Saat dimana aku penuh inspirasi itu saat mau ujian. Aku kepikiran, ada yang bikin cerita All Boboiboy Elemental (ceritanya saudara) x Fang. Nah, karena aku gak minat sama yaoi buat fandom ini, kenapa gak bikin Boboiboy Elemental siblings yang family aja? Kebayang Boboiboy kembar tiga dengan kelakuan ajaib semua? Kok tiga? Api sama Air gimana? Api kan masih baru, rada susah nulisnya, takut bentrok juga sama sifat Taufan. Makanya, dibikin 3 dulu.

Jadi, ya fanfic ini menceritakan tentang Boboiboy kembar bersaudara. Nah, lucunya, awalnya mau kubikin Gempa kembaran paling tua tapi... aduh kasian kamu nak, kerjanya udah berat banget di kartun (harus ngatur Halilintar sama Taufan mulu) belum kamu juga udah kubully di fanficku sebelumnya, jadi di sini dia kujadiin kembaran paling muda, yah sesuailah sama urutan keluarnya para elemental tingkat 2 di kartunnya.

Dan setting yang kupake saat mereka SMP, kok SMP mulu? Ya, soalnya awal masuk remaja itu saat paling labil, hehehe

Warning: Elemental siblings, no pairing, no super power, AU, family, brotherly love (but please, this one is not incest, okay?), miss typo

Disclaimer: Monsta, pinjem karakternya doang, ceritanya kubikin sendiri kok *dilempar kursi


Siblings Chaos

Chapter 1: Sick (artinya "sakit", tapi bisa juga "bosan atau lelah terhadap sesuatu yang sudah berlangsung lama")

Ada yang bilang, bila seseorang terlahir bersaudara maka sifatnya akan menyesuaikan dengan saudaranya. Maksudnya, bila ada satu saudara yang manja, saudara yang lain akan mandiri. Bila ada satu saudara yang pemalas, maka saudara lain akan rajin. Bila semua saudara sifatnya sama, mungkin sebuah keluarga bisa hancur. Tapi itu hanya teori saja.

Meski ternyata teori itu berlaku di sebuah keluarga.

"Krrriiiiiing!"

"Ergh...," keluh seorang pemuda dari balik selimutnya. Ia menyembulkan kepalanya keluar dengan wajah kusut dan tangannya segera meraih jam weker yang berbunyi kencang. Matanya akhirnya terbuka dan berusaha fokus untuk melihat dimana jarum jam menunjukkan angka.

Jam 5...

Dengan wajah masih ngantuk dan rambut acak-acakan, pemuda itu bangun tidur dan meregangkan tubuhnya. Berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin'nyawa' untuk bisa terjaga.

Ia merasa lelah, tentu saja. Pemuda itu tidur larut malam, karena harus mengerjakan tugas OSIS, membuat proposal untuk Pentas Seni SMP Pulau Rintis tahun ini. Seperti itu pun proposalnya belum selesai dan masih ia lanjutkan hari ini.

Setelah terjaga lebih baik, pemuda itu berjalan menuju jendela. Membuka jendela untuk membiarkan sinar mentari (meski masih subuh, jadi mentari juga belum sepenuhnya bangun) masuk ke dalam kamarnya.

Inilah rutinitas dia sepanjang hari.

Pemuda itu segera berjalan menuju ke kamar mandi. Ia cuci muka dan mengecek mesin cuci. Untunglah tadi malam ia masih sempat mencuci pakaian kotor dan kemudian ia tinggal tidur. Sekarang, ia hanya perlu menjemur pakaian ini dan mengangkatnya nanti sore.

Uuuh, pakaian kering yang kemarin juga belum disetrika lagi...

Pemuda yang tengah menjemur pakaian itu bernama Boboiboy Gempa. Nama yang aneh, jangan bertanya kenapa orang tuanya menamakannya seperti itu. Tapi, ia biasa dipanggil Gempa, karena ada orang yang bernama Boboiboy juga di keluarganya.

Selesai menjemur pakaian, Gempa segera mandi dan memakai seragam sekolah. Ia melirik jam, untunglah masih jam 6 kurang. Ia segera bergegas ke dapur dan bersiap untuk membuatkan sarapan untuk para saudaranya tercinta, yang ia yakin tidak akan bangun sampai sarapan yang ia buat selesai.

Melihat bahan sisa untuk sarapan, Gempa memutuskan untuk membuat nasi goreng dari nasi sisa semalam juga telur dadar. Tangannya dengan cekatan mengolah semua bumbu, ia berhati-hati melipat kemeja lengan panjangnya agar tidak terciprat saat memasak.

Harum masakan segera memenuhi dapur dan ruang makan. Ia melirik jam, oh kemana pula saudara-saudaranya yang tersayang itu. Jam segini masih belum ada yang bangun?

"Huaahm... Gempa... masak apa?"

Nah itu dia. Ia segera menoleh, menemukan saudaranya yang memiliki wajah yang sama dengannya masih dengan wajah setengah tidur dan terus mengucek matanya.

"Masak nasi goreng, Taufan, tolong bangunkan Halilintar, sebentar lagi sarapannya matang," kata Gempa, segera menyiapkan tiga piring di samping penggorengan.

Saudara kembarnya, yang bernama Taufan, meregangkan badannya, seperti kucing dan mengangguk.

"Kak Hali kebo banget," komentarnya dengan senyum jahil.

"Kayak kamu bisa bangun pagi aja," komentar Gempa.

"Aku kan tadi keasikan main game sampai jam 1... lagian aku bisa bangun sendiri kok, nggak kayak Kak Hali," timpal Taufan tak mau kalah.

Gempa hanya memutar matanya namun memutuskan untuk tidak membalas komentar kakak kembarnya. Percuma, ia sudah terbiasa mengalah daripada memperpanjang debat yang tidak penting ini.

Sadar kalau adik kembarannya tidak akan membalas, Taufan kembali ke lantai dua untuk membangun 'kakak tertua' mereka yang masih meringkuk di kamarnya.

Gempa tersenyum saat sarapan sudah siap dan jam masih menunjukkan pukul 6 lewat 10. Tinggal sarapan dan berangkat sekolah. Jarak rumahnya ke sekolah tak begitu jauh, bisa ditempuh berjalan kaki 15 menit.

"Duak! Bruk!"

"KAAAUU!"

"Kak Hali, putus nih! Putus! Aaarrgh!"

Gempa hanya mendesah, menyiapkan teh manis untuk membangkitkan semangatnya. Tak lupa, membuat teh yang sangat pekat untuk Halilintar yang memang butuh asupan kafein setiap pagi, namun Gempa sudah berhenti membuatkannya kopi, karena tidak mau kakak kembarnya itu ketergantungan kafein.

Tak perlu melihat, Gempa bisa membayangkan apa yang terjadi hingga kedua kakaknya ribut seperti itu. Pasti Taufan membangunkan Halilintar dengan cara yang tidak-tidak, seperti menyumpal hidung dan mulut hingga Halilintar tidak bisa bernapas, atau langsung melompat ke atas badan kakak tertuanya yang temperamental itu.

Dan setiap pagi, Halilintar akan menghukum Taufan karena sudah membangunkannya dengan cara ekstrim seperti tadi. Hukumannya tentu secara fisik, mulai dari tangan dipelintir hingga sendi bahu hampir bergeser, atau bahkan tak segan mencekik Taufan hingga kehabisan napas.

"Uuuh... Kak Hali jahaat...," komentar Taufan, akhirnya muncul kembali di meja makan. Kali ini sudah memakai seragam dan lebih segar dari sebelumnya. Tangannya memijit bahu kirinya, pertanda kalau Halilintar sepertinya memelilintir tangannya pagi ini.

"Salahmu sendiri...," komentar Gempa, bersiap sarapan. Taufan segera duduk di sebelahnya, senyuman jahil dan ikut sarapan bersama saudara kembarnya.

Jam menunjukkan pukul 6.30, Gempa hanya mendesah, menaruh piringnya yang sudah kosong di bak cucian piring dan mengambil kotak bekal.

Di saat itu Halilintar muncul dengan wajah masam dan kusut. "Sarapannya, aku belum bikin PR Bahasa Melayu-"

"Ini," kata Gempa singkat, menyodorkan kotak bekal yang diisi oleh nasi goreng, yang tadinya di piring tapi sudah dipindah tempat.

"Makasih, aku berangkat duluan," kata Halilintar cepat. Tadinya ia mau berlari, namun menyadari segelas teh pekat di meja kemudian ia berhenti dan meminumnya dalam satu tegukan.

"Kak Hali, jangan lupa bawa minum," komentar Taufan, menghabiskan sarapan di piringnya.

"Bawel," balas Halilintar yang segera melesat, bergegas berangkat sekolah.

"Semoga dia tidak salah pakai sepatu lagi, kemarin dia pakai sebelah sepatuku coba. Jadi, kan aku juga pakai sebelah sepatunya dia," ujar Taufan, menaruh piring di bak cucian.

"Halilintar memang susah bangun pagi, suka lupa bikin PR juga," kata Gempa, segera mencuci piring kotor. Taufan hanya tertawa kecil sambil meminum tehnya.

"Kupikir dia sengaja, memang dasarnya malas saja sih. Kak Hali kan cuma pandai dihitung-hitungan saja," kata Taufan lagi.

Setelah selesai menghabiskan tehnya, anak kembar kedua segera mengambil tasnya. "Aku juga berangkat duluan ya," sahutnya.

"Iya hati-hati," sahut Gempa balik. Ia melihat kakaknya mengambil skateboard dan segera memakai sepatu. Karena tak ada komentar, berarti Halilintar tidak salah pakai sepatu pagi ini. Dan Taufan pun akhirnya berangkat sekolah.

Selesai cuci piring, Gempa segera membereskan meja makan dengan cepat. Ia melirik jam, sedikit mepet tapi ia tidak akan terlambat.

Ia pun segera berangkat ke sekolah, agak kusut saat menyadari kalau ruang tengah berantakan, pasti gara-gara Taufan tadi malam, namun ia hanya mendesah dan segera menguci pintu rumah.

Begitulah rutinitas pagi si kembar Boboiboy.

IoI

"Kenapa kau tidak memanggil kedua saudara kembarmu dengan 'kakak'?"

Gempa menatap Gopal, teman sekelasnya. Ia baru saja selesai diperbudak, maksudnya, diperintah guru untuk membersihkan lapangan yang tergenang air hujan pagi ini. Ketika kau pikir Ketua OSIS itu keren dan berwibawa, kadang Gempa pikir jadi Ketua OSIS itu sama dengan menjadi budaknya guru yang bisa disuruh macam-macam.

"Ng... kelahiranku cuma beda beberapa menit saja dari mereka, jadi tidak penting kan siapa yang kakak atau adik?" jawab Gempa, menaruh peta dan tas guru di depan kelas. Ya, setelah selesai membersihkan lapangan, ia dipanggil guru Geografi untuk membawakan peta dan tasnya ke kelas.

Karena selain Ketua OSIS, Gempa juga ketua kelas II C.

"Tapi, Taufan memanggil Halilintar dengan kakak kan?" tanya Gopal, ingat si kembar kedua, Taufan, yang berbeda kelas dengan mereka.

"Iya sih. Tapi sebenarya itu cuma bahan ejekan aja. Dia sama nggak respek sama Halilintar," jelas Gempa, kenal sekali dengan sifat jahil Taufan.

Gopal mangut-mangut. Gempa tersenyum puas saat peta sudah terpasang dan akhirnya, bisa duduk dengan tenang di bangkunya.

"Kedua kembaranmu aneh ya," komentar Gopal. Gempa hanya mendesah.

"Yah...," gumam Gempa tanpa arti.

IoI

"Gempa! Halilintar lagi berantem sama kakak kelas!"

Kalau tidak terbiasa dengan berita buruk yang datang mendadak saat istirahat, Gempa pasti sudah tersedak susu yang sedang diminumnya. Namun sayangnya, ini adalah skenario yang sudah pernah tejadi sebelumnya, jadi ia tidak terkejut. Namun tetap saja, ia panik.

Oh Halilintar yang temperamental dan jagoan klub karate, bisa tidak sih dia itu mengatur emosinya sedikit?

Gempa segera berlari menuju dimana kakaknya berada. Saat kakinya membawanya ke kantin, Gempa tak heran melihat kakaknya bersitegang dengan beberapa kakak kelas tanpa rasa takut.

Tentu saja, Halilintar bahkan sudah pernah terkena skors sebelumnya karena berkelahi. Ini belum ada apa-apanya.

"Halilintar! Sudah hentikan!" Gempa segera menarik kakaknya menjauh dari para senior. Saudara kembarnya itu tampak begitu marah, namun Gempa tidak takut. Ia sudah terbiasa menghadapinya.

"Maafkan saudara kembarku," kata Gempa cepat dan segera menarik Halilintar menjauh dari kantin. Sang kembaran temperamental segera melawan dan melepaskan tangannya dari genggaman Gempa begitu mereka sampai di tempat sepi.

"Apa-apaan sih, Gempa!? Dia itu yang duluan serobot! Aku yang pesen dia yang ambil, enak aja! Mentang-mentang kakak kelas, emang sekolah ini punya dia!" semprot Halilintar kesal. Namun Gempa hanya mendesah.

"Iya Halilintar, aku ngerti. Tapi bukan berarti kamu harus berantem dengan mereka, kamu mau kena skors lagi?" tegur Gempa lebih tenang. Halilintar terlihat kesal namun tidak membalas perkataannya. Hanya membuang wajah ke samping.

"Udah-udah, nggak usah marah lagi. Ini, aku ada donat, sekarang kamu balik aja ke kelas. Sebentar lagi bel," kata Gempa, menyodorkan donat yang belum ia makan. Kakaknya memandangnya dengan wajah masih kecut, namun menerima donat pemberian adiknya. Ia mendengus kesal, menurunkan topi depannya kemudian segera berlalu.

Gempa hanya membetulkan topi yang ia kenakan dengan cara terbalik. Sulitnya punya saudara kembar yang temperamental... jarang ia bisa melewati jam istirahat di sekolah tanpa masalah.

IoI

"Gempa! Kakakmu jatuh, terus pingsan!"

Istirahat kedua ternyata juga tidak berakhir dengan damai. Meski tidak disebutkan namanya, Gempa langsung tahu kalau yang sedang bermasalah sekarang pasti Taufan. Kakak kembarnya yang kedua itu hobi main skateboard atau apapun yang beroda dan bisa melakukan atraksi.

Memang Taufan jago, tapi bukan berarti ia tidak pernah jatuh atau terluka.

Gempa segera lari ke UKS, ia agak panik. Jatuh dan pingsan biasanya tidak berarti bagus. Namun, saat melihat kakaknya sadar dengan kepala dibalut perban, sang adik kembar akhirnya bisa menarik napas lega.

"Kepalanya sedikit benjol, tapi untunglah tidak apa-apa. Kalau nanti dia muntah atau pingsan lagi, segera bawa ke rumah sakit," saran dokter UKS, yang terbiasa menangani murid macam Taufan.

Taufan tersenyum cenge-ngesan, hampir membuat Gempa ingin menempelengnya kalau saja ia tak ingat kepala kakaknya sedang luka.

"Terima kasih dok," kata Gempa sopan pada dokter UKS, kemudian berbalik pada kakaknya dengan wajah kecut.

"Kamu khawatir ya, hehehe," goda Taufan. Sang adik hanya memutar matanya.

"Nggak lucu tahu," gertak Gempa. Namun Taufan justru tertawa.

"Aku nggak apa-apa kok, cuma sakit sedikit. Tapi berarti yang bikin makan malam hari ini kamu ya," kata Taufan, sepertinya memanfaatkan dengan baik luka yang ia dapatkan.

Gempa memijit kepalanya. Padahal ia ada rapat OSIS sampai sore untuk membahas soal anggaran Pentas Seni. Tapi, ia tak tega saat melihat kepala Taufan yang dibalut perban.

"Iya deh...," Gempa menyerah.

Ah... apa yang bisa dia lakukan? Kembarannya yang satu ini memang jahil dan hobinya membuat orang khawatir saja...

IoI

Jika ada yang bingung kemana sebenarnya orang tua Boboiboy, kenapa bisa ketiga anak kembar itu tinggal sendiri di rumah mereka? Itu karena ayah mereka bekerja di pulau lain di Malaysia. Sementara sang ibu yang merupakan petugas kesehatan juga bekerja di pelosok desa lain. Ayahnya bisa berbulan-bulan baru pulang, sementara sang ibu mungkin pulang antara seminggu sampai dua minggu sekali.

Kenapa bisa kedua orang tua mereka meninggalkan anak mereka dengan tenang tanpa pengawasan orang tua?

Karena ada Gempa.

Sang kembaran paling muda itu memang yang paling bisa diandalkan. Yang paling tidak bermasalah. Yang paling baik dan bijaksana di antara kembarannya yang lain. Ia adalah Ketua OSIS, ketua kelas, siswa teladan dan bermacam-macam embel-embel lain yang ia dapatkan.

Gempa juga pandai mengurus rumah, sampai memasak, mencuci, membereskan rumah dan sebagainya. Bukan berarti Taufan ataupun Halilintar tidak bisa melakukannya, hanya saja kedua sedikit agak malas untuk melakakukan pekerjaan rumah tangga. Sehingga ujung-ujungnya Gempa yang mengerjakan semuanya.

Bukan berarti kedua kakaknya itu cuma tersisa bagian jeleknya saja. Halilintar adalah jagoan klub karate yang sudah memenangkan beberapa kompetisi. Memang dia temperamental (dan makin temperamen kalau sudah berhadapan dengan Taufan) tapi ia juga terkenal dengan sifat coolnya, dan mungkin merupakan siswa dengan penggemar rahasia paling banyak di sekolah. Soal pelajaran pun, Halilintar sangat pandai dalam bermain angka, sehingga nilai fisika, kimia dan matematikanya termasuk tinggi di sekolah.

Taufan juga bergabung dengan klub skateboard, ia sangat lihai bermain di atas roda. Sebenarnya, bukan hanya skateboard, Taufan pandai olahraga. Berbeda dengan Halilintar yang fokus ke karate, Taufan tak segan membantu klub lain dalam kejuaraan dan tak jarang membantu mereka memenangkannya. Ia bahkan dapat beberapa medali di cabang atletik dan renang. Selain olahraga, Taufan juga berbakat di bidang seni. Ia bisa menari dan memainkan alat-alat musik akustik.

Tapi memang, kedua kembarannya itu menyusahkan.

Mungkin karena itu, Gempa berhenti memanggil keduanya 'kakak' semenjak masuk SMP.

Kedua kakak kembarnya itu pun tidak berkomentar saat Gempa mulai memanggil mereka langsung dengan nama. Taufan bahkan bercanda kalau seharusnya Gempa yang jadi paling tua di antara mereka (dan kakinya langsung dikunci oleh Halilintar setelah itu).

Ketiga kembaran itu, entah sejak kapan mulai menjauh. Gempa ingat saat-saat mereka masih bermain dan melakukan apapun bersama, bahkan dulu sekamar. Tapi, ia tak ingat kapan mereka terakhir berangkat sekolah bersama ataupun sekedar menghabiskan waktu bersama.

Masuk masa puber memang memusingkan... tapi tidak sepenuhnya jelek, mereka hanya mencoba menemukan jati diri dengan cara masing-masing.

Hanya kadang, Gempa berharap kedua kakaknya itu mau sedikit membantunya, setidaknya di rumah.

"Uhuk, uhuk!"

Gempa menatap langit, dimana hujan turun semakin deras.

Memang hari ini seperti kesialannya tidak bertepi. Sudah rapat OSIS belum menemukan titik terang soal anggaran Pentas Seni yang kelewat membengkak, sementara proposal sudah harus diajukan akhir minggu ini. Besok ia ada ujian Fisika dengan guru killer. Pulang ke rumah juga ia harus memasak makan malam...

Dan ia sekarang kehujanan.

"Huachii!" Gempa bersin, sedikit menyesal kenapa ia bisa lupa bawa payung.

Gempa segera berlari menerjang hujan, karena tidak ada tempat berteduh sepanjang jalan. Ia hanya berharap rumahnya tidak semakin berantakan ketika ia sampai nanti.

Sesampainya di rumah, Gempa basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Untung tasnya anti air, kalau tidak semua bukunya tidak akan ada yang selamat.

"Aku pulang..., huachii!" Gempa bersin lagi.

"Ah, Gempa. Kamu kehujanan ya? Tunggu sebentar biar kuambilkan handuk," kata Taufan dengan cepat. Gempa bersyukur kakaknya yang satu itu masih punya akal sehat.

"Aduh kasihan. Kamu telpon dong kalau nggak bawa payung, aku kan bisa jemput," kata Taufan, menyodorkan handuk yang segera dipakai Gempa untuk mengeringkan diri.

"Kupikir kamu masih sibuk di klub," kata Gempa. Hanya karena ia sibuk, bukan berarti kedua kembarannya juga tidak sibuk. Tak jarang ia pulang menemukan rumah masih kosong.

"Iya sih. Tapi, aku kan baru jatuh tadi jadi langsung di suruh pulang. Ya udah, kamu cepetan mandi, nanti masuk angin," tegur Taufan.

Gempa mengangguk namun berhenti saat ia ingat sesuatu.

"Jemuran?"

Taufan berhenti kemudian mengernyit.

"Ya ampun belum diangkat!" serunya.

Keduanya segera berlari menuju lantai dua dimana jemuran berada di teras. Gempa hanya bisa merintih kesal saat melihat semua jemuran basah kuyup diterjang hujan.

"Sudah deh, kamu mandi dulu," kata Taufan, mengangkat jemuran yang basah. Gempa hanya menggeleng dan membantu saudaranya mengangkat jemuran yang tersisa.

Tambah lagi pekerjaannya sekarang...

"Ah, Kak Hali, bantuin dong!" seru Taufan, saat melihat akhirnya saudara mereka yang paling tua muncul di teras.

Halilintar hanya mendengus dan mengambil alih semua jemuran basah dari tangan Gempa. "Cepetan mandi, kamu baru pulang hujan-hujanan kan?" perintah Halilintar singkat, Gempa hanya mengangguk dan menuruti kakaknya untuk kali ini.

"Tumben, kamu bisa bersikap kayak kakak juga," ejek Taufan yang segera dilempar jemuran basah oleh Halilintar.

IoI

Halilintar memasuki kamar Gempa bersama dengan Taufan. Perasaan mereka tidak enak. Karena kembar, meski sifatnya berbeda bagian angin, tanah dan petir, mereka masih punya ikatan batin pada taraf tertentu.

Jadi, singkatnya, saat yang satu sakit, yang lain bisa merasakannya.

Setelah selesai mandi, Gempa hanya terus berada di kamar tak kunjung keluar. Halilintar menatap adik kembarnya yang meringkuk di bawah selimut dengan wajah sedikit khawatir.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, duduk di pinggir tempat tidur dan menarik selimut sedikit agar Gempa mau memperlihatkan wajahnya.

"Uuuh...," Gempa berbalik tampaknya tak suka terkena sinar lampu yang terasa menyilaukan baginya.

Taufan menjulurkan tangannya dan wajahnya jadi semakin khawatir saat merasakan dahi kembarannya panas.

"Ah, tuh kan bener kamu masuk angin...," desah Taufan. Ia saling pandang dengan Halilintar, dan seperti bisa bicara dengan telepati.

"Aku buatin makan malam, terus kamu minum obat ya," kata Taufan lagi.

Gempa hanya mengangguk. "Iya makasih... lagian aku besok ada ujian fisika, harus masuk," keluh sang adik. Halilintar hanya menggeleng. Ia membetulkan selimut Gempa.

"Jangan mikir soal ujian fisika dulu, sekarang istirahat," kata Halilintar.

Gempa tersenyum tipis. "Nanti ajarin aku ya," katanya dengan nada parau. Halilintar memutar matanya namun mengangguk singkat.

Taufan berusaha menahan tawa dan kakinya segera diinjak oleh Halilintar. Memang saudara kembarnya yang paling tua itu cuma punya sisi lembut terhadap Gempa saja, dasar curang.

Mereka berdua segera keluar dari kamar Gempa, membiarkan adik mereka istirahat dengan tenang.

"Masakanmu nggak enak," komentar Halilintar begitu di luar kamar.

"Kayak Kak Hali sendiri bisa masak, gosong mulu," balas Taufan.

Haliintar hanya membalas dengan sedikit menekan perban di kepala Taufan, namun saudaranya itu segera memekik kesakitan.

"Perbanmu basah, cepet ganti sana," kata Halilintar. Taufan hanya tersenyum tipis namun kemudian segera memeletkan lidah dan berlari ke kamarnya.

"Kak Hali jahat sama aku," godanya namun tidak mendapatkan reaksi dari Taufan. Namun, sang kembaran mengerti kalau kakaknya itu sedang khawatir soal Gempa dan ia segera masuk ke kamarnya sendiri untuk mengganti perban.

IoI

"Dia terlalu sibuk."

"Hm?"

Taufan menoleh, sedang sibuk memasak sup sayur sementara Halilintar sibuk membongkar, atau lebih tepatnya mengacak-acak, kotak obat.

"Dia itu dibudakin sama guru. Bukan cuma guru, tapi anak-anak OSIS lain," tambah Halilintar.

"Yah, jadi ketua OSIS emang gitu kan? Gempa kebaikan sih, jadi malah dia yang ngerjain semua tugas OSIS," kata Taufan, mencicipi sedikit sup buatannya. Ah memang tidak seenak buatan Gempa, tapi masih jauh lebih layak dari masakan Halilintar yang dulu pernah ia coba.

Halilintar tampak puas saat ia berhasil menemukan termometer dan kini tinggal mencari obat penurun panas dan plester kompres penurun panas.

"Bukannya ketua OSIS seharusnya yang kerjanya paling sedikit?" tanya Halilintar. Memeriksa obat yang baru ia temukan, mengecek kalau belum lewat tanggal kadaluarsanya.

"Harusnya sih yang kerjaannya sedikit tapi tanggung jawab paling banyak. Tapi, Kak Hali tahu Gempa kayak apa. Dia kalau dikasih tugas nggak pernah bisa nolak," jawab Taufan, segera mematikan kompor. Ia kemudian mengambil mangkuk dan menyendokkan sup ke dalamnya.

"Belum lagi dia capek ngurusin rumah, sama... haha ngurusin kita," tambah Taufan dengan tawa getir. Halilintar hanya memutar matanya namun tidak berkomentar karena dia tahu itu benar.

"Yang itu sih nggak apa-apa, dia kan memang saudara kita. Tapi, soal OSIS..."

Taufan menoleh memandang Halilintar yang tampaknya memikirkan sesuatu. Wajahnya tampak serius dan sedikit terlihat seram.

"Kalau untuk yang itu aku ikut, tapi soal yang satu lagi, Kak Hali yakin bisa?"

Halilintar melirik Taufan. Kadang masih sedikit kagum, sang kembaran bisa menebak apa yang ia sedang pikirkan.

"Yah, mau gimana lagi. Soalnya itu ngaruh ke nilai juga, kasihan Gempa...," ujar Haliintar dengan lirih. Membawa semua yang sudah ia temuka dari kotak obat ke lantai dua.

Taufan hanya tersenyum. "Untuk ini, nggak akan kurekam di video deh, tapi aku nggak janji nggak bakal ngetawain Kak Hali lho," goda Taufan yang hanya menuai lirikan tajam dari sang kakak tertua.

IoI

"Kalau kamu nggak mau makan, aku cekokin kayak bebek nih."

Gempa hanya mengerang dan segera bangkit, bertemu mata dengan Taufan yang tersenyum jahil.

"Ini udah kubuatin sup, habis makan nanti diminum obatnya," kata Taufan, membuka plester kompres dari bungkusnya kemudian menempelkannya ke dahi kembarannya. Ia kemudian memberikan termometer ke Gempa, yang segera dijepit di ketiak.

"Hm... iya makasih...," gumam Halilintar dengan lemas. Ia memakan sup yang ada di pangkuannya. Entah ini karena dia sedang sakit atau pada dasarnya sup buatan Taufan tidak ada rasanya, ia tidak tahu.

Gempa hanya tersenyum tipis, kembarannya ini memang tidak jago memasak. Tapi setidaknya tidak sehancur Halilintar yang bisa membuat dapur kebakaran.

Taufan hanya menaikkan satu alisnya. Entah apa yang disenyumkan Gempa, tapi ia hanya ikut tersenyum. Saat termometer berbunyi, Gempa segera mengambilnya dan Taufan ikut melihat hasilnya.

"38 derajat, oh bagus. Kamu memang demam," komentar Taufan dengan sarkartis. Gempa mendesah dan melanjutkan memakan supnya.

"Padahal aku ada ujian fisika besok, kalau tidak ikut... ah...," Gempa mendesah lemas.

"Kalau ikut pun, memangnya kamu bisa ngerjain soal dalam keadaan kayak gitu?" komentar Halilintar pedas yang baru masuk ke kamar.

Gempa sedikit terperanjat namun hanya menunduk.

"Kak Hali kejam deh... cup cup, jangan sedih Gempa," kata Taufan, mengelus rambut Gempa. Sang adik dan sang kakak tertua hanya memandang Taufan dengan wajah 'krik krik' namun sang kakak kedua tidak peduli dan terus mengelus rambut Gempa.

"Kamu besok nggak usah masuk, istirahat dulu sampai sembuh, soal ujian fisika itu gampang," kata Halilintar dengan tegas. Gempa tidak bisa melawan, apalagi dengan kondisinya yang sedang sakit dan kepalanya terasa pusing.

"Hm...," gumamnya.

Apa boleh buat...

IoI

Besoknya...

"Aku kagum deh sama Kak Hali... uph... hahaha..."

Halilintar ingin sekali memukul atau setidaknya, mematahkan satu tulang adik yang ada di depannya ini. Namun, sayangnya ia tidak bisa melakukannya sekarang karena hanya akan menarik perhatian saja.

"Berisik...," gertaknya. Ia mendengus dan berjalan menuju ruang OSIS.

"Tunggu Kak, kalau yang ini aku ikutan!" seru Taufan di belakangnya.

IoI

Gempa tersenyum saat memandang termometer, 37 derajat. Baguslah, panasnya sudah turun. Ia harus berterima kasih kepada kedua kakak kembarnya yang mau merawatnya. Ternyata kalau ditempatkan dalam situasi seperti itu, mereka bisa berfungsi dengan baik dan tidak menyusahkannya.

Gempa turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Ia kagum melihat jemuran yang sudah hampir kering dan keadaan rumah yang rapi. Bahkan ia menemukan nasi bungkus, yang entah dibeli kapan oleh kembarannya, di atas meja makan dengan secari notes. 'Buat makan siang ya,' tertulis di sana.

Ah, ini sih pasti dari Taufan, Gempa tersenyum.

Ia juga melihat ruang tengah sudah rapi, tidak berantakan oleh konsol game seperti biasanya.

Mungkin, selama ini ia terlalu memanjakan Taufan dan Halilintar? Ternyata mereka bisa kok mengerjakan pekerjaan rumah bila mau.

Gempa hanya menggelengkan kepalanya.

Kedua kakaknya ternyata bisa diandalkan juga dalam keadaan seperti ini.

IoI

"Selamat pagi..."

"Pagi..."

Gempa tersenyum puas, senang ia bisa kembali bersekolah. Meski ia menikmati waktu bersantai di rumah, dan untuk pertama kalinya ia yang diurus kedua kakaknya bukan sebaliknya, tapi ia tidak tenang meninggalkan begitu banyak tugas di sekolah.

"Ah, Gempa, kamu dipanggil guru tuh, suruh bawa model praktek fisika katanya," sahut salah satu temannya.

"Oh iya," namun belum sempat ia berbalik, wakil ketua kelas segera berdiri.

"Biar aku saja, tidak apa-apa," katanya cepat dan segera berlari ke luar kelas.

"Eh?" Gempa hanya menatapnya bingung.

Ada apa ya? Ia mengernyit bingung namun hanya membiarkannya saja.

IoI

"Nah, bapak bagikan ulangan fisika yang kemarin."

Seluruh kelas segera mengeluh. Namun Gempa hanya murung di tempat, karena ia tidak ikut ia pasti tidak akan diberi nilai. Apa ia sebaiknya meminta tugas saja ya supaya bisa dapat nilai?

"Boboiboy Gempa."

"Eh?" Gempa tersentak.

"Ini ulanganmu," kata guru. Gempa kebingungan. Eh? Lho? Namun ia menurut dan segera bangkit, berjalan menuju depan kelas dan menerima selembar kertas dari tangan gurunya.

"Nilaimu membaik, kerja yang bagus," puji gurunya.

Gempa jadi semakin bingung, ia berjalan kembali ke bangkunya dengan linglung. Ia melihat secarik kertas dengan nama dirinya, namun tulisan ini sama sekali bukan tulisan tangannya. Jadi, siapa?

...

Oh tidak mungkin...

Gempa duduk di bangkunya dan memperhatikan kertas ulangannya. Hasil pekerjaan yang sedikit berantakan dan terdapat banyak kotretan di sana dan di sini ini...

Dan nilainya pun 85.

Tidak mungkin Taufan, kembarannya itu jauh lebih buruk darinya soal angka. Halilintar sampai pernah membantingnya ke lantai gara-gara tidak bisa mengerti persoalan aljabar matematika.

Ah... Halilintar?

Tapi, tidak mungkin. Tidak mungkin rasanya kakaknya yang biasanya sangat temperamental, dingin dan tanpa ekspresi itu bisa berpura-pura menjadi dirinya. Sudah lama si kembar Boboiboy tidak melakukan pertukaran tempat seperti ini. Dulu saat SD sih masih bisa, namun semakin tua, sifat mereka jadi semakin berbeda dan sangat sulit untuk meniru satu sama lain sekarang.

"Ssst, Gopal!"

Teman di depannya itu segera menoleh padanya.

"Uhm... aku kemarin masuk?" tanya Gempa, merasa bodoh tapi merasa ia harus bertanya.

"Kau kenapa? Iya, tentu saja, kau masuk. Kau agak aneh sih kemarin, katanya kau tidak enak badan," jelas Gopal, memandang Gempa dengan bingung.

Sang ketua OSIS semakin kebingungan di tempat duduknya.

Tidak mungkin... Halilintar benar-benar masuk sebagai dirinya untuk ikut ujian fisika, bahkan sampai berpura-pura jadi dirinya seharian?

IoI

Gempa berjalan dari kantin dengan wajah yang masih sedikit tersesat. Ia masih bingung dengan hari ini, untuk pertama kalinya, ia tidak sibuk mendapat tugas dari guru maupun mengurus kakak-kakak kembarnya.

"Ah, Gempa!"

Ia menoleh, melihat Yaya, sekertaris OSIS datang menghampirinya.

"Oh, hai Yaya," sapanya. Oh ya, kemarin kan seharusnya ada rapat lanjutan soal Pentas Seni kemarin. Meski Halilintar menyamar jadi dirinya untuk ikut ujian fisika, rasanya tak mungkin ia ikut rapat OSIS segala...

"Kau sudah sembuh? Syukurlah...," kata Yaya dengan senyuman.

"Eh? Kau tahu aku sakit kemarin?" Gempa kaget.

Yaya mengerjapkan matanya dan kemudian tertawa kecil. "Oh kau tak tahu? Awalnya kupikir... uuh bagaimana cara menceritakannya... tidak ada yang menyangka, kakakmu menyamar jadi dirimu. Jadi, kami pikir rapat OSIS akan berjalan seperti biasa saat pulang sekolah. Tapi..."

Yaya berhenti bicara. Gempa menjadi merasa tidak enak. Tidak mungkin, apa Halilintar melakukan sesuatu!?

"Ternyata kakak-kakak kembaranmu perhatian, ya," lanjut Yaya.

Gempa sama sekali tidak menyangka perkataan itu. "Eh?" gumam Gempa dengan bingung.

"Kau benar-benar tidak tahu ya? Kemarin, kedua kakakmu datang ke ruang OSIS. Lalu, yah, katakan saja, mereka memarahi kami habis-habisan. Aku tahu Halilintar agak seram, tapi tidak menyangka kalau Taufan juga bisa seram kalau marah. Mereka bilang, kau terlalu terbebani dan sibuk, seharusnya kami tidak membebanimu seperti itu. Dan mengancam kami... kalau yah... kami membuatmu sampai sakit lagi, mereka akan memporak-porandakan ruangan OSIS," kata Yaya sambil tersenyum, entah kenapa menemukan kalau hal itu terasa lucu.

Gempa tahu, Yaya yang baik dan mulutnya sopan, pasti sudah memfilter semua itu. Artinya, yang sebenarnya dilakukan Halilintar dan Taufan pasti benar-benar parah sekali. Ia bisa membayangkan semua perkataan kotor dan kasar yang mereka ucapkan ke semua anggota OSIS sampai membuat semuanya ketakutan, kecuali Yaya.

Singkatnya, mereka pasti mengamuk di ruang OSIS.

"Maaf ya, mereka sudah menyusahkan kalian," kata Gempa merasa tak enak hati. Ketua OSIS macam apa dirinya? Membiarkan kedua kakaknya mengamuk ke semua anggota OSIS seperti itu...

"Tidak apa-apa Gempa. Awalnya aku juga agak tersinggung dengan cara bicara mereka, tapi kurasa mereka ada benarnya juga. Lagipula, aku juga punya adik, makanya aku mengerti perasaan mereka," tambah Yaya. Gempa hanya diam, tidak bisa berkomentar.

"Makanya, kau tidak perlu datang ke rapat OSIS hari ini. Kau kan masih baru sembuh sakit. Nanti biar kuberitahu hasil rapatnya," kata Yaya dan ia pun ijin untuk pergi duluan karena ada tugas di kelas.

Gempa hanya termenung sendirian di lorong kelas.

Rasanya... ia merasakan perasaan aneh tapi sedikit familiar.

Ini ya rasanya, 'mendapat perhatian' dari kedua kakaknya itu?

IoI

"Eh, Kak Hali baru pulang?"

Halilintar melihat Taufan yang melaju menggunakan skateboard, lalu dengan lihainya mengerem dan menenteng skateboardnya.

"Yah, sebentar lagi ada kompetisi," kata Halilintar, menenteng dougi karatenya. Jarang-jarang ia bisa bicara normal dengan Taufan di luar topik mengenai Gempa.

"Kira-kira yang kemarin ketahuan tidak ya sama guru, kalau ketahuan bahaya lho...," kata Taufan memandang ke langit. Ia memang sangat menikmati melihat Halilintar menyamar menjadi Gempa, yang memang tidak akan ketahuan bila tidak mengenal keduanya secara dekat, tapi ia sangat khawatir bila sampai ketahuan guru. Bisa gawat kalau Gempa yang merupakan siswa kesayangan guru dan ketua OSIS mendapat masalah.

"Tidak akan, lagipula kalau sampai bocor pasti itu dari OSIS atau wakil ketua kelas Gempa," kata Halilintar dengan datar.

"Kak Hali sudah mengancam mereka habis-habisan sih... pasti nggak akan ada yang berani ngadu," kata Taufan kemudian tertawa.

"Kayak kamu sendiri nggak ikut mengancam mereka saja...," komentar Gempa. Taufan hanya tertawa semakin keras.

"Iya sih...," timpal sang kembaran kedua.

"Soalnya yang boleh 'menyiksa' Gempa cuma kita aja, iya kan, Kak Hali?" tambah Taufan, menepuk pundak Halilintar. Sang kakak segera menyingkir, tidak suka dengan sikap kembarannya yang sok akrab.

"Terserah," katanya. Namun Taufan tahu kalau Halilintar sebenarnya juga setuju dalam hati.

Akhirnya setelah sekian lama berjalan bersama sampai rumah, hingga akhirnya mereka tidak tahan lagi dengan pembicaraan normal mereka dan mulai bertengkar, mereka disambut di rumah dengan harum masakan yang menggugah selera.

"Uwaah, kamu masak apaan Gempa?" seru Taufan bersemangat, tidak pakai basa-basi, segera menghampiri Gempa yang ada di dapur.

"Aku masak kari ayam," kata Gempa sambil tersenyum. Wajah Taufan semakin cerah. Kari ayam adalah satu-satunya menu yang disukai Boboiboy kembar bersama. Sisanya? Selera mereka soal makanan berlainan.

"Memangnya ada acara apa?" tanya Halilintar yang baru saja tiba di dapur, tadi sibuk membereskan sepatu Taufan yang berhamburan ke segala arah.

"Ah tidak... ung...," Gempa berhenti bicara. Ia tampak malu.

"Kan kalian sudah merawatku dari kemarin, ini sebagai ucapan terima kasih," katanya, akhirnya bisa menemukan kata-kata yang tepat.

"Ih, gak usah pakai pamrih segala. Tapi, kalau dimasakin kari ayam sih, aku mau aja," canda Taufan.

"Ya udah, aku mandi dulu," kata Halilintar, segera naik ke lantai dua.

"Aku juga ganti baju dulu, terus kita makan sama-sama ya," kata Taufan segera menyusul naik ke lantai dua.

Gempa hanya melihat kedua kakaknya menghilang dari dapur dan menyibukkan diri mempersiapkan meja.

Rasanya, dulu ia bisa mengatakannya dengan mudah, kenapa sekarang jadi susah sekali?

Tak perlu waktu lama bagi ketiga anak kembar tersebut untuk berada di meja makan dan akhirnya menikmati hidangan dengan penuh suka cita.

"Enak... Gempa emang jago masak ya, kalau kamu gak tau mau jadi apa nanti, jadi koki aja," celoteh Taufan sambil makan.

"Dari ketua OSIS jadi koki?" delik Halilintar, ragu kalau adik keduanya itu waras atau tidak.

"Hahaha... yah lihat nanti lah," kata Gempa. Ia bisa masak karena memang terpaksa, mau tidak mau harus bisa, kalau tidak siapa lagi?

"Oh ya... uhm... terima kasih juga, untuk ujian fisikanya...," kata Gempa di sela-sela suapannya. Halilintar hanya mengangguk singkat namun Taufan tersenyum lebar.

"Memangnya Kak Hali dapat nilai berapa?" tanya Taufan penasaran.

"85," jawab Gempa singkat.

"Ahh... tuh kan... kenapa sih Kak Hali jago banget ngitung-ngitung gitu? Gantiin aku pas ujian fisika lusa dong," pinta Taufan yang menuai delikan dari Halilintar.

"Nggak sudi," katanya singkat. Gempa hanya mampu tertawa mendengarnya.

"Curang~," rajuk Taufan dengan nada manja, namun semuanya tahu kalau ia hanya bercanda.

"Uhm... makasih juga untuk... teguran ke OSISnya, meski aku nggak suka kalian mengamuk di ruang OSIS gitu, jadi tolong jangan diulang," kata Gempa, di antara berterima kasih dengan peringatan dijadikan satu kalimat.

"Siapa yang ngamuk? Nggak kok," kata Taufan, memasang wajah tidak berdosa. Halilintar seperti tidak mau mendengarkan dan hanya sibuk makan.

Gempa mendesah. Entah kenapa kedua kembarannya hanya bisa kompak saat berselisih paham dengannya saja.

"Kau terlalu sibuk. Santai lah sedikit, kalau memang nggak sanggup mengerjakan semuanya, tolak saja," akhirnya Halilintar berbicara.

"Iya betul tuh. Kalau aku terima semua tawaran main klub olahraga, aku pasti udah jadi pepes sekarang," tambah Taufan.

"Nggak ada yang nanya," sela Halilintar, Taufan cemberut dan membuang muka.

Gempa terdiam... mungkin ada benarnya juga. Mungkin, selama ini ia terlalu memaksakan diri...

"Tapi, kalian juga bantu aku ngerjain pekerjaan rumah dong!" seru Gempa, namun di luar dugaan Taufan dan Halilintar hanya saling pandang dan keduanya tersenyum, seakan pura-pura tidak mau mendengarkan.

"Hei!" seru Gempa lagi namun tidak mendapat respon dari keduanya.

"Aku nggak suka masakan Taufan," komentar Halilintar, menatap Gempa.

"Kak Hali nggak bisa bangun pagi," tambah Taufan sambil mengangguk.

"Taufan orangnya berantakan," kata Halilintar lagi.

"Kak Hali orangnya malesan," komentar Taufan lagi.

Keduanya kompak menatap Gempa dan tersenyum jahil. "Jadi, mau gimana lagi?" kata mereka berbarengan.

Gempa tak mampu mengatakan apa-apa. Ia menggigit bibirnya dengan kesal. "Kalian tega!"

"Uph... hahahaha!" Taufan akhirnya tertawa. Sementara Halilintar tersenyum makin lebar.

Gempa cemberut, namun tak bisa menahan diri dan akhirnya ikut tertawa bersama Taufan. Memang sih, ia jauh lebih menikmati mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus kakak-kakaknya yang tidak waras ini ketimbang mengurus setumpuk pekerjaan OSIS dan jadi budak guru.

Puas tertawa, Gempa mendesah. Ia melirik ke samping dan wajahnya sedikit memerah. Rasanya dulu ia bisa mengatakan ini dengan mudah, tapi kenapa ya sekarang rasanya memalukan sekali?

"Ung... pokoknya, terima kasih ya... Kak Taufan dan Kak Halilintar," katanya dengan suara pelan.

"Eh?" Taufan berhenti bicara dan Halilintar yang sedang menambah kari ayam ikut terdiam.

Tapi Gempa segera melarikan diri, menaruh piringnya yang sudah kosong ke bak cucian piring dan segera lari ke lantai dua.

"Eh, Gempa! Apaan tadi!? Ulangi!" seru Taufan penuh senyuman, sebenarnya tadi ia dengar tapi merasa belum puas.

Halilintar kemudian hanya menyugingkan senyum dan melanjutkan makan. Untuk yang satu itu, mungkin Gempa sedikit mirip dengannya.

"Gempa! Buka pintunya! Ulangi! Aku nggak terima kalau cuma segitu! Ayo ulang lagi!"

Halilintar menggelengkan kepalanya. Tapi adiknya yang satu itu, berisiknya keterlaluan.

"GEMPAAA!"

"WOI! BERISIK!"

Dan begitulah hubungan si kembar Boboiboy bersaudara. Aneh, tapi sebenarnya mereka cukup akrab, dalam berbagai arti.

End?


Kalian pengen scene pas Halilintar dan Taufan ngamuk di ruang OSIS? Apalagi pas Halilintar pura-pura jadi Gempa? Gimana ya, kalau reviewnya banyak ini bakal kulanjutin dan akan kutulis gimana mereka ngamuk.

Kalau review banyak, fokus chapter kedua adalah Taufan, si kakak kembar yang kedua. Dan kalau masih lanjut, fokus yang ketiga adalah Halilintar.

Silahkan review makanya! Kalau nggak, ini bakal jadi one-shot aja.