Aspirin
By eseukei

Aku duduk di pojok ruangan, bersender di dinding dengan tubuh yang kuringkukkan. Kupeluk kedua kakiku dan kutopang daguku dengan lututku. Terdengar melodi yang mengudara dan suara derap kaki bergema bergantian di ruangan yang hampir seluruh dindingnya dilapisi cermin ini. Terlihat pula delapan temanku sedang menggerakkan tubuh mereka sesuai dengan ketukan lagu, lalu kemudian berhenti setelah dua diantaranya saling bertabrakkan, karena salah langkah. Yang menabrak kemudian meminta maaf dengan cengiran khasnya sambil menggaruk kepalanya, dan yang lainnya hanya dapat menghela napas, karena bukan kali ini ia mengalami kesalahan di tempat yang sama. Kuakui koreografi untuk lagu ini lebih kompleks dari yang biasanya karena di lagu ini terdapat lebih banyak pergantian formasi. Apalagi ada satu orang yang tidak ada di tempat yang seharusnya, membuat persentase kesalahan semakin membesar. Siapa dia? Dialah aku.

Baru saja beberapa menit kumulai latihanku, sudah banyak butiran keringat di keningku yang mulai mengalir. Hari ini kepalaku terasa berat dan energiku berangsur-angsur menghilang seolah terhisap oleh sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu. Selain itu juga, karena paru-paruku yang terasa seperti terbakar ini, aku sulit untuk bernapas. Lalu kusadari silaunya cahaya lampu di ruangan ini membuat mataku perih dan sedikit berair. Padahal pada saat latihan sebelumnya, tepatnya dua hari yang lalu, aku tak merasakan apapun yang salah dengan atmosfir ruangan ini. Tapi sekarang aku begitu tidak nyaman dan ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini.

Saking perihnya, kuputuskan untuk memejamkan kedua mataku. Di dalam gelap, lantai yang kududuki ini terasa naik turun, bergelombang seperti mengambang di atas permukaan air yang sedang diamuk badai. Walaupun begitu, aku masih bisa mendengar alunan lagu yang disertai dengan hentakan kaki yang sesuai dengan temponya.

Lalu ada satu sentuhan yang terasa di bahu kiriku . Aku segera membuka mataku dan menoleh ke arah dimana sentuhan itu berada, yang ternyata adalah sebuah tangan. Tunggu, tangan itu. Aku kenal jemari lentik itu. Jangan-jangan tangan itu―

"Kau baik-baik saja?"

Kuangkat kepalaku, lalu kutemui matanya. Ia adalah Ucchi, dan tangan itu milik dia. Entah sejak kapan dia di sampingku dan berlutut di sana, yang jelas sekarang adalah aku harus terlihat tidak ada apapun yang terjadi.

"A-aku," Aku rasa jantungku hampir meledak. Sialnya suara parauku ini membuatku tambah panik. "Aku tidak apa-apa kok," Kualihkan pandanganku ke arah berlawanan.

"Sungguh?" Tangannya sedikit menarik bahuku agar ia dapat melihat wajahku, mencari kebenaran.

"S-sungguh!" Kucoba membuatnya tidak memikirkan keadaanku.

"Tapi kurasa suaramu berubah."

Karena tangannya mencoba menarik lebih keras bahuku, dengan refleks tangan kiriku memegang lengannya yang tidak dilapisi sehelai kain pun, karena pakaian tanpa lengan yang ia pakai. Aku sedikit terkejut karena permukaan kulitnya sangat dingin, dan sedikit licin karena keringat. Sekarang dia malah terlihat tambah heran.

"Tanganmu." Dengan tangannya satu lagi ia meraih pergelangan tanganku. "Tanganmu hangat."

"E-eh?" Aku kaget karena ia tiba-tiba menempelkan punggung tangannya di keningku. Lalu ia membiarkannya disana selama beberapa detik. Aku sedikit merinding karena kalor di permukaan kulitku yang berpindah ke tangannya.

"Suhu tubuhmu tidak normal, dan kau bilang kau tidak apa-apa?" Keluhnya seraya menarik kembali tangannya. Ia menatapku sebentar, lalu berdiri dan pergi ke tempat dimana tasnya berada. Hanya sebentar dia di sana, kemudian ia kembali lagi dengan membawa botol minumnya. Kulihat tangannya yang satu lagi menggenggam sesuatu tapi aku tidak tau apa itu jadi aku diam saja. "Ayo kita pergi."

"Kenapa?" Tanyaku.

"Sepertinya kau butuh udara segar, kan?" Jawabnya saat tangannya menyodorkan botol yang tadi dipegangnya. Kuambil botol itu dengan kedua alisku yang terangkat.

"Bagaimana dengan latihannya?"

"Itu urusan nanti." Ia menarik tanganku untuk memudahkanku berdiri.

Sementara genggaman tangannya berada di tanganku, ia menuntunku ke pintu. Sebelum akhirnya kami benar-benar keluar dari ruangan latihan, kulihat beberapa teman kami melihat kami dengan heran. Tapi dengan tatapan yang diberikan Ucchi, mereka mengerti lalu kembali pada latihan mereka.

Dari kami keluar dari ruangan hingga keluar dari gedung, tangan kami terus terhubung. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, matanya fokus pada apa yang ada di depannya. Pegangan tangannya erat, sesekali ibu jarinya mengusap-usap punggung tanganku. Entah itu disengaja atau hanya perasaanku saja, anehnya, hal itu menimbulkan perasaan senang di dalam hatiku. Dan sekarang kami duduk di belakang gedung, di bawah salah satu dari beberapa pohon besar yang ada, masing-masing pohonnya diberi pagar berupa batu bata sehingga kami dapat duduk di atasnya. Ia tidak mengatakan apapun selain menyuruhku untuk duduk.

Ada yang beda dengan Ucchi, itulah hal yang pertama muncul di benakku saat kulihat ia menatap kosong pemandangan di depannya. Biasanya sifat jailnya akan keluar kalau dia sudah dekat-dekat orang, mencolek, menggelitik atau sekedar mencubit lengan lawan bicaranya. Terlebih lagi, raut wajahnya lebih datar daripada biasanya. Dia hanya diam, duduk, kedua tangannya ia letakkan di samping, kakinya terpaku di permukaan tanah. Hanya bahunya yang terlihat naik turun secara teratur, dan beberapa helai rambutnya yang melambai-lambai diterpa angin.

Aku sendiri juga tidak banyak gerak. Kedua tanganku memegang botol yang Ucchi berikan dan pandanganku ke bawah, menatap salah satu kakiku yang sesekali memainkan batu kecil. Aku juga lupa membawa ponsel, kuyakin benda itu ada di ruangan latihan, di samping dimana aku duduk sebelumnya. Semoga ada yang menyadari ponselku di lantai dan menaruhnya di tasku, atau semoga tidak ada yang menginjaknya sampai aku kembali. Urgh, kenapa aku sampai melupakannya?

Tak sengaja kutendang batu kecil yang tadi aku mainkan, terpental jauh ke depan sehingga menarik perhatian Ucchi. Setelah batu itu berhenti menggelinding, ia melihat ke arahku.

"Pai-chan?" Panggilnya sambil tersenyum.

"Ya?" Tanyaku bingung, otakku tidak dapat bekerja semenjak ia tersenyum.

"Apa setelah ini kau ada jadwal lain?" Tanyanya.

Sebenarnya ada, tapi aku ragu untuk bilang. Aku takut ia akan menjadi khawatir. Mungkin saja ia akan menyuruhku pulang, atau mungkin saja ia akan menyemangatiku agar dapat bertahan hingga semua jadwalku selesai. Tapi di dalam hatinya, ia mengkhawatirkan aku. Dan aku cemas dengan yang satu itu.

"A-ada, memangnya―" Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya. Telapak tangannya terbuka dan di atasnya ada satu buah tablet kecil yang terbungku plastik putih. Kutatap sejenak benda itu, lalu berpindah kepada yang menyodorkannya. "Aspirin? Untuk apa?"

"Apa lagi kalau bukan untuk menahan rasa sakitmu. Minumlah." Katanya. Aku langsung menuruti katanya. Kuambil aspirin itu, lalu kuminum bersama dengan air yang ia berikan sebelumnya.

"Terima kasih," Ucapku seraya menutup botol minum. Ia hanya memberikan senyumannya sebagai balasan. Eye-smilenya… Aku bersumpah aku tidak bisa bertahan dari senyumannya yang begitu menyilaukan. Kalau begini, aku bisa mimisan.

"Bagaimana kalau kita kembali sekarang?" Ajaknya sambil berdiri dari duduknya. Aku mengangguk dan mengikutinya berdiri. Lalu kami berjalan berdampingan ke pintu belakang gedung tersebut. Tapi saat aku hendak menarik gagang pintu, Ucchi menahan tanganku.

"Kenapa?" Tanyaku heran.

Tiba-tiba ia melebarkan kedua lengannya, dan pada detik selanjutnya ia melingkarkannya di tubuhku sehingga kedua lenganku terkunci di dalamnya. Pelukkannya sangat erat. Aku sempat susah bernapas, sekalinya dapat menarik napas, udara yang kuhirup adalah udara yang membawa aroma tubuh Ucchi. Aku rasakan panas yang merambat di permukaan kulit wajahku. Kusadari kedua tanganku mengepal erat saat Ucchi yang menyenderkan kepalanya di pundakku sebelah kanan, mengusap-usap hidungnya di atas permukaan pundakku yang terbuka, dan itu juga berhasil membuatku merinding.

"Iya, iya. Aku tau kau rindu denganku, tapi kalau begini kau akan membunuhku." Kuisyaratkan agar ia berhenti memeluk erat diriku. Tapi ia tidak segera melepaskan pelukannya, ia hanya menatapku. Aku dapat melihat dengan jelas iris mata coklatnya dan pupil hitamnya karena jarak kami hanya terpaut beberapa senti.

"Membunuhmu?" Ia mengangkat alisnya sebelah. Hembusan napasnya menabrak pelan wajahku, membuat permukaanya terasa bertambah panas. Seringai anehnya membuatku merasa tidak enak. "Bagaimana dengan yang ini?"

Ia turunkan wajahnya, menuju leherku, dan mencium tepat di atas urat nadiku.

Aku membelalak, terkejut, lalu mendorongnya dalam satu gerakan.

"Ucchi! Apa yang kau lakukan?!" Seruku dengan kedua tanganku memegang erat kedua lengannya. Ia tertawa pelan, sepertinya menikmati diriku yang kelabakan karena ulahnya.

"Membunuhmu," Aku tau dia melucu, tapi itu tidak membuatku tertawa. "Mau lagi?"

"TIDAK!"

-[]-

Sebenarnya aku tahu penyebab demamku ini. Kemarin malam aku lupa menaruh pengatur AC di meja saat aku hendak tidur. Akhirnya aku tidur bersama pengatur AC itu. Dan entah bagaimana caranya, saat aku tertidur, dengan ketidaksengajaan, aku menekan pengatur AC tersebut hingga suhunya menjadi sangat rendah. Saat aku bangun, aku kira aku berada di dalam kulkas, badanku menggigil kedinginan. Tapi aku tak menyangka akan demam seperti tadi siang.

"Ah, jadi begitu." Kudengar suara Mimorin dari seberang.

Mimorin menjadi orang yang pertama meneleponku saat aku sudah di rumah. Ia memang suka meneleponku, sekedar curhat atau mengajakku pergi keluar. Entah itu sudah tengah malam atau dini hari, selama ia merasa bosan ia akan menghubungiku. Kali ini pun ia menanyakan apa yang aku dan Ucchi lakukan tadi siang. Otakku langsung bereaksi cepat mendengar nama Ucchi. Tubuhku langsung merinding seperti ada aliran listrik menjalar di permukaan kulitku.

"Ia langsung memberiku aspirin dan menyuruhku untuk meminumnya. Jadi, kuminum." Ucapku seraya membaringkan tubuhku di atas ranjang. "Setelah itu aku baik-baik saja, sampai sekarang."

"Baguslah kalau begitu. Beruntung sekali Ucchi cepat menyadarinya." Ucapnya.

"Walaupun Ucchi tidak menyadarinya, aku yakin manager-ku yang akan menyadarinya."

Kemudian kami berdua pecah dalam tawa.

"Dan apa kau tau setelah itu? Dia tiba-tiba memelukku erat, sangat erat." kulanjutkan ceritaku. Lalu aku teringat kembali seperti apa harum tubuh Ucchi yang khas itu.

"Ayolah, Pai-chan. Dia melakukan itu dengan siapa saja. Tidak ada yang spesial dengan itu. Yang spesial dengannya hari ini adalah dia memberikanmu aspirin. Aku baru tau kalau dia membawa obat itu kemana-mana." Ucapnya. Mimorin memang ada benarnya.

"Tapi kau belum dengar semuannya," kataku pelan.

"Kau bilang apa?"

"Ah, aku baru ingat kalau pagi-pagi sekali aku ada jadwal." Ucapku diselingi dengan sedikit tawa. "Aku akan pergi tidur, selamat malam."

"Baiklah. Selamat malam." Saat aku hendak menutup teleponnya, Mimorin kembali berbicara. "Kali ini jangan lupa dengan pengatur AC-nya ya!"

"Iya, iya!"

Setelah teleponnya berakhir, kuletakkan ponselku di meja yang tak jauh dari tempatku berada. Lalu kutatap langit-langit kamarku dan menghela napas. Besok ada jadwal pagi-pagi sekali, jadi kuharus tidur lebih cepat. Tapi tiap kali aku hendak menutup mataku, terbayang rasa yang menggelitik di sekitar leherku. Aku usap sekitar urat nadi leherku, berharap perasaan menggelitik itu berhenti menggangguku. Tapi tetap saja, kalau bukan perasaan itu yang mengganggu, memoriku tadi siang yang akan kembali terulang.

Aku benar-benar tidak pernah berpikir Ucchi akan melakukan hal itu padaku. Aku yakin ia tidak melakukan hal itu kepada banyak orang, tapi aku tidak yakin kalau hanya aku satu-satunya orang yang dicium –lehernya– oleh Ucchi. Apakah itu mengandung makna tertentu? Apa itu hanya sebuah lelucon?

"Apakah harus kutanyakan maksudnya?"

Pertanyaan itu pun terbawa hanyut ke dalam mimpi dan mungkin besok akan menggangguku seharian penuh.


A/N: Ternyata, setelah diliat lagi, disini banyak typo-nya juga ya! Jadi kubenerin, ada beberapa yang kuganti, dan sedikit ada yang dihilangkan. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada baguettes, orang yang ikut membantuku sebelumnya. Dan, makasih kepada para pembaca!

Akhir kata, see you next chapter!

eseukei - 2016
Southwest project