PERATURAN PEMERINTAH No.102 TAHUN 2019

TENTANG : KARANTINA

Perihal sesuai dengan kebijakan kementerian serta pemerintah kepada seluruh instansi terkait, menyatakan bahwa Jepang telah menutup pintu jalur impor masuk dari negara Haiti, Venezuela serta Spanyol.

Kementerian luar negeri telah mendapatkan laporan dari pihak PBB serta WHO tentang adanya wabah jenis baru yang sangat berbahaya dan masih dalam proses penyelidikan atas negara-negara tersebut. Demi menghindari ancaman berskala luas serta menjaga keselamatan warga negara, Pemerintah pusat secara resmi sudah membekukan jalur impor masuk dari negara-negara terkait untuk kurung waktu yang belum ditentukan.


.

.

.

.

.

QUARANTINE

Arc I : Mimpi Buruk Di Pelabuhan

Chapter 1

Genre : Horror, Thriller

WARNING! This fiction contains : Violance and Gore

Disclaimer : Masashi Kishimoto

.

.

.

.

.


Namaku Uzumaki Naruto. Seorang petugas karantina berumur dua puluh lima tahun, dan aku bekerja untuk pemerintah. Tugas utamaku dalam pekerjaan ini tidak lain adalah mencegah terjadinya penularan virus penyakit dari satu daerah ke daerah lain melalui perantara jalur logistik.

Letak kantor di mana aku bekerja sehari-harinya tentu berdekatan dengan pelabuhan besar di pinggir kota. Demi mempermudah dan mempercepat para petugas dalam melakukan sidak serta pengujian sampel lab, merupakan alasan pemerintah mendirikan kantor Balai Karantina di dekat titik-titik jalur logistik. Bagaimanapun juga, kami sangat dituntut untuk mencegah berbagai wabah yang sangat berbahaya dari luar negeri masuk ke negara ini.

"Sudah dengar kabar semalam?"

Saat sedang merapikan berkas-berkas di mejaku, seorang petugas lain dengan bentuk rambut layaknya nanas bertanya padaku.

"Kabar semalam?" jawabku tanpa menoleh dan tetap sibuk menata lembar demi lembar dokumen penting agar terlihat rapi kembali.

"Kabarnya pemerintah setempat telah mengeluarkan surat edaran resmi mengenai penutupan untuk jalur impor dari beberapa negara."

Shikamaru, nama petugas yang tidak lain adalah sahabat karibku sedari jenjang kuliah tersebut datang dengan segelas kopi hitam di tangannya. Ia lalu duduk pada sebuah kursi busa hitam sederhana di dekatku. Sejak masuk ke instansi ini, meja kerja Shikamaru memang berada tepat di sebelah mejaku. Membuat hubungan kami sama sekali tidak berubah semenjak dulu. Malahan boleh dibilang, semakin absurd. Mungkin hanya keputusan mutasi kerja dari pihak pemerintah yang dapat memisahkan kami berdua dari tempat ini.

"Ah, ternyata hanya itu. Kukira bisul di bokong nenekmu kumat lagi." Aku tertawa kecil.

"Hei, tempura udang ... sejak kapan aku masih punya nenek?!" jawabnya cepat hampir tersedak kopi hitam yang baru ia seruput.

"Lalu nenek-nenek yang sering main domino di dekat rumahmu itu siapa? Kau ini durhaka sekali. Jangan sampai kau kena Azab ala sinetron di Indosiar."

"Hahh?! Itu neneknya Jainudin, bodoh! Nenekku sudah meninggal enam tahun yang lalu." Lagi-lagi Shikamaru ngegas tanda tidak terima. Membuatnya kesulitan untuk menyeruput kopi di setiap pagi seolah sudah menjadi hobi baru bagiku.

"Oh, kukira nenek gaul itu adalah nenekmu. Maaf, sepertinya aku salah intuisi."

"Salah persepsi! Bukan intuisi!" sahut sahabatku. "Kau kira mau menggebet janda anak satu, sampai pakai intuisi-intuisi segala."

Mendengarnya mengoceh kesal oleh sebab ulahku entah mengapa dapat membuat stressku dalam hal pekerjaan seketika terangkat dari ubun-ubun. Meski dari luar aku nampak hanya terkikik kecil, tapi sebenarnya hati sedang terbahak-bahak.

"Ahaha ... maaf. Jadi dia bukan nenekmu?" tanyaku lagi.

"Bukan!"

"Sebenarnya aku penasaran dengan satu hal. Jainudin itu siapa?"

"Mana kutahu!"

Pada akhirnya, hanya beberapa mililiter kopi yang berhasil masuk ke tenggorokannya. Karena ulahku, Shikamaru jadi tak bernafsu lagi menyeruput kopi yang sudah susah-susah ia buat. Rasanya sangat puas pagi-pagi telah mengerjainya. Tidak ada rasa yang lebih menyenangkan dari melihat teman sendiri menderita, bukan?

Tidak sampai dua menit, mejaku kerjaku hampir rapi seperti sedia kala. Hanya butuh sedikit sentuhan akhir agar di sana lebih terlihat menarik nan menggiurkan seperti ala master chef.

'Masih pukul delapan lewat lima pagi, kah ...' gumamku sehabis melirik jam pada pergelangan tangan untuk mengetahui pukul berapa saat ini. Karena sepertinya suasana di lobi kantor masih sepi dari pengunjung maupun pengguna jasa karantina.

"Jadi, kau tadi dengar perkataanku tidak?"

Shikamaru bertanya seraya mengangkat gelas berisi kopi hitam hangatnya mendekat ke arah bibir. Namun aku menoleh menatap padanya lekat-lekat dengan wajah tanpa dosa.

"...Memangnya kau bilang apa tadi?"

". . . . . ."

"Hahhh ... bicara dengan garpu memang susah, ya."

Dapat kudengar Shikamaru mendesah panjang sembari meletakkan gelas kopinya kembali di atas meja. Tangannya mengurut pelipis seakan sepertinya baru terkena migrain oleh karena ulahku. Sekali lagi aku berhasil membuatnya tak jadi menyeruput kopi penghangat pagi.

"Naruto, ada pengajuan impor masuk. Bisa kau tangani sebentar?"

Tidak lama berselang seorang petugas wanita menengok dari balik pintu ruangan kerja kami yang selalu terbuka. Untungnya aku sedang senggang tanpa kesibukan berarti selain mengerjai rekan dekatku sendiri.

"Ah, baik. Aku akan segera ke sana."

Tanpa membuang banyak waktu, aku berdiri dari kursi empuk milikku lalu beranjak untuk segera menemui sang pengguna jasa karantina. Tidak lupa kubawa sebuah pulpen untuk keperluan formalitas dan tanda tangan. Memasukkan pulpen tersebut ke sela saku seragamku yang berwarna cokelat keabuan, aku melangkah tegap keluar dari ruangan tempat biasa aku bernaung selanjang hari.

Sepintas kulihat, pengguna jasa karantina yang akan kutangani adalah seorang pemuda yang rasanya seumuran denganku. Kemeja putih rapi tertutupi oleh jaket kulit serta memegang sebuah map dokumentasi, membuatku yakin bahwa dialah salah seorang pengurus yang ingin melaporkan aktivitas impor masuk ke negara ini. Ia sudah duduk tenang dan nyaman di kursi meja customer service. Meski wajah datarnya yang sok tampan itu ingin kutendang dengan sepatu dinas.

"Selamat pagi. Ada yang bisa kami banting?" tanyaku ramah sedikit melawak sesudah pantatku menyentuh permukaan kursi kosong lain di meja bagian customer service.

"Aku punya pengajuan impor masuk untuk dilaporkan pada pihak karantina. Kapalnya sudah sandar di dermaga dan hewannya sudah siap untuk diperiksa." Pemuda stoic itu masih menunjukkan raut wajah datar yang sama sekali tak terpengaruh dengan candaan renyahku.

'Uwahh. Wajah bocah ini memang sudah dicetak seperti itu dari lahir atau bagaimana ...' tanyaku dalam hati. Agak sweatdrop juga bila melayani pengguna jasa yang modelnya sok cool bak artis Korea seperti satu ini.

"Coba kulihat."

Aku mencoba meraih map dokumentasi yang ia bawa. Namun setelah kugenggam ujungnya, map tersebut tidak mau menuju ke arahku. Ternyata pemuda itu masih belum melepaskan tangannya dari map yang ia genggam. Kucoba menarik dengan halus, tetapi dia juga menarik map itu kembali kepadanya. Alhasil banyak waktuku yang terbuang sia-sia hanya untuk bermain tarik-menarik map tersebut dengan dirinya.

"M-Maaf, bisakah kau lepaskan tanganmu dari map ini? Aku hanya ingin melihat isi pengajuan dokumenmu saja, bukan ingin memakannya," ucapku dengan bibir tersenyum ramah meski ujungnya berkedut-kedut menahan kesal. Dia seolah tak rela bila aku mengambil map yang ia bawa itu.

"Apa kau benar-benar seorang petugas di sini?"

Aku bisa mendengar nada keraguan dari pertanyaan yang pemuda tersebut lemparkan kepadaku. Mungkin karena ia melihat seorang petugas yang umurnya di bawah rata-rata. Namun entah mengapa justru pertanyaan konyol seperti itu malah membuat hatiku jadi cenat-cenut ingin segera menggemplang pemuda ini dengan panci.

"E-Etto... Maaf sebelumnya ya, aku memang seorang petugas di sini. Sudah jelas-jelas aku duduk di depan mata kepalamu dengan memakai seragam lengkap," jawabku dengan senyum yang dipaksakan.

"Begitu rupanya. Maaf, hanya saja aku sedikit ragu karena usia kita tidak jauh berbeda. Kukira kau sedang menyamar menjadi seorang petugas di sini," kata pemuda tersebut seraya melepaskan genggaman tangannya dari ujung map kuning yang ia bawa.

'KAU KIRA AKU INI MATA-MATA?! AGEN GANDA?! JAMES BOND?!' teriakku dalam hati meski di luar aku mencoba tertawa kikuk.

"Ahaha... Aku ini benar-benar seorang petugas. Cocokkan saja tag name di seragamku dengan daftar nama pegawai terdaftar pada situs resmi Unit Pelayanan Karantina Yokohama."

"Aku mengerti. Nanti akan kucoba pastikan di situsnya."

Mendengar jawabannya justru membuat darah mudaku semakin mendidih. Entah bocah ini sebenarnya orang atau bukan. Beruntung aku masih dikekang oleh kode etik sebagai seorang petugas pelayanan publik. Jika tidak pasti sudah kubakar pemuda ini hidup-hidup di tempat.

"Te-Tentu. Silakan pastikan sendiri di situs resminya nanti. Untuk sekarang aku harus melihat isi pengajuanmu terlebih dahulu," kataku yang mencoba untuk tetap ramah seraya menahan emosi setelah menerima map dokumentasinya.

"Jadi namamu Uchiha Sasuke, kah ..."

Pertama-tama kulihat nama yang tertera pada map berwarna kuning tersebut. Kuharap situs Santet Online masih beroperasi, begitu yang terlintas di dalam isi kepalaku ini. Perlahan kubuka dan kulihat isi formulir pengajuannya. Tidak ada yang aneh. Semuanya sesuai dengan prosedur yang ada, termasuk surat keterangan resmi dari negara asal.

"Hmm ... begitu. Jadi muatanmu adalah dua puluh lima anjing peliharaan dari Spanyol. Cukup jauh juga pengirimannya hingga berlabuh ke Jepang ya," gumamku sendiri setelah meneliti komoditi yang ia bawa agar bisa dilepaskan dari pelabuhan.

"Iya. Memangnya tidak boleh?" tanya Sasuke masih dengan raut wajah datar yang sangat menyebalkan itu.

"B-Boleh. Tentu saja boleh," ujarku setelahnya. Menjawab pertanyaan konyol pemuda satu ini yang sudah seperti perawan di bawah umur saja.

"Baiklah, pengajuanmu kuterima. Sebentar lagi aku akan ke lokasi untuk melihat serta mengambil sampel darah anjing-anjingmu itu untuk diuji lab. Jadi silakan tunggu aku di parkiran luar. Aku akan menyiapkan perlengkapan serta kendaraan."

Aku pun berdiri dari kursi setelah kuputuskan untuk menerima pengajuan pelepasan komoditas hidup yang ia bawa jauh-jauh dari Spanyol.

"Aku mengerti. Terima kasih sebelumnya, tapi jangan lama-lama," sahut Sasuke kemudian yang kulihat masih nyaman duduk di kursi itu.

"T-Tentu. Tolong sabar sebentar." Aku tersenyum dengan ujung bibir yang berkedut menahan gejolak emosi saat melihat pemuda itu menjadi orang yang sok sibuk ketika tak mau menunggu lama.

Kedua kakiku melangkah untuk kembali ke dalam. Ketika telah melewati pintu ruanganku yang selalu terbuka, kulihat Shikamaru sudah tertidur pulas di atas meja kerjanya bersama segelas kopi dingin yang masih utuh. Kupukul kepala nanasnya itu menggunakan map dokumentasi milik Uchiha Sasuke agar ia segera sadar dari mimpi indahnya.

"Hei, bangunlah. Ada tugas yang harus kita lakukan."

"...Ngg-"

Shikamaru terbangun dan mengusap mulutnya. Sepasang mata yang hampir mirip mata ikan mati tersebut terbuka sayu. Ia menoleh, mendongak ke arahku.

"...Tugas apa?"

"Tugas sekolah. Tentu tugas pemeriksaan barang importir masuk bodoh!" jawabku kesal.

"Ah, baiklah. Aku akan mengambil kendaraannya lima menit lagi," ucap Shikamaru yang mencoba untuk tidur kembali di atas meja kerjanya.

"SEKARANG!"

Aku menunduk dan berteriak keras-keras tepat di samping telinganya. Membuat Shikamaru hampir terjungkir dari kursinya karena terkejut setengah hidup.

"Cih... Aku mengerti aku mengerti."

Petugas yang hidup segan namun mati tak mau itu lekas berdiri dari kursinya yang nyaman, lalu berjalan ke arah toilet untuk membasuh muka agar kantuknya hilang. Sedangkan aku mulai sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan untuk dibawa ke lokasi pemeriksaan di pelabuhan. Beberapa jarum suntik, aquades, serta alat penguji portabel kumasukkan semua ke dalam tas selempang berbentuk kotak. Tidak lupa kuambil rompi tipis petugas karantina berwarna hitam dan memakainya sebagai formalitas prosedur yang telah ada.

Kuangkat tali tas yang penuh dengan berbagai perlengkapan untuk uji sampel darah, lalu kuselempangkan pada pundak kiriku. Aku berjalan keluar dari pintu belakang untuk mencapai area parkir kantor pemerintah ini. Di sana ternyata Uchiha Sasuke sudah berdiri menunggu kedatanganku.

"Yo, Sasuke. Sebentar lagi kendaraan kita akan datang," sapaku sambil melambaikan tangan kanan padanya.

"Baguslah kalau begitu. Rasanya kakiku sudah mulai kesemutan menunggu petugas datang."

"Ah, syukurlah jika sudah kesemutan."

"Apa?"

"Tidak. Bukan apa-apa."

Kupasang senyum palsu agar ia tak curiga. Sepertinya bocah itu tak mendengar jelas apa yang kukatakan tadi. Masih beruntung hanya kesemutan, aku malah berharap kakinya copot sekalian.

Kurang dari tiga menit, sebuah mobil dinas datang lalu berhenti tepat di depan kami. Nampaknya Shikamaru tidak ketiduran lagi di dalam toilet, begitu yang terlintas di pikiranku. Tanpa membuang banyak waktu, segera kugapai knop pintu mobil berwarna hitam tersebut untuk membukanya. Namun tiba-tiba kaca mobil itu turun hingga menampakkan seorang gadis berparas manis.

"Hallo, Naruto-kun!" sapanya dari balik dalam.

"Hi-Hinata...?!"

Aku hampir terkejut melihat gadis itu sudah berada di dalam mobil, lengkap dengan rompi karantinanya. Sama sekali tidak terpikirkan olehku bahwa ia akan ikut pada tugas pemeriksaan ini.

"Ayo, cepat masuk! Kita harus segera tiba di tempat lokasi pemeriksaan," Ujarnya dengan nada semangat.

Dapat kulihat aura antusias dari binar matanya yang indah. Karena memang sepertinya ini adalah penugasan pertamanya sebagai seorang petugas karantina. Nama lengkapnya Hyuuga Hinata. Ia baru lulus kuliah setahun yang lalu dan pemerintah menerima formulir pendaftarannya sebagai PNS. Bisa dibilang, Hinata adalah anak baru di kantor ini. Membuatku paham mengapa ia bisa seantusias itu dalam penugasan pertamanya.

"Silakan masuk."

Aku membuka pintu mobil bagian penumpang untuk Sasuke. Sekesal-kesalnya, aku masih harus ramah tamah dengan si pemuda beraut wajah datar ini. Karena bagaimanapun juga, aku harus menaati kode etik sebagai petugas yang profesional.

"Hn."

Pemuda tersebut naik ke dalam mobil dan duduk di samping Hinata. Setelahnya kututup pintu mobil bagian penumpang, lalu membuka pintu bagian depan. Aku lantas segera masuk untuk duduk tepat di samping Shikamaru yang sebagai supir kami. Kupastikan tidak ada apapun yang ketinggalan serta pintu telah terkunci rapat, Shikamaru mulai menginjak pedal gas mobil secara perlahan. Mengantarkan kami keluar dari area kantor Unit Pelayanan Karantina Kota Yokohama, untuk menuju ke pelabuhan tempat kami menyidak serta memeriksa anjing-anjing impor yang Sasuke bawa dari Spanyol.


.

.

.

.

.


Sepanjang perjalanan, tidak banyak yang dapat kami obrolkan. Selain rasa benci nan jijikku melihat wajah sok tampan si pengguna jasa itu, aku pun juga tidak terlalu cakap berbicara dengan seseorang yang baru kukenal. Sementara Shikamaru hanya diam seribu bahasa tanpa sekecap mulutnya bicara. Di mana hal itu yang justru membuatku sedikit khawatir bila ia tiba-tiba tertidur sambil tetap menyetir. Baru kali ini aku menyesal sudah menghalanginya meminum kopi hitam yang sudah susah payah ia buat.

Bukan sebuah perjalanan yang jauh. Tidak sampai lima menit, mobil dinas yang kami tumpangi sudah mencapai area terminal peti kemas. Karena bagaimanapun, jarak di antara letak kantor kami dengan pelabuhan terbesar di Jepang ini tidaklah terlampau jauh.

"Yosh. Saudara-saudara sekalian, kita sudah sampai," Ujar Shikamaru setelah memarkirkan mobil dinas ini dengan mulus sempurna. Menengok ke arah kami menggunakan sepasang mata yang lelah nan berkantung.

"Terima kasih banyak sudah mengantarkan kami semua dengan selamat hidup-hidup, Shikamaru. Aku sangat bersyukur untuk itu." Kutepuk pundaknya singkat sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil.

"Hei, apa maksudnya itu?"

"Bukan apa-apa. Ayo, kau juga cepatlah keluar dari sana. Selesaikan ini dan lekas kembali ke kantor," sahutku terkikik pelan.

"Jadi, di mana anjing-anjingmu?"

"Tidak jauh dari sini. Akan kutunjukkan tempatnya. Ikuti saja aku," Jawab Sasuke yang lagi-lagi masih memasang raut wajah datar tak berdosa. Ia melangkah masuk ke area pelabuhan lebih dalam meninggalkan kami di belakang. Sementara aku bergeming melihat belakang punggungnya yang semakin menjauh.

"Naruto-kun, bawaanmu banyak sekali. Kurasa aku tak akan kuat membawanya sendiri." Hinata tiba di sebelahku sembari menyodorkan tas semplang berbentuk kotak.

"Bolehkah aku menyuntiknya sampai mati?" gumamku pelan setelah mengambil tas tersebut dari tangan Hinata.

"Eh...?! J-Jangan, dia itu manusia!"

'LANTAS YANG MENYEBUT DIA SEBANGSA AMUBA SIAPA?!'

"Ahaha... Tidak, aku hanya bercanda kok."

Kulempar senyum lebar tanpa dosa pada gadis itu. Seolah apa yang telah kukatakan hanya sebatas candaan, meski sebenarnya sangat ingin. Sedangkan Hinata hanya terkikik geli seraya berjalan mengikuti ke mana arah Sasuke pergi.

Pelabuhan Kota Yokohama, salah satu pelabuhan terbesar yang ada di Jepang. Pusat dari keluar masuknya jalur wisatawan maupun logistik. Luasnya pelabuhan ini terbagi atas beberapa blok. Di antaranya blok terminal peti kemas di mana kapal-kapal pengangkut barang logistik bersandar. Terpisah dari blok dermaga tempat kapal ukuran sedang serta pesiar pengangkut wisatawan lokal maupun mancanegara berlabuh.

Bunyi-bunyi suara bising peralatan berat untuk pengangkutan bongkar-muat kontainer di atas kapal sudah terasa familiar bagiku. Begitu banyaknya peti kemas besar tersusun meninggi dan tersebar hampir di seluruh blok dermaga ini merupakan suatu pemandangan yang tidak asing lagi. Entah sudah berapa kali aku mampir ke tempat ini untuk melaksanakan tugasku sebagai seorang petugas karantina. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan. Aku tak mampu mengingatnya secara pasti.

Namun yang jelas, saat gendang telingaku menangkap suara-suara gonggongan anjing di sebelah sana, itu berarti kami sudah dekat dengan komoditas impor hidup yang Uchiha Sasuke bawa.

"Hei, apa kau bisa menyuruh anjing-anjingmu ini untuk diam?"

Tidak jauh di sana, kulihat Sasuke dan Hinata beserta seorang pria yang bertugas sebagai operator berdiri di dekat sebuah kandang portabel dari besi. Kandang itu berisi begitu banyak anjing yang tiada henti-hentinya menyalak ke semua orang di dekatnya.

"Aku tidak bisa. Lagipula anjing-anjing ini bukan milikku. Aku hanya seorang pengurus barang impor masuk, itu saja."

Sasuke menjawab pertanyaan pria tadi dengan santai. Sedangkan aku yang baru tiba di lokasi segera mendekat dan menepuk pundak pemuda itu.

"Ada apa?"

"Bukan apa-apa."

"Inikah komoditimu?" tanyaku sembari mengarahkan jempol ke anjing-anjing itu.

"Mereka mungkin kelelahan setelah terombang-ambing di atas kapal selama perjalanan kemari," sahut Sasuke memperkirakan penyebab mengapa anjing-anjing tersebut nampak begitu liar.

Tanpa banyak bertanya lagi, kuputuskan untuk maju selangkah. Direksi mataku menatap lekat-lekat hewan yang akan diperjualbelikan ini. Sikap mereka terlihat sangat liar ketika melihat banyak orang di sekitarnya. Suara lolongan serta gonggongan masih bersahutan tiada henti dari dalam sana.

"Naruto-kun, biarkan aku yang mengambil sampel darah mereka."

Aku sempat mendengar Hinata berbicara padaku dan membuka isi tas yang kubawa. Akan tetapi aku masih bergeming. Kedua mata ini seolah terlalu fokus memperhatikan sikap anjing-anjing impor tersebut. Hingga tanpa sadar Hinata telah mengambil banyak perlengkapan dari dalam tas hitam yang aku bawa.

"Anjing-anjing ini terlihat sangat stress. Kami sempat kesulitan menurunkannya dari kapal."

"Stress...? Apa maksudmu, mereka sedang dalam kondisi labil setelah melalui perjalanan jauh di atas laut?" tanyaku memastikan sembari mengambil dan memakai sarung tangan karet dari dalam tas. Aku tetap memilih bertanya walau sebenarnya aku sudah tahu benar bagaimana konsekuensi membawa hewan hidup terlalu lama di atas kapal.

"Mungkin saja begitu. Karena anjing-anjing ini sempat membuat kami sangat kerepotan ketika memindahkannya kemari tadi. Beberapa pegawai pelabuhan yang ikut membantu memindahkannya malah terkena cakaran dan gigitan oleh mereka. Dikarenakan banyak alat berat yang sedang dipakai membuat kami semua harus memindahkannya secara manual."

Pria itu menendang kesal kandang tersebut setelah panjang lebar menjawab pertanyaanku. Setelahnya tentu, gonggongan anjing-anjing itu makin menjadi.

"Mereka terlihat sangat agresif sekali," ungkap Shikamaru berbisik pelan. Sedangkan aku hanya bisa mengiyakan.

Semakin kutatap mereka lekat-lekat, semakin perasaanku tidak enak. Seperti sebuah firasat yang menjalar begitu saja. Sedangkan Hinata sudah siap dengan sarung tangan karet dan berjongkok tepat di depan pintu kandang. Terlihat ingin segera menggapai kaki-kaki para anjing yang mengais ke arahnya.

"Tunggu sebentar, Hinata!" teriakku agak keras.

"Ehh...?" Hinata menghentikan gerak tangannya sembari menengok ke arahku, "Ada apa, Naruto-kun?"

"Bila boleh tahu, di mana para pegawai yang telah tergigit oleh anjing-anjing ini?"

Aku menatap operator di sana sembari bertanya tanpa mempedulikan Hinata yang masih terheran.

"Kau lihat orang itu? Dia adalah salah seorang yang terluka akibat gigitan anjing-anjing jelek ini," jawab pria tersebut. "Sedangkan yang lain sudah kembali mengerjakan tugas mereka masing-masing."

"Begitu. Terima kasih banyak untuk informasinya."

Segera kuserahkan map dokumentasi berwarna kuning milik Uchiha Sasuke yang sedari tadi kupegang kepada Shikamaru. Tanpa banyak bertanya lagi aku menggerakkan kedua kaki ini untuk melangkah mendekati seseorang yang operator itu maksud.

"Maaf, apa kau yang membantu memindahkan kandang portabel anjing-anjing di sana?"

". . . . ."

Orang dermaga di hadapanku tersebut tidak menjawab. Kulihat ia tetap diam sembari menulis sesuatu pada lembaran-lembaran kertas yang ia bawa. Memakai rompi oranye dan helm safety sederhana sesuai kebijakan area pelabuhan, pria ini berdiri menyamping dari hadapanku.

"Tanganmu terluka. Apa sebaiknya tidak kau obati dulu sebelum terjadi infeksi pada lukanya?" tanyaku saat melihat ada sebuah luka gigitan pada pergelangan tangannya.

". . . . . ."

Tidak ada jawaban.

Pria itu terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya, aku tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, dia benar-benar tidak mengacuhkanku. Agak kesal, aku sempat ingin menegurnya karena sama sekali tak mau menjawab pertanyaanku. Namun ada satu hal yang membuatku mengurungkan niat itu.

Dia tidak sedang menulis ataupun menggambar sketsa kerja...

Setelah kuperhatikan dengan seksama, sedari tadi pria ini hanya menyoret-nyoret lembaran kertas yang ia genggam. Ya... pria tersebut hanya mengenggam sebuah pulpen layaknya balita, lalu terus-menerus menggerakkan pulpen itu pada permukaan kertas yang sudah penuh dengan coretan tak jelas. Gerakan tangannya yang sangat kaku hingga membuat kertas-kertas itu robek entah mengapa membuatku bulu kudukku berdiri saat memperhatikannya.

"H-Hei, kau tidak apa-apa?"

Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi sembari mengayun-ayunkan tangan kananku kepadanya.

BRRAAKK...!

Tiba-tiba saja ia membuang papan berisi lembaran kertas beserta pulpennya ke tanah. Jantungku hampir saja copot melihatnya melakukan hal itu. Terkejut serta merinding bercampur-aduk menjadi satu. Kurasa usahaku untuk mendapatkan perhatiannya telah berhasil.

Dia menoleh ke arahku...

Aku tak begitu tahu apakah yang kuperbuat tadi sudah membuatnya marah atau bagaimana. Namun yang jelas, tatapannya terasa kosong meski pria ini benar-benar menoleh ke arahku.

"S-Sepertinya kau sedang kurang enak badan. Apa tidak sebaiknya segera diperiksakan ke rumah sakit terdekat?"

Entah mengapa lidahku sulit berkata-kata hingga membuatku terbata. Wajahnya sangat kering dan pucat. Dapat kulihat dengan jelas ada lipatan di kantung matanya. Kedua pipinya kisut bagai seorang pecandu narkoba. Namun hal yang lebih membuatku bergidik ngeri adalah, kedua pupil matanya yang mengecil layaknya tikus yang telah mati.

DEG!

Seketika jantungku serasa ingin copot untuk yang kedua kali saat pria itu mulai melangkahkan kakinya mendekatiku.

'A-Ada apa sebenarnya dengan orang ini...' batinku bergidik ngeri seraya mengambil langkah mundur.

Sungguh, perilaku pria itu sangat aneh semenjak tadi. Serasa ada yang tidak beres dengannya. Belum lagi wajah dan mata yang terlihat sangat mengerikan tersebut terus-menerus menatapku tanpa mengerjap sekalipun. Aku benar-benar tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Tanganku hanya gemetar tanpa sebab.

"Naruto, apa yang sedang kau lakukan?"

"Main dakon!"

Aku mendengar Shikamaru bertanya keheranan padaku dari kejauhan, yang justru membuatku jengah menoleh kepadanya. Apa matanya buta tidak melihat aku yang sedang bergidik ngeri di hadapan pria ini, siratku dalam hati.

Sepersekian detik setelahnya, bulu romaku menegang hebat saat kurasakan ada pergerakan dari pria itu secara tiba-tiba. Sialnya aku yang sedang menengok ke arah Shikamaru di sana jadi hilang kewaspadaan. Pria tersebut meraih serta mencengkram kedua pundakku kuat-kuat.

"Tu-Tunggu, apa yang-"

Pada detik itu, tenggorokanku serasa tercekat. Aku tak mampu berbuat banyak. Hanya berusaha menjauhkan rahang beserta gigi-giginya dari leherku sekuat yang aku bisa.

"NARUTO!"

"NARUTO-KUN!"

Syok dan rasa takut yang menjalar membuat gendang telingaku berdenging. Suara-suara rekanku tidak bisa kudengar jelas. Aku sama sekali tak paham mengapa pria ini terus saja mencoba menyerangku. Peluh menetes dari dagu. Gerakannya yang sangat agresif mengalahkan kuda-kuda kakiku hingga hampir terjatuh. Beruntung orang-orang di sekitar segera berdatangan dan mencoba memisahkan kami berdua.

"Sudah hentikan! Jangan bertengkar di sini!"

Mereka, para pekerja lain berhasil menarik pria itu dariku. Sedangkan aku lekas mundur selangkah hingga terjatuh ke belakang.

"Naruto, kau tidak apa-apa?!" tanya Shikamaru menggapai lenganku yang masih gemetar akibat kejadian barusan.

"Bokongku sakit," jawabku singkat sehabis terjatuh.

Kedua pandangan mataku tidak lepas sedetikpun menatap bagaimana pria itu meronta-ronta. Meski sudah dikunci oleh banyak orang, tetapi kelakuannya masih sangat agresif seperti layaknya binatang liar.

"Sudah diamlah! Kau ini kenapa?!"

"Sebenarnya apa masalahmu?! Kau seperti orang kesurupan saja!"

Mereka, para pekerja lain bahkan masih kewalahan untuk menenangkannya. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar kepada teman mereka yang satu itu. Pikirku percuma. Dilihat dari manapun dia benar-benar tidak menghiraukan perkataan mereka. Tetap bersikukuh meronta bagai hewan liar. Sampai pada akhirnya ia menggigit tangan temannya hingga robek berdarah.

"Jangan menggigitku bodoh!"

Aku dan Shikamaru saling bertukar pandang dengan raut wajah ngeri melihat semua itu. Tanpa sadar perkataan seorang operator pelabuhan beberapa waktu tadi terlintas kembali di kepalaku.

"...Beberapa pegawai pelabuhan yang ikut membantu memindahkannya malah terkena cakaran dan gigitan oleh mereka..."

Tidak lama kemudian aku baru memahami sesuatu. Sebuah hal penting yang tidak boleh disepelekan. Semua ini pasti bersangkutan dengan penularan penyakit yang sangat berbahaya. Sekejap aku menoleh ke belakang untuk melihat Hinata yang masih berjongkok ketakutan melihat kejadian yang baru saja terjadi.

"HINATA, JAUHI ANJING-ANJING ITU!"

Aku berteriak agar gadis manis berponi tersebut dapat mendengar suaraku dengan jelas.

"Ehh...?"

Hinata masih belum sadar akan hal penting ini. Gadis itu masih tetap bergeming dari tempatnya, di hadapan pintu kandang anjing-anjing Sasuke.

WOOFGG! WOOFGG!

Hinata terkejut hingga terperosok ke belakang ketika para anjing tersebut semakin liar menyalak seraya ingin menyakarnya. Gemirincing gembok kecil masih berbunyi merdu beradu dengan jeruji pintu kandang besi. Aku tak tahu pasti seberapa lama gembok tersebut dapat menahan mereka untuk tetap berada di dalam kandang. Bagiku yang paling penting adalah Hinata masih belum melakukan kontak fisik dengan mereka.

Kuedarkan direksi mata ini untuk menengok ke kanan dan kiri. Tidak jauh berbeda. Kondisi yang sama terjadi di manapun mataku jauh memandang. Kegaduhan timbul oleh sebab yang persis seperti apa yang terjadi padaku. Seseorang tiba-tiba saja bertingkah aneh lalu mengejar yang lain. Mencoba untuk menggigit teman atau siapapun yang ada pada radius pandangan mereka. Mungkin orang-orang itu adalah mereka yang terluka terkena cakaran serta gigitan anjing-anjing Sasuke ketika membantu memindahkan kandangnya, begitu yang terlintas dalam benakku.

'Ini sangat gila. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?!' batinku yang mendengus sesak akibat detakkan jantung memburu.

Seketika pikiranku kalut. Kaki ini lemas tak mampu bergerak. Jemari yang tidak bisa berhenti gemetar. Kepalaku serasa berat sebelah melihat pemandangan ini. Bagai anjing liar, mereka saling menyerang dan menggigit satu sama lain. Perilaku yang jelas bukan lagi perilaku manusia.

"Kita harus berkumpul dengan yang lain, Naruto!"

Kedua tangan Shikamaru menggoncang pundakku keras-keras. Aku yang terjerembab oleh pemikiranku sendiri akhirnya berhasil tersadarkan olehnya. Shikamaru benar. Kami harus segera berkumpul agar tidak terpisah dari kerusuhan ini.

Shikamaru membantuku yang kepayahan untuk berdiri. Aku dan dia berbalik badan lalu lekas berlari kecil ke sana. Tanganku menggapai lengan Hinata, memaksanya untuk segera berdiri dan menjauh dari kandang tersebut. Sementara Shikamaru menggiring Uchiha Sasuke untuk ikut. Kami berempat berlari menuju ke balik sebuah kontainer besar dan bersembunyi di sana.

"K-Kenapa malah jadi begini?" tanya Hinata ketakutan setelah melihat orang-orang di sini berubah menjadi sangat agresif bak hewan buas.

"Aku ... juga tidak tahu," lirihku dengan nafas tersenggal.

Kulepas kancing paling atas dari seragam karantina ini ketika keringat mulai mengucur membasahi dagu. Seluruh tubuhku terasa panas. Jantungku tak mau berhenti berdebar keras. Aku mencoba untuk berpikir jernih demi menyingkirkan rasa takut ini.

"Hinata, kabari petugas lain yang ada di kantor! Shikamaru, coba hubungi polisi, karena ini sudah menjadi situasi darurat!" pintaku kepada mereka berdua.

"Kami mengerti!"

"Bagus..."

Sehabis membagi tugas kepada mereka, aku melangkah mendekati seorang pemuda yang baru kukenal tadi pagi.

"... Dan kau!"

Mencengkram serta mengangkat kerah kemeja Sasuke tinggi-tinggi, kulempar tatapan serius nan sinis bersama emosi.

"Mengapa kau bawa anjing-anjing penyakitan itu kemari?!"

"Mana kutahu jika anjing-anjing itu penyakitan," jawab Sasuke dengan wajah yang datar.

"Bagaimana bisa kau tidak tahu, bukankah mereka adalah milikmu?!"

"Jangan salah paham. Mereka sama sekali bukan milikku. Mereka dikirim dari Spanyol oleh orang lain. Di sini peranku hanyalah sebagai pengurus dokumentasi barang impor masuk," tukas Sasuke lagi dengan alasan yang masih belum bisa kupercaya.

Emosi yang meluap membuat cengkraman tanganku semakin mencekiknya. Gigiku bergemelatuk merespon jawaban yang ia berikan. Tentu aku tak bisa menerima alasannya begitu saja. Semua orang di sana menjadi gila dan mengerikan karena terinfeksi oleh penyakit misterius yang dibawa anjing-anjing itu. Hal ini bahkan sudah terlihat seperti sebuah wabah menular saja!

"Tunggu ... kau bilang Spanyol?"

Shikamaru menepuk pundakku lalu menariknya agar ia bisa berbicara dengan Sasuke.

"Kenapa?" tanya Sasuke.

"Kau tadi bilang anjing-anjing itu datang dari Spanyol?" lanjut Shikamaru sangat ingin memastikan.

"Benar. Mereka dikirim oleh importir dari Spanyol. Memangnya ada apa?"

Shikamaru lalu segera membuka map berwarna kuning yang sempat kuserahkan padanya tadi. Kurasa ia belum melihat isinya sama sekali. Kulepaskan cengkramanku dari kerah kemeja putih Sasuke untuk memperhatikan ekspresi tegang yang Shikamaru perlihatkan. Aku tidak tahu secara pasti, tetapi aku yakin ada yang tidak beres.

"...Sial."

Wajah Shikamaru semakin tegang dengan kedua mata yang melotot membaca isi dokumen milik Sasuke. Sesaat kemudian ia mendongak untuk melihatku menggunakan tatapan mata yang melebar.

"Ini hari yang sangat sial."

"...Apa yang kau maksud, Shikamaru?" Aku mencoba bertanya oleh karena rasa penasaran.

"Naruto-kun! Aku dapat kabar bahwa kondisi di kantor juga sedang dalam masalah. Katanya ada orang gila berseragam kepegawaian pelabuhan tiba-tiba masuk dan mengamuk di dalam kantor!"

"HAHH?!"

Jantungku hampir copot mendengar penuturan Hinata. Gadis berponi itu membeberkan kabar mengejutkan sehabis ia menghubungi kantor kami. Ternyata kondisi di sana tidak jauh berbeda dengan kondisi di sini.

"...Lalu bagaimana dengan mereka?!"

"A-Aku tidak tahu. Tiba-tiba telponnya terputus. Saat ingin kutelpon kembali, sayangnya tidak mau tersambung. Tapi yang jelas, aku sempat mendengar kegaduhan di sana sebelum akhirnya telpon kami putus."

Seketika kedua mata biruku mengerjap lebar. Mulutku ternganga oleh sebab rasa tak percaya. Pikiranku kembali kacau. Aku benar-benar tidak bisa menangani semua hal ini menggunakan akal serta nalarku. Berapa kalipun!


.

.

.

QUARANTINE

Arc I : Mimpi Buruk Di Pelabuhan

Chapter 1

WARNING! This fiction contains : Violance and Gore

Genre : Horror, Thriller

.

.

.

To be continue ...