Vocaloid © Crypton Future Media

Story © Ayako Daisuke


She is Angry


Dia marah padaku.

Serius. Kalau sudah diam begini pasti hanya itu. Apa mungkin karena kutegur di aula tadi? Tapi, itu memang salahnya dan dia pantas ditegur.

Sekarang kami berdiri di depan kampus. Jangan salah sangka. Aku masih SMA. Hanya saja kami diperbolehkan untuk merasakan satu hari menjadi anak kuliahan di universitas sungguhan. Mengingat bahwa lima bulan lagi kami lulus dari SMA.

Kembali ke topik. Kuulangi, sekarang kami berdiri di depan kampus. Menunggu jemputan orang tua Gakupo dengan mobilnya. Beberapa siswa lain dari sekolah kami dan mahasiswa berada di sekeliling kami. Aku terus menatap jalanan yang sudah terlanjur basah oleh deras hujan. Siapa tahu, aku melihat mobil mereka.

Ku lirik Rin. Ia masih saja mengabaikanku. Mungkin aku menegurnya dengan agak kasar. Tapi, itu setelah berkali-kali aku menegurnya dengan lembut dan dia tak mau dengar. Ia berteriak di aula—hampir kesetanan—seperti siswi-siswi lainnya hanya untuk boneka Brown dari Line yang sedang dipamerkan oleh pihak kampus. Jadi, siapa yang salah disini?

Aku beralih ke Gakupo dan Kaito, sahabatku yang juga sahabat Rin, kekasihku. Kami berempat pergi bersama-sama menumpang di mobil orang tua Gakupo. Sesekali melirik Rin yang hanya diam memandang hujan tak minat.

Aku kembali bergabung dengan Gakupo dan Kaito. Membahas materi 3D Art yang dipelajari di kampus tadi. Aku akan terlarut dalam obrolan bersama mereka kalau saja aku tidak mendengar seseorang mengajak Rin bicara.

Aku melirik sekilas dan melihat Rin dihampiri dua mahasiswa. Rin tersenyum pada mereka, dengan terpaksa. Entah karena mood-nya sedang tidak baik atau ia tidak berminat meladeni mereka.

"Dari SMA mana?" tanya salah satu mahasiswa berambut perak yang sedikit mencuat di atasnya.

"SMA Crypton," jawab Rin seadanya. Tak lupa dengan senyumnya. Ah, Rin-ku memang selalu ramah pada semua orang. Aku pun sedikit mendekat. Tidak ingin Rin tahu bahwa aku sedang berusaha menguping.

"Wah, jauh, tuh. Kenapa belum pulang?" tanya mahasiswa di sebelahnya lagi yang berambut pirang hampir mirip seperti kami.

Sekarang hujan, bodoh! Kau tidak lihat?

"Hm.. Lagi menunggu jemputan," jawab Rin lagi. Sangat jelas bahwa ia tidak berminat dengan percakapan ini. Kedua mahasiswa tadi mengangguk saja. Lalu terdiam. Setelah cukup lama, si Pirang mengeluarkan suara kembali.

"Kalau sudah lulus, berminat kuliah disini? Kami masih semester dua. Kalau kau masuk, kita akan sering bertemu."

Kalau begitu, takkan kuizinkan Rin kuliah disini!

Kalau sekarang aku tidak berada di kampus mereka, orang ini sudah kutendang pantatnya.

Rin kembali tersenyum. "Akan kupikirkan."

Tak lama setelah Rin mengatakan itu, sebuah tangan lembut menggenggam tanganku. Aku menoleh. Itu tangan Rin.

"Rin, kena—"

"Diamlah, Len. Tanganku kedinginan." Rin memasukkan tangan kami ke dalam saku jaket yang kupakai. Ia memang selalu melakukan itu jika tangannya kedinginan. Tapi...

"Rin, tanganmu hangat."

"Diamlah, Len bodoh!" ucap Rin ketus. Namun ia tidak bisa menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Matanya melirik dua mahasiswa tadi yang kini mulai menjauh darinya. Kulihat ia sedikit menghembuskan napas lega.

Aku menyeringai.

Rin melakukannya agar dua mahasiswa genit tadi tahu bahwa ia milik seseorang dan menjauh.

Padahal tadi dia sedang marah padaku. Tapi sekarang, kemana marahnya itu?

Dasar tsundere. Bilang dari tadi apa susahnya, sih?


Fin


Berakhir dengan gaje nya /plak

Oke, saya lagi bosen, ga tau mau ngapain, jadi di publish lah fic nista ini.. Request dari siapa, nih yang kemarin minta saya buat cerita dari kehidupan nyata saya? :v /

Akhir kata, mind to RnR?