Quit Playing Games With My Heart

Naruto © Masashi Kishimoto

Story by C.M.A


KEDIAMAN KELUARGA SABAKU

Gaara menggosok matanya dengan satu kepalan tangan. Aroma masakan yang menyapa hidungnya sangat mengganggu hingga Gaara akhirnya meninggalkan ranjangnya dan melangkahkan kakinya ke dapur—tempat aroma itu berasal.

"Ohayou Gaara-chan." Sapa Temari yang sedang mengaduk sesuatu di atas teflon. Apron merah dengan gambar bunga-bunga menutupi seragam sekolahnya. Beberapa piring lauk yang telah matang tersuguh di atas meja makan. Gaara membalas sapaan itu dengan kerjapan mata dan gerakan bibir seolah mengucap 'ohayou' tanpa suara. Matanya melirik ke arah Kankurou yang sedang membaca koran sambil meminum kopi.

"Ohayou Gaara-chan!" Sapa cowok itu ceria pada adik bungsunya. Tapi lain halnya dengan Temari, Gaara membalas sapaan Kankurou dengan lemparan death glare mematikan.

"Jangan panggil aku 'Gaara-chan'."

Kankurou—yang sebenarnya sudah sering ditatap seperti itu, merinding. Ya Tuhaannn, salah apa hambamu hingga memiliki adik tsundere akut begini?

Yap. Kedua kakak Gaara itu sudah tahu seperti apa Gaara sebenarnya. Dia baik dan lembut di dalam, tapi keras dan dingin di luar. Butuh banyak tenaga dan usaha serta kesabaran untuk menghadapi adik yang satu ini. Terlebih Kankurou. Sudah sering ia memperlakukan adiknya itu dengan istimewa tapi malah diganjar dengan death glare—kadang malah dilempar barang. Sedihnya.

Tapi lain dengan Temari. Gaara akan luar biasa bahagia jika dibelikan sesuatu oleh kakaknya itu atau mungkin hanya sekedar mendapat sapaan pagi. Mungkin karena efek kehilangan orang tua di usia dini, Gaara hanya menemukan figur ibu pada diri Temari. Jadilah ia pengidap sister complex akut.

Meski pemilihan kata Gaara sering membuat telinga panas, keduanya menyayangi adik mereka apa adanya. Mereka hanya berharap suatu hari nanti Gaara bisa mengerti cara mengekspresikan diri dengan baik. Yah, tinggal berdoa saja.

"Adikmu jahat sekali. Setiap kali disapa pasti marah," gerutu Kankurou pada Temari setelah Gaara pergi kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap ke sekolah.

"Ya… masih seperti dulu ya?" sahut Temari sambil mengangkat masakannya dan memindahkannya ke piring lantas meletakkannya di atas meja.

Kankurou mengamati saudaranya itu duduk di hadapannya. "Apa tidak apa-apa?" tanyanya.

"Apanya?" tanya Temari bingung.

"Kau—dan pacarmu itu?" Kankurou menaikkan alisnya. "Memangnya Gaara diam saja melihatmu dekat dengan cowok lain? Dia sangat protektif terhadapmu kan? Bagus kalau misalnya cowokmu itu tidak dicekoki dengan pasir pantai."

Kankurou—akhirnya—tahu Temari berpacaran dengan Shikamaru karena acara bunkasai yang menghebohkan itu dan ia terkejut ternyata mereka sudah berpacaran sejak lama. Bagaimana reaksi Gaara?

"Dia tahu kok." Jawab Temari.

"Eh?" mata Kankurou membelalak. "Lalu lalu? Mereka bertengkar? Cowokmu tahan diganggu Gaara? Siapa yang menang?"

Sudut bibir Temari berkedut mendengar pertanyaan kakaknya itu. Dipikirnya apa? "Yah… begitulah," Temari mendengus. "Kami masih berusaha." Tambahnya lagi.

"HAHAHAHAHAHA!"

Kankuro meledak dalam tawa dan berkali-kali memukuli meja makan dengan kerasnya hingga membuat kopi dalam cangkirnya terciprat ke luar.

"AKU BISA BAYANGKAN!"

Ingin rasanya Temari menampar pipi cowok di hadapannya dengan teflon. Ia tidak tahu separah apa keadaannya. Gaara makin sering mengikutinya ke mana-mana dan bertengkar terus dengan Shikamaru. Shikamaru yang juga tidak mau kalah makin membuat Gaara kesal. Setiap hari selalu begitu. Temari sampai pusing sendiri menghadapinya. Mau membela Shikamaru, nanti adiknya nangis. Mau membela Gaara, nanti cowoknya ngambek.

Kankurou yang sudah berhenti tertawa mengamati wajah mendung adik perempuannya itu. Yah, ia tahu Temari sudah berperan sebagai ibu dan kakak bagi Gaara selama ini dan itu membuat Kankuro tidak enak jika sampai kehidupan pribadi Temari diganggu Gaara juga. Andai saja ia bisa merubah penyakit Sister Complex Gaara menjadi Brother Complex, maka akan ia lakukan. Kasihan adiknya pusing sendiri menghadapi tingkah Gaara yang kalau sudah kumat bahkan tidak mengizinkan Temari pergi dari sisinya.

"Maaf ya," kata Kankurou tiba-tiba. Ia menatap Temari dengan senyum permintaan maaf. "Aku harap ada yang bisa kubantu. Tapi kau tahu sendiri, dia anti sekali padaku."

Temari mengangguk mengerti. "Dia sudah makin besar, mungkin nanti berhenti sendiri."

Ucapan Temari barusan tiba-tiba memunculkan ide gila di otak Kankurou. "Aku tahu!"

"Tahu? Tahu apanya?" Temari menatap Kankurou bingung.

"Kalau Gaara bisa punya pacar, maka dia tidak akan mengganggu kamu lagi! Ya kan?" katanya bangga pada pemikirannya sendiri.

Temari diam sebentar lantas menggeleng. "Kau lupa adikmu itu bagaimana? Jangankan mendekat, cewek-cewek itu bahkan membeku hanya karena Gaara lewat. Ha? Masih yakin dia bisa punya pacar?"

Kankurou meringis. Astaga, separah itukah? Ia sepertinya ketinggalan berita. Setahunya, dulu Gaara hanya akan jadi tembok jika diajak berkomunikasi. Nah sekarang dia malah jadi mesin pembeku berjalan?

Kankurou menggeleng cepat. "Tidak. Aku yakin pasti ada cewek—setidaknya satu, yang mau jadi pacarnya. Masa dari jutaan cewek di dunia tidak ada yang tahan dengannya?"

Inginnya sih, Temari menambahkan kalimat penyemangat lain tapi dia sendiri sangsi. Sebenarnya tidak ada yang salah dari adiknya itu. Dia berbakat—main pasir bisa disebut bakat juga loh!—pekerja keras, diam-diam sebenarnya perhatian juga pada Kankurou. Dia juga manis—Gaara selalu memberikan Temari bunga setiap hari ulang tahun dan hari ibu—dan wajahnya juga tampan. Sayangnya, casing luarnya yang galak itu membuat semuanya mundur duluan sebelum mengenalnya lebih baik. Di mata mereka hanya ada sosok cowok dingin irit bicara yang bertampang galak setiap waktu. Bahkan jika dibandingkan dengan Shikamaru, adiknya itu masuk kategori parah. Parah bersosialisasi dan parah dalam berekspresi. Satu-satunya cara ia menyalurkan emosinya adalah dengan membuat minatur-miniatur dari pasir itu.

"Yah… semoga ada."

Keduanya saling melempar pandangan dan mendesah lelah.

.

.

.

.

Gaara suka hidupnya. Meski tidak memiliki orang tua, tapi ia bahagia karena memiliki dua orang kakak yang menyayanginya. Meski ia terkadang tidak jujur mengatakannya—terutama pada Kankurou—tapi ia sungguh sangat sayang pada mereka.

Setiap hari Temari akan memasak sarapan, lalu mereka berangkat sekolah bersama. Di sekolah pun Temari tidak luput memerhatikannya. Dan setiap akhir pekan biasanya mereka bermain ke tempat-tempat yang menyenangkan.

Such a beautiful life.

Tapi semua berubah, saat Shikamaru coretmenyerangcoret datang.

Gaara tahu dia sedikit tidak normal dalam memperlakukan kakak-kakaknya atau apapun yang menjadi miliknya. Ia akan menjaganya dari sentuhan orang lain, jangan sampai terebut. Tapi lain lagi ceritanya kalau orangnya sendiri yang memilih pergi.

Gaara mencoba sabar. Ia sayang kakaknya, ia tahu. Ia ingin mereka bahagia—terutama Temari. Tapi tetap saja sulit melihat ada orang lain dekat-dekat kakaknya. Rasanya ada yang aneh. Hatinya pasti akan gundah. Perasaannya sulit dideskripsikan tapi intinya ia tidak suka.

Setiap Shikamaru menatap kakaknya dengan sorot mata yang—ah, lupakan, Gaara jijik mengingatnya, rasanya ia ingin melemparnya dengan pasir supaya kelilipan. Setiap kali Shikamaru bicara dengan kakaknya dan mengabaikannya yang jelas-jelas sedang berdiri di sebelah Temari, rasanya ia ingin menyumbat mulutnya dengan pasir pantainya juga. Syukur bagi Shikamaru, Temari selalu berdiri di antara mereka sehingga itu tidak pernah terjadi.

Bukannya Gaara tidak mencoba menjadi biasa. Sungguh ia sudah mencoba. Tapi sulit rasanya tiba-tiba kehilangan sosok yang selalu ada di sampingmu sepanjang hidupmu—meski baru berjalan 16 tahunan sih. Belajar merelakan, ya, itulah yang Gaara coba lakukan sekarang.

Berbagai macam cara pernah ia coba—termasuk menyabotase hape pacar kakaknya sehingga mereka gagal kencan—sampai mengalihkan perhatiannya pada sesuatu atau seseorang namun nihil. Mungkin ini yang dibilang cinta kepentok tembok, pada akhirnya, Gaara kembali lagi mengintili Temari.

Yah. Mungkin, Gaara cuma ingin Temari tetap di sisinya. Mungkin Gaara hanya tidak ingin terlupakan. Atau mungkin Gaara kurang berusaha dan mencari. Karena, masa sih, tidak ada orang yang bisa mengalihkan dunianya?

Ya kan?

.

.

.

.

RUANG KLUB SURAT KABAR

Matsuri mengernyitkan dahi melihat wajah-wajah menyeringai teman-teman sesama anggota klub surat kabar di depannya. Ada apa nih?

"Matsuri, semangat ya!" ucap salah satunya yang hanya bisa disahuti dengan 'he?' oleh Matsuri.

"Tabahlah Nak! Cobaan ini pasti berlalu." Tambah yang lain, membuat Matsuri melongo makin parah.

"Ini, kuberi jimat!" yang ini malah mengikatkan jimat di tasnya. "Aku berharap kamu masih hidup setelah ini."

Oke. Coba dipikir dulu. Matsuri baru saja datang ke ruang klub surat kabarnya. Ia bahkan belum sempat bilang 'hai' apalagi meletakkan tasnya. Ia juga yakin sudah men-delete foto kepala sekolah mereka yang ke-gap sedang dinner dengan nyonya kepala yayasan—jadi tidak mungkin ia dipanggil lagi ke ruangannya. Dan Matsuri yakin ini bukan hari buruknya—ia sudah mengecek itu di majalah ramalan harian yang dibeli temannya, Sari.

Jadi ada apa?

"Matsuri," suara panggilan dari balik punggung teman-temannya memaksa Matsuri meninggalkan pertanyaannya di belakang dan melangkah mendekat. Di balik mejanya, editor surat kabar sekolahnya yaitu Mitarashi Anko, duduk sambil mengaitkan jemarinya di bawah dagu.

"Ada apa editor?" tanyanya takut-takut sambil mencoba mengingat-ingat kesalahan apa yang dibuatnya.

Anko—yang tidak suka berbasa-basi—menunjuk satu file map, menyuruh Matsuri mengambilnya. Dengan patuh ia mengambilnya dan memberikannya pada Anko. Seingat Matsuri, file itu adalah arsip liputan yang menyoroti siswa-siswi teladan Konoha Gakuen yang aktif dalam keanggotaan klub atau organisasi.

Anko membuka file itu. Wajah tanpa ekspresinya membuat Matsuri makin ketar-ketir. Sebenarnya ia tidak harus takut. Toh, ia salah satu anggota klub yang kemampuannya diakui olah Anko dan dedikasinya terhadap klub ini patut diacungi jempol. Jadi sebenarnya ini ada apa?

"Ah!" Anko menggumam kecil, tersenyum, dan memutar file itu sehingga halaman yang terbuka menghadap ke arah Matsuri.

Matsuri memicingkan mata. Itu halaman yang membahas klub seni rupa. Loh? Ternyata halaman ini kosong. Tapi tidak mungkin! Seharusnya ada liputan mengenai profil ketua klub atau semacamnya.

"Kau lihat halaman itu?"

"Ya." Jawab Matsuri.

"Apa yang kau lihat?"

"Eh… etooo, halamannya ko..song?"

"Kalau begitu kau isi."

"APA?"

Anko mengernyit karena diteriaki oleh anggotanya. Mengabaikan wajah shock Matsuri, Anko mengambil file itu lagi. "Kau lihat sendiri. Khusus klub ini, belum ada yang mengisi. Sebelumnya sudah diadakan wawancara terhadap Deidara—ketua klub sebelumnya, tapi sayang ia mengundurkan diri atau bagaimana jadi wawancaranya tidak jadi diterbitkan. Nah, sekarang, tugasmu adalah mewawancarai ketua klub seni rupa yang sekarang. Saya beri waktu dua minggu dari proses pengumpulan data hingga editing. Dan saya ingin hasilnya berbeda dari sebelumnya. Jangan hanya soroti tentang profil umum seperti TTL dan lain-lainnya itu atau juga prestasi yang sudah diraih. Saya juga ingin kamu menyoroti kehidupan pribadinya, sedikit tentang keluarga juga tidak masalah."

Matsuri jawsdrop di tempat mendengar penuturan sepanjang kereta Konoha express editornya. Apa? Dirinya?

"Tidak adakah orang lain yang bisa mengerjakannya, Editor? Saya kan sudah bukan pekerja lapangan lagi." Matsuri mencoba protes. Ia sudah melepas titel pekerja lapang dan beralih menjadi teknisi belakang komputer. Mengatur layout dan lain-lain. Sekarang kenapa ia ditugaskan ke luar lagi?

"Kamu kan masih baru, yah, meskipun saya mengakui kemampuan kamu, tapi ini bagus untuk latihan." Anko berdiri dan mengembalikan file map itu ke tempatnya semula. "Lagi pula, justru karena saya percaya dengan kemampuanmu makanya kamu yang ditugasi."

Matsuri menggaruk tengkuknya, kerutan di dahi cewek itu malah semakin bertambah saja. "Apa saya melakukannya sendiri?"

"Ya."

"Tapi…"

"Dia hanya satu orang dan waktu yang kuberikan padamu juga cukup lama. Tidak ada masalah kan?"

"Ya tapi," Matsuri terlihat masih belum rela. "Kenapa tiba-tiba sekali?"

Anko diam sebentar dan mengelus pelan dagunya. "Sebenarnya bukan dadakan sih. Hanya memang rubik profil harus diisi di edisi berikutnya. Dan hanya dia saja yang belum pernah diwawancara."

"Kenapa?" tanya Matsuri polos. Padahal biasanya setiap dua kali sebulan ada dua orang yang diwawancara untuk mengisi rubik itu. Dan karena ia seorang ketua klub, harusnya dijadikan prioritas.

Anko melirik ke arahnya. Entah mengapa kok Matsuri jadi merinding. "Eum… kenapa ya?" GAAH! Kenapa harus sekarang editornya sok rahasia-rahasiaan begini?! Tidak tahu apa kalau dia sudah mulas dari tadi?

"Coba kutanya, apa kau tahu siapa ketua klub seni rupa yang sekarang?"

Eh? Siapa ya? Matsuri memang anggota klub surat kabar, tapi tidak berarti dia tahu segala hal. Jadi akhirnya ia menggeleng.

"Siapa?"

"Sabaku no Gaara."

GLEK!

RALATTTT!

Ini memang hari sialnya.

.

.

.

.

Sabaku no Gaara.

Siapa coba yang tidak mengenal cowok bertato itu? Bahkan penjaga sekolah saja mengenalnya.

Oke, mungkin bukan mengenal baik, pun yang mereka ketahui tentang Gaara bukan hal yang bagus. Cowok itu terlalu sering menebar aura dingin di sekitar tubuhnya setiap kali ia lewat, membekukan siapa saja yang sial karena berdiri terlalu dekat. Belum cukup sampai di sana, konon katanya siapapun yang menatap mata jadenya tidak akan bisa tidur nyenyak selama seminggu.

Yang terakhir itu masih belum jelas. Entah tidak bisa tidur karena mimpi buruk atau tidak bisa tidur karena memikirkan cowok itu. Yah… Gaara tampan, kalian tahu? Rambut merah alaminya juga menambah poin khusus. Jadi tak heran banyak cewek mengejarnya—itu sebelum mereka tahu sedingin apa Gaara.

Kalau hanya sekadar menulis profil yang berisi data pribadi seperti tempat tanggal lahir dan kawan-kawannya, serta ditambah sedikit sudut pandang pribadi penulis tentang Gaara, Matsuri bisa mengumpulkannya sekarang juga.

Aneh kan? Kenapa coba? Ada yang tahu?

Yah. Jawabannya mudah sih.

Dulu, Matsuri juga pernah naksir Gaara saat mereka SMP.

Mudah bagi cewek polos sepertinya tertarik pada primadona sekolah. Bagaimanapun, Gaara memiliki kualitas untuk menjadi pujaan wanita. Matsuri dan beberapa teman seangkatannya bahkan diam-diam mendirikan fans club khusus bagi senior mereka yang hobi bergelut dengan pasir itu. Dari kegiatan pengintaian mereka lah, Matsuri bisa tahu banyak hal tentang Gaara. Meskipun hanya bagian luarnya.

Tapi toh akhirnya mereka berhenti. Karena tidak mudah menjadi seorang secret admirer. Harus puas menatapnya dari jauh. Harus tahan tidak diperhatikan olehnya. Ah. Cinta yang berat sebelah. Jadi saat Gaara lulus, Matsuri memutuskan untuk berhenti dan melupakan semuanya.

Sekarang, setelah Matsuri menjalani kehidupan SMA-nya dengan normal dan bahagia, kenapa ia harus berhadapan lagi dengan Gaara? Apa Tuhan sedang memberikannya cobaan? Mencoba mengetes kadar kemampuannya yang selama dua tahun ini mencoba move on?

Maunya sih Matsuri mengelak dan meminta bantuan temannya untuk menggantikannya. Meskipun ia yakin ia sudah tidak memiliki rasa pada senpainya itu, menjaga jarak merupakan hal penting. Jangan sampai terperosok kembali di lubang yang sama.

Tapi anehnya. Segera setelah ia mendengar nama cowok itu disebut, entah mengapa desiran halus terasa di dadanya. Desiran aneh… yang sepertinya dia kenali. Rasanya seperti kembali ke masa dua tahun lalu saat jantungnya berdebar hanya karena melihat Gaara berjalan melintasi lapangan.

Argh… masa sih dia masih suka dengan Gaara?

.

.

.

.

LANTAI TIGA, KELAS XII-C

"Pegang tangan kakakku lagi, kulempar kau keluar jendela!"

"Kakakmu itu pacarku, bodoh!"

"Serius. Menyingkir dari sana atau kulempar kau dengan sepatuku atau pasir. Aku tidak peduli."

"Ck. Jangan berlagak ya. Aku bisa saja memukulmu kalau saja tidak dihalangi kakakmu!

"Aku tidak mau tahu pokoknya kau pergi! Pulang saja sendiri sana!"

"Kau saja sana!"

Temari memijiat dahinya dengan gemas setengah pasrah di depan pintu sementara dua laki-laki yang ia sayangi sedang sibuk adu argumen sejak lima belas menit lalu. Meskipun ini terjadi setiap hari, tidak ada alasan bagi Temari untuk terbiasa melihatnya. Melihat keduanya berebut tentang dengan siapa ia akan pulang.

Temari sudah coba merelai, sungguh, tapi ketika keduanya menoleh dan menatapnya dengan tatapan 'kau-pilih-siapa?', Temari lebih memilih diam dan menunggu mereka selesai dari pada berpotensi membuat patah hati salah satunya.

Tapi tak biasanya Gaara dan Shikamaru bertengkar selama ini. Biasanya mereka akan berhenti tepat setelah seorang di antaranya pecah 'kotak sabar-nya' dan memilih pergi lantas ngambek keesokan harinya. Sepertinya hari ini tidak ada yang mau mengalah.

Temari melipir ke samping dan menyelinap keluar dari belakang tubuh Shikamaru. Heh. Bahkan mereka tidak terlalu peduli karena masih adu silang urat dengan nafsunya. Ia berpikir apa mereka tidak haus? Dirinya saja haus harus mendengar mereka saling berteriak sejak tadi makanya ia pergi ke mesin penjual otomatis yang berada di ujung lorong.

Temari masih bisa mendengar teriakan keduanya dari jarak sejauh ini. Ia menggeleng lantas memasukkan uang koin dan memilih minumannya. Saat ia menegakkan tubuhnya kembali dengan sekaleng jus jeruk di tangan, ia kaget karena ada seorang cewek—kelihatannya adik kelas—berdiri agak di depannya. Posisinya yang memunggungi Temari membuatnya tak bisa melihat wajahnya.

"Kau sedang mencari siapa?" tanya Temari karena dilihatnya sepasang mata cewek itu lurus menatap Shikamaru dan Gaara. Lorong di sini sudah sepi dari anak-anak kelas tiga yang biasanya langsung pergi ke juku atau ke ruang klub. Apa dia teman sekelas Shikamaru?

"Ah! Sabaku-senpai!" cewek itu terlonjak sebentar dan membungkukkan badan. Rambut cokelat sebahunya terjurai ke depan, membingkai wajah polos dengan senyum gugup.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Temari ramah. Sekali lagi mata cokelat cewek itu melirik ke arah dua orang itu dan membuatnya yakin kalau cewek ini memang ada urusan dengan salah satunya. "Apa kau teman sekelas Shikamaru?"

"DIAM KAU MUKA TEFLON!"

"MUKA TEFLON?! DASAR RAMBUT NANAS!"

Matsuri yang baru saja baru membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Temari, dikagetkan oleh teriakan membahana yang membuatnya berjengit. Di sebelahnya, Temari menepuk jidat. Sepertinya keduanya tidak ada niat lagi menjaga imej. Ah biarlah.

"E-etoo… itu," Matsuri tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Ia ingin bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Tapi nanti dikira tidak sopan.

"Katakan saja. Mereka juga sudah tidak peduli lagi kalau teriakannya didengar orang lain. Dasar…" Temari membuka kaleng minumannya dan menenggaknya. "Ayo, kau ada perlu dengannya kan?"

"Yah.." Matsuri tersenyum ragu sambil memiringkan sedikit kepalanya. Tapi Temari berjalan duluan dan tidak sempat mendengar ucapan cewek itu selanjutnya. "Sebenarnya sih bukan begitu…"

Tiba di tempat keduanya, Matsuri tidak berani mengangkat wajah. Yang berani dilihatnya hanya ujung uwabaki-nya dan lantai yang kusam. Sementara itu telinganya menajam, mendengar lemparan cacian atara dua cowok itu.

"Shikamaru, ada yang ingin bertemu denganmu." Temari menyela, satu jarinya menunjuk Matsuri yang berdiri di belakangnya.

"Siapa? Aku tidak kenal." Sahut Shikamaru langsung. Matanya meneliti Matsuri dari atas hingga ujung kaki.

"Loh? Lalu kau mencari siapa?" Temari mengerutkan alisnya bingung ke arah Matsuri. Yang ditatap mau tak mau mendongakkan wajah sambil terus menjaga agar tidak sampai menatap Gaara—yang tentu saja tidak mungkin, cepat atau lambat ia harus bertatapan dengan 'mantan' idolanya itu.

Matsuri mencoba tersenyum dan failed. Padahal ia sudah pernah melakukan ini, tapi kenapa rasanya sangat gugup hingga ia tidak bisa mengontrol diri? Apalagi dirasanya mata jade Gaara juga terarah padanya. "Anoo… nama saya Matsuri. Saya ditugaskan oleh Anko sensei untuk mewawancarai Sabaku no Gaara-senpai untuk rubik 'Konoha no Pride' edisi depan."

Belum apa-apa—Gaara bahkan baru tahu ada rubik seperti itu dan hanya bisa diam mematung—Shikamaru langsung menyambar tangan Temari dan tasnya yang tersimpan di meja samping pintu masuk.

"Hei!" Gaara berteriak keras saat kakaknya itu tiba-tiba dibawa kabur oleh calon-kakak-ipar-yang-tidak-diakuinya itu. Namun teriakannya hanya dianggap angin lalu oleh Shikamaru yang sudah tak sabar ingin cepat-cepat pergi. Senyum yang jarang terlukis di wajah yang seringnya menguap itu membuat Gaara tertegun sebentar.

"Hari ini ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu." Kata Shikamaru pada Temari yang berlari di sampingnya. Gerakan bibir itu jelas terbaca oleh Gaara, juga lengkungan senyum yang nampak di wajah kakak perempuannya berikutnya.

Senyum… Temari tersenyum. Dan lagi pipinya merona. Binar bahagia juga terlihat di kedua matanya. Entah mengapa, meski Gaara merasa ingin mengejar mereka, kakinya tak bisa digerakkan. Mungkin, ia terperangah dengan senyum Temari yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu. Cara senyumnya berbeda, kesan yang ditangkap olehnya berbeda. Senyum orang yang sangat bahagia. Dan itu karena Shikamaru.

Onee-chan…

Yah. Untuk sehari saja. Kali ini Gaara akan mengalah demi kakaknya. Lagi pula ia memiliki urusan yang lain juga, kan?

Dengan wajah kecutnya yang biasa, Gaara menoleh pada sosok yang sejak tadi terlupakan. Tangan gadis itu memainkan tali selempang tasnya dengan gemas campur gugup apalagi ditatap sedemikian rupa oleh seorang Sabaku no Gaara.

"Jadi,"—Matsuri terlonjak—"apa maumu sekarang?"

"E-eh? Eh, a-apa?" Matsuri gagap pol-polan. Tidak seperti tadi, sekarang jade pucat itu lurus menatap bola matanya. Siapa yang tahan coba?

Gaara mendengus pelan. Pelaaannn sekali hingga Matsuri tidak bisa mendengar. "Kau ingin mewawancaraiku?" Matsuri mengangguk kuat. "Boleh." Ucap Gaara. Sekilas ia melirik lagi ke arah Shikamaru dan Temari pergi. Agak lama juga hingga Matsuri ikut-ikutan menoleh dan begitu mereka bertatapan lagi, Matsuri mendapat kesan bahwa rencananya tidak akan berjalan lancar saat ia melihat seringai tipis muncul ke permukaan wajah sedatar teflon itu—tapi masih ganteng juga sih.

"Tapi," Matsuri pias mendengar kata-kata Gaara selanjutnya. Kan, benar, ada 'tapi'nya.

"Apa, Senpai?" tanya Matsuri setengah hati.

Seringai itu sudah menghilang dan wajah datar itu datang lagi. "Tapi kau harus jadi pacarku."

"Oh, kupikir ap—EHHHH?!"

.

.

.

.

A/N : Yeeeeaaayyyy~~ akhirnya kesampaian juga bikin sequelnya~~ ahahaha... tapi kok kayak pasaran ceritanya? Haha. Namanya juga chapter pembuka. Dan untuk urutan kakak-beradik Sabakunya ada sedikit perubahan. Kankurou jadi anak pertama, kedua Temari, terakhir Gaara. Jadi Kankurou udah kuliah ya~ Oke deh. Segitu dulu aja. Chapter berikutnya masih dikerjain. Gak janji bisa update cepet. Maaf.

Jaa na~~