Please don't lose me like the spring wind that passed over me, like the past scent of the many days that passed over me, can you save me…
Shuren RedruM
Proudly Present
Back
Naruto © Masashi Kishimoto
Warn(s):
BOY'S LOVE
OOC
TYPO(s)
BOLD AND ITALIC ARE FLASHBACK
Genre: Sad, Hurt, Angst
Pairing : SasuNaru
No Flame, DLDR, RnR
Rate: T-M
/\
/\
/\
"Hngh?"
Gelap
"Hah…ah…"
Gelap
Dimana aku?
Itulah pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Tapi…kenapa, kenapa mulutku terasa kelu? dimana aku?
Bugh
Bugh
"Akh!"
Erangan kesakitan seseorang terdengar dengan jelas ditelingaku.
"Hngh…"
Aku mencoba untuk menggerakkan tanganku dan..
"Argh!" sakit, sakit sekali. Seseorang menjambak dan menarik rambutku, menuntun langkahku ke suatu tempat. Entah dimana ini, tapi jika dilihat dengan jelas, sepanjang mata memandang hanya gurun dan bebatuan dan..terdengar gemuruh ombak. Pantai.
"Cepat!" teriak orang itu.
Aku sadar betul jika badanku terasa sangat sakit, sakit sekali. Dan aku juga sadar darah terus menetes dari bibirku. Besi, itulah rasanya dan jangan tanya rasa aneh lainnya yang menemani indera perasaku.
Terus melangkah hingga kami berada dipinggir tebing, tak terlalu pinggir mengingat ada beberapa orang lainnya yang berdiri tak jauh dari sisi tebing, berdiri dihadapan kami lumayan jauh.
Deru ombak dan angin sangat terasa. Matahari sore juga sudah menjelang. Langit kemerahan. Indah. Lukisan yang sempurna.
'Lukisan…' batinku seperti mengingat sesuatu.
"Berandalan, hn?" tanyaku pada seorang pemuda yang menggunakan hoody merah bergambar rubah. "Bersihkan atau kau akan kubawa ke kantor polisi." Ancamku.
Pemuda itu hanya menunduk. Kaleng pewarna ditangannya juga tak bergerak.
"Kau…tak akan bisa melakukan itu." Ucap pemuda itu datar.
Jujur saja, ingin sekali rasanya aku menonjok pemuda berandalan satu ini. Kutarik hoodynya, membuka penutup hoody yang menutupi kepalanya.
'Hn?'
Tanganku terkepal dengan erat saat tahu siapa orang yang berdiri ditepi tebing yang tepat berada didepanku.
Matanya yang membutakanku terlihat tertutup rapat.
'Dimana….dimana safirku?' batinku.
Dadaku bergemuruh hebat. Tanpa aba-aba, kakiku melangkah menujunya yang masih setia memejamkan matanya.
Bugh!
"Akh!" seseorang memukulku dari belakang.
"Tetap disini dan perhatikan!" perintah orang tersebut.
Bugh!
Sekali lagi, sekali lagi orang itu memukulku. Darah kembali keluar dari mulutku.
"Jadi," telingaku menangkap seseorang berbicara tak jauh dariku. "Kau orang yang menolongnya selama ini?" tanya orang itu.
Bugh!
"HM!"
"Jawab, berengsek!" teriak orang yang dari tadi terus bersamaku.
"Berengsek…" desisku.
"Ck, baiklah." Kata suara itu lagi.
Kata itu seperti mengancamku, memojokkanku. Dan seperti telah diatur, angin bergerak lebih lambat dan tenang, gemuruh ombak juga membisu.
Mata itu, mata itu perlahan terbuka, menampakkan keindahan yang membutakan. Teduh.
Aku hanya bisa terpaku menatap keindahan sesaat itu, seperti saat pertama menatapnya..
"Lepaskan aku." katanya datar saat aku hanya terdiam dan..menarik wajahnya mendekati wajahku. Dengan sedikit salah tingkah, aku melepaskannya, menjauhkan mata safirnya dari onyxku.
Aku butuh itu! Mulai detik ini, aku harus mendapatkannya! Itulah janjiku pada diriku sendiri.
Setelah aku melapas pemuda itu, ia melenggang dengan santai. Tampak olehku ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, permen karet. Membukanya dan memasukkannya kedalam mulutnya dan..membuang bungkusnya sembarangan.
"Hah…" kau hanya bisa mendesah pelan. Sekali berandalan tetap berandalan.
Aku kembali memfokuskan pandanganku pada hal 'kenapa aku bisa kesini'.
Lukisan.
'Apa-apaan dia?' tanyaku pada diriku sendiri saat melihat lukisan yang lumayan bagus terpatri ditembok gang kecil. Dilukisan tersebut terlihat gambar suatu gedung besar dengan kobaran api hitam dan makhluk terbang berjumlah tujuh 'ekor' dan beberapa pasang mata terlihat hanya menonton dari kejauhan. 'Aneh.'
"Kau kenal dia, kan?" tanya suara itu lagi padaku.
Rahangku mengeras.
"Aku sudah lama mengenalmu, Sasuke. Diam berarti segalanya, bukan?" tanya orang itu kali in dengan nada merendahkanku. Dan sepertinya dia bukan orang yang jauh dari pandanganku selama ini. "Keluargamu masih akan menunggu, Sasuke." Betul, aku kenal suara ini. Sial, kenapa aku tak menyadarinya dari awal!
"Lepaskan dia." Pintaku lirih sambil masih menatap safir indah didepanku. Dengan jarak yang lumayan jauh, aku yakin dia tak mendengar pembicaraan kami ditambah, 'orang itu' berbicara dari dalam mobil yang terparkir tak jauh dariku berdiri sekarang.
"Siapa?" tanyanya.
"Lepaskan dia, Orochimaru!" bentakku.
"Dan diganti dengan keluargamu? Kau punya banyak 'hal' yang belum terlunasi, Uchiha. Dan kau akan mengorbankan keluargamu demi dia?" tanya orang yang memiliki sifat seperti ular, Orochimaru.
'Kau bisa melepaskanku, Sasuke.' Sebuah suara memenuhi kepalaku. Dan suara ini…aku sangat hafal suara ini. Aku kembali menatap safir itu, mencari kesungguhan didalamnya. Ia menatapku datar. 'Aku hanya berandalan dan hidupku memang seperti ini.' lagi, suara itu memenuhi kepalaku.
Sakit
Aku mengepalkan tanganku.
"Pak, terjadi kebakaran hebat dikantor Uchiha." Lapor seorang bawahanku melalui telepon dan itu snagat mengagetkanku. Bagaimana tidak, kantor Uchiha katanya. Itu adalah gedung milik keluargaku.
Dengan secepat kilat, aku melajukan mobilku menuju tempat kejadian.
Tak sampai setengah jam, aku sudah sampai dilokasi kejadian dan…seluruh gedung hangus terbakar, habis.
"Tuan Fugaku selamat, Pak." Lapor petugas medis kepadaku yang masih mematung manatap gedung milik ayahku. Dengan langkah gontai, aku menuju mobil ambulans dimana ayahku sekarang berada.
"Sasuke…"
"Ayah…"
"Sudah, tidak apa-apa." Katanya berusaha menenangkanku. Bukankah dirinyalah yang harus ditenangkan? "Kita bisa mulai baru lagi." Ucapnya bijak. Dapat terlihat ada beberapa luka bakar disekujur tubuhnya.
Aku menatap dari kejauhan gedung perusahaan Uchiha yang termakan dengan lahapnya oleh kobaran api.
"Api?"
"Apa, Sasuke?" tanya ayahku bingung.
"Tidak ada." Jawabku cepat. 'Api…'
"Lepaskan dia, Orochimaru!" kali ini teriakku semakin menjadi.
Angin kembali bertiup. Safirnya semakin meneduh.
'Tidak, tidak, tidak! Jangan kau berani padamkan cahayamu, berengsek!' batinku berteriak.
"Hah, lagi-lagi ditemukan lukisan didinding gang. Aku lelah menghapusnya." Kata seorang polisi yang baru kembali bertugas.
"Iya, lebih baik kita mata-matai kemudian kita penjara saja dia. Bikin ulah saja." Tambah polisi yang lain.
"Berandalan." Ucap polisi yang pertama tadi membuka pembicaraan.
"Dimana lokasinya?" tanyaku santai kemudian mengenakan jaketku.
"Beberapa blok dari perusahaan Yamanaka." Sahut polisi yang pertama.
"Hm, 2 blok." Tambah polisi kedua.
Setelah berterima kasih dan meminta izin keluar, akupun segera menuju lokasi yang ku dapat dari teman polisiku.
Sepanjang perjalan, aku kembali mengingat sepasang safir yang terus membuatku haus, haus untuk menatapnya kembali, haus untuk menyapanya kembali, haus untuk beradu dengannya kembali.
'Api…' batinku kembali teringat lagi dengan lukisan dan gedung perusahaan keluargaku yang terbakar. 'Apa ada hubungan?' kambali aku bertanya sambil menghela nafas.
Setengah jam berkendara akhirnya aku tiba di blok perusahaan Yamanaka. Aku memarkirkan mobilku di blok tersebut dan memutuskan untuk berjalan kaki menuju lokasi.
Kutatap langit siang yang sangat cerah; langit biru bertemankan awan, indah sekali. Angin juga bertiup pelan. Bising lalu-lintas juga menemani siang hari yang cerah ini.
Klong
Kling
Klong
Terdengar beberapa kaleng berjatuhan tak jauh dari langkah kakiku. Dengan cepat aku berlari mencari sumber suara tadi.
"Jangan pernah mengotori wilayah kami, berengsek!" bentak seorang pria paruh baya kepada seorang pemuda berhooody biru dengan tutup kepala yang sudah terbaring dijalan. "Pergi dari sini!" teriak pria tersebut sambil menendang pemuda tersebut.
Dengan sedikit kesusahan dan masih ditendang oleh pria paruh baya, pemuda itu akhirnya mampu berdiri dan sedikit berlari.
"Dasar anak muda jaman sekarang!" ketus pria tadi sambil mengambil beberapa kaleng yang ternyata adalah kaleng warna dari jalan dan membuangnya ke tong sampah yang berada tak jauh dari ia berdiri.
"Maaf, permisi," sapaku sambil memperlihatkan kartu tanda pengenalku. "Anda kenal pemuda tadi?" tanyaku kemudian memasukkan kartu tanda pengenalku.
"Iya," jawab pria itu galak. "Lihatlah apa yang dia lakukan pada dinding ini!" lanjut pria itu sambil memperlihatkan salah satu dinding yang sudah terlukis. "Dia yang melakukan ini. Aku harap kalian para polisi bisa menangkap berandalan seperti dia!" tambahnya kemudian meninggalkanku.
Aku menetap kepergian pria itu kemudian beralih kelukisan yang berada tepat didepanku.
"Laut…" bisikku.
Indah.
Kali ini gambarnya menggunakan pewarna warna-warni bukan hitam-putih seperti yang pertama aku temui.
Onyxku menatap kembali jejak langkah pemuda yang menjadi tersangka atas lukisan ini. sedikit berlari aku berusaha menyusulnya.
Melewati gang-gang yang lumayan gelap, awalnya aku ragu apakah ini arah yang benar? Namun setelah melihat beberapa tetes darah, ya, darah, aku yakin jika kearah inilah pemuda itu berlari.
"Uhuk…uhuk…" tak jauh dari langkah kakiku yang sudah berubah lambat, aku mendengar suara batuk. "Uhuk…" langkahku semakin kupelankan.
Kena
Itu dia, pemuda berhoody.
Langkahnya memelan dan gontai. Dengan kesusahan ia berusaha menggapai tiap dinding gang sempit yang ia lalui.
"Siapa?" tanyanya saat aku sudah terlebih dahulu bersembunyi. "Uhuk…siapa disana?" tanya lagi. Aku tak tahu seperti apa ekspresinya. "Sial." Dapat kudengar desis tajam keluar dari mulutnya dan itu membuatku menggelengkan kepalaku.
Setelah beberpa detik memutuskan untuk tetap bersembunyi dan tak mengintip sama sekali, akhirnya aku keluar dari persembunyianku dan tak menemukan pemuda itu lagi. Salahku memang.
Tak ingin melepaskan pemuda itu, lagi, kali ini aku kembali berlari dan akhirnya sinar terang cahaya matahari menusuk mataku. Aku baru menyadari jika gang yang aku lalui lumayan gelap dan lembab.
"Uhuk..uhukk…uhuk!" kali ini batuknya terdengar lebih berat. Sepertinya tendangan pria tadi sudah melukai pemuda berhoody.
Lari, lari, dan terus berlari hingga akhirnya aku menyadari sesuatu.
"Wilayah ini…" bisikku. Aku tahu tempat ini. ini gang terelit yang ada di konoha. 'Kenapa dia berlari kesini?' batinku. 'Apa selain pelukis jalanan, dia juga pencuri?' batinku berspekulasi. "Tidak mungkin." Gelengku.
"Uhuk!"
Langkahku terhenti saat ternyata jaraknya dengan jarakku sangat dekat. Aku bisa melihatnya sekarang. Berdiri didepan pagar sebuah rumah megah, rumah keluarga Namikaze, sambil memegang mulutnya yang sepertinya berdarah.
"Uhuk, uhuk.." dengan santainya ia menaiki pagar tersebut.
"Hey, berhenti!" teriakku sambil berlari menuju pemuda yang sekarang sudah memasuki pekarnagan rumah Namikaze. "Berhenti!" teriakku lagi. "Sial." Desisku kepayahan saat tak melihat pemuda itu lagi. Cepat sekali larinya.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan tua yang tiba-tiba muncul dibalik pagar.
"Ada seseorang yang memasuki rumah tuan Namikaze." Ucapku sambil mengeluarkan kartu tanda pengenalku. Pelayan tersebut memiringkan kepalanya tanda tak mengerti maksudku. "Itu, dia disana!" kembali aku berteriak saat melihat pemuda tadi memanjat dinding dan masuk ke rumah namikaze melalui jendela. "Buka pagarnya!" perintahku sambil mengguncang pagar yang berada didepanku. Pelayan tersebut hanya menatap datar pemuda yang sudah masuk ke rumah tuannya itu.
"Maaf, jika tidak ada keperluan, silahkan pergi." Usir pelayan itu kemudain meninggalkanku.
"Apa? Hey!"
"Jika aku melepaskannya, maka semua rencanaku bisa gagal, Sasuke. Kau tak kasihan padaku?" tanyanya dengan nada memelas.
"Kau menjijikkan, Orochimaru."
"Betul. Dan kalau boleh jujur, aku tak sungguh-sungguh memberimu pilihan." Katanya berhasil membuatku kebingungan. "Tentu saja aku akan tetap membunuhnya."
Terlihat olehku beberapa orang mulai mengokang pistol mereka. Yah, pistol, pistol yang baru mereka keluarkan dari saku mereka.
"Sebenarnya, aku juga tidak perlu membawa dan melukaimu. Tapi…karena kau sedikit bermain-main denganku dan kau tak sadar posisimu, ternyata membawamu dan melihat pemuda 'yang kau cintai' mati dihadapanmu, lumayan menghibur." Ucapnya santai.
"Berengsek kau, Orochimaru! Lepaskan aku!" teriakku kemudian memberontak.
"Tenangkan dia." Aku mendengar Orochimaru memerintah anak buahnya.
Tak
Bugh
Satu pukulan ditengkukku berhasil menjatuhkanku. Badanku terhempas ke tanah yang berpasir. Aku menatapnya, menatapnya yang sekarang juga menatapku.
"Apa?!" tanyaku tak percaya.
"Iya, awalnya aku juga tak percaya. Tapi itulah kenyataannya." Lapor seorang detektif kepadaku. Aku menyuruh detektif itu memata-matai pemuda yang selalu membuat lukisan-lukisan aneh di dinding gang. "Saya permisi, pak." Pamit detektif tersebut.
'Jadi, dia putra tunggal tuan Namikaze?' batinku masih tak percaya. 'Yang benar saja, bukannya orang tuanya sangat kaya? Kenapa dia begitu?' batinku menerka-nerka. 'Jadi…', "Argh!" aku menjambak rambutku sendiri saat tahu ketololanku sendiri.
"Namanya Naruto Namikaze. Dia buta." aku kembali teringat dengan laporan detektif yang melapor tadi, dan itu juga membuatku sangat terpukul. "Dan dari yang saya lihat, putra Namikaze tersebut sedang sakit"
'Pantas saja tak pernah ada laporan lagi tentangnya.'
Beberapa hari kemudian
"Aku seorang polisi dan aku tidak akan berbuat onar, Tuan." Sarkartisku kepada pelayan yang beberapa minggu yang lalu sempat berbicara denganku. Yah, sekarang aku berada dikediaman Namikaze. Hanya ingin menjenguk pemuda pembuat onar saja.
"Saya hanya meminta, jaga ucapan anda saat anda berbicara dengan tuan muda." Pinta pelayan tersebut kemudian membukakan pintu kamar tuan mudanya.
.
.
"Aku yakin kau kemari bukan untuk menangkapku." Ucap pemuda itu santai sambil menyesap tehnya.
'Dia…'
"Aku buta dan jangan memasang wajah terkejut seperti itu, Tuan Uchiha." Ucapnya yang lagi-lagi kelewat santai. "Jadi, apa tujuanmu kemari?" kini nada bicaranya menjadi kelewat santai. "Merindukan oretanku di dinding?" tanyanya belum sempat aku menjawab. "Atau…" gantungnya kemudian menatapku, yah, menatapku datar, "merindukan safirku?"
"Jaga bicaramu, Tuan Namikaze." Ucapku sebenarnya sedikit salah tingkah. Bagaimana aku bisa salah tingkah didepan orang buta? Betul, matanya…matanya yang membuatku demikian.
"Bekerjalah untukku." Pintanya padaku sambil memalingkan wajahnya dari padaku. "Aku bisa membayarmu lima kali lipat. Kau sedang berada diposisi yang tak bisa untuk bernegosiasi, Tuan." Katanya penuh keangkuhan. "Lima kali lipat."
"Aku tak menyangka jika kau, putra seorang Uchiha, penyukai sesama jenis." Kata Orochimaru lagi dengan santainya.
Aku menatap tanah berpasir yang memang berada dihadapanku.
Tus
Secepat kilat aku menegakkan kepalaku saat mendengar suara letusan pistol. Onyxku membulat.
'Berdiri!' perintahku pada diriku sendiri saat badanku sama sekali tak mempu berdiri. "Naruto!" teriakku.
"Aku mencintaimu, Sasuke." Begitulah gerak mulut darinya yang aku baca.
"Jadi, kau berhasil mencegahnya?" tanyanya padaku.
"Iya." Jawabku sambil menatapnya yang sudah mulai menutup matanya, tidur.
Sudah hampir setengah tahun aku bekerja padanya dan tetap bekerja sebagai polisi. Dan satu hal, aku tak pernah mau menerima uang bayarannya.
"Selamat malam, Naruto." ucapku sambil mengecup rambut pirangnya.
Entahlah bagaimana awalnya, tapi sekarang, aku dan dia, sudah terikat, sangat terikat. Tak ada yang tahu itu.
"TIDAK! NARUTO!" teriakku saat ia membalikkan badannya, membelakangiku.
Ia menundukkan kepalanya dan…
"NARUTO!" kali ini aku memaksa tubuhku untuk bangkit dan berlari kearah Naruto yang berjalan menuju sisi tebing. "BERHENTI, NARUTO! BERHENTI, BERENGSEK!"
Tus
Satu letusan kembali terdengar. Dapat kulihat badannya mulai bergetar.
"NARUTO!"
Ia membalikkan badannya menatapku. Langkahku terhenti tepat beberapa meter didepannya. Kini aku dapat melihat dengan jelas, melihat rambut pirangnya yang sudah memerah karena darah, safirnya yang sudah memadam.
"Naruto…" panggilku pelan sambil melangkahkan kakiku kearahnya.
Semakin aku mendekatinya semakin ia memundurkan langkahnya.
"Kumohon…" pintaku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum kepadaku.
Deg
"Hah..hah..hah…" aku berlari secepat mungkin saat ia menjatuhkan dirinya dari tebing. "Hah..hah…" deru napasku beradu dengan sangat hebat.
Lari, lari, lari…
"NARUTO!" teriakku. Untuk sesaat aku tertegun melihatnya yang terjatuh dengan anggun, melayang diudara masih dengan senyum hangatnya. Kujulurkan tanganku, ingin menggapainya yang sudah berada jauh dibawah sana.
Tus
Satu letusan pistol dan setelah itu aku tak sadarkan diri..
It's because I miss you more today
Are you doing well, are you still the same?
Don't worry too much, I'm just a little bit not over you
It's because of the rain and I feel moody
So I thought of you, will you come back?
I waited all night in a dark room
I waited and waited for you and I cried a lot
Because I know it won't work even if we meet again
Aku melihat selembar kertas yang tergeletak diatas meja disamping tempat tidur kami, Naruto dan aku.
'Menggambar lagi?' batinku terkikik geli. 'Laut?' tanyaku saat melihat gambar langit sore dan seseorang berdiri disana, membelakangi si pengggambar. Aku mengernyit keningku dan tersenyum tipis.
"Hngh, 'Suke…" panggil Naruto saat ia sudah terbangun.
"Gambar yang bagus, Naruto." kataku kemudian meletakkan kembali kertas keatas meja.
"Kau suka?" tanyanya manja sambil memelukku erat.
"Siapa dia?" aku balik bertanya.
"Kau, bodoh." Jawabnya sambil memanyunkan bibirnya.
"kenapa aku sendirian, bodoh?" tanyaku lagi.
"Aku yang menggambar jadi terserah padaku." Jawabnya ketus.
"Tapi aku tak ingin sendirian." Kataku sambil mengecup bibirnya, sapaan selamat pagi. "Aku ingin bersamamu." Tambahku sambil menatap dalam kedalam safirnya.
"Langit sore yang indah, Naruto." kataku sambil berdiri di pinggir tebing.
END
N: Gue mati ye -,- ?
S: Njir, kok gue jadi kek orang gile ye -,-
SR: Berisik~~ *ala sing a song*
SN: *lirik-lirik*
SR: Woi, woi, apa maksud seringaian lu lu pada? *gulp* woi, tali itu untuk paan? *gulp*
beberapa menit kemudian
N: Dasar, author gaje *duduk lipat kaki*
S: Lu hobi bat ya bikin yang angst-angst? sakit tau pisah dari si dobe
SR: Hm hm hm *mulut ketutup kain*
N: cie, co cwit amat lu cuke *manja* tapi plis deh, jan panggil gue dobe *cemberut*
SR: *sweatdrop*
S: si dobe udah dibikin mati, berarti lu lu pada *nunjuk reader/kurang ajar -,- * mesti ngeripiu ini cerita *lipat tangan didepan dada*
N: bahasa lu keren bat suke *sweatdrop* Tapi, plis ya, ripiunya ^^
S: Ye eleh bahasa lu juga kek gue. dasar dobe
SR: sweatdrop
S: ya, akhir kata, terima kasih udah baca
N: Arigatou nee~ ^^ Yuk pulang suke. tinggalin aja si author di gudang, biar digigit tikus
SR: *panik*
S: Cap cus cin
SR: *jawdrop*
