengan jarinya di jendela kaca yang berembun.

"Tao?"

Tao menoleh. Ia tersenyum senang saat ibunya keluar dari ruangan kepala sekolah. "Mama!"

Tao kecil berlari ke arah ibunya, memeluknya erat. Namun Sang Ibu malah menangis.

"Mama, ada apa?"

Ibu Tao menghapus air matanya. Make-up yang ia pakai luntur dan ia menatap Tao dalam-dalam.

"Sayang," ibunya bergumam pelan. "Bagaimana kalau kita cari sekolah baru?"

Tao mengerjap. "Kenapa? Aku baru sekolah disini selama satu bulan. Kenapa aku harus pindah sekolah lagi?"

Ibu muda itu memeluk anaknya dengan erat, berusaha meredam tangisnya. "Kita akan cari sekolah yang lebih bagus."

"Apa aku di keluarkan dari sekolah karena aku tidak punya ayah?"

Tao tidak mendengar jawaban, hanya isak tangis yang sudah biasa masuk ke telinganya. Tao juga ingin menangis atas semua penolakan dunia terhadap keberadaannya, sama seperti ibunya yang selalu menangisi si 'Hantu Musim Salju' itu. Tapi, sebagai satu-satunya laki-laki dalam keluarga kecilnya, ia sudah berjanji dalam hati untuk selalu membuat ibunya bahagia. Ia akan berusaha menjadi putra terbaik di dunia untuk ibunya yang selalu dianggap murahan.

Jadi Tao hanya bisa tersenyum menyembunyikan kesedihannya. Ia elus punggung ibunya perlahan. "Mama, ayo, kita pulang. Tao baik-baik saja."

Di dekat jendela berembun, saat di luar tumpukan salju mulai menggunung, diiringi tangis pilu ibunya yang masih 23 tahun, Tao berbohong.

.

.

.

Mungkin, Kris Wu adalah salah satu anak laki-laki paling bahagia di dunia kala itu. Ia lahir di tengah keluarga kaya raya, ayahnya pejabat publik terkemuka dan ibunya sendiri seorang pensiunan model ternama yang akhirnya mendirikan butik dengan pasar internasional. Jangan kira kedua orang tuanya sangat acuh kepada putra-putranya seperti dalam serial drama, Kris selalu mendapat kasih sayang yang utuh dan apapun yang ia mau dari mereka. Bukankah hidupnya sangat sempurna?

Di umurnya yang ke empat, Kris dipindahkan ke Vancouver, Kanada, untuk pendidikan yang lebih layak. Vancouver disebut-sebut sebagai 'Hongkong versi Kanada' karena banyak etnis China yang bermukim di sana. Karena itu, selain pendidikannya, mayoritas penduduk juga menjadi suatu pemikiran matang Tuan dan Nyonya Wu untuk masa depan si anak.

Kris langsung menuruni anak tangga melingkar di rumah mewahnya ketika ia mendengar dering telepon, jauh lebih cepat daripada para maid yang ada di hampir setiap sudut ruangan.

"Dad!" ia menjerit.

"Wow," balas seseorang dari seberang. "Santai saja, Prince. Aku masih bisa mendengarmu dengan jelas."

"Apa Dad akan datang pada Natal kali ini?" Kris bertanya.

"Oh, tentu. Kau tahu? Aku sangat merindukanmu. Apa kabar ibumu, Prince?"

"Kenapa Dad menanyakan Mom dulu?" Kris mendengus. "Ia baik-baik saja."

"Apa salah jika aku menanyakan ibumu?"

"Dad bahkan tidak bertanya tentang keadaanku."

"Oh," ayahnya mengucapkan kata itu panjang. "Baiklah, apa kabarmu?"

"Kris benci Dad."

Ayahnya tertawa pelan. "Ayolah, jangan marah padaku."

"Dad juga tidak ke Vancouver saat ulang tahunku. Pasti Dad melupakannya. Tapi Dad selalu datang di ulang tahun Billy."

"Tidak," ayah Kris menyela pelan. "Mana mungkin aku melupakan ulang tahun anakku? Aku hanya sedang sibuk. Tapi aku pasti akan mengunjungimu Natal tahun ini."

"Dengan kostum Santa?"

"Kris Wu, apa Dad harus melakukannya lagi kali ini?"

Kris mengangguk sambil menjawab mantab, "Iya!"

"Baiklah, asal kau bahagia."

Kris tersenyum puas,

.

─Bahagia.

.

Bagi Kris kecil, bahagia memang begitu sederhana. Kris, Mom, dan Dad, adalah kebahagiaan untuknya.

.

.

.


Rasanya baru kali ini Tao bisa tidur dengan sangat nyaman sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya? Entah, ingatannya buram dan ia masih di ambang antar sadar dan tidur untuk berusaha mengingat. Tao memandang sekeliling kamar, yang seolah-olah berkata 'Kau tinggal disini sekarang'.

Kamar itu di cat biru langit dengan percikan cat putih gading, sepertinya memang disengaja seperti itu. Dengan daun pintu, sisi jendela kaca, dan langin-langit berwarna hijau muda, membuat Tao makin menyukainya karena warnanya yang lembut. Ranjangnya juga empuk walau sedikit kaku, mungkin baru dan jarang dipakai sebelumnya.

Tao mendengar suara pintu diketuk, jadi ia menoleh.

Mendapati kepala Kris menyembul dari balik daun pintu dengan topi merah Santa Claus dan janggut putih panjang yang tentu saja palsu, membuat Tao terkejut sekaligus merasa geli. "Selamat Natal!" pria baik hati itu menyeru dan tersenyum tipis. Tao bisa melihat itu dibalik rumbai-rumbai putih keriting yang menempel di rahang dan dagunya.

Benar, ini Natal.

Pasti orang-orang di luar sana juga bangun dengan hati tenang, lalu membuncah saat nada-nada ucapan Natal diucapkan satu sama lain. Pasti salju sedang turun pelan-pelan menyambut Natal yang hanya datang satu tahun sekali. Pasti setiap anak sudah tak sabar membuka kado Natal yang diletakkan di bawah cemara hias.

Tao, kapan terakhir kali kau menjumpai pagi Natal yang menyenangkan?

.

.

.

TBC


Comeback with FF chapter... Akhirnya bisa nulis chaptered lagi ._. Ngebagi waktunya agak sulit, memang... Apalagi haduh di SMA saya gila-gilaan -_- ngeluh lagi

Siapa sih author yang gamau FFnya gak laris manis dibaca? ._. Ngeennqqq

Jadi, siapapun yang 'mungkin' nunggu FF ini, dimohon bersabar ya... Doain saya ada waktu luang, itu aja kok.

Saya tahu FF ini banyak kekurangan, maaf ._.

Review saya tunggu... :)

.

Oh ya ini balesan review di Gyesu-namu... (Lupa ngasih tau, Gyesu-namu itu sequel FF What is LOVE? punya saya. Thx)

ByunnieKou : Makasih ya doanyaaa :3 Hehehe... Jangan mentok dong, saya harus bisa lebih dari ini ._. Thx for review ^^

ChanLoveBaek : Kalau FF ini selesai atau ada waktu lebih ChanBaek deh... Tapi sekarang ganti giliran ya :3 OTP saya mau maen/?/ dulu u,u Thx for review ^^

Hibiki Kuze : Chanyeol lah, dia yang nembak -_- Saya cewek '-' Thx for review ^^

SHY Fukuru : Haha gapapa kok. FF ini juga slight ChanBaek. Gatau deh kalo gaada CB gaenak ._. Gaada yang rusuh /? Thx for review ^^

ByunnaPark : Jempolnya doang? Orangnya juga dong, bisa buat kecengan /? Wkwkwk Thx for review ^^

ryeong9km : Kan hepi ending, kok nangis? '-' Kayaknya saya batalin orang puasa mulu ya? ._. Thx for review ^^

joonseo han : InsyaAllah yaaaa :3 Thx for review ^^

parKYeollie : Berhubung saya suka angst, kebawa sad ending terus ya kayaknya? .-. Entahlah hehehe... Thx for review ^^

Ichigo Squirrel : Jangan nangis T-T /kasih tissue/ Thx for review ^^

Gue c annonimous : Pasti adalah hubungannya sama beberapa kisah nyata, soalnya ini bukan fiction. Maaf kalau gak suka angst, saya memang cenderung lebih suka angst yang menyayat hati. *bow* Thx for review ^^

Stephen Wei : AKU GAK JAHAT PHEND ;-; YAUDAH KALO BILANG AKU JAHAT GAK AKU BIKININ CHANBAEK LAGI NIH u,u Ahli di semua bidang dong, masa angst doang -_- SERING SERING MAMPIR KE LAPAK YAAAA /terbar lope/ Gatau mau bikin FF gimana ._. Ntar judulnya kehidupan surga-dunia /?/ gitu? -" Thx for review :* beda emot wks

putchanC : Gak ah biasa aja ._. Thx for review ^^

AuroRain : Saya gapernah inget umur :') Thx for review ^^

ninuksaras : Hot mananya? ._. Thx for review ^^

.

Kayaknya cuma segitu aja deh cuap-cuap saya kali ini. Sekali lagi untuk kekurangan dan kesalahan pada chapter ini saya mohon maaf '-' Saya usahakan bisa update dua minggu sekali hehehe... Fighting!

.

Saranghaja

Jonanda Taw