A Kuroko no Basuke fanfiction
"Dream"
Untuk menyemarakkan Miragen+ Kagami Big Bang 2016
Tidak ada editan khusus. Crosspsted di Ao3
Disclaimer: Kuroko no Basuke (c) Tadatoshi Fujimaki
Warning: mild language /grin widely/ Psycho-Pass!AU
Happy Reading
"Pergi kau, anak terkutuk!"
Bocah berambut pirang itu menggeleng seiring air mata jatuh dari sudut matanya. Dihiraukan perih di pipi tirusnya yang membengkak, bocah itu terus menangis saat sebuah tendangan mendarat di perutnya. Dia tercampak dengan mulut yang mengeluarkan darah. Tendangan demi tendangan pun diterimanya lagi sampai ia terjatuh bergelinding menuju pintu. Bocah itu sudah setengah sadar. Sakit berdenyut-denyut di tubuhnya sudah menumpulkan sebagian inderanya.
"PERGI SEBELUM KUHAJAR KAU!" bentak pria itu lagi sambil menampar Ryouta.
Bocah itu menggeleng sambil menahan isak tangisnya. Tangannya meraih ujung celana panjang pria di depannya dan menatapnya dengan tatapan memohon. Pria itu menginjak dadanya, menciptakan bunyi patahan yang keras di dadanya, membuat bocah itu melolong kesakitan.
"PERGILAH, RYOUTA!"
Bocah itu, Ryouta, diangkat lalu dilempar keluar dari tempat yang selama ini disebutnya rumah. Napasnya pendek dan terasa menyakitkan, semua bagian tubuhnya berdenyut gila. Ryouta ingin menangis tetapi air matanya sudah kering.
Ryouta tak mengerti kenapa ia bisa berakhir seperti ini. Ryouta hanya meminta ayahnya untuk pergi bekerja tadi. Ryouta tak mengerti mengapa ia selalu dipukuli sejak ibunya meninggal. Ayahnya jadi sering mabuk dan menelan berbagai jenis pil warna-warni semenjak ibunya pergi ke tempat yang tak bisa Ryouta capai.
Deru sirene dan suara cempereng dua ekor Komissa yang meminta untuk tenang, membuat bocah sepuluh tahun dengan rambut pirang itu kebingungan.
'Apa lagi yang terjadi?' pikirnya.
Ryouta berusaha bergerak dari tempatnya dicampakkan dan usahanya terhenti saat seorang pria mengangkatnya dan mengatakan beberapa patah kata yang tak bisa Ryouta mengerti. Ryouta hanya bisa pasrah saat pria itu memasukkannya ke dalam sebuah mobil dan membawanya pergi entah kemana.
Setelah berhari-hari dirawat dan sebagian luka di tubuh Ryouta mulai membaik, Ryouta dibawa lagi oleh sepasang petugas berseragam. Ryouta disuruh berganti baju dengan baju yang mereka berikan dan kembali mengikuti mereka menuju sebuah tempat.
"Kise Ryouta-kun," kata petugas itu sambil meletakkan telapak tangannya yang besar di bahu Ryouta sesampainya mereka di depan sebuah gedung yang besar, "mulai hari ini kau akan ditempatkan disini."
"Ini tempat apa?" tanya Ryouta sambil mengamati gedung itu. Banyak petugas berwajah menakutkan juga petugas-petugas dengan wajah bosan. Untuk sesaat, Ryouta merasa ketakutan. Ia tidak boleh ada di tempat dengan orang dewasa berwajah seperti itu.
Ryouta memandang biji mata kecokelatan pria dihadapannya, menuntut jawaban.
"Ini tempat rehabilitasi. Di sini, tempat dimana orang-orang dengan koefisien kriminal yang tinggi tinggal untuk direhabilitasi," jelas pria itu, senyum getir terpatri di wajahnya tanda simpati.
Hati Ryouta mencelos. Koefisien kriminalnya tinggi? Jika koefisien kriminal tinggi, berarti dia memiliki posibilitas tinggi untuk melakukan kejahatan, 'kan?
Apa artinya dia jahat?
Apa Ryouta melanggar hukum Sibyl?
Memang apa yang sudah dilakukan Ryouta?
Ryouta tidak tahu.
"Apa aku orang jahat?" Ryouta bertanya lagi. Kelereng madunya berkaca-kaca. Air mata sudah terkumpul di pelupuk matanya, siap meleleh kapan saja menjadi derai tangis yang menyedihkan.
Pria itu menggeleng pelan, masih tersenyum getir. Dia iba pada anak kecil di hadapannya. Ditahan karena pernah berpikir untuk berbuat jahat? Konyol sekali, bukan?
Dua orang petugas dari dalam gedung itu datang dan segera membawa Ryouta tanpa berkata sepatah katapun.
Yang dilihat Ryouta selanjutnya adalah ruangan sempit dengan pembatas jutaan kibit-kibit hologram.
"Ini tempatmu sekarang," kata petugas itu dingin sambil membukakan pintu hologram untuk Ryouta. Ryouta didorong masuk dan pintu itu ditutup kembali. "Mulai hari ini kau akan menjadi kriminal. Semoga kau senang berada di dalam sana sampai waktu yang tak bisa ditentukan."
Ryouta terdiam, tak membalas kata-kata dingin petugas rehabilitasi itu. Ryouta tak mengerti mengapa ia jadi seperti ini. Pertanyaan yang sama pun timbul kembali di benak Ryouta.
Apa salahku?
Kejahatan apa yang sudah kulakukan?
Mengapa Sibyl memperlakukanku seperti ini?
Dada Ryouta sesak. Pandangannya mengabur seiring air mata memenuhi pelupuk matanya kembali. Ryouta menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desakan dari dalam dadanya yang menginginkan ia untuk menangis. Ryouta tak dapat menahannya lagi. Keheningan yang mencekam dan desisan pelan saat teralis hologram yang disentuh Ryouta adalah teman Ryouta mulai saat ini. Ryouta memeluk lututnya dan mulai menumpahkan air matanya lagi, terisak berjam-jam, berusaha menerima nasibnya yang baru ditentukan oleh Sibyl System.
Kise Ryouta resmi menjadi seorang kriminal laten.
.
.
.
Ryouta tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu selama ia berada di sel yang diisi dengan satu kamar mandi, sebuah tempat tidur, dan sepasang meja dan kursi besi yang membosankan ini. Baginya, waktu sudah berhenti sejak ia masuk kemari. Tidak ada lagi siang dan malam bagi Ryouta. Tidak ada lagi pergantian hari, bulan, atau bahkan tahun bagi Ryouta. Semuanya sama, tak ada yang berubah.
Ryouta memandangi langit-langit selnya yang suram. Selnya tidak kotor hanya suram oleh aura yang dikeluarkan Ryouta selama ada di sini. Sebuah robot yang biasa disebut drone itu pun masuk. Kali ini yang datang adalah sebuah drone pembersih dengan seorang petugas wanita yang bahkan Ryouta tidak mau kenali namanya. Drone itu datang untuk membersihkan selnya agar tak ada kotoran yang membuat tahanan sepertinya sakit dan gagal direhabilitasi.
Drone itu pun keluar dan petugas itu masuk ke dalam sel Ryouta.
"Warnamu masih gelap, Ryouta-kun," kata si petugas sambil meletakkan nampan berisi makanan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya.
"Sekali pun warnaku menjadi cerah, aku tetap jadi seorang kriminal laten, bukan? Lagipula apa laten bisa kembali menjadi manusia biasa?" balas Ryouta tajam sambil menatap petugas berambut pendek itu sinis. Petugas itu mendengus dan keluar dari sel Ryouta lalu menguncinya lagi.
Ryouta menghela napas berat. Ryouta meraih sepotong roti dan memasukannya ke dalam mulutnya yang kering secara perlahan. Dikunyahnya olahan tepung terigu beragi yang selalu terasa hambar di mulutnya itu.
Ryouta tak mengerti, mengapa makanan yang dimakannya sejak masuk kemari sama seperti rasa obat yang selalu dikonsumsinya: hambar. Ryouta benci itu.
Ryouta memilin-milin rotinya saat dirasa ia sudah tidak bernafsu lagi. Ryouta memikirkan jawaban-jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ryouta sudah mengetahui alasan mengapa ia ada di sini beberapa hari—entahlah, Ryouta tak tahu—yang lalu setelah bertanya pada petugas itu. Beliau menjelaskan bahwa, koefisien kriminalnya meningkat tajam dan huenya berubah menggelap. Jika Ryouta tak salah ingat, koefisien kriminal adalah 121,3. Koefisien kriminalnya meningkat karena perasaan sakit dan stress saat ayahnya memukulinya.
Ryouta menarik napas dalam-dalam dan membuangnya berat. Dilemparnya roti itu menyebrangi celah teralis hologramnya. Ingin rasanya Ryouta keluar dari penjara pengap dan transparan ini. Ryouta bosan. Ryouta ingin kebebasan.
Ryouta masih tak bisa menerima kenyataan jika ia menjadi seorang kriminal laten di usianya yang bahkan baru menginjak sepuluh tahun. Seharusnya Ryouta masih bebas bermain-main bersama kawan sebayanya di sekolah, menuntut ilmu bersama guru dan tablet-tablet hologramnya. Tetapi, kenyataannya Ryouta di sini; mendekam di balik teralis hologram, menjadi tahanan Sibyl karena 'kejahatan' yang dilakukannya.
Sibyl pasti salah membaca huenya. Ryouta tidak seharusnya ada di sini. Ryouta ingin pulang. Ryouta ingin melihat dunia luar lagi. Ryouta ingin melihat para Komissa yang memberi penyuluhan, kakak-kakak cantik yang mempromosikan obat dan drone-drone keren yang berlalu-lalang di jalan raya.
Lagipula, siapa Sibyl itu? Apa hak Sibyl sampai tega merengut masa kecil Ryouta? Apa mereka tahu jika Ryouta ingin melihat dunia luar? Kenapa Sibyl begitu kejam?
Ryouta melompat menuju teralis ruangannya dan mengulurkan tangannya keluar saat seorang petugas wanita melintas setelah memeriksa sesuatu di depan selnya.
"Apa kau bisa mengeluarkan aku? Sebentar saja, kumohon," Ryouta memohon. Ditatapnya petugas itu dalam-dalam, berdoa semoga petugas itu bisa membaca hatinya, mengerti kemauan kecilnya.
Petugas itu justru mendorongnya masuk ke dalam sel. Ryouta masih belum putus asa. Ryouta kembali dan berhasil menarik ujung jas laboratorium petugas itu yang hendak berlalu itu.
"KELUARKAN AKU!" Ryouta memohon lagi, kini sambil menahan tangis. "KUMOHON, KELUARKAN AKU! AKU TIDAK BERSALAH! SIBYL PASTI SALAH MEMBACAKU!"
Petugas itu membuka pintu sel hologram Ryouta lalu mendorong Ryouta ke dinding dan menyuntiknya dengan cepat.
"Sibyl tidak mungkin salah." kata petugas itu sambil menidurkan Ryouta yang lemas di lantai. Pandangan Ryouta mengabur dan tubuhnya terasa berat. Kelopak matanya semakin berat saat pintu selnya menutup. Petugas itu pergi saat kelopak matanya perlahan-lahan terkulai lemas. Sedetik kemudian, dunia Ryouta gelap kembali berkat obat penenang.
Ah, ingatkan Ryouta untuk selalu membenci Sibyl.
Ryouta terbangun karena suara raungan tangis dari depan selnya. Ryouta membuka matanya, mengerjapkannya perlahan. Berisik sekali, pikirnya.
Ryouta meregangkan kepalanya, menggeliat setelah tidur cukup lama, sekaligus melihat apa yang terjadi di sel di depannya.
Seorang penghuni baru.
Sel di depannya sekarang diisi oleh seorang bocah lain dengan rambut hitam yang poninya terbelah dua. Ryouta mendekati teralisnya, menyandarkan punggungnya ke tembok dan mencuri pandang pada bocah yang sedang memungguginya itu.
Bocah itu terus bergeming selama Ryouta memperhatikannya. Terbersit rasa ingin tahu dalam benak Ryouta tentang bocah di hadapannya ini. Ryouta bertanya-tanya, mengapa bocah itu bisa bernasib sama sepertinya yang malang ini.
"Hei,"
Ryouta segera berpaling ke sumber suara, bocah raven yang masih seseenggukan itu memanggilnya.
"Ya?" sahut Kise sekenanya. Dia canggung luar biasa. Kapan terakhir kali ia bersuara dan bertanya dengan normal?
"Kau sudah lama berada di situ?" tanya si bocah raven itu lagi dengan bibir bergetar.
Ryouta menggeleng sambil mengedikkan bahunya, "Aku tidak tahu pasti. Tapi rasanya sudah lama sekali. Mungkin enam bulan?" jawab Ryouta ringan dengan nada menebak-nebak lalu Ryouta tertawa miris: menertawakan betapa sok tahunya dia.
Bocah itu tertawa juga, diiringi beberapa tetes air mata yang jatuh sepasang manik matanya yang menyalin sempurna warna langit yang mendung.
Hati Ryouta mencelos melihat bagaimana sedih sosok kecil di seberangnya, memeluk lutut dan membenamkan wajahnya dengan bahu gemetar.
Ryouta menghela napasnya, lelah. Setiap keping memori yang didapatnya di sini, bagaimana pun tetap terasa menyakitkan.
Ryouta seperti berkaca pada dirinya beberapa waktu yang lalu.
Beberapa waktu yang lalu, Ryouta pasti begitu setiap harinya. Tertawa dan menangis di saat yang bersamaan seperti orang tak waras. Setiap Ryouta mengingat statusnya sekarang, seorang kriminal laten, Ryouta dengan mudah akan menertawakan dan menangisi nasibnya malang. Meratapi nasibnya yang menyedihkan, mengutuk Sibyl yang kejam, dan juga ayahnya yang tukang konsumsi obat-obatan penenang.
"Jangan menangis," kata Ryouta.
Berusaha menghibur orang lain, heh? Ryouta memang naif. Sok terlihat kuat di hadapan orang lain. Ryouta tahu ada yang salah dengan kepalanya.
"... Karena percuma saja kau menangis. Kau tetap tidak akan... keluar dari tempat ini, sebanyak apa pun kau menangis." sambung Ryouta dengan suara serak.
Ryouta pun kembali memilih bungkam, tidak mau berbicara lebih banyak lagi. Ryouta tak mengira jika akan ada lagi anak seusianya yang ditahan Sibyl karena 'kejahatan' yang mereka lakukan.
Ryouta menyandarkan dirinya lagi ke dinding, membayangkan dirinya keluar dari selnya, menghirup udara bebas, dan bertindak seperti saat ia bukan seorang laten. Ryouta tersenyum membayangkannya. Dia membayangkan dirinya berlarian kesana kemari dengan hue secerah helaian pirang rambutnya, tertawa bersama teman-temannya, dan bermain di wilayah edukasi sepuas-puasnya.
Sedetik kemudian, sesak pun menghinggapi dadanya. Hanya sesak, Ryouta tak mau menangis untuk sesuatu yang tak berguna lagi. Air mata Ryouta berharga. Ryouta tahu bahwa suatu saat nanti, entah kapan, Ryouta akan menitikkan air matanya untuk satu tujuan yang jelas.
Ryouta sudah mengerti, kemungkinan ia keluar dari sini sama dengan nol persen jika warnanya tetap gelap dan koefisien kriminalnya masih tinggi. Ryouta bahkan tak yakin jika koefisien bisa turun: menjadi 111,2 misalnya.
"Aku Takao. Takao Kazunari," kata bocah itu, Kazunari, menyebut namanya dengan suara lemah, nyaris berbisik, namun masih bisa didengar Ryouta.
"Ryouta. Kise Ryouta," sahut Ryouta canggung. Sudah lama ia tak menyebutkan nama depannya, nama yang juga disandang oleh ayahnya yang brengsek.
Keheningan pun melanda kembali. Desis teralis holo di samping Ryouta entah mengapa menjadi merdu terdengar dan Ryouta menikmati desah teralis itu.
"Sepi, bukan?"
Kazunari berpendapat dan Ryouta hanya mengangguki dengan cepat.
"Pasti lebih mengerikan lagi saat malam tiba, bukan?" tambah Kazunari, terdengar menebak-nebak. Matanya dihiasi binar keingintahuan yang dibuat-buat.
Spontan Ryouta terbahak. Menakutkan, katanya? Membayangkan berada disini, siang atau malam, musim semi atau musim dingin sekali pun sama saja!
Sepolos itukah Kazunari itu? Apa dia tahu kalau berada di sini, apapun kondisinya, itu menakutkan? Kazunari konyol. Ryouta bahkan tak sebodoh itu.
Ryouta tertawa sampai memeluk perutnya, membuat Kazunari mengerutkan keningnya kebingungan.
"Apa yang lucu?" tanya Kazunari bingung. Ryouta segera menghentikan tawanya dan kembali berwajah suram seperti yang sudah-sudah dilakukannya selama di dalam sel pengap yang menyebalkan ini.
"Maaf kalau aku membuatmu tersinggung." kata Ryouta muram. Dia bergerak menuju tempat tidurnya, merasa tidak enak karena sudah menertawakan kepolosan Kazunari yang notabenenya masih baru tinggal di sel.
"Kise! Oi, Kise!"
Dengan enggan Ryouta membuka matanya dan mengerang saat ia harus mencari sandai yang biasa dikenakannya, tercampak entah kemana saat ia melompat tidur tadi.
"Ada apa, Takao?" Ryouta bertanya sambil mengucek matanya dan menguap.
"Tebak apa yang dikatakan sipir itu padaku!" Kazunari berseru dengan ekspresi senang yang membuat kening Ryouta berkerut keheranan. Apa kira-kira yang bisa membuat tahanan seperti dia (dan Ryouta) senang?
"Tidak tahu," jawab Ryouta sambil duduk menghadap Kazunari.
"Kau tidak mau menebak?"
Ryouta menggeleng. Ryouta benar-benar tak bisa memikirkan jawabannya.
Kazunari mendecakkan lidahnya dan menjawab, "Kita boleh memohon, uhm, maksudku, meminta apapun sebanyak satu kali saat pergantian tahun beberapa hari lagi."
Pergantian tahun? Jadi sudah hampir delapan bulan Ryouta berada di sini? Ryouta ingat kalau sebelum ia berakhir dengan mendekam di sel tercintanya, Ryouta baru saja menjalani beberapa hari untuk semester barunya di sekolah.
Oh, wow, waktu berjalan cukup cepat selama ia berada di sini saking monotonnya hari yang dijalaninya. Ryouta ingin tertawa sinis memikirkannya.
Tapi, tunggu. Tadi Kazunari bilang dia bisa memohon apa saja?
"Apa saja?" Ryouta bertanya lagi dengan sinar penuh harap terpancar dari sepasang manik madunya. "Apa saja, bukan?"
Kazunari mengangguk sambil tersenyum.
"Kau akan meminta apa, Kise?" tanya Takao riang. "Aku pasti akan memohon petugas itu untuk membebaskanku!"
Ryouta menimpali, sama senangnya, "Aku juga akan memohon hal yang sama denganmu! Kita akan keluar dari sel brengsek ini bersama-sama!"
Yang Ryouta inginkan hanyalah kebebasan. Ryouta tersenyum, benar-benar lebar sampai dia berpikir bahwa mulutnya akan sobek saat ia memikirkan dirinya keluar dari sel, menghirup udara bebas, dan bisa kembali berlarian kesana-sini seperti dulu.
Senyum Ryouta memudar saat ia teringat kata-kata dingin sang petugas. Kalimat yang menyatakan ia akan terus berada sampai waktu tidak bisa ditentukan. Yang menentukan waktu adalah Sibyl, bukan? Artinya, Ryouta tak mungkin meminta kebebasan saat pergantian tahun nanti, 'kan?
"Tapi, jika kita minta kebebasan, apa Sibyl akan mengabulkannya?" Ryouta meratap putus asa. "Sibyl mana mungkin mau mengabulkan permohonan kita yang satu itu. Kita tidak mungkin bisa meminta kebebasan pada Sibyl, bukan, Takao?" tutur Ryouta miris. Ryouta meremas ujung bajunya, mencoba menekan sesak di dada.
Kazunari menghela napas berat dan sebuah tawa yang menyedihkan meluncur dari mulutnya.
"Kau benar, Kise. Permohonan kecil itu tak mungkin bisa terkabul. Bodohnya aku sempat bahagia barusan," Kazunari mengusap kasar matanya yang berair. "Sibyl itu kejam dan tak berperikemanusiaan. Kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu, sih?"
Keheningan menguasai mereka kembali. Atmosfer berat yang diciptakan kedua bocah berusia sepuluh tahun lebih sedikit itu membuat sel masing-masing terasa lebih suram.
Ryouta menghela napas lagi dan membaringkan dirinya di lantai selnya yang dingin. Ryouta menatap langit-langit selnya, meneliti setiap kibit sel hologram yang menciptakan langit-langit selnya untuk mengusir fakta dia bukan apa-apa lagi di dunia ini.
"Ayo minta sebuah barang sebagai gantinya!" usul Kazunari kembali bersemangat.
Ryouta menggulingkan badannya kembali menghadap Kazunari, "Huh?"
"Kita minta sebuah benda yang bisa kita mainkan bersama!"
Ryouta berpikir sesaat. Benda apa yang bisa dimainkan bersama tanpa harus bertemu?
Ryouta kehabisan ide dan akhirnya bertanya, "Err, benda apa itu?"
"Hmm, bagaimana kalau sebuah PSP?" usul Kazunari setelah berpikir beberapa saat.
"Kau gila? Ini tahun 2084! Benda seperti itu mungkin tidak ada lagi!" Ryouta tanpa sadar berseru.
Derap langkah kaki petugas rehabilitasi membuat Ryouta dan Kazunari segera menutup mulut mereka. Mereka berdua saling tatap, bertanya-tanya kesalahan apa lagi yang sudah mereka perbuat. Ryouta menggigit bibir bawahnya, menanti petugas mana yang akan muncul dan memberi mereka kuliah singkat soal status mereka.
Menyebalkan sekali, pikirnya.
Kali ini yang datang adalah seorang petugas, mungkin seorang terapis, dengan papan jalan dan jas putihnya yang gagah. Kalau Ryouta tak salah ingat nama terapis itu adalah Araki Masako-sensei.
"Ryouta-kun, Kazunari-kun," Masako-sensei bergantian memandang Kazunari dan Ryouta dengan tatapan dingin dan senyum lembut yang dipaksakan, "kalian berdua tahu kalau hue kalian berubah gelap sedikit tadi?"
Mendengar bahwa huenya berubah mendung, bulu kuduk di atas tengkuk Ryouta meremang. Terbayang olehnya pil-pil warna-warni yang difungsikan sebagai penenang agar koefisien kriminalnya tetap stabil—tidak naik atau bahkan turuny—juga mengembalikan level stressnya ke warna yang cerah.
"Apa kalian sudah tahu kalau antar sesama laten tidak boleh berbicara karena itu bisa memengaruhi hue dan koefisien kriminal kalian? Salah satu dari kalian bisa menjadi Psycho Hazard—orang yang memengaruhi koefisien dan hue orang lain."
Ryouta memutar matanya bosan. Berapa kali diperingatkan pun Ryouta akan membandel, seperti noda karat di sudut selnya yang suram.
Apa-apaan maksud Sibyl itu? Tak cukupkah Sibyl memutus hubungan Ryouta dengan dunia luar? Apa dia juga harga putus komunikasi? Demi Tuhan, Ryouta manusia bukan robot.
"Ya." jawab Ryouta dingin. Dia pergi ke tempat tidurnya dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Dari balik selimut tipis itu, Ryouta mengerang. Ryouta memaki nasibnya dalam hati lalu Ryouta mengutuk Sibyl dan pengendalinya. Ryouta mencengkram seprai putihnya, meremasnya sampai kusut untuk membendung emosinya yang meledak-ledak di dalam dada.
Sakit. Ryouta sakit.
Satu-satunya yang bisa mengobati penyakit kesepiannya hanyalah kebebasan. Ryouta tak perlu ibunya yang kabur, pergi dengan pria yang dijodohkan oleh Sibyl untuknya. Ryouta tak butuh ayahnya yang pemabuk dan keras kepala.
Tapi jauh di dalam hati Ryouta, Ryouta sesungguhnya begitu takut.
Ryouta takut untuk melihat dunia luar. Ryouta yakin dirinya tidak akan sanggup menerima tatapan menghina dari masyarakat 'normal' dengan statusnya yang sekarang apabila ia keluar dari panti rehabilitasi yang memuakkan ini—jika memang kesempatan dengan probabilitas nol persen itu memang ada.
"Sialan," desis Ryouta seraya memukul bantalnya dengan kepalan tinjunya. "Brengsek."
Ryouta terus menyumpahi setiap karakter yang sudah mengubah hidupnya menjadi seperti ini. Ryouta terus menyumpah tanpa sadar dengan air mata berlinang karena ia tak sanggup lagi menahan sesak dan perih dari dadanya.
Ryouta membenamkan wajahnya ke dalam bantal lalu berkata dengan suara serak, "Tuhan, aku mohon, hapuskan Sibyl dari muka bumi ini."
Dan Ryouta yang kelelahan pun terlelap dengan air mata menetes.
Waktu yang dianggap Ryouta telah berhenti bergulir sejak ia masuk panti rehabilitasi para kriminal laten pun tetap berputar.
Tahun demi tahun pun berlalu, musim demi musim berganti. Tanpa terasa tahun 2094 pun tiba. Ryouta yang dulu hanyalah bocah seorang bocah berusia sepuluh tahun kini sudah berubah menjadi seorang pria dewasa berusia dua puluh tahun.
Helai pirangnya tidak sependek dulu, kini sedikit lebih panjang sampai nyaris menutupi matanya. Ryouta hanya beberapa kali memotongnya selama ia berada disini. Ryouta bahkan pernah sampai menguncir rambutnya karena malas meminta petugas untuk memotongnya.
Ryouta sudah tumbuh menjadi pria dengan tinggi 190 sentimeter lebih. Pencapaian yang cukup keren bagi tahanan yang kegiatan olahraganya hanya beberapa kali dalam seminggu. Ryouta juga memiliki otot-otot yang bagus karena rajin latihan di dalam sel saat ia perlu membuang-buang waktu monotonnya. Kulit putih berhiaskan beberapa bekas luka transparan, kini sudah sedikit pucat karena jarang terpapar sinar matahari—Ryouta hanya beberapa kali diizinkan keluar untuk semacam latihan dan olahraga.
Koefisien kriminal Ryouta tidak berubah, tetap di angka 121,3 dan Ryouta selalu kecewa setiap melihat angka-angka itu di papan hologram setiap kali ia menjalani pemeriksaan rutin.
Ah, seandainya angka itu bisa turun kembali ke angka di bawah angka seratus, apa status kriminal laten akan tetap menempel pada dirinya?
Tapi sekarang, Ryouta tidak tahu dan tak mau tahu. Ryouta merasa sudah sangat berkecukupan dengan fakta bahwa dia adalah seorang kriminal selama sepuluh tahun dan dia tak perlu lagi bermimpi muluk-muluk menjadi masyarakat biasa.
Kenapa koefisiennya tidak pernah turun?
Kenapa hanya warna huenya yang berubah?
Ryouta muak. Rasanya ia ingin membantingkan kepalanya, membuat kepala gegar agar ia punya alasan untuk amnesia supaya ia bisa melupakan segunung pertanyaan yang menumpuk sejak ia masuk panti rehabilitasi. Ryouta sudah lelah dengan kehidupan ini sesungguhnya. Tapi hanya Sibyl yang bisa menentukan hidupnya, bukan?
Tch.
Ryouta melangkah dari toilet dalam selnya dengan handuk menggantung di leher. Mandi pagi bagus untuk menyegarkan kepalanya yang sesak, dipenuhi pertanyaan demi pertanyaan yang tak akan pernah bisa ia jawab.
Ryouta mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuknya sambil menatap lurus ke sel di depannya. Sel yang delapan lalu ditinggalkan satu-satunya teman Ryouta selama di panti rehabilitasi, Takao Kazunari.
Ryouta terduduk di atas tempat tidurnya lalu mendesah saat mengenang wajah Kazunari yang selalu ceria saat berkomunikasi dengannya. Ryouta menundukkan kepalanya, menatap lantai di bawahnya, menyelami memori kelamnya selama ia berada di sel ini bertahun-tahun lamanya.
Jika kalian tanya kemana Kazunari pergi, jawabannya adalah Kazunari sudah mati. Mati di tangan sistem konyol yang disebut Sibyl System.
Sepengetahuan Ryouta, Kazunari dimusnahkan Sibyl karena mencoba kabur dari tempat rehabilitasi dengan koefisien kriminalnya yang meningkat tajam, dari 150 ke 200 dengan instan karena rasa takut.
Ryouta tak tahu bagaimana persis kejadian alasan mengapa Kazunari bisa kabur lalu mati. Ryouta sedang menjalani sebuah tes—tentang omong kosong yang bahkan tak sudi diingatnya—saat kejadian itu terjadi. Ryouta hanya mendengar jika Kazunari dengan cara mengacaukan sistem kunci selnya dengan barang-barang yang dirakitnya sendiri. Belum Kazunari mencapai kabur begitu jauh dari panti rehabilitasi, Kazunari ditembak dengan sebuah alat yang diberi nama Dominator, dan Kazunari meledak dengan darah yang memuncrat kemana-mana. Valid atau tidaknya cerita itupun, Ryouta tak tahu pasti.
Ryouta mendesis ngeri membayangkan hal itu terjadi. Berat Ryouta untuk mengakui bahwa ia harus memberi sebuah tepuk tangan yang meriah pada Sibyl, sistem yang dibencinya selama bertahun-tahun semenjak ia ada di sini, karena Sibyl bisa menciptakan alat secanggih dan semematikan itu.
Tetes air dingin yang jatuh dari ujung rambut Ryouta, menyadarkan Ryouta kembali ke kenyataan. Dia mengusap rambutnya lagi, mengancing sisa kancing di kemeja putihnya, dan mematut dirinya di depan cermin yang dimintanya pada petugas dua tahun yang lalu.
Ryouta mengamati pantulan wajahnya pada cermin itu. Ryouta bersyukur, bekas-bekas lukanya saat masih belia dulu sudah memudar, menyisakan satu wajah tampan tanpa cacat yang sedap untuk dipandang. Lalu Ryouta menyeringai bangga, menunjukkan sederet gigi putih terawat yang menambah nilai plus untuk dirinya yang seorang kriminal laten. Setidaknya, meski statusnya adalah seorang 'penjahat', tapi wajahnya tidak mencirikan setitik pun wajah penjahatnya yang biasanya seram untuk dilihat, bukan?
Iya, Ryouta narsis memang.
Ryouta lalu menghela napas, lagi. Dia menyandarkan dirinya ke dinding dan membayangkan dirinya yang berusia duapuluh tahun ini akan menjadi seperti apa jika tanpa status kriminal laten?
Ryouta cukup tampan untuk menjadi seorang aktor. Ryouta bisa menghibur khalayak ramai, membuat koefisien mereka menjadi warna merah jambu yang manis karena senang. Ryouta juga membayangkan bekerja di salah satu departemen dengan gaji tinggi, fasilitas mewah, juga mendapatkan jodoh yang juga diatur Sibyl.
Tak lama, Ryouta kemudian tertawa miris, menghina dirinya sendiri yang menyedihkan. Keinginan-keinginan konyol seperti itu memang sampai kapanpun, bahkan hingga tiba hari kiamat sekalipun, tak akan pernah terwujud bagi seorang kriminal laten sepertinya. Bahkan posibilitas bisa hidup seperti itu pun tak berlaku, barang satu persen pun, baginya.
Ryouta mendesah sambil merapikan rambutnya sebisanya. Dia menggantung handuk dan mengambil makanan yang disediakan petugas lalu memakannya tanpa ada nafsu sama sekali. Ryouta hanya perlu mengisi perut, tidak peduli pada rasa makanan apapun yang akan diproses organ pencernaannya. Ryouta sudah tidak ingat bagaimana makanan enak itu seperti apa rasanya. Ryouta bahkan menduga-duga bahwa indera pengecapnya sudah mati sejak ia berada di sini.
Ryouta berpaling dengan segera ke arah pintu selnya saat telinganya mendengar bahwa pintu hologram sialan itu terbuka.
"Ryouta-kun, ada yang ingin menemuimu."
Ryouta terbengong-bengong dengan mulut sedikit menganga. Remah-remah roti jatuh dari bibirnya.
"Ha?" Ryouta menyahut sekenanya karena tak bisa menemukan satu silabel kata pun yang bisa menggambarkan keterkejutannya.
Uh, siapa yang ingin menemuinya setelah sepuluh tahun ia ada di sini, mendekam di balik teralis hologram untuk satu 'kejahatan' yang tak ia mengerti, tanpa ada satu pun yang membesuk?
"Aku?" tanya Ryouta sambil menunjuk dirinya, setengah tak percaya.
Petugas itu mengangguk dan memborgol Ryouta sebelum ia dikeluarkan dari selnya dan pergi ke ruangan dimana tamunya menunggu.
Ryouta pun masuk ke ruangan tersebut dan menemukan seorang pria dengan rambut hitam yang tersisir rapi, berpakaian rapi, berwajah galak dan bermata tajam. Belum lagi bibirnya yang agak maju yang membuat Ryouta sedang setengah mati menahan diri untuk tidak bertanya apa alasan bibir pria itu sedikit maju daripada umumnya.
"Duduk," pria itu memerintah sambil menunjuk Ryouta dan kursi di hadapannya dengan matanya bergantian.
Ryouta mendengus dan mendudukkan dirinya di kursi besi di depan pria itu.
Ryouta lagi-lagi mengamati setiap garis yang membentuk wajah pria monyong di hadapannya, mengira-ngira apa gerangan pekerjaan dan berapa koefisien kriminal si pria dengan bibir maju ini.
Orang bersih, eh?
"Sebelumnya izinkan aku memperkenalkan diriku," kata pria itu lalu berdeham sok penting. "Aku Inspektur Nijimura Shuuzou dari Ministry of Walfare Public Safety Bureau, MWPSB. Gampangnya: Biro Keamanan Publik."
Ryouta membulatkan matanya.
Si bibir monyong ini tadi bilang dari MWPSB? Biro khusus yang menangani kasus kriminal itu? Biro yang bekerja di bawah nama Departemen Investigasi Kriminal itu?
Ryouta melongo tak percaya.
Ryouta masih terbengong-bengong saat Shuuzou melanjutkan kalimatnya, "Aku kemari untuk merekrutmu menjadi seorang enforcer yang bekerja di dalam divisi kami. Kau tertarik?"
"APA?!" pekik Ryouta kaget sampai Shuuzou menutup kupingnya.
"Oh, Bung, suara besar sekali," Shuuzou mengusap kupingnya. "Sibyl sudah menyetujui resumemu dan aku sedang mencari laten yang cocok untuk bekerja bersama kami. Hasil tes dan resumemu membuktikan bahwa kau berpotensi untuk bekerja bersama kami untuk membasmi kejahatan."
Shuuzou melepaskan perangkat holo dari tangannya dan meletakkannya di meja, menampilkan sepetak layar hologram yang sedang memproyeksikan data-data Ryouta.
"Aku terkejut mendapati kriminal laten sepertimu bisa mempertahankan angkanya koefisien kriminalnya selama sepuluh tahun tanpa berubah. Nilai akademismu juga terhitung tinggi. Kemampuanmu menganalisis juga cukup tinggi, belum lagi kau mengikuti seni bela diri selama di sini. Intinya, Sibyl terkesan padamu dan memberikanmu jalan baru untuk hidup dengan status kriminal laten," papar Shuuzou panjang lebar.
Ryouta tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya benar-benar terkejut mendapati bahwa dirinya akan direkrut untuk bekerja di bawah sesuatu yang sudah ia benci selama sepuluh tahun lamanya.
Ryouta sudah tahu apa itu enforcer. Enforcer itu, kasarnya, seorang kriminal laten yang ditugaskan untuk melacak dan membasmi sesama kriminal laten di bawah perintah seorang inspektur. Sementara seorang inspektur sendiri adalah jabatan paling tinggi di bidang penegakan hukum.
Oh, tunggu.
"Tunggu sebentar. Tadi Nijimura-san ingin merekrutku jadi enforcer? Apa artinya aku akan bebas dari sini?" Ryouta bertanya antusias.
Shuuzou mengangguk, "Apa itu artinya kau setuju untuk bergabung bersamaku?" Shuuzou balik bertanya, kedua alisnya terangkat penuh makna. "Pilihan yang tidak sulit, bukan? Dengan bekerja bersamaku kau bisa mendapatkan kembali kebebasan yang sudah terenggut selama kau ada di sini. Yah, meskipun kebebasan itu tak bisa sepenuhnya kau dapatkan kembali."
Shuuzou merendahkan nada bicaranya karena merasa tak nyaman dengan desah kecewa Ryouta yang awalnya sudah berharap banyak dengan penawaran Shuuzou.
"Jadi, apa kau mau ikut?" tanya Shuuzou lagi.
Ryouta menengadahkan kepala lalu menarik napasnya dalam-dalam. Dia berusaha memikirkan runtut kejadian yang dialaminya hari ini dan mengira-ngira mimpi apakah ia semalam sampai mendapatkan kejutan seperti ini. Kejutan ini begitu spektakuler sampai Ryouta bingung sendiri.
Uh, lupa. Ryouta bahkan tak ingat apa ia pernah bermimpi lagi semenjak tinggal di sel pengap itu.
Jujur, Ryouta tak mau berada di sel pengap itu lebih lama lagi. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sekalipun koefisien kriminal Ryouta tetap berada di jumlah itu selamanya, tapi Ryouta benar-benar sudah tidak kuat berada di dalam sana, sendirian dan hanya ditemani kesunyian dan sepi yang selalu ada tempat itu.
Sel itu, selama sepuluh tahun lamanya, tidak menciptakan memori apapun untuk Ryouta. Tidak sedikit pun, kecuali perasaan sedih dan tak berguna juga kematian Kazunari.
Tapi Ryouta juga tak mau bekerja di bawah kendali Sibyl!
Kenapa dia harus bekerja di bawah sistem yang paling dibencinya di muka bumi ini?
Karena dia seorang kriminal laten?
Karena dia seorang 'penjahat' maka ia yang harus memusnahkan sesama pemegang statys 'penjahat'?
Apa Sibyl pikir, dengan menjadi seorang kriminal laten, Ryouta sudah kehilangan sisi kemanusiannya?!
Ryouta sudah muak. Ryouta tak tahu harus memilih opsi yang mana. Ryouta dihadapkan dengan sebuah dilema, semua opsi yang ada di tangannya serba salah sekarang. Ryouta sudah tak tahan lagi bila ia terus dipermainkan Sibyl.
Menghadapkan Ryouta pada sebuah dilema? Sibyl ingin membuat hue-nya mendung, bukan?
Bermenit-menit berpikir, membuat Ryouta pusing dan takut membuat huenya tercemar. Ryouta mengacak rambut dan menendang kaki meja sebagai pelampiasan, membuat Shuuzou kaget lalu bersungut-sungut protes.
"Santai, oke? Aku datang kemari bukan untuk membuat meningkatkan level stressmu," kata Shuuzou sambil memegang bahu Ryouta. "Kau boleh memikirkan jawabannya dulu. Tapi bisa dibilang rekrutmen ini sedikit memaksa. Kau bilang tidak mau pun, kau harus tetap ikut. Sibyl sudah membuka jalan yang sebelumnya sudah kau tutup-"
Ryouta memotong kalimat Shuuzou dengan cepat, "KAU BILANG, AKU MENUTUP JALAN HIDUPKU SENDIRI?! TAHU APA KAU SOAL AKU?!" bentak Ryouta berang sambil memukul meja, pelampiasannya agar tak meninju bibir monyong Shuuzou, tidak terima dengan kata-kata Shuuzou.
Ryouta segera menarik napasnya dalam-dalam dan mengatur emosinya yang sempat meletup-letup. Berbahaya, koefisien kriminalnya bisa meningkat setelah ia jaga untuk stabil selama sepuluh tahun lamanya.
Shuuzou bilang dia menutup jalannya sendiri?
Tahu apa Shuuzou soal dirinya sampai dirinya berani berkata-kata seperti itu?
Tak pernah terpikir dalam benak Ryouta bahwa ia yang menutup jalannya sendiri. Yang menutup jalan Ryouta adalah keputusan sepihak Sibyl System yang menyatakan bahwa koefisien kriminalnya yang abnormal dan huenya yang gelap.
Shuuzou bertanya, "Kau baru menyadari sesuatu?"
Ryouta tercenung sesaat.
Sadar?
Tunggu sebentar! Muncul satu pertanyaan baru di kepala Ryouta.
Apa dulu, saat Ryouta dipukuli dengan membabi-buta oleh sang ayah, Ryouta berpikiran untuk melakukan hal kriminal untuk sang ayah?
Uhm, rasanya tidak. Ryouta menggeleng dan membantah dalam hati.
Shuuzou berdeham dan melanjutkan kata-katanya yang sempat terpotong, tak peduli dengan Ryouta yang tampak berbahaya beberapa detik barusan, "Jadi, apa kau akan ikut?"
Ryouta kembali duduk di kursinya, menghela napas berat. Berpikir sekarang pun tidak ada gunanya lagi. Jalan kebebasan sudah terbuka di depannya. Tidak peduli siapa yang sudah membuka dan menutup jalan hidupnya.
Ryouta tak akan menyia-nyiakannya kesempatan ini. Dia tidak ingin mati konyol seperti Kazunari yang menginginkan kebebasan atau terjebak di dalam sel itu selamanya.
Ryouta ingin bebas. Ryouta menginginkan apa yang diimpikannya selama sepuluh tahun ini. Ryouta ingin apa yang diinginkan Kazunari dulu.
Shuuzou menyeringai lebar saat Ryouta mengangguk, menyetujui perekrutannya.
"Selamat datang di biro, Kise Ryouta."
Mereka berjabat tangan, melakukan peresmian kecil, sambil tersenyum.
Untuk pertama kalinya, Ryouta setelah sepuluh tahun lamanya, Ryouta kembali peduli pada waktu. Dia bertanya pada petugas yang sedang mendata dirinya dan petugas itu menjawab bahwa malam telah tiba dan sudah waktunya untuk tidur bagi manusia 'normal'. Ryouta melompat ke tempat tidurnya yang sudah tipis karena Ryouta tak pernah mau meminta ganti pada petugas, membuat sendalnya—seperti biasa—tercampak kemana-mana. Dia memejamkan matanya, membayangkan dirinya kembali melihat langit yang berwarna biru pucat, gedung-gedung pencakar langit, para Komissa dan wanita-wanita cantik yang mempromosikan obat-obatan. Hari itu, Ryouta bisa tidur dengan tenang sambil tersenyum bahagia.
Kebebasan sudah di depan matanya. Jalan hidup pun Ryouta pun berubah.
To Be Continued
Yagi's Note :
HIYYAAA, SAYA PENASARAN DENGAN RESPON YANG BAKAL SAYA DAPATKAN DENGAN MEMPOSTING FIC INI DI SINI WWW
Kalo yang sudah baca di Ao#, saya pengen memohon maaf dulu sebesar-besarnya terlebih dahulu. Apa yang saya lakukan itu memang betul-betul jahat. Kutuk saja tangan pikiran saya yang laknat ini. maafffff! /knelt down/
Oke, ini fic panjangggggg sangat. Nggak tahu kapan bakal diupdate. Kalau penasaran bisa cek di akun Ao3 punya saya; YagiRisa. Tapi tetep tinggalkan jejak di sini yaa~
Salam dari kambing laknat yang sangat menyayangi Kise Ryouta,
Yagitarou Arisa
