Dislaimer : All hail to Kishimoto Masashi.
Summary : Ia liar. Ia memiliki warna merah. Ia tak pernah takut pada apapun. Ia benci manusia. Ini adalah kisah kami di masa lalu. Seorang penjelajah dan Kitsune no Hime.
Warning : AU, nature talks.
Didedikasikan untuk SasuSaku FanDay (SSFD)
.
.
.
Mononoke Hime © Hayao Miyazaki (Studio Ghibli)
Naruto © Kishimoto Masashi (Studio Pierrot)
.
.
.
The Fortress of God
by ceruleanday
January, 2012
one
the wild waltz
.
.
.
Dahulu, tanah landai itu adalah tanah milik para dewa. Dahulu. Dahulu sekali. Bahkan, hijaunya pepohonan bersama lembabnya tanah basah di atas hamparan embun adalah kepunyaan sang dewa. Para manusia hidup bergiliran menunggu usia yang tak bisa mencapai angka seribu tahun. Mereka menempati dataran-dataran yang diperbolehkan oleh para dewa untuk dihidupkan olehnya. Menggali benda-benda milik sang alam dengan bijaksana, menghidupi diri mereka dengan kerja keras berupa keringat serta peluh, dan bersama para dewa kuno membangun bumi.
Katakan dan sebut namanya. Ia adalah Rikudou Sannin. Entah ia adalah sesuatu atau seseorang. Tak ada satu pun manusia yang menjadi saksi mata akan kehadiran sosok bermaterialnya. Kepercayaan para tetua mengatakan sejelas-jelasnya di atas teks-teks kuno jika Rikudou Sannin adalah penguasa dari para penguasa. Hidup hanya bersama para pohon dan binatang di hutan nun jauh di sana. Tak ada yang tahu dan tak'kan pernah tahu. Mungkin ia adalah dewa, mungkin ia adalah penjaga bumi, bahkan mungkin ia adalah sosok raksasa yang selalu memberikan limpahan hasil alam yang tak kunjung habisnya.
Tapi, Tuhan berkata manusia tak'kan pernah puas dengan apa yang telah dan akan diperolehnya. Jika kepuasan adalah hal nomor satu yang sangat diutamakan, maka alam akan menderita. Ia sakit—alam telah jatuh. Para pohon tak lagi hijau. Hamparan danau dan air laut yang luas semakin menyempit. Tidak ada yang tahu meski pertanyaannya selalu sama—Kenapa? Saat manusia diminta oleh sang alam 'tuk menjawabnya, tentu jawaban mereka selalu sama.
'Kami lebih superior.'
Dan, manusia itu picik, kata alam. Entah hukuman apa yang akan diberikan sang alam pada manusia di kemudian hari.
Jika kau berkata ada sebuah cerita di masa lalu, maka kisah itu tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Sebab, kisah itu terlalu kuno. Ya. Mengenai dewa, pepohonan, binatang yang bisa berbicara, kesombongan manusia, kutukan, perang saudara, mantra-mantra jahat, dan lainnya. Dan, kisah itu bermula dari sebuah desa di pelosok bumi. Jauh—jauh sekali sepanjang mata memandang. Ya.
Desa itu hanya satu dari sekian desa yang dibangun dengan jerih payah manusia. Luasnya tak terkirakan. Pagar-pagar kayu dan batu mengelilingi batas desa. Dengan begitu, segala gangguan yang tak bisa diperkirakan sulit menembus dan memasuki desa. Konohagakure no Sato. Mereka menyebutnya demikian. Desa dengan tekad api. Menjadikan Kurama no Tengu sebagai dewa pelindung desa mereka. Lagi-lagi, tak ada yang tahu apakah sang dewa berwujud rubah dengan sembilan ekor itu benar-benar ada atau tidak. Namun, sangat jelas bagaimana penduduk desa itu selalu hidup bahagia meski di tengah-tengah musim salju seperti saat ini. Api yang hangat akan terus hidup bagai lentera merah yang tak pernah pudar meski telah melewati lebih dari ratusan kali musim salju. Patung sang dewa berdiri megah di tengah-tengah balai desa. Dan, di sekeliling sang dewa, puluhan bahkan ratusan obor emas bernyalakan api abadi menerangi dan menghangati desa itu.
Sebuah desa bernama Konohaguke no Sato. Desa dengan api abadi. Desa dengan sebuah keajaiban.
Hari itu adalah puncak musim dingin. Badai salju silih berganti mengaburkan pengelihatan. Segalanya terasa dingin, tentu saja. Para wanita dan anak-anak kembali ke rumah-rumah mereka jauh sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Yang tersisa di hari itu hanya pemuda-pemuda dan lelaki dewasa yang telah beristri. Mereka menunggu hingga istri-istri dan anak-anak mereka telah duduk nyaman di depan perapian. Menjaga hingga malam di puncak musim salju berubah tenang. Namun, malam itu terlalu berbeda.
Dukun desa merasakan hal ganjil. Ia segera memberitahukan kepada pimpinan desa mereka. Melalui roh nenek moyang yang berbicara, sang dukun mengungkapkan kebenaran akan tragedi dan kisah di malam itu. Sebuah malam yang akan mengubah nasib seorang pemuda keturunan Uchiha. Satu-satunya pemuda yang kini memegang perjanjian kuno dengan Kurama no Tengu sejak ia dilahirkan. Karena, pemuda itu akan menjadi host dari ruh yang disebut-sebut sebagai ruh dewa Kurama saat upacara api abadi—Eien no Hi. Tak lebih satu tahun dari saat ini.
Pemuda itu hanya mengedipkan mata beberapa kali kala para tetua desa duduk bersila mengelilinginya. Menjadikannya bagai terdakwa atas kesalahan publik yang amat berat. Namun, pemuda itu hanya menundukkan kepala dan duduk bersila pula. Kedua tangan menopang tubuhnya yang entah terasa lebih berat. Bahkan, ia tak pernah tahu mengapa api terasa membakar seluruh tubuhnya. Bagai kutukan yang mengintai dirinya—kemarahan dewa yang ditimpakan kepadanya.
"Biarkan aku melihat tanganmu, Tuanku."
Api. Api. Api.
Hanya hal itu saja yang terpikirkan dalam benak sang dukun. Suara gemuruh badai salju disertai gumaman para tetua semakin meyakinkan tanda kutukan yang mulai menyebar di tubuh sang Uchiha muda itu. Tidak biasanya dan tak pernah terjadi sebelumnya. Jika Kurama no Tengu telah benar-benar marah padanya—bukan—pada desa mereka, ini kah bentuk kutukan yang harus ditanggungnya. Pertanyaan pertama yang diajukan sang pemuda sangat sederhana tentunya.
"Apa yang harus saya lakukan, Chiyo-san?"
Sang dukun berdehem panjang. Ia hanya bisa mengolesi tanda kutukan bagai luka bakar di lengan bawah sang pemuda dengan salep herbal racikannya. Berharap rasa nyeri yang terus-menerus dirasakan sang pemuda sedikit berkurang. Chiyo—dukun berusia tujuh puluh delapan tahun itu mengangguk sekali. Menunjukkan wajah damainya beserta senyum tulus meski berkas keriput terlihat amat jelas di sana. Ia menundukkan wajah sementara tangannya masih sibuk mengolesi ramuan herbal. Sang pemuda Uchiha diam tak bergeming.
"Harus aku katakan sejujurnya pada Anda, Tuanku. Jelas ini adalah bentuk kemarahan dewa pada kita. Namun, karena perjanjian kuno yang telah melekat pada darah Anda membuat kemalangan itu harus ditumpahkan kepada Anda. Maafkan atas kebodohan kami."
Pemuda itu masih terdiam. Hanya meratapi berkas noda kehitaman yang terlihat semakin menyebar di lengan kanannya. Bermula dari luka kecil bagai tanda tomoe di tengkuknya dan penyebarannya semakin tak terkendali. Terkadang pula, ia bagai merasakan ada sesuatu yang lain yang berusaha menggantikan jiwanya. Sesuatu yang sangat jahat. Sesuatu yang benar-benar menakutkan. Jika ia terus membiarkan jiwanya termakan oleh kutukan itu, entah apa yang akan dilakukannya—hal terburuk adalah menghancurkan desa tempat ia dilahirkan dengan kedua tangannya. Seorang diri. Darah yang tak berdosa akan membasahi tubuhnya. Sama sekali bukan hal yang diinginkannya.
"Saya mendapatkan mimpi."
"Ah. Bolehkah kutahu mimpi apa itu, Tuanku? Tidakkah itu sebuah pertanda?"
Ia mengangguk, "mimpi akan sebuah perjalanan panjang menuju tanah para dewa. Samar-samar, saya bertemu dengan dewa dari semua dewa. Sang dewa itu sendiri—" Gemuruh suara bisik-bisik ribut kembali terdengar. "—Rikudou Sannin."
Suara itu bukan lagi gemuruh bisikan. Bahkan, telah menjadi keributan verbal yang tak berdasar. Sebuah omong kosong telah diutarakan tanpa intonasi oleh seorang pemuda berusia delapan belas tahun—yang jelas-jelas tak punya pengalaman spiritual dalam hal pertemuan antar dua dunia yang berbeda. Mereka berkata pengalaman itu hanya milik para tetua yang telah begitu dekat dan mendedikasikan diri mereka untuk pada dewa. Sangat salah bagi mereka jika pernyataan bualan mengenai Rikudou Sannin, terlebih menemuinya dalam mimpi dikisahkan oleh pemuda ingusan semacam Uchiha Sasuke. Lagipula, tak ada yang benar-benar tahu rupa dan wujud Rikudou Sannin. Lonjakan keterkejutan mendasari pertanyaan salah satu tetua.
"Dari mana kau yakin jika yang kau lihat itu benar-benar Rikudou Sannin?" tanya satu dari mereka yang kemudian disertai iringan keraguan dari lainnya. Chiyo meminta ketenangan itu kembali seperti semula.
Sang dukun mengangkat tangannya ke atas. Menghentikan secara mengejutkan keributan itu. Menyunggingkan senyum tulus dan menenangkan pada sang pemuda yang begitu jujur. Ia menepuk pundak pemuda itu perlahan, membuat sang Uchiha muda itu mengangkat wajahnya.
"Boleh kutahu kapan Anda mendapatkan mimpi itu, Tuanku?"
"Sebelum tanda kutukan itu muncul, Chiyo-san. Jauh sebelum musim salju tak biasa ini menyerang desa kita." jawab sang pemuda tanpa mengedipkan mata. "Saya mungkin tak pernah melihat rupa sebenarnya sang dewa dari para dewa. Tetapi, sebuah bisikan berkata kepada saya. Rikudou Sannin, Rikudou Sannin, Rikudou Sannin... itu adalah dua kata yang masih terngiang jelas selama dan setelah mimpi itu datang kepada saya."
Kepala sang dukun terantuk-antuk. Ia tak pernah sekali pun menyanggah dan menyangkal jawaban demi jawaban yang diutarakan Uchiha muda ini. Sorot matanya semakin melembut dan ia kembali memerhatikan diagram kuno bersama beberapa buah kerikil yang digambarnya di atas batu besar. Ia mengumpulkan kerikil-kerikil itu dan merapalkan mantra kuno. Menyebarkan kembali secara acak semua kerikil di atas diagram. Hanya senyum yang ditunjukkannya pada Sasuke.
"Batu-batu ini telah memberikan jawaban. Malam ini, Tuanku. Malam ini. Lakukanlah perjalanan itu. Perjalanan yang telah tergambar jelas melalui mimpi Anda. Sang dewa masih memberikan kita kesempatan tuk mengubah kutukan ini. Ya. Aku sangat yakin akan hal itu." jawab sang dukun sembari membungkus kembali lengan sang Uchiha muda perlahan-lahan. "Anda hanya punya waktu sebelum matahari kembali terlihat lagi di perbatasan esok pagi. Dalam kata lain—"
Pemuda itu memotong, "saya akan pergi malam ini juga." Begitu ia mengatakannya tanpa keragu-raguan.
Tak peduli pada ribut-ribut dan bisikan menyindir dan terkejut lainnya, pemuda itu lekas berdiri dari pose bersila. Ia menjatuhkan kedua lengannya dan bersiap meninggalkan kuil rahasia milik klan Uchiha itu. Kuil yang kini tak hanya para Uchiha murni saja yang diperbolehkan masuk, tetapi semua warga Konohagakure no Sato yang memilik hubungan kekeluargaan dengan klan istimewa itu juga berhak.
Tubuh pemuda itu jauh lebih berat dari biasanya. Jika ia bisa menjauh dari desa itu secepat mungkin, persentase ia tuk bisa mencapai destinasi akhir dari perjalanan berdasar perintah mimpi itu akan lebih tinggi. Bahkan mungkin, nyeri terbakar yang terasa di sekujur lengannya bisa sedikit berkurang. Telapak tangannya yang telah terkena satu noda kutukan menggenggam salju yang turun dari langit. Rasanya dingin. Dan, ia tersenyum sedih.
"Selamat tinggal, Konoha."
Bisikan itu terdengar jauh lebih lirih dari lagu pengantar kematian. Dari kejauhan, hanya doa yang mampu diberikan oleh sang dukun. Ya.
"Semoga Anda selalu diberi perlindungan, Tuanku."
Tak ada kata selamat tinggal dan sapaan hangat yang diberikan oleh orang-orang di malam itu. Hanya kesunyian dan rasa dingin menusuk tulang. Tak ada yang tahu jika seorang pahlawan tengah berjuang memohon pengampunan pada dewa yang tengah marah saat ini. Jejak-jejak kakinya telah hilang oleh badai salju. Hawa keberadaannya tak lagi terasa di manapun. Meski tak hidup seorang diri di desa api itu, ia tak ingin melihat wajah sedih ibunya. Sudah cukup kesedihan atas kehilangan anak lelaki sulungnya di medan perang beberapa tahun lalu. Demi desa yang telah membesarkan diri dan klannya, perjalanan itu sudah menjadi tanggung jawabnya—begitu ia memahami dirinya semenjak dilahirkan. Dan, ia hanya terlalu penasaran akan alasan mengapa sang dewa yang mereka selalu agungkan kini menimpakan kutukan seberat itu padanya—desanya.
Lagi-lagi, pertanyaan kenapa tengah berbalik menyerang manusia itu sendiri. Ya. Alam telah berbicara, temanku.
Obor-obor api menerangi desa Konohagakure no Sato. Masih mengobarkan panasnya api abadi miliknya meski dari jarak yang begitu jauh. Sembari menuntun langkah kuda kesayangannya, pemuda itu mengelilingi sekeliling patung Kurama no Tengu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Berbekal mantel yang cukup hangat beserta sekarung kecil persediaan makanan dan uang, ia siap memulai perjalanan spiritual pertamanya. Ah, jika bisa disebut dengan istilah demikian.
"...suke!"
"...suke!"
Samar-samar, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Saat berbalik, ia mendapatkan Shion—gadis kecil yang diasuh sejak bayi oleh pemimpin desa mereka tengah berlari ke arahnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Sasuke menghentikan langkahnya. "Bukankah tidak ada yang boleh tahu aku akan pergi malam ini. Di luar sangat dingin, kembalilah ke rumahmu, Shion."
"A-ah. Maafkan aku. Aku hanya... umm, ini!" seru si gadis berambut pirang itu dengan kedua tangan tertodong ke arah Sasuke. "Sebagai jimat pelindung! Se-semoga perjalananmu akan baik-baik saja. Dan... bawalah berita baik untuk desa ini, Sasuke-san. Terutama akan kondisi tubuhmu." Lanjutnya. Terlihat jelas bagaimana lirikan matanya tertuju pada telapak tangan Sasuke yang memegang pelana kuda miliknya. Karena tak ada inisiatif sama sekali dari pemuda itu untuk menerima jimat dari si gadis, Shion menarik paksa tangan Sasuke. "Semoga jimat ini turut berperan banyak agar kutukan Sasuke-san bisa segera hilang."
"Hn. Terima kasih, Shion."
Rona merah menyembul di kedua pipi gadis manis itu. Ia segera melangkah mundur saat Sasuke bersiap menaiki kuda kesayangannya—Taka. Jimat itu telah tersimpan baik di dalam pakaiannya. Ia berharap tuk tetap hidup hingga akhir perjalannya kelak. Sebuah anggukan menjadi salam perpisahan pemuda itu pada Shion. Detik berikutnya, hanya bunyi derap langkah kuda perang yang terdengar kian mengabur oleh badai salju. Bahkan, gemuruhnya telah menutupi berkas jejak-jejak kaki mereka.
Konohagakure no Sato adalah desa api. Dengan tekad api, mereka membangun segalanya. Kini, mereka telah kehilangan seorang pemuda yang terlahir dari darah Uchiha. Kutukan itu telah mengubah takdir bahagia mereka. Satu-satunya cara hanya dengan bertanya pada sang empunya alam itu sendiri. Jika alam meminta nyawa, sungguh tidak terlalu bijaksana membiarkan pemuda itu jatuh pada kemalangan yang diturunkan kepadanya sejak lahir.
Di saat itu pula, perputaran nasib dan takdir miliknya—sang Uchiha—telah berubah.
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
A/N : Berharap fic ini bisa saya selesaikan sebelum tanggal 20 Februari. Haha. (dor).
Fic ini masih mengambil potongan canon dari kisah asli di anime/manga. Tetapi, di fic ini, Rikudou Sannin adalah dewa dari segala dewa—selayaknya pemilik para bijuu. Para bijuu adalah dewa di sini. Dan desa Konoha versi fic ini menjadikan Kurama (Kyuubi) sebagai dewa mereka. Begitu pula mengenai curse mark Sasuke sama dengan yang digambarkan di anime/manga. =)
