Hallo, akhirnya bisa kembali ke fandom ini.

Cerita fic ini tentang kehidupan Near setelah dia berhasil mengalahkan Light aka Kira. Dalam kebosanan tak terbendung sebab menyelesaikan kasus-kasus yang terlalu mudah. Teman sekaligus rivalnya tiba-tiba datang dari dunia misterius. Memberinya kejutan tanpa makna.

Pairing : Near X Mello X OC

Warning

Semi OOC, Typo minta tolong dikoreksi aja kalau ada

Desclaimer: Death note selalu milik Tsugumi Ohba dan Takeshi Obahta

Fic ini dibuat bersumber dari manganya bukan animenya lho!


"Permintaan"

.

.

Pendulum telah berputar sebagaimana mestinya, tanpa melewati batas arus. Dunia kembali dalam tatanan normal setelah sang Dewa berhasil dibinasakan. Seorang pemuda albino menyusun potongan puzzle dan berhasil membuatnya sempurna dalam hitungan detik. Terlalu membosankan hingga dia berniat menghancurkannya lagi. Selama ini belum pernah ada kasus sehebat milik Kira. Perampokan, korupsi, pemerkosaan, pembunuhan dan hal-hal bodoh lainnya sudah terlampau ringan untuk mengembangkan analisa bagi manusia penganut faham intelegensi super.

Ruangan besar dan penuh mainan tercecer. Dadu-dadu menumpuk delapan tingkat, action figure yang modelnya hampir sama dengan Ryuk, kotak papan permainan abad ke-21, dan tentu saja itu semua hanya barang-barang mati untuk menghibur kejenuhan Near. Melirik di sekitar tumpukan berkas-berkas dosa, muncul surat tanda peresmian pembubaran SPK yang baru saja diserahkan oleh Anthony Rester tujuh jam yang lalu. SPK sekarang hanya menjadi nama dan Kira masih tetap melegenda. Point-point itu tidak terlalu diperdulikan olehnya. Cukup saat ini, Dua buah bola mata berwarna abu-abu terlalu hanyut dalam foto yang terselip diantara lembaran buku memory milik Wammy. Potret bocah berwajah arogan dan ambisius, melancarkan pandangan mata memusuhi.

Sahabat sama dengan rival. Otak cerdas Near mengartikan kiasan kata dari wujud sikap Mello. "Lawan yang harus dikalahkan jika kau tidak ingin menjadi pecundang" Integritas Mello telah membawanya ke dalam dilematika sulit untuk terus menggapnya sebagai sahabat.

Near terlalu terpengaruh oleh suasana sesaat sampai tiba-tiba bayangan magis berdiri tegak di belakang punggung. Seperti sebuah ilusi datar yang mengembung di ingatan manusia, dia menjamahmu untuk pergi melewati masa lalu. Mengenang bentuknya, merasakan emosinya dan menertawakan kelemahanmu. Mereka mengatakan itu gila.

Bayangan Mello terlihat sama ketika dia masih berumur sepuluh tahun. Rambut pirang sebahu dan iris mata biru menjadi senjata utama untuk menggoda Near. Mengeluarkan si bocah albino dari tempat persembunyian. Menyuruhnya pergi untuk melihat intensitas dunia agar tidak tertinggal amat jauh. Mello bersedia menoleh ke bawah, menghampiri dan memegangi pundak Near. Mengingatkan satu hal tentang balas budi.

"Hantu?"

Bayangan itu dingin, merusak logika. Tawa masih tersikap dan Near hanya memandangnya kaku. Dia tak mencoba pergi mencari pertolongan. Ruang dan waktu menjadi milik mereka saja. Saling mengontak tubuh masing-masing, saling menjaga keseimbangan agar perasan tidak langsung mempengaruhi pikiran.

"Kenapa kau datang kemari?"

Mello terkekeh di belakang. Memandangi punggung bongkok Near. Rambut putih ikal menghiasi wajah kekanak-kanakannya. Tanpa terasa kini usianya sudah menginjak sembilanbelas tahun. Dulu dia seorang bocah pendiam, sering memendam masalah. Takut melihat dunia luar dan asing terhadap dirinya sendiri.

Near mendesah pelan, mencari obyek di dekatnya. Tampak kursi busa mewah menyendiri di samping lemari besar tua. Sudah lama dia ingin duduk disana dan akhirnya keinginan itu terkabul. Bayangan magis mengikutinya ketika Near merasa nyaman untuk duduk dengan menaikkan sebelah kaki kirinya ke atas. Merasakan bantalan empuk dari kursi melalui tubuh kurusnya. Jari-jari menggulung helai rambut menjadi salah satu ciri khas-nya, lalu senyum yang sedikit angkuh meleleh di bibir.

"Terakhir kali kau menodongkan pistol di kepalaku. Sekarang apa maumu?"

Sahabatnya itu hanya tersenyum memikat. Menunggu ritme yang tepat untuk melancarkan aksinya, yaitu memperdayai jubah kepahitan milik Near. Asumsi dasarnya sebagai yang kedua berimbas pada pemahaman antara satu sama lain. Mello tahu tentangnya lebih dari 'siapapun' bahkan mungkin melebihi L ataupun Roger.

Near memalingkan pandangan ke arah monitor-monitor yang terpasang cukup banyak di tembok ruangan. Data terbaru masuk dikirim oleh Wammy berisi file-file dan serangkain abjad daftar nama calon tersangka pengeboman di Istanbul. Menyelidikinya sebentar dan melakukan quick call kepada anggota FBI yang bertugas di nama samaran berbentuk 'L' besar dia menerangkan metode singkat hingga sampai pada titik kesimpulan logis. Beberapa jam kemudian para teroris sudah berhasil ditangkap sebelum dia berhasil melakukan rencana keduanya.

"Menyelesaikan satu puzzle itu sangat mudah bukan!" Near menghayati porsinya menjadi pahlawan di era baru. Tanpa perlu otot-otot kekar dan kemampuan fisik di atas rata-rata. Semuanya bisa ditangani dari balik layar. Sedikit bukti, profiling, latar belakang dan tentunya permainan otak maka kabut gelap dapat secepatnya terungkap.

"Tolong aku Near!" Bayangan magis mulai menanggalkan kesan misterius dan merubahnya menjadi raut wajah memohon. Membuat rasa iba di dalam pemuda berambut putih. Lalu tanpa sadar dia sudah meninggalkan tempat duduknya. Berdiri mendekatinya hingga jarak mereka cukup rapat, Near lebih tinggi satu jengkal. Menaruh telapak tangannya di atas rambut emas bayangan itu.

"Apa yang bisa kubantu?" Kata Near singkat.

"Tidurlah sejenak! Maka kau akan tahu."

Seperti sudah terhipnotis oleh suara kutukan. Dalam sekejap Near membaringkan tubuhnya ke atas lantai. Merasakan dinginnya serupa peti mati. Dia sudah berada di alam lain dalam beberapa saat.

######

Rumah kecil itu bergaya Renaissance dengan dua atap menghadap ke arah Gereja di depannya. Ruangan di lantai dua berupa gudang tempat menyimpan senjata seperti sabit, rifle klasik dan pisau dagger. Berjarak sepuluh meter di sebelah gudang adalah kamar anak gadis dari pemilik rumah.

Alberta Josepin Candral menaruh selimut hangat di tubuh seorang pemuda yang tidur di ranjangnya. Pemuda dengan luka-luka disekitar tubuh. Lebam diwajah dan memar dibagian lengan kanan cukup parah. Gadis itu sudah menolongnya dengan mengompreskan air dingin serta mengolesi minyak tenore disekitar luka. Memandangi wajah tampan si pemuda membuatnya teringat kepada kakak tertuanya yang direkrut secara paksa menjadi anggota militer untuk ikut serta dalam perang dunia kedua.

"Ukh."

Si pemuda membuka mata, menggeliat kesakitan serta memegangi lengan kananya yang terluka. Iris mata abu-abunya mengobservasi keadaan asing disekitar ruangan. Dinding-dinding hampa tanpa pigura. Hiasan bunga mati menimbulkan kesan sunyi tanpa batas, rajutan baju musim dingin yang belum selesai, jendela tertutup rapat oleh papan kayu dan seorang gadis remaja berwajah seindah bintang Canopus.

"Jangan bergerak dulu! Lukamu masih belum pulih."

Sambil menaruh telapak tangannya di kening si pemuda dan mengoreksi suhu badan normal. Alberta membenamkan diri dalam suasana romantis mirip film drama hitam putih yang sering ditontonnya di teater pusat kota. Sementara si pemuda menundukkan kepalanya ringkih menahan perasaan malu.

"Demammu sudah turun, kau bisa makan sup kacang polong ini sekarang."

"Tempat apa ini?" Si pemuda tampak belum terbiasa dengan keadaan barunya, terlebih lagi semuanya berada dalam lingkup di luar nalar. Logika menghilang, bukti-bukti redup, dan hipotesa telah pergi jauh ke nirwana. Ingatan di otak adalah ucapan terakhir dari bayangan magis Mello ketika meminta pertolongannya.

"Ehm,- Kau berada di kota terlarang. Aku dan ayah menemukanmu di bawah tebing, kau pingsan dan penuh luka. Kami mengira kau baru saja diserang oleh Iblis merah lalu kami memutuskan untuk membawamu ke rumah."

Suara renyah Alberta mengirim sinyal kebingungan di benak si pemuda. Selama ini dia selalu tenang bahkan ketika nyawanya hampir menghilang untuk mengungkap kedok dari makhluk yang mengaku sebagai pengatur nyawa manusia.

"Siapa namamu?"

Si pemuda diam, berjibaku dengan pikirannya sendiri. Alur maju-mundur diproyeksikan ke dalam kotak permainan. Merangkaikan setiap keping agar bisa dikatakan logis. Membedakan campuran antara dunia realistis dan imajinasi.

"Tolong biarkan aku berpikir sejenak!"

Gadis itu menyugingkan bibirnya, memasang wajah sedikit kesal. " Wah-wah,- kau benar-benar tidak sopan. Aku sudah menolongmu jadi setidak perkenalkanlah dirimu! Namaku Alberta Josepin Candral tapi kau bisa memanggilku Alberta."

"Yah, aku Near, sudah cukupkan. Sekarang kau bisa diam sebentar!"

Belum puas dengan jawaban si pemuda, Alberta mendaratkan satu pukulan kecil ke lengan kanan Near. Menyebabkannya mengejang kesakitan.

"Kau aneh, tadi kau menolongku tapi sekarang malah menyakitiku." Near mendelik sembari memegang lengan kananya yang sakit.

"Ini hukuman untuk orang kurang sopan sepertimu." Kata Alberta kesal.

Bait-bait lirik dari lagu perkenalan masuk. Near sudah merasa cukup rileks. 'Gejala skizofrenia' dia menggugahnya dalam bentuk analisa untuk menyatakan bahwa dirinya telah menderita penyakit semacam itu. Kemudian dia ingin segera bangun dan memberitahu Wammy jika perlu menyiapkan seorang pengganti dalam waktu dekat.

"Mungkin aku pelu menunggu sebentar dan menikmatinya." Near memahami dampak dari penyakit. Dia menganggapnya wajar karena melihat pola hidup dan pekerjaannya yang selalu berhubungan dengan para psikopat. Namun ini masih terlalu cepat, untuk sementara dia hanya bisa mempercayai analisa sederhana di pikirannya. Mengikuti pelan ke mana sebenarnya ini akan berakhir. Hingga lamunannya tersungkur di salah satu pelosok terkecil berupa kenyataan pahit yang harus diterima. "Ini akhir dari seorang Nate River," Batinnya.

Alberta melirik wajah Near lalu mendaratkan pukulan ringannya lagi. Namun kali ini si pemuda albino tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia hanya diam seperti mayat dan gadis itu sedikit bergidik melihatnya.

"Pukulan ini terasa sakit, apakah penyakitku sudah komplek?" Near berkata dalam hati.

"Tunggu!" Pemuda pemilik kulit pucat itu tiba-tiba teringat sesuatu. "Miss Alberta tolong pukul lenganku sekali lagi tapi agak lebih kuat!"

Sekarang gadis itu merasa agak ganjil. Namun melihat wajah Near yang sepertinya berharap maka dia tak kuasa menolaknya. Pukulan lebih kuat melayang di lengan kanan, menghasilkan suara sedikit berteriak. "Aneh ini sangat sakit, dia hanya tokoh ilusi yang tercipta dalam pikiranku namun pukulannya terasa nyata atau ada gelaja lain yang belum kumengerti." Near masih mengindikasi hingga gerakan tidak senonoh dia lakukan.

Lima jari kurus berwarna pucat menyentuh bagian tubuh sensitif milik seorang wanita. Alberta hanya bisa diam sesaat ketika Near menjamahi titik-titik kenyal miliknya. Gadis berusia enambelas tahun itu tersentak merasakan sensasi baru untuk pertamakali dari sentuhan seorang pria. Dia terbang ke langit dan melihat kedua bola mata abu-abu menepis semua situasi normal. Raut wajah datar pemuda itu membuatnya sadar jika perlakuannya hanya sebatas mencari kebenaran dalam pemikiran liar tanpa wujud kenikmatan. Tapi kehormatan wanita bukanlah alat mencari bukti. Tepisan kuat melepaskan jari kotornya.

"Apa-apaan kau ini!" Rasa gelisah masih ada. Rembesan air menggenangi sudut kelopak mata.

sikap menyesal muncul.

"Kau nyata?"

Menyakitkan jika seseorang menggapmu ilusi. Alberta memilih diam.

Near bangkit dari ranjang. Menahan rasa sakit ditubuhnya, mengeluarkan sedikit tenaga yang tersisa. Dia mengambil kursi dan berniat melemparkannya ke jendela. Tapi dengan sigap, Alberta mencegahnya.

"JANGAN LAKUKAN ITU!"

Satu sampai dua langkah gerakan berhasil dihentikan, Near bisa mengendalikan kekalutan.

"Aku ingin melihat ke luar, jika kau benar-benar ilusi maka aku harus segera pergi dari sini." Perkataan Near dibalas dengan tatapan mata ambigu dari Alberta. Satu sisi ketakutan dan lainnya rasa kasihan. Dia hampir melupakan kejadian diantara mereka tadi.

"Tapi itu tidak bisa, kita harus menunggu sampai perayaan ke tujuh."

"Maksudmu?" Near menaikkan volume suaranya.

"Kau ingatkan tentang iblis merah yang kubicarakan tadi. Setiap sepuluh tahun sekali dia bangkit lalu mendatangi kota ini. Satu hari membunuh dua sampai tiga keluarga sebagai persembahan. Hal itu berlangsung selama tujuh hari. Namun setelah itu dia akan menghilang dari kota." Alberta menurunkan kursi dari pegangan tangan Near lalu menyuruhnya duduk di tepian tempat tidur.

"Ini sudah hari ke berapa?" Near selalu menghindari argumen tidak masuk akal. Tapi saat ini dia sudah terjebak dalam nuansa itu.

"Hari ke tiga! Empat keluarga, limabelas orang mati. Kami semua ketakutan." Alberta menjelaskan detail tanpa menutupi raut kesedihan di wajahnya.

"Dimana ayahmu?" Tanyanya lagi.

"Lantai bawah, dia sedang frustasi. Ayahku pendeta dan sekarang orang-orang yang meninggal belum mendapat penyucian. Roh-roh tersesat, ayahku dihantui oleh mereka." Ujarnya.

Sebelum Near melanjutkan diskusinya dari luar terdengar gerombolan suara langkah kaki berhamburan. Memekik ganas mencari tumbal. Para penduduk sepakat mendatangi rumah keluarga Candral. Tangan mereka haus darah. Sabit diayun-ayunkan ke atas, batu-batu besar dipegang erat di telapak tangan dan beberapa orang memegang senapan.

"CANDRAL, CEPATLAH KELUAR BAIK-BAIK! Atau kami juga akan membunuh anak gadismu."

Alberta mengintip melalui lubang kecil di jendela yang tertutup papan kayu, Near mengikutinya di samping. Bola matanya membulat seketika melihat wajah menakutkan para penduduk. Laki-laki memegang senjata dengan aura buas siap membunuh, sedangkan perempuan menangis dan berteriak penuh pilu.

Sepuluh detik berlalu, merasa tidak ada jawaban dari pemilik rumah raut wajah penduduk bertambah geram, iblis merah mungkin telah menguasai jiwa. Dalam dinginnya amarah mereka menerjang pintu masuk. Pria bertubuh paling besar mengandalkan kekuatan ototnya untuk mendobrak. Daging bersentuhan dengan papan pintu yang tebal. Dalam beberapa kali tekanan berhasil merobohkan pintu.

"Ayo kita bunuh saja semua orang di rumah ini!" Gereja menjadi saksi kebrutalan manusia.

Dorr...dorr...dorr

Suara letusan senapan tiga kali. Alberta menahan tangisannya, Near tetap tenang memikirkan cara menyelamatkan nyawa mereka. Mengamati benda-benda yang bisa dipakai untuk melarikan diri. Namun waktu semakin sempit, suara langkah kaki bergumul melewati tangga. Satu, dua, tiga, empat hingga hampir memasuki pijakan terakhir. Near masih saja bermain dengan pikirannya.

######

"Bagaimana tidak terlalu membosankan khan?" Bayangan magis Mello tertawa riang meliuk-liuk di atas tubuh kurus pemuda albino. Membuatnya lebih mistis dari sebelumnya.

Near bangkit dari atas lantai. Mengucek mata sebentar lalu menatap jam dinding di dekat rak penyimpanan berkas. Pukul enam malam dan sekitar satu jam dia tertidur. Ruangan masih sepi, mainan berserakan, puzzle, cokelat, kepingan cd player berisi lagu-lagu pengantar tidur, semuanya menambah rasa suram.

"Apa maksudnya tadi?" Baru kali ini Near terdengar marah, bingung membedakan kenyataan. Bayangan Mello masih tertawa menikmati pertunjukan dari sahabat baiknya.

"Kau bilang ingin menolongku."

"Yah, Jika kau juga nyata." Near menunjukkan raut wajah semula dan tubuh membungkuk.

"Lawan aku untuk terakhir kalinya!" Mello sudah duduk di atas lemari tua sambil menendang-nendang tumitnya menimbulkan suara berisik.

"Aku tidak ingin mengikuti permainanmu." Jawab Near.

"PENGECUT" Mello memekik marah, ingin meninju wajah Near namun tidak bisa. "Lebih baik kita tentukan sekarang siapa yang lebih hebat."

"Oh, ini tujuanmu sebenarnya." Near menguasai keadaan, menoleh ke arah bayangan magis yang menipis.

"Tolong Near! Ini permintaan terakhirku, aku tidak bisa kemana-mana sebelum terkabul. Pergi ke surga atau neraka, jalanku buntu." Suara Mello memelas mengurangi kewibawaan di sarafnya.

"Jadi aku hanya perlu menang?" Mendengar ucapannya bayangan magis kembali berwarna pekat.

"Tidak, kau ikuti saja semuanya maka akan menolongku. Bosankan, ini semenegangkan kasus Kira tapi sedikit lebih baik karena kau memulainya dari awal bukan warisan L." Near tercengang mendengar kalimat terakhir.

Bayangan magis Mello terbang mengitari ruangan. Beberapa saat berhenti sejenak di salah satu tempat karena benda yang menarik perhatiannya. Sebatang coklat almond masih baru, tertutup rapi dalam kemasan dan belum terdapat bekas gigitan. Mello mencoba meraihnya berkali-kali namun gagal. Tubuh transparan telah menertawakan dirinya sendiri.

"Kau tadi sudah kalah, tidak ada cara melarikan diri." Katanya.

"Tentu saja" Near menanggapi perkataan Mello.

"Maka kita bisa mulai lagi dengan cara lain, tapi ingatlah jika yang kau lakukan ini benar-benar akan menolongku."

"Terserah."

######

"Near... Near!" Telinganya mendengar suara milik gadis tadi. Lebih ketakutan dan histeris. Meringkuk di dekapannya seolah pemuda itu merupakan pelindung. "Kenapa kau melamun?" Alberta memandanginya kosong untuk waktu sekian.

Sudah berubah, sekarang dia berada di tempat agak luas dibanding kamar seorang gadis. Namun hawa diruangan tercium amat busuk. Near sempat menutup lubang hidungnya. Melihat-lihat sebentar dan yakin jika dirinya berada di gudang. Senjata lama berjajar rapi disimpan di satu kotak yang terbuat dari baja, senapan rifle menggantung di tembok.

Di luar masih ribut, langkah-langkah kaki dan raungan jelek dari manusia pendosa. Bau anyir darah merembes bersamaan dengan tiupan angin. Ratapan pilu bergema semakin kokoh lalu pergi menuju target selanjutnya. Pijakan tangga satu per satu mengutuki mereka, menangis dalam kekacauan.

Alberta melepaskan diri dari dekapan Near ketika dia menanyakan perihal penduduk yang berubah menjadi ganas serta membabi buta ingin membunuh tuan Candral. Gadis itu hanya menjawabnya dengan seringai penuh arti. Kemudian tangannya merogoh ke suatu tempat tersembunyi di balik saku celananya, mengambil benda semacam kunci menyerupai artefak kuno berbentuk tulang. Dengan tangkas Alberta mengutak-atik gembok yang menyegel kotak baja penyimpan senjata menggunakan kunci tadi. Sekejap kotak terbuka dan dia langsung menggambil sepasang pisau dagger dari dalam. Caranya memegang pisau layaknya seorang pembunuh profesional.

Pintu gudang terbuka, empat orang laki-laki memegang senapan, melalui gerakan cepat menodongkannya ke ruangan. Mata mereka terperanjat oleh sekelebat bayangan gesit dari samping, lebih gila, lebih ganas dan lebih mendominasi. Dengan mudahnya leher teriris oleh tajamnya pisau, meneteskan darah kental serta amis. Mereka tewas seketika.

Sedangkan Near terpana dari posisinya, tubuhnya kaku, bulu kuduk terangkat naik,. perutnya juga terasa mual. Sesuatu mendesak keluar dari lambungnya, cairan hangat meleleh keluar dan berbau cukup wajar. Si pemuda albino menenangkan dirinya, mengambil pistol rifle yang menggantung. Oh,- inikah namanya permainan, mungkin sesaat lagi dia juga menjadi pembunuh. Ironis karena selama ini dia cuma berperan sebagai seorang pemecah masalah.

"Jangan diam di situ saja! Kau Laki-laki." Alberta bermandikan darah segar, merefleksikan dirinya sendiri menjadi iblis merah. Near mengikuti dari belakang, kali ini otaknya tidak mampu bekerja secara maksimal. Lima meter mereka berhasil melangkahkan kaki dari gudang. Tiga orang menyergap, tangan mereka membawa sabit, tapi satu orang mengenggam batu.

Arena pertarungan cukup sempit, Alberta tetap bergerak dengan lincah. Sibuk melawan dua orang dan lupa memperhatikan kondisi temannya. Near seperti bayi yang sangat lemah dalam adu fisik, seorang memukulnya dari samping. Membuatnya terjungkal ke lantai, rifle menjauh dari tangan. Belum sempat dia melawan, wajahnya sudah terbenam oleh pukulan bertubi-tubi. Menusuk kesakitan sampai ngilu di wajah. Api neraka membakar amarah para penduduk, ketakutan menguasai hati yang rapuh. Near merasakannya lewat kepalan tangan tanpa perlawanan.

Si pemuda melakukan pergumulan hebat, kurang daya, kalah total. Sebersit wajah konyol Ryuk membekas, sebongkah batu datang ke daerah vital, hampir membungkam kemampuan otaknya. Meleset atau lebih tepatnya Alberta berhasil melibasnya dari belakang. Pisau dagger menancap di tengkuk sampai menembus rongga mulut. Near terhindar dari kematian, perjalanan semu.

Alberta mengulurkan tangannya, membantu Near bangkit dari jatuhnya. Masih menahan kesakitan dia berdiri. "Masih banyak, kita kalah." Alberta membisikkan kata-kata putus asa di telinga Near.

"Apa kau punya rencana jika kita bisa keluar dari tempat ini?"

"YA."

"Apa?"

"Menemui temanku, dia orang paling kupercaya di kota ini." Near kurang yakin dengan ide itu. Dia bidak catur yang dikendalikan oleh makhluk tak bertanggung jawab. Semua hal masih buram.

"Kejadian ini berhubungan dengan iblis merah?" Near menyelidik, memutar-mutar helai rambutnya.

"Hanya temanku yang bisa menolong kita, dia jenius."

"Benarkah?"
"Namanya Mihael Keehl, orang yang sangat berkompeten."

Dia terus memutar-mutar helai rambutnya, sementara lima orang menyerang. Near diam, dia menyadari kotak permainan. Teror berlangsung kilat, lima orang di bantai layaknya persembahan bagi iblis. Alberta adalah Malaikat, pembunuh, atau alat yang diciptakan untuk menghubungkannya dengan sang kreator. Tubuhnya membungkuk di lantai, melakukan ritual khasnya. Seringai tajam melengkung.

"Habisi dulu mereka semua! Kemampuanmu lebih dari ini, iya-kan Alberta."

Gadis itu mengangkat kedua pasang pisau di tangannya. Memainkan musik pembantaian, terasa sedingin wajah Near.

.

.

.

Bersambung


Terima kasih banyak terhadap pembaca yang sempat mampir dan membaca fic ini.

O,iya saya juga minta saran kalau rated di fic ini pelu diganti.

Kritik, kritik pedas, saran, semuanya saya terima.

Salam.