# Bleach © Tite Kubo
# Warning: OoC, AU, incest—maybe, typo[s], weird, Don't Like Don't Read.
# Dedicated to yuminozomi. An apologize statement. Sorry m(_ _)m
.
.
.
Kadang kala, awal merupakan suatu wujud kebahagiaanmu yang baru akan dimulai, namun jangan kamu lupakan bagian klimaks yang tak mendukung akhir bahagia selamanya.
Klimaks dapat menghancurkanmu, berkeping-keping, bahkan menjadi abu.
.
.
.
… Kabaret Takdir …
© Mika Z.
Chapter1: Two-Faced Clown
Jangan mudah kagum padanya. Ia hanya mengelabuimu.
.
.
.
Dipuja berlebihan laksana rutinitasnya setiap hari. Dengungan dan celotehan manusia-manusia lugu yang mengenalnya sudah tak asing dalam pendengarannya.
Menurut pengakuan siapapun yang mengenalnya, ia adalah sosok manusia sempurna yang begitu diangankan orang-orang. Tampan, pintar, berpenghasilan, rajin, ramah, dan tidak sombong. Sosok pangeran ideal para wanita. Sosok anak budiman kebanggaan orangtua.
Semua orang memujanya.
Kecuali dia.
"Anak ayah selalu hebat!"
Lelaki berkepang itu hanya terkekeh. Sang ayah sibuk memuji hasil rapornya.
Lelaki berkepang—yang tadi dipanggil anak ayah itulah yang dikenal sempurna. Anak ajaib—julukan populer untuknya. Saat itu semua orang yang berpijak di dekatnya tersenyum puas, bangga akan prestasinya.
Selain gadis di dekat taman sana. Ia hanya memandang dari sana tanpa senyum sekalipun. Sesekali tatapan sinis ia edarkan. Beberapa detik setelahnya ia melangkah, menghampiri sosok-sosok bahagia itu.
"Ayah," ujar gadis tadi. Kini wajahnya mengukir senyum. "Tahu tidak? Kaien meraih juara umum di sekolahnya. Ia juga berhasil meraih medali emas dalam olimpiade musik di sekolahnya, lho."
"Oh ya? Benarkah?"
"Iya," gadis itu mengangguk. Sejurus kemudian menatap lelaki ajaib tadi—kali ini tatapannya lebih tajam. Ia melanjutkan, "Kaien memainkan pianonya dengan lancar saat olimpiade itu. Patutkah hal ini dirayakan?"
Ayah tersebut hanya tersenyum, kemudian mengangguk. "Ya, tentu saja. Kita rayakan hari bahagia ini, sekaligus dengan perayaan keberhasilan Ggio, tentunya."
Gadis berkepang itu hanya tersenyum miris. Dipandanginya senyum licik merekah dari lelaki berkepang di sana.
"Nanti akan kusuruh Kaien ke sini. Dia akan puas bisa minum anggur malam ini."
.
.
.
Gadis berpoles wajah oriental itu—tersebutlah Soi Fon namanya—menapak jalan setapak dalam lingkup apartemen Karakura. Sesekali berhati-hati agar tidak menginjak rerumputan. Melangkah hingga tubuh mungilnya terhenti pada satu pintu bergantungkan papan 623 di sana.
Ia menghela nafasnya, kemudian mengetuk pintu. Tiga kali ketukan pintu sudah cukup untuk memenuhi panggilan dari dalam. Pintu tampak terbuka, menampilkan sesosok pria dari balik pintu.
Pemuda itu tersenyum, begitu pun Soi Fon.
"Masuklah,"
Soi Fon menurut. Gadis berambut raven itu semena-mena masuk, kemudian menduduki sofa pemilik rumah sesuka hati. Ia duduk bersila di sana, menunggu Kaien yang tengah menutup pintu.
"Kaien! Mainkan lagu! Ehm… The Entertainer karya Chopin, bagaimana?"
Pemuda berwajah hangat—Kaien, panggilan akrabnya—hanya membalas dengan senyuman. Ia melangkah, menghampiri piano di samping Soi Fon, kemudian duduk.
"Tapi takkan lama, neechan. Jari-jariku sedang kaku," jari-jari kekar ditunjukkannya, seolah memberi sinyal kepada Soi Fon untuk percaya.
"Tidak apa. Mainkan saja."
Nada mengalun lembut—namun bermakna mengejutkan—membahana ke segala pelosok ruang tamu. Soi Fon duduk—posisinya nyaris berbaring. Matanya terpejam namun tidak tidur. Ia sangat menikmati permainan klasikal Kaien.
Tuts-tuts piano Clavinova dimainkan syahdu. Partitur-partitur tiada cela menjadikan permainannya seakan sempurna. Tak heran bila Kaien Shiba telah memenangkan banyak penghargaan internasional. Pantaslah Soi Fon suka memuji dirinya dengan ucapan menggebu-gebu.
Sayang ucapannya nyata. Permainan tak berlangsung lama. Satu menit kemudian, ia sudahi permainannya. Soi Fon tak heran lagi. Ia kembali pada gaya duduk formal.
"Jadi, neechan, kenapa neechan datang?" Kaien tak banyak basa basi, langsung menuju poin utama. Tatapannya tetap hangat, walau senyumnya meredup.
"Hanya ingin bermain saja. Tidak boleh? Lagipula aku bosan dengan keberadaannya di rumah."
"Siapa? Ggio-nii lagi?"
"Ya. Siapa lagi memangnya?"
Kaien menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakaknya selalu menautkan nama itu dalam tiap kunjungannya. Tak habis pikir ia, tentang bagaimana Kakaknya memperlakukan Kakaknya yang satu lagi di rumah lamanya. Ketika ia dulu masih menetap di sana, tak jarang ia dapati tatapan sinis dari kedua belah pihak.
Kaien adalah posisi netral dalam keluarganya. Sekalipun ia sangat dekat dengan kakak perempuannya, namun tak pernah ia bela Soi Fon maupun Ggio dalam perselisihan mereka. Ia cukup sebagai adik laki-laki yang mengalah, dan tak ikut campur dalam permasalahan.
"Kenapa neechan benci padanya, sih?"
"Awalnya aku tidak membencinya," raut kekesalan dalam wajah oriental Soi Fon tiada terhapus. Alisnya membentuk kerutan, sisi pemikirnya tampak. "Namun ketika aku mengetahui kebusukannya di belakang, aku membencinya."
Perbincangan semakin menarik tanpa terasa. Kaien diburu rasa keingintahuannya. "Kebusukannya? Seperti apa?"
"Kau tahu sifatnya seperti apa saat Sekolah Menengah Atas dulu?"
"Menarik, pintar, tampan, selalu memuaskan, dipuja banyak wanita—pokoknya gelar 'perfect' selalu diraihnya."
Soi Fon terkekeh. Bagaimanapun juga, Ggio pandai sandiwara. Mengelabui ratusan—bahkan ribuan kenalannya di sekolah maupun di keluarga tidaklah sulit sama sekali baginya. Bahkan adik lelakinya sekalipun terkecoh.
"Itu palsu."
"Hah?"
Soi Fon mengulang, "Tentu itu palsu," ia menengadahkan kepalanya menuju bingkai foto yang terpajang di atas piano Clavinova di sana. Gambar dirinya, Kaien, serta Ggio, tercetak di sana. Mereka bertiga tersenyum dalam panorama taman hiburan. "Kau pasti bertanya-tanya. Dia itu munafik."
Angin luar bahkan tak berani mengganggu pembicaraan. Udara memanas. Lekak-lekuk kerutan perlahan muncul pada alis Kaien.
"Munafik? Memang dia melakukan apa saja? Kau mendeskripsikannya seolah dia adalah kutu antagonis yang teramat picik. Uh-oh, lihatlah arah pembicaraanku yang semakin ngawur ini."
Soi Fon membentuk kekehan sejenak. "Asal kau tahu, dia itu hanya sok baik dan sok alim di hadapan siapapun. Di belakangnya, ketika seorang gadis memberikan padanya sebuah pernyataan cinta dalam bentuk apapun, lekas ia akan membuang pernyataan itu semena-mena. Dia itu pandai berkamuflase."
Kaien bungkam, tertegun. Oh, ia baru mengetahui sifat asli kakak lelakinya.
"Hmmm… sebenarnya aku tak peduli juga," Kaien bergumam. Soi Fon menoleh menatapnya, seakan butuh kalimat penjelas. Lelaki berambut cepak itu melanjutkan, "Aku kurang menyukai suasana keluarga entah kenapa, makanya aku memilih tinggal sementara di sini. Lagipula, di sini nyaman, neechan. Orangnya ramah-ramah."
"Tapi aku agak kesepian tanpa kehadiranmu. Lain kali kau perlu mengunjungi kami, Kaien. Ayah dan Ibu juga merindukanmu, asal kau tahu."
Soi Fon berhenti bertopang dagu. Sorot matanya terarah menuju jarum jam yang terpaku pada tembok. Menunjukkan pukul lima. Ia tersentak, lantas berdiri, kemudian meraih tas kecilnya.
"Adios, Kaien! Aku perlu kembali!" ucap Soi Fon tergesa, sekilas menengok dan berkata, "ah iya!—Baru ingat! Datanglah malam ini! Kau perlu merayakan keberhasilanmu dalam olimpiade itu. Ja~!"
Bam.
Hal terakhir yang Kaien lihat, hanyalah lambaian tangan beserta senyum kecil milik Soi Fon.
"Ah, neechan. Kau melebih-lebihkan keberhasilanku," Lelaki dengan mata teal mempesona itu mengukir senyum. "Tapi… tak apalah. Setidaknya mereka telah menyiapkanku sebotol wine."
Kaien mengalai pada sofa yang sempat diduduki Soi Fon tadi. Sesekali mendongak kepala ke atas sembari menghela nafas, kebiasaan buruk dirinya di waktu luang tanpa kerjaan.
Angin semilir sesekali lewat tanpa mengucap permisi. Waktu tenang yang dibutuhkan Kaien Shiba sedang dinikmatinya.
Ya, tenang beberapa saat, kemudian pintu rumahnya terbuka.
Pemuda berambut cepak itu perlu menatap kembali pintu rumahnya yang bercat putih. Sesosok manusia nampak masuk dalam wilayahnya.
Mungkinkah Soi Fon mencari barangnya yang tertinggal?
Atau mungkin Soi Fon melupakan sesuatu yang harus diucapkannya?
Atau mungkin—
"Kau salah masuk lagi, Miyako-san."
Wanita dengan senyum keibuan itu tersenyum kecil. "Ya. Kau benar. Maaf, dan, terima kasih telah memperingatiku."
Lantas ia berlalu.
.
.
.
—Tsuzuku—
.
.
.
# done! dan, pendek! wuahahaha! tadinya emang mau dibikin panjang—minimal 1500 words, lah. tapi? uohohoho, yumi bilang 1 ch 500 words pun tak masalah. lagipula akuu ngejer ini fic! kebelet pengen selesai! jadi... ya sudah. keberatan? lemparkan pada review :)
# terus, yumi. fic 'Give and Yuki' resmi kuhapus dan kuganti dengan yang ini. kenapa oh kenapa? padahal ide saja terpikir. tapi... gak mudeng akuu ._. maaf, yeah? puas ndak sama yang ini? kalo gak, tampol aku, yumi. silahkan ;_;
# terus, incest! tidak! sedang gila! Dx ini karena mama! hobinya racunin drama Taiwan-Korea mulu! dan, ide kian berdatangan, deh Dx khusus fic yang ini, idenya terinspirasi dari 'Summer Desire'—yang main Barbie Hsu. dan, oh ya, minna, pemerannya LUO XI CAKEP BANGEEET LOH! meski tampang preman, tapi... awawawawawa! xD /numpangrambling /salah
# gak, gak kok, idenya gak sama, kalau kalian gak nonton Summer Desire. kalo diliat beda. chapter selanjutnya juga ga sama lagi ._.
# dan, minna-san! chapter dua diupdate lama, okeeeh? akuu TO berturut-turut! sekolah tega, yah? masa selang dua minggu, TO lagi, dua minggu, TO lagi, terus, terus, terus, BETE! Dx pokoknya akuu sibuk minnaaaa! Dx tau gak? nilai TO pertamaku ajaa ancur-ancur beud! paling tinggi cuma inggris, 92. sisanya? uohohoho, di bawah 75! Dx jadi, lama, dan, DOAKAN AKUU YAAAAA! ;_;
# dan, REVIEW, PLEASE? ;_;
