Naruto © Kishimoto Masashi.
This is a work of fanfiction. No material profit is taken.
Written for HanRiver.
in time and between
A Naruto fanfiction
.
[bagian satu]
.
Pernikahan.
—adalah impian semua gadis. Seindah kedengarannya, sebuah pernikahan telah menawarkan janji-janji semanis madu yang membuai dan memanja; mewarnai masa muda seorang gadis dengan angan-angan.
Kedengarannya sempurna. Pernikahan dan kebahagiaan memang ditakdirkan bersama. Namun, akhir yang demikian hanya ada di dongeng-dongeng yang sering dibacakan pengasuhnya untuknya sebelum dia tidur. Sayangnya, Haruno Sakura lebih dulu mengecap efek pahit sebuah pernikahan.
Kedua orang tuanya bercerai ketika Sakura masih terlalu kecil untuk menghafal rumus luas bangun sederhana; dia masih terlalu kecil saat itu untuk membedakan mana madu dan mana sakarin—sangat manis. Terlalu manis hingga tidak menyisakan apapun selain rasa manis yang membara bagai api di kerongkongan.
Seperti halnya konsep pernikahan dan keluarga.
Mulanya semuanya baik-baik saja. Semuanya indah, semuanya manis, semuanya damai. Kemudian di suatu waktu, semuanya berubah. Pecah dalam kepingan yang terlalu banyak untuk dia punguti satu per satu, bertebaran di sepanjang jalan; melukai kaki-kaki dan tangannya, melukai hatinya.
Pecah selayaknya cermin kebahagiaan satu arah. Pecah serupa mimpi-mimpinya.
Hidup tidak sepahit itu kepadanya. Sebelum…sebelum kehidupan kembali merampas apa yang Sakura kira sudah tidak lagi dia miliki.
Pernikahan.
Pernikahannya.
Dan prospek kehadiran keluarga yang lain.
Keluarganya.
Sepicik apapun pikirannya mengenai topik satu itu, Haruno Sakura tetaplah seorang gadis dengan impian dan hasrat tersembunyinya. Dan kehidupan kembali menghancurkannya. Kali ini Sakura tak punya daya untuk mencegah. Dia terdiam; menatap pada kehampaan yang disisakan kehidupan untuknya.
—
—
Haruno Sakura memasuki babak baru kehidupannya, menjadi seorang istri jauh sebelum dia menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter, di usianya yang baru memasuki awal kepala dua. Dia menceburkan diri ke dalam pernikahan yang tak pernah dia inginkan dengan satu alasan: supaya bayi yang tengah dikandungnya tidak lantas lahir tanpa ayah.
Kehidupannya tentu tidak akan lebih buruk dari ini. Dia sudah melalui lebih banyak peristiwa dari wanita seusianya pernah alami; menjadi korban pemerkosaan oleh lelaki yang terobsesi kepadanya, hamil, dan terpaksa menikah.
Sakura yang dungu tidak pernah menyangka masih ada banyak hal yang bisa kehidupan tawarkan kepadanya; seperti rumah tangga penuh kekerasan.
Sakura semula tidak menyangka dirinya memiliki kapasitas untuk membenci sebegini besar. Pada satu waktu, dia mengira dia kapan saja bisa menjelma menjadi siluman akibat derik kedengkian ini.
Suaminya, yang memproklamasikan cinta matinya kepada Sakura, ternyata tak lebih dari seorang pria abusif yang menyiksanya dengan siksaan fisik dan batin. Luka di tubuhnya bisa dia obati dengan peralatan P3K sederhana, tetapi luka kasat mata yang dideranya membekas lebih dalam dan dia tak kuasa mengobati dirinya. Dia berharap waktu bisa mengobatinya, seperti yang telah waktu lakukan untuknya di suatu masa yang lampau. Namun di sini, dokter dua puluh sembilan tahun yang berbakat bernama Haruno Sakura masih memelihara monster bernama ketakutan jauh, jauh sekali dalam dirinya.
Dia terluka; rusak; ketakutan. Dan kini, Haruno Sakura mendapati ketakutan dalam dirinya telah bermanifestasi—mewujud dalam rupa fisik sesungguhnya yang mulai mengacaukan kehidupannya.
—
—
Siapa yang menyangka: menjadi seorang wanita sekaligus ibu bisa sesulit ini?
Orang bilang, wanita dan ibu datang dalam satu paket tak terpisahkan. Layaknya menghirup udara dan ritme debaran jantung. Sealamiah itu. Sewajar itu.
Orang bilang, begitu sudah tiba waktunya, bermetamorfosis dari seorang wanita menjadi seorang ibu tidak lebih sulit dari mengubah mekanisme pernapasan perut ke dada begitu memulai siklus bulanannya.
Orang bilang, menjadi ibu adalah insting mendasar seorang wanita. Keibuan adalah indera keenamnya. Bagaikan telah diresepkan dalam untai panjang DNAnya.
Formulaic.
Kata siapa? Haruno Sakura ingin melakukan sedikit koreksi. Baginya, perihal menjadi seorang ibu tidak datang sealamiah itu.
Mencintai putranya di detik pertama pertemuan mereka adalah momen-momen tak terlupakan, suatu naluri seolah dia telah membangkitkan bagian dirinya yang tidak pernah dia ketahui keberadaannya. Semuanya terjadi begitu alamiah hingga rasa-rasanya mustahil untuk tidak mencintai keajaiban kecil itu. Namun, ada satu catatan penting yang perlu digarisbawahi tebal-tebal: naluri tidak lantas datang bersama kemudahan.
Menjadi seorang ibu adalah suatu perjuangan berat bagi Haruno Sakura. Dia sudah merasakan kehadiran putranya dalam kandungannya ketika batinnya tengah bergejolak oleh krisis identitas remaja-dewasa tanggung. Dia begitu saja menjadi seorang ibu, melewatkan momen-momen pendewasaan diri. Tanpa bimbingan, tanpa panutan, tanpa tuntunan. Tanpa sempat menjadi seorang wanita.
Ibunya sendiri merasa tidak perlu turut andil dan ambil peran dalam kehidupan Sakura. Yah, wanita itu praktisnya sudah menyingkir dari hidup Sakura semenjak dia meninggalkan Sakura bersama ayahnya. Sakura cukup bersyukur dia tumbuh menjadi dirinya yang sekarang. Bisa saja dia jadi lebih buruk dari ini, bukan, mengingat ketiadaan sosok ibu dalam masa perkembangan psikologinya dan sosok ayah telah sempurna digantikan oleh tumpukan kertas cek dan kartu kredit mengilat.
Ketika dulu Sakura mengabarkan berita kehamilan dan rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya, Sakura sejujurnya sudah menyangka akan mendapat reaksi yang begitu…pedas; kalau enggan dikata brutal. Ayahnya marah luar biasa, Sakura sudah bisa menduganya sejak awal. Toh, pria itu bukan pria paling sabar dan penyayang yang pernah Sakura jumpai. Hitung-hitung, sikap keras dan amarah Sakura kurang lebih berasal dari pihaknya. Dan ibunya, untuk sekali itu, menunjukkan ketertarikan terhadapnya—walaupun ketertarikan itu dirupakan dalam bentuk penghinaan. Dan mengategorikan arti tatapan itu sebagai penghinaan sesungguhnya sangat tidak patut.
Sakura selalu memercayai bahwa setiap wanita selalu dikaruniai insting keibuan dan tidak ada seorang ibu yang benar-benar membenci anaknya, bagaimana pun kondisinya. Namun, mengingat bagaimana sikap ibunya kepadanya, Sakura merasa perlu menilai kembali opininya. Di mata ibunya, Sakura tidak lebih dari sebuah kegagalan; seolah Sakura lah seluruh alasan dan pembenaran atas apa yang menimpanya, yang merasa terjebak dalam ikatan pernikahan dan keluarga mereka; seolah bukan hal yang mengagetkan ketika Sakura berakhir hamil di luar nikah.
Sakura begitu muak dengan segala yang ada dalam kehidupannya.
Dan putranya adalah satu-satunya keselamatan baginya.
Walaupun pada awalnya kehidupannya bersama putranya tidak bisa dikatakan mudah, pada akhirnya semuanya baik-baik saja. Dia telah bersusah payah mencoba mengikuti arus deras kehidupan. Dalam banyak waktu Sakura merasa dia akan gila, tetapi cahaya terang yang bermanifestasi sebagai putra kecilnya terus membimbingnya hingga dia mencapai kestabilan ini.
Karena satu-satunya hal yang Sakura syukuri dari ketidakberuntungannya adalah kehadiran sang putra tercinta, Sousuke.
—
—
Langit sore kali ini merupakan campuran lebam beberapa derajat; suatu penanda hujan deras akan turun malam ini. Di satu sisi horizon, langit biru bercampur merah jambu dan ungu terang sedangkan di sisi yang lain merupakan campuran ungu gelap, kelabu, dan awan-awan gemuk. Untungnya, sore ini jalanan tidak seramai biasanya; seolah memahami keinginan Haruno Sakura untuk sesegera mungkin sampai ke rumahnya. Sesekali dia melirik spion depan untuk mengecek keberadaan kotak yang dibungkus kertas cokelat di atas kursi belakang, takut-takut benda itu akan menguap hilang.
Sesorean ini Sakura merasa tidak bisa duduk tenang di balik kemudinya. Rasa-rasanya mengendarai mobil dengan kecepatan delapan puluh kilometer per jam belum juga memuaskannya untuk sesegera mungkin sampai. Nah, barangkali sedikit mendekati lima puluh tidak buruk. Semua orang praktis mengetahui koordinasi kaki Sakura yang tidak bisa dibilang dalam peringkat atas. Setua apa pun dia, refleks kakinya tidak pernah berkembang pesat. Barangkali karena dia menghabiskan banyak waktu melatih kedua tangannya. Kaki jarang berguna dalam profesi yang ditekuninya, selain untuk berlari dari satu ruang operasi ke ruang perawatan, tentunya.
Kegirangannya sore ini bukan tanpa alasan. Hari ini, putranya genap berusia delapan tahun dan dr. Senju begitu baik kepadanya dan memberinya kelonggaran untuk pulang lebih cepat. Tuhan memberkatinya. Semua orang tahu kekerasan hati direktur rumah sakit tempatnya bekerja itu bahkan mengalahkan karang. Akhir pekan ini adalah jatah jam pengabdian Sakura bertugas di sebuah desa di pinggir Kyoto bersama empat dokter lainnya. Jam pengabdiannya harusnya baru berakhir besok sore. Namun, dengan direktur yang memanjakan putranya lebih dari Sakura sendiri benar-benar membawa keuntungan. Tsunade justru mengusirnya, menyuruhnya cepat-cepat pulang dan tidak membiarkan Sakura melewatkan ulang tahun putranya.
Oh sudahkah Sakura mendeklarasikan cintanya kepada Senju Tsunade hari ini?
Ketika matahari sudah sepenuhnya tenggelam di horizon, Sakura akhirnya mencapai blok apartemennya di bilangan pusat Kyoto yang padat. Setelah memarkir mobilnya di parkiran bawah tanah gedung apartemennya, dia buru-buru meraih barang-barangnya dari kursi belakang dan keluar dari mobil, berjalan menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dua belas tempat apartemennya berada.
Tampaknya, semesta tengah berpihak kepadanya. Lift yang biasanya membutuhkan setidaknya satu menit untuk terbuka itu kini kosong, dengan taat membawanya ke tujuan. Tinggal di kawasan pemukiman menengah memang punya sisi plus minusnya. Walaupun Sakura sebenarnya tidak punya masalah untuk membeli apartemen di wilayah lebih bergengsi (terima kasih kepada warisan ayahnya dan pembagian harta perceraian dari pria konglomerat, tak lupa dengan gaji bulanan yang lebih dari berlebih), Sakura tidak ingin putranya tumbuh dengan mindset aku-kaya-aku-bisa-minta-apa-saja.
Seluruh warisan ayahnya telah Sakura alihkan untuk tabungan pendidikan dan asuransi putranya, sementara uang dari mantan suaminya masih utuh di rekeningnya yang lain—tersimpan dalam-dalam di berangkasnya, tidak tersentuh karena Sakura terlalu jijik bahkan hanya dengan memikirkan keberadaannya. Satu-satunya barang mewah yang pernah Sakura belikan untuk putranya adalah sebuah grandpianohitam, ketika dia menyadari bakat musik putranya bukan sekadar main-main.
Kebanggaan tidak lagi mampu menggambarkan perasaan yang membuncah dalam dada Sakura.
—
—
"Ibu!"
Layaknya sebuah tembakan energi tinggi, bocah kecil berusia delapan tahun itu menabrak keras-keras Sakura yang tengah berdiri di ambang pintu. Tangan-tangan kecilnya berusaha keras memutari pinggang Sakura dan jemari panjangnya mencengkeram blus tanpa lengan sewarna persik yang Sakura kenakan.
"Oooh!" Sakura hanya bisa berseru tanpa daya sembari berusaha menahan tubuhnya tetap seimbang sambil memegang kotak kadonya dan memeluk putranya dalam satu usaha sekaligus.
Bocah lelaki kecil itu mendongakkan kepalanya yang penuh helai halus sewarna tembaga. Senyumnya begitu lebar, yang dengan cepat menginfeksi Sakura dan membuat wanita itu tersenyum sama lebarnya.
"Halo juga, Sousuke," sapa Sakura, nyaris terdengar memperingatkan.
"Oh halo, Ibu," ujar Sousuke sopan sambil melepaskan pelukan kuatnya. Kini dia menyeringai nakal, mengingatkan Sakura akan seringai Cheshire. "Okaerinasai."
Sambil menjatuhkan barang-barang bawaannya di meja dekat genkan, Sakura tersenyum. "Tadaima."
Dia acak-acak rambut putranya yang sudah berantakan. Di bawah sinar lampu yang putih, warna tembaga itu terlihat lebih terang—nyaris pink aprikot seperti rambutnya. Untuk beberapa hal aneh, Sakura bersyukur putranya tidak mewarisi ciri fisiknya, salah satunya adalah warna rambut. Sebesar apa pun kesukaan Sakura terhadap rambut aprikotnya, dia tetap kesulitan membayangkan Sousuke mempunyai warna rambut seperti dirinya. Bicara soal penindasan. Dan beruntungnya, Sousuke tidak banyak mengambil dari ayahnya. Walaupun pirang platina tidak buruk, Sakura tidak begitu antusias jika harus membuat daftar panjang kemiripan Sousuke dengan mantan suaminya. Sejauh ini memang tidak banyak kemiripan pada ayah-anak tersebut.
Sakura dengan mudah menemukan bentuk hidung, bibir, dan tulang pipinya di wajah Sousuke. Walaupun tulang matanya dalam seperti ayahnya, Sakura masih melihat dirinya di dalam Sousuke. Dengan mata hazel ekspresif yang dengan mudah memesona orang lain untuk menuruti kemauannya—termasuk dalam kategori itu adalah Sakura—Sousuke mewarisi lebih banyak hal dari ibunya. Namun, kenakalan dan kejenakaan adalah satu hal yang tidak dia ketahui dari mana asalnya.
Barangkali bawaan usia belia.
Selesai dengan salamnya, Sousuke kembali menyeringai lebar dan kali ini dia kesulitan untuk menahan kegembiraannya yang gegap gempita. "Ibu pulang!" serunya, seolah gemerlap matanya yang kini sewarna seledri dan seringai lima jari tidak cukup untuk menunjukkan kegembiraannya.
Untuk satu hal, Sousuke mudah disenangkan hatinya. Persis seperti Sakura.
"Tentu saja," balas Sakura dengan wajah luar biasa puas.
"Ibu bilang ini minggu pengabdian Ibu di desa."
"Memang, dan baru selesai besok."
Mulai muncul kerutan di kening mungilnya. "Lalu bagaimana Ibu bisa ada di sini? Bagaimana dengan Nenek Tsunade?" tanyanya heran. Kemudian seolah baru mendapat ilham, Sousuke berbisik keras. "Jangan-jangan Ibu kabur?" Sepasang alisnya bergeliut menggoda.
Sakura pecah dalam tawa. "Tentu saja tidak. Bukan berarti Ibu tidak berani, tapi Nenek Tsunade yang memberi izin." Sakura mengedip menenangkan.
"Oh ya? Nenek Tsunade tahu aku berulang tahun hari ini?"
"Tentu saja dia tahu, sayang," ucapnya sembari mencolek hidung Sousuke. "Justru Nenek yang mendepak Ibu supaya tidak melewatkan ulang tahunmu." Sembari mengamit tangan putranya, Sakura berjalan menuju ruang tengah dan duduk di salah satu sofanya. Sousuke segera mengambil tempat di sampingnya dan bergelung rapat. "Nenek Tsunade menitipkan ucapan selamat ulang tahun untukmu."
"Benarkah? Begitu yang Nenek ucapkan?" tanya Sousuke dengan nada sanksi.
"Umm…" Sakura menggaruk pipinya. "Itu kesimpulannya."
"Jadi, apa yang Nenek ucapkan?" desak Sousuke menuntut.
Sakura tertawa kering, kemudian berdehem. Air mukanya berubah serius. "Bilang ibumu untuk pindah ke radiologi supaya dia punya lebih banyak waktu untukmu, dan berhentilah jadi anak baik-baik, bocah abnormal," ucapnya dengan mimik dibuat semirip mungkin dengan Tsunade yang mabuk. Senyum geli Sakura kemudian pecah. "Begitu katanya."
Kali ini, Sou turut tertawa. "Ibu pintar sekali menirukan suara Nenek Tsunade!"
"Jadi, bagaimana?" Sakura tersenyum lembut.
"Bagaimana apanya?" tanya Sousuke bingung.
"Nenek Tsunade bilang hadiahmu adalah kepindahan Ibu ke radiologi supaya Ibu punya lebih banyak waktu untukmu," kata Sakura serius. Dia pelajari ekspresi Sousuke yang kini terdiam dengan wajah serius, sedang mempertimbangkan ucapan nenek asuhnya.
Ketika akhirnya Sousuke mempertemukan kembali tatapan mereka, warna hijau di matanya menggelap, membuatnya terlihat nyaris kecokelatan. Sakura teringat akan cognac tua di ruang penyimpanan ayahnya dulu. "Aku inginnya begitu, tapi lebih banyak orang yang membutuhkan Ibu," katanya kemudian sambil mengedikkan bahu. Air mukanya berubah jenaka lagi dengan senyum lebar.
Gelembung yang tak lagi asing itu membesar di dada Sakura, menyingkirkan oksigen dari paru-parunya tanpa membuatnya kesakitan; perasaan yang dia kenali sebagai perasaan bangga. Matanya yang hijau bagai daun muda gemerlap oleh air mata yang tertahan. Bagai daun basah di pagi hari. Begitu dalam dan menenangkan. "Kau tahu seberapa besar kebanggaan Ibu terhadapmu?" bisiknya parau.
Sousuke terus tersenyum lebar. Tangannya terangkat melingkari leher Ibunya, kemudian mengecup pipi Sakura.
"Oh Ibu sayang sekali kepadamu, Sousuke," ujar Sakura serak, tidak kuasa menahan diri. Dia tarik putranya ke dalam dekapannya dan bisa dicium aroma melon yang menguar dari rambut putranya. "Kau tidak tahu betapa beruntungnya Ibu memilikimu."
Dalam pelukan ibunya, Sousuke menepuk-nepuk punggung sang ibu, berlagak tengah berusaha menenangkan Sakura. "Aku juga beruntung sekali punya ibu seperti Ibu," bisiknya riang. "Tapi sudah dong menangisnya. Aku ingin terima hadiahku." Sousuke melepaskan diri dari pelukan ibunya, serius mencoba memasang wajah cemberutnya.
Mendengarnya membuat Sakura tertawa. Dari melankolis menjadi luar biasa gembira seperti ini. Dokter kejiwaan pasti akan mengerutkan kening heran melihat pola emosinya.
"Baiklah, baiklah. Sana pergi ambil hadiahmu."
Tanpa komando dua kali, Sousuke melompat turun dari sofa dan berlari secepat yang dia bisa menuju meja genkan dimana tadi ibunya meninggalkan kotak hadiah di sana. Dalam hitungan detik dia sudah kembali merapat manja ke pelukan ibunya.
"Selamat ulang tahun, sayang," bisik Sakura sambil memeluk Sousuke dari belakang dan mencium ubun-ubunnya.
"Apa yang Ibu punya di dalam sini?" tanya Sousuke. Jemari kecilnya berusaha membongkar kertas pembungkus kadonya sepelan yang dia bisa. Sebagai anak kecil yang memiliki sumbu kesabaran pendek, Sousuke bisa sangat perhatian untuk hal-hal yang menarik minatnya. Dengan kehati-hatian yang mengagumkan, sedikit demi sedikit dia mulai melepas plester bening yang menghubungkan tepian kertas tersebut. Dia begitu berhati-hati sampai membuat Sakura luar biasa gemas, tak sabar menunggu bagaimana reaksi putranya melihat hadiah darinya.
"Sudah, disobek saja. Ibu jadi gemas melihatmu."
Sousuke justru terkekeh. "Ibu memang suka tidak sabaran."
Dengan dagu disandarkan di atas kepala putranya, Sakura menggumam—tidak benar-benar berpikir. "Dan dari mana memangnya kesabaranmu itu, uh?"
"Well, kurasa bukan dari Ayah," jawab Sousuke enteng, masih setia bertahan membuka kadonya.
Topik mengenai ayah dan mantan suami memang tidak pernah menjadi topik mudah bagi Sakura. Ketika hendak membuka mulut, Sakura harus menelan ludah sering-sering. "Apa…kau ingin bertemu dengannya?" tanyanya ragu-ragu. Sakura lebih baik selamanya menunggu neraka membeku daripada membawa putranya kehadapan pria terkutuk itu, tetapi Sousuke tetaplah seorang anak yang membutuhkan sosok ayah. Sebesar apa pun kebencian Sakura, dia tidak punya hati mengingkari keinginan putranya.
Anehnya, Sousuke hanya tertawa kecil tanpa benar-benar mengalihkan pandangan dari kado di tangannya yang baru setengah terbuka. "Tidak, nanti saja kalau aku sudah besar. Kalau aku sudah bisa melindungi Ibu."
Terkadang Sakura bertanya-tanya kemana perginya putra kecilnya yang dulu suka bergelayut di kakinya, mengekorinya kemana saja dia pergi hingga membuat Sakura sendiri kewalahan menghadapinya. Terkadang waktu bisa sangat kejam kepadanya.
"Wow! Ibu membelikanku sepatu baru!" teriaknya begitu berhasil membuka bungkus kadonya.
Sambil menahan senyum, Sakura mempererat pelukannya. "Ini untuk resitalmu dua bulan lagi. Kau suka?"
"Aku suka sekali! Ini pasti cocok untuk setelan jasku nanti. Bukan begitu, Bu?" Sousuke mengangguk antusias, memandangi sepatu kulitnya dengan vigor baru.
"Memang begitu maksud Ibu. Kapan-kapan kita cari setelan tuxedo untukmu. Kau tumbuh terlalu cepat, Ibu tidak berani membelikanmu satu sekarang."
Sousuke terkekeh seraya memasang sepatunya. "Aku tumbuh sangat cepat. Aku tahu," katanya bangga, kontras dengan sesal yang dirasakan Sakura.
Sousuke kini berdiri di hadapannya, di antara kedua kakinya, dan tampak luar biasa tampan sampai-sampai mencuri hatinya untuk kesekian kalinya. Dengan kedua lengan yang gemetar, Sakura merengkuh Sousuke ke dalam dekapannya lagi. "Jangan cepat-cepat besar. Ibu akan merindukanmu," bisiknya parau dengan air mata yang mengancam jatuh.
—
—
Sakura mengira, kehidupan akhirnya berbuah manis untuknya. Setelah pengalaman masa kecil yang jauh dari kata mengesankan dan menjadi korban pernikahan tidak terencana, bukankah wajar bila Sakura berharap kehidupan berhenti mempermainkannya?
Tampaknya tidak demikian. Rasa baru sebentar kedamaian dan kebahagiaan itu dia rasakan sebelum teror kembali menghampirinya. Barangkali ini yang orang sebut-sebut 'tenang sebelum badai'.
Ketika siang itu, untuk yang kedua kalinya, telpon jalur pribadi di ruangannya berdering tiga kali, Sakura merasa jantungnya diremas oleh tangan raksasa. Dengan tangan gemetar, dia meraih gagang telpon berwarna biru tersebut. Napasnya berubah lebih berat dan dalam.
"Ah kau di sana, Sakura?"
Sakura memejamkan mata, menahan gemeletuk rahangnya seolah tengah kesakitan.
Suara licin seperti ular itu kembali membongkar pertahanannya, membawa mimpi-mimpi buruknya ke barisan terdepan. Butuh berbulan-bulan baginya untuk mengurung monster bernama ketakutan itu dalam dirinya, dan kini hanya suara lewat telpon sudah mampu meluluhlantakkan semuanya. Sekali lagi menantang Sakura untuk melawan. "Merindukanku, Sakura?" Suara dari seberang sambungan kembali terdengar, kali ini kental dengan tawa rendah yang sudah Sakura hafal sebagai pertanda bahaya.
"Aku baru tahu penjara punya akses telpon dua puluh empat jam," desis Sakura dari balik gigi-gigi yang terkatup rapat. Bagaimana caranya deretan giginya tidak rontok akibat tekanan kekuatan itu, Sakura juga heran.
Terdengar tawa yang lebih keras dari seberang. "Kau benar-benar serius mengira aku masih ada di balik jeruji penjara, sayang?" Ketika Sakura tidak merespon, dia kembali bicara. Nadanya dipenuhi ejekan. "Oh ayolah, aku tahu kau bisa lebih baik dari ini, Sakura. Aku tahu kau mengenalku selayaknya telapak tangan sendiri."
Napas Sakura putus-putus, nyaris nihil.
"Segera, Sayang, segera. Kita akan bertemu dan kau akan menjadi milikku lagi," janjinya dengan bisikan yang mengirim sensasi dingin ke tulang belakang Sakura.
Tak lagi mampu menahan rasa mual yang mulai mengumpul di perutnya, Sakura membanting gagang telpon, dengan efektif memutuskan pembicaraan mereka. Dan meninggalkan Sakura yang kehabisan napas.
—
—
"Ibu kenapa?"
Sakura baru tersadar dia tengah melamun ketika dia tersentak mendengar suara khas anak-anak dari seberangnya. Menyadari kecemasan dalam suara putranya, Sakura cepat-cepat menata ekspresinya. "Ibu baik-baik saja, hanya sedikit lelah," ujarnya menenangkan.
Sousuke terdiam sambil menilai wajah ibunya. Memiliki tingkat perseptif tajam di usia yang masih belia membuat Sousuke akhirnya memilih untuk tidak mendesak. Tidak sekarang, setidaknya. Ibunya sedang memasang wajah yang Sousuke kenali sebagai wajah jangan-sekarang-nya. "Kuharap memang begitu," gumamnya.
"Ibu memang baik-baik saja, Sousuke."
Memang tidak ada yang bisa menipu Sousuke. Dia terlalu cerdas untuk anak seusianya. "Baiklah, aku percaya Ibu," katanya kemudian seraya mengedikkan bahu dan kembali menyumpit nasinya.
"Bagaimana persiapan resitalmu?" tanya Sakura membelokkan arah pembicaraan, berusaha membuat suaranya lebih antusias.
Haruno Sousuke tidak mengecewakan. Pembicaraan mengenai piano memang tidak pernah gagal menyedot perhatiannya. "Persiapannya hebat! Paman Gaara sudah menjadwalkan beberapa geladi bersama teman-temanku yang lain." Hazel di matanya berubah hijau, hal yang selalu terjadi ketika dia tengah bersemangat.
Sakura menyipitkan mata, memasang wajah kecewa sebaik-baiknya. "Dan bagaimana bisa Ibu masih belum mendapat tiket untuk menonton geladimu?"
Sousuke terkesiap kaget seolah ibunya baru menanyakan pertanyaan paling konyol di dunia. "Ibu tahu Ibu tidak boleh menonton geladiku!" serunya.
"Kenapa?" tuntut Sakura dengan rengekan yang dibuat-buat. Mereka sudah mendiskusikan hal ini sejak…sejak pertama kali Sou menginjakkan kaki di ranah musik. Entah untuk alasan apa, Sousuke tidak pernah mengizinkan Sakura untuk menghadiri geladi resitalnya.
"Kita sudah mendiskusikan ini berkali-kali, Bu," jawab Sousuke dengan dengus napas sebal.
"Aw, jangan bicara seperti orang dewasa begitu. Mana bayi Ibu?" canda Sakura seraya mencolek ujung hidung putranya.
Sousuke kemudian melemparkan senyum cerahnya yang membutakan. "Ibu siapkan saja gaun yang paling indah dan berdandan yang cantik. Aku akan bermain dengan baik." Dia membusungkan dada dan memamerkan senyum miringnya yang entah dari mana dia pelajari. Sousuke tak henti-hentinya melumerkan hatinya.
Sakura balas tersenyum, matanya basah oleh air mata yang tertahan. Semuanya baik-baik saja, mantra itu kembali terngiang dalam benaknya.
—
—
Dering telpon yang nyaring menyentak Haruno Sakura dari lamunan siangnya. Tangannya bergerak secara mekanis meraih gagang telpon bahkan sebelum fokusnya terkumpul sepenuhnya. "Departemen Gawat Darurat dengan Dokter Haruno, ada yang bisa saya bantu?"
Tawa terbahak dari seberang sambungan membuat Sakura mengernyitkan kening dalam-dalam. "Demi Tuhan, Haruno Sakura!"
"Ino?" Keterkejutan mewarnai suaranya.
"Kau kira siapa? Pasien gawat daruratmu?" Tawa bernada tinggi itu terdengar lagi. "Apa-apaan sapaan itu?"
Sakura menyandarkan punggungnya yang kaku ke sandaran tinggi kursi putarnya. Jemarinya memijat pangkal hidungnya. Dari sudut matanya, bisa dia tangkap bayangan lemari tinggi penuh berisi buku-buku dan jurnal medisnya. Segera dia mengerang.
"Benar sekali, Dokter Haruno. Kau tidak sedang di kantor baumu itu." Kalimatnya masih tebal dibumbui rasa geli. Yamanaka Ino berdehem. "Kau terlalu tegang belakangan ini, Sakura."
Sakura menanggapinya dengan desahan berat. "Sudah sewajarnya aku tegang."
"Ya, ya, ya, aku tahu." Sakura bersumpah dia bisa membayangkan Ino memutar mata dari tempatnya. "Kau sudah menghubungi polisi, 'kan? Sekadar berjaga-jaga." Ketika Sakura enggan menjawab, Ino mengancam. "Hei—"
"Kita bicarakan itu lain kali, Ino," dengus Sakura setengah menjanjikan.
"Well, dan di sini sahabat baikmu berniat sedikit membantu. Kooperatif lah sedikit," Ino terdengar nyaris merajuk. Atau mungkin itu hanya efek telpon.
Berusaha menjadi teman yang tidak terlalu menyebalkan, Sakura menghela napas; menyerah. Lagipula membantah Ino dan menghalanginya mendapatkan apa yang dikehendakinya adalah usaha yang sama kerasnya dengan kemustahilan. Menurut adalah pilihan bijak, itu yang Shikamaru ajarkan kepadanya. "Aku tahu, tapi aku belum siap untuk menghadapinya lagi. Omong-omong, kau ingin apa?"
Dan Yamanaka Ino tidak mengecewakan. "Temani aku ke bridal salon nanti sore."
Haruno Sakura nyaris menyesali keputusannya. Nyaris. Harusnya dia memberi sedikit perlawanan tadi. Harusnya.
"Kau sudah buat janji?"
"Tentu. Aku sudah buat janji jam empat. Untuk dua orang, tentu saja."
"Seingatku pengantinnya hanya satu, Ino," Sakura menahan erangan. Tidak seperti sahabat seumur hidupnya itu, Sakura tidak terlalu menikmati momen-momen penyiksaan di atas kursi panas salon.
Dari seberang sambungan, Ino mengeluarkan dengusan yang sangat tidak terhormat. "Dan membiarkan maid of honorku bebas berkeliaran dengan kulit kusam dan rambut berantakan? Bahkan tidak di kehidupanku selanjutnya, Dokter muda!"
Satu, dua, tiga. Sakura mulai merasakan denyutan migrain menghampiri. Memutuskan bahwa menyerah adalah satu langkah awal untuk mencegah migrainnya datang, Sakura menghela napas. "Aku tahu, aku tahu," desahnya pasrah.
Terdengar teriakan girang dari ujung telpon dan disusul dengan erangan teredam. "Jemput aku di tempat Shikamaru jam tiga."
"Aye, Your Highness," cemooh Sakura sambil memutuskan sambungan.
Begitu tidak ada lagi suara Ino yang luar biasa tinggi, suasana ruang kerjanya senyap. Sambil melepaskan kaca matanya dan meletakkannya di dalam laci, Sakura bangkit dari duduknya. Diliriknya jam dinding sebelum lagi-lagi mendesah. Sousuke belum akan pulang sebelum makan malam. Hari ini dia ada pelajaran tambahan di sekolah, disusul dengan geladi bersama Gaara nanti malam. Anak laki-laki itu punya terlalu banyak talenta untuk disia-siakan.
Di satu sisi, Sakura bangga luar biasa. Ibu mana yang tidak bahagia melihat anaknya begitu berbakat dan mengagumkan? Tentu Sakura tidak termasuk ke dalamnya. Namun di sisi lain, Sakura merasa bersalah. Dia yang sejak awal mendorong-dorong Sousuke untuk mahir di banyak hal, dan walaupun putranya tidak pernah mengecewakan, secara tidak langsung Sakura telah merampas masa kecil putranya. Karena sibuk dengan berbagai aktivitas di luar sekolah dan rumahnya, Sousuke praktis tidak punya banyak teman dan waktu bermain. Teman-temannya hanya berasal dari tempat kursus dan teman sekolah, tetapi tidak seorang pun yang menjadi teman dekat. Sementara itu, waktu senggangnya selalu dia pakai untuk berdiam diri di rumah; sekadar bersama Sakura atau lagi-lagi dengan pianonya.
Belum lagi dengan tingkat kedewasaannya yang menakutkan. Anak seusianya tidak seharusnya bertingkah sangat terkendali seperti itu; tidak pernah berbuat onar, sifat jenaka bawaannya juga tidak pernah menyulitkan. Sakura bahkan yakin dia tidak pernah melihat putranya menangis. Sangat tidak wajar, bukan?
Sakura sudah pernah mencoba berkonsultasi dengan psikiater khusus anak, merasa bahwa pasti ada yang salah dengan putranya. Barangkali trauma masa kecilnya membuatnya begini. Namun, psikiater itu justru menenangkannya, berkata bahwa hal itu sama sekali tidak aneh. Anak kecil punya berbagai cara untuk bertahan, dan barangkali untuk kasus Sousuke, berkembang lebih dewasa adalah jawabannya.
Huh, psikiater amatir. Tidak mungkin yang begitu itu baik-baik saja.
Dia ingat ketika suatu hari dia bertanya kepada putranya mengapa bocah itu bersikap begitu dewasa, tidak selayaknya anak-anak seusianya. Dan lagi-lagi, jawaban penuh makna yang Sakura dapatkan.
"Aku adalah aku karena aku berbeda dari yang lain. Bukannya itu yang Ibu ajarkan kepadaku?"
Oh, bahkan kalau hati Sakura bukan terbuat dari segumpal cokelat, dia tetap meleleh di tempat.
Bagaimana mungkin anak sembilah tahunnya punya kebijaksanaan sedalam itu?
Dan tidak ada satu pun, tidak seorang pun, yang bisa membuat Sakura tidak melakukan apa pun untuk putranya. Dia siap mengobarkan apa pun, siap menukar apa pun, siap merelakan apa pun untuk menjaga buah hatinya tetap bahagia dan aman.
Termasuk ancaman bernama Yakushi Kabuto. Sakura akan balas melawan: demi putranya. Dia bisa melakukan apa saja. Dia bisa menjadi apa saja.
—
—
"Dokter! Dokter!"
Harapannya atas pagi yang tenang dan damai tampaknya tidak terwujud. Baru saja Haruno Sakura merebahkan diri di kursi kerjanya yang berpunggung tinggi, pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka dari luar dengan sentakan keras. Sudah pasti siapa pun yang mengganggu paginya sedang terburu-buru—kalau enggan dikatakan putus asa, terdengar dari nada suaranya.
"Wah wah," Sakura menegakkan punggungnya dengan seulas senyum di sudut bibirnya. "Selamat pagi juga untukmu, Matsuri."
Tergagap-gagap, perawat muda bernama Matsuri itu membenahi posturnya. Rambutnya yang seharusnya ditarik ke belakang membentuk sanggul kecil telah berantakan. Entah disebabkan oleh shiftnya yang sudah dimulai sejak tengah malam tadi atau dikarenakan kondisi darurat seperti klaimnya. "Oh oh! Puji Tuhan hari ini shift pagimu, Dok!" jerit perawat muda itu histeris. Papan jalannya jatuh ke lantai dan buru-buru dia sambar dengan napas terengah.
"Ada apa ini?" tanya Sakura, sedikit kaget dan awas menyadari urgensi dalam nada suara Matsuri.
"Pasien gawat darurat, Dokter. Kecelakaan beruntun," lapornya kilat.
Sambil menghela napas, Sakura segera bangkit dari duduknya dan menyambar jas putihnya dari gantungan. Dia benci kecelakaan. Lebih-lebih kecelakaan di pagi hari. Yang benar saja. Apa orang-orang di luar sana tidak punya pekerjaan lain selain membuat keributan di UGD? Tidakkah mereka sadar pegawai gawat darurat juga berhak mendapat jatah kedamaian di pagi hari?
"Ceritakan detailnya," perintah Sakura dengan dengusan. Segera dia kalungkan ID pengenalnya sebelum keluar ruangan menuju satu-satunya tempat dimana dia memiliki kontrol penuh.
Matsuri mengekor di belakangnya dengan langkah tersaruk-saruk, mencoba sekuat tenaga mengikuti langkah cepat atasannya. Bagaimana wanita itu berjalan–separuh–berlari di atas stiletto seruncing itu, Matsuri tidak bisa membayangkan. Biasanya Dokter Haruno selalu mengganti sepatunya ke sepatu kanvas polos rumah sakit, tetapi tampaknya kebiasaan itu terselip di antara urgensi tak terduga pagi ini.
"Kecelakaan beruntun melibatkan tiga mobil, satu di antaranya sebuah van dengan lima penumpang. Sembilan korban sedang dalam perjalanan ke sini. Kita punya lima belas menit, Dok."
"Sembilan?!" bentak Sakura sambil berbalik cepat di atas sepatu hak tingginya. Mata hijaunya yang besar membeliak. Beberapa helai rambut merah pucatnya jatuh dari sanggulannya di belakang kepala, membingkai wajah tirusnya yang kini garang. "Apa yang terjadi dengan rumah-rumah sakit lain?!"
Matsuri yang malang hanya bisa menciut sambil mendekap papan jalannya erat-erat di dada. "Ini permintaan khusus dari kepolisian, Dok," cicitnya. "Mereka korban penting. Beberapa saksi persidangan entah apa dan detektif yang bertugas mengawal mereka. Kita tidak bisa kehilangan mereka, Dok."
"Pasienku tidak ada urusan dengan kepolisian bodoh itu," ujar Sakura dengan gigi gemeletukan. Amarah membuat mata emerald yang mengejutkan beningnya berkilat perak.
Matsuri harus buru-buru mencari penjelasan masuk akal sebelum amarah Sakura membeludak—atau menyelamatkan seseorang yang dari kematian tak terencana. "Persidangan ini terdengar penting sekali, Dok. Mungkinkah ini saksi-saksi dari kasus pembunuhan berantai yang sedang ramai dibicarakan itu?"
Menyadari kemungkinan perawat berperawakan mungil itu ada benarnya, Sakura memutuskan untuk menenangkan diri. Sambil memaki-maki dengan suara rendah, dia kembali berbalik dan berjalan pergi. Langkahnya dua kali lebih cepat dan kali ini disertai hentakan emosi negatif. Beberapa dokter residen dan perawat yang kebetulan sedang berada di jarak pandang menciut, kemudian buru-buru mencari kegiatan apa pun yang bisa mereka kerjakan. Penuturan saksi hidup kemarahan seorang Haruno Sakura sudah cukup memberikan mereka pelajaran penting (yang dapat menjamin keselamatan dan keberlangsungan mereka di UGD, dan bukannya menjadi pasiennya): tiga langkah utama 1) kalau kau bukan sasaran kemarahannya, bersikaplah seolah kau baru saja buta dan tuli mendadak dan lakukan saja pekerjaanmu; bersikaplah seolah tidak ada suatu hal apa pun yang janggal walaupun barangkali di satu sudut lain terdengar suara bantingan keras atau sesuatu yang pecah berantakan atau teriakan mengenaskan, 2) kalau gagal melakukan yang pertama, segera tinggalkan lokasi kejadian; berpura-pura kau terserang diare kronis dan bisa mati sekejap itu juga kalau tidak mengunjungi kamar mandi terdekat, 3) kalau kau adalah sang target, yah, mintalah doa kepada sanak saudara dan rekan-rekan sekalian. Sekian.
"Informasikan kepada bagian bedah umum dan anestesi untuk bersiap-siap dan pastikan kita punya cukup ruang untuk operasi mendadak!" gertaknya kepada Matsuri yang segera lari tunggang-langgang menjalankan tugas, tak ingin berada dekat dengan sumber api ketika ledakan terjadi. "Hanabi!" bentaknya begitu memasuki ruang UGD yang mulai riuh dengan keseharian mereka.
"Hai!" Dokter Hyuuga Hanabi yang dipanggil langsung mendekat dari tempatnya berdiri di dekat pintu ruang perawat. "A-ada apa, Dokter?" Wajahnya sedikit pasi dengan mata lembayung lembut yang membesar, gugup ketika menyadari lecutan amarah dokter kepalanya yang bagai cambuk.
"Kumpulkan semua dokter dan perawat jaga yang ada!"
"Segera, Dok!"
Dalam tiga menit, seluruh kru UGD yang tidak sedang memeriksa pasien telah berkumpul di sekitar Sakura yang kini telah berhasil mengendalikan diri. "Sembilan pasien gawat darurat akan datang dalam—" dia lirik jam tangan tipis yang melingkari pergelangan tangan kirinya "—sepuluh menit lagi. Persiapkan diri untuk kondisi terburuk. Kita akan mengirim mereka pulang hidup-hidup." Beberapa wajah tampak gugup ketika Sakura mengedarkan pandangan ke seluruh anggota timnya: empat dokter dan lima perawat. Hanya inikah yang dia punya? "Bersiaplah!"
Dengan satu perintah itu, tim kecilnya segera menyebar ke setiap penjuru ruangan. Para perawat sibuk mempersiapkan ranjang-ranjang kosong dan alat medis sederhana untuk diagnosis awal. Para dokter bersiap dengan stetoskop dan senter mereka, juga mental yang sebentar lagi akan diuji.
Setelah dengan puas mengamati kerja timnya, Sakura segera berjalan menuju pintu luar UGD tanpa basa-basi ketika telinganya sayup-sayup mendengar dengung sirene ambulans. Tidak peduli seberapa besar kecintaan Sakura terhadap profesinya, dia tidak pernah bisa berdamai dengan bunyi memekakkan telinga yang begitu monoton itu. Apalagi di kondisi gawat darurat begini.
Terkadang Sakura bertanya-tanya kepada dirinya sendiri mengapa justru sekarang dia adalah dokter kepala UGD. Dia bisa saja menjadi dokter di bagian lain, mengingat cakupan bidang studinya lebih luas dari dokter-dokter biasa. Namun di sini, tidak bisa Sakura pungkiri bahwa bekerja di bawah tekanan adalah metode efektif untuk membangkitkan indera-inderanya. Ketajaman pikirannya meningkat dua kali lipat dan dia mendapati dirinya bisa berpikir dingin, taktis, dan efisien.
Di sini lah Sakura merasakan kontrol penuh atas dirinya.
Pikirannya tersentak ketika mendengar seseorang memanggilnya dengan suara parau akibat kesakitan. Mode dokternya langsung menajam dan dengan segera dia bermanuver di atas stilettonya menuju sumber suara.
"Dokter, Dokter!" Seorang pria berambut pirang perak dengan bercak kemerahan di sana-sini memanggil-manggil dengan putus asa. Wajahnya mengerut oleh rasa sakit yang dia rasakan di sisi kiri tubuhnya, tetapi Sakura mendapati emosi bernama kesengsaraan dan keputusasaan berkontribusi lebih banyak dalam kerutan di wajah setengah baya itu.
"Kau akan segera mendapatkan perawatan terbaik kami, tenangkan dirimu. Kau sudah aman di sini," bisik Sakura menenangkan sembari menggenggam tangan gemetar pria itu.
Pria yang kini berbaring di atas ranjang hijau itu menggelengkan kepala mati-matian. "Jangan pedulikan aku, ini tidak seberapa. Istriku, Dokter, istriku!" Suara paraunya nyaris habis, tenggelam oleh isakan yang membuat suaranya parau. "Selamatkan dia! Selamatkan dia!" pintanya. Tangannya yang digenggam Sakura balas menggenggam dengan kekuatan yang membuat Sakura terkesiap. Dalam kondisi lemah begini pun, pria itu masih punya kekuatan untuk mencengkeram Sakura padahal dokter itu yakin untuk tidak kehilangan kesadaran saja adalah satu upaya keras sendiri.
Seorang dokter tidak bisa menjanjikan keselamatan pasiennya. Itulah yang dia pelajari dan ditanamkan dalam-dalam kepadanya oleh mentornya. Namun di sini, Sakura tak kuasa menahan diri untuk tidak membisikkan janji-janji manisnya kepada pasiennya. "Dia akan baik-baik saja, Tuan. Aku janji. Sekarang beristirahatlah. Biarkan kami mengobatimu."
Sakura tahu dia dalam masalah besar. Dia bukan dewi atau manusia dengan kekuatan penyembuh supernatural, dia tidak bisa menyelamatkan nyawa yang memang bukan waktunya untuk diselamatkan. Namun, bara kehidupan yang menyala terang dalam mata hitam kelabu itu, yang memberi tahu Sakura seberapa besar arti kehadiran istri itu bagi dirinya, telah menggerakkan hati Sakura lebih dari yang dia duga. Besarnya cinta pria itu kepada istrinya begitu pekat; mengentalkan udara di sekitar mereka; menjalar hingga ke sumsum. Sakura tak kuasa.
Begitulah bentuk cinta yang selalu dia dambakan dalam hidupnya. Walaupun dia tahu itu tidak mungkin lagi.
Dia kemudian membiarkan seorang perawat mendorong ranjang tersebut, mengawasi dengan mata tajam ketika akhirnya pria itu kehilangan kesadaran—karena beratnya lukanya maupun ketenangannya setelah mendapat janji pasti dari Sakura. Kondisinya terlihat tidak begitu buruk, hanya perlu sedikit upaya keras untuk menghentikan pendarahannya dan mungkin beberapa belas jahitan yang akan meninggalkan bekas luka. Permasalahan selanjutnya adalah mencari istri yang disebut-sebut dan mengetahui bagaimana kondisinya sekarang.
Beruntung bagi Sakura, dia tidak perlu berlama-lama untuk mencari wanita tersebut karena wanita itu adalah satu-satunya pasien wanita yang dikirim ke rumah sakitnya. Wanita itu tengah mendapat CPR dari Dokter Hyuuga. Melihatnya membuat perut Sakura bergolak. Ketika dia bergegas menghampiri ranjang wanita tersebut, yang kini tengah didorong keluar dengan tergesa oleh seorang perawat, seorang pria kembali memanggilnya.
Dengan enggan, Sakura mengubah arah geraknya dan mendekati sumber suara baru. Nah, sekarang istri siapa lagi yang perlu dia selamatkan?
"Apa kau dokter kepala di sini?" Pria yang tadi memanggilnya bertanya ketika Sakura hanya beberapa langkah darinya.
"Benar, ada apa?" tanya Sakura dengan kerutan di kening. Dia nilai kondisi pria di hadapannya itu. Tangan dan kaki kanannya berdarah, barangkali patah tulang. Beberapa pecahan kaca menancap di sekitar wajah dan lengannya.
"Wanita itu," suaranya serak menahan sakit ketika perawat di dekatnya berusaha membersihkan pecahan kaca dari lengan kirinya sehalus mungkin. "Kumohon kau harus menyelamatkannya!"
Sepasang mata Sakura menyipit. "Dia keluargamu? Ibumu barangkali?" Jika dilihat dari fisik, jelas pria itu terlalu tua untuk menjadi anak pasangan suami-istri itu. Pria itu sendiri setidaknya berusia di awal tiga puluhan walaupun tubuhnya masih tampak bugar dan wajahnya masih tampak muda.
Kalau saja rasa sakit di sisi tubuhnya tidak setajam ini, dia pasti sudah terbahak keras-keras. Alih-alih, dia hanya menggeleng samar. "Bukan, tapi dia orang yang sangat penting, Dok! Dia saksi penting untuk persidanganku!"
Menyadari posisi pria di hadapannya itu, tatapan mata Sakura berubah dingin. "Kau yang menyuruh petugas 119 mengirim semua korban ini ke sini?"
Tampaknya si pria itu belum menyadari nada dingin yang terucap dari suara dokter muda di hadapannya. "Ya, karena kudengar UGD di sini adalah yang terbaik! Aku tidak boleh kehilangan saksi itu. Aku tidak bisa kehilangan mereka."
Kalau saja mungkin, tatapan mata Sakura menjadi dua kali lebih dingin. "Dengar baik-baik, Tuan, dengarkan dengan sangat baik karena aku tidak berniat mengulangi ucapanku. Aku tidak akan menjanjikan apa pun kepadamu. Aku tidak peduli siapa saksimu dan seberapa penting mereka bagimu. Di sini mereka adalah pasienku. Tidak kurang, tidak lebih. Dan tidak ada satu hal apa pun yang bisa menjamin keselamatannya."
"Tapi mereka bilang kau dokter paling hebat di sini!" Pria berambut hitam berantakan itu kini seolah kehabisan napas. Wajahnya memucat, entah oleh darahnya yang belum berhenti merembes dari luka-luka luarnya atau perihal lain.
"Menjadi yang terbaik tidak lantas membuatku menjadi Tuhan. Yang bisa kulakukan hanya melakukan semampuku. Dan ingat baik-baik: tidak ada dokter yang tidak melakukan semua yang terbaik untuk menyelamatkan pasiennya. Kau tidak perlu melabeli pasienku sebagai orang penting," geram Sakura tajam tanpa berkedip. Tatapannya membawa kengerian. "Tidak perlu segan-segan dengan pasien ini, Mikoshi."
Perawat muda yang tengah berusaha keras berhati-hati membersihkan lengan pasien di depan mereka tersentak. "Oh! Tentu, Dok."
Dengan seringai kejam, Sakura berbalik dan berjalan pergi, sama sekali tidak menghiraukan teriakan kesakitan pasien di belakangnya.
"Oooh! Sial! Sakit sekali! Argh!"
Sekarang dia punya satu wanita yang harus diselamatkannya.
—
—
Sebuah ketukan halus terdengar dari balik pintu kerjanya. Sakura yang tengah serius membaca laporan harian hanya menggumamkan 'Masuk' tanpa benar-benar beralih konsentrasi. Pintu kantornya terbuka tanpa suara, menampakkan Hyuuga Hanabi yang terlihat kuyu.
"Dokter ada waktu sebentar?" tanyanya ragu-ragu.
"Ada apa, Hanabi?" tanya Sakura balik seraya mengangkat pandangan. "Bukannya shiftmu sudah berakhir? Kenapa masih berkeliaran dengan baju operasi?" lanjutnya setelah melirik jam kecil di atas meja kerjanya yang penuh. Hari sudah menunjukkan pukul tiga siang.
"Seorang pasien ingin bertemu denganmu, Dok."
Dari tempatnya duduk, Sakura mengerutkan kening. "Aku tidak punya pasien," jawabnya bingung.
"Seorang pasien yang datang tadi pagi, dia bertanya mengenai kondisi istrinya. Dia sedikit…sulit ditangani begitu efek obat tidurnya hilang."
"Ah—" Pemahaman segera terendap dalam benak Sakura. "Biar aku yang tangani. Kau pulang saja sana," ujar Sakura setengah mengusir sambil membereskan kertas-kertas di mejanya.
Hyuuga Hanabi mengangguk patuh, lega luar biasa. "Dia dirawat di kamar 418."
Sakura mengangguk singkat, mengucapkan terima kasih, dan membiarkan Hanabi menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Setelah membenahi tatanan rambut dan jas dokternya, Sakura segera keluar dari ruangannya dan berjalan menuju ruang perawatan tempat dimana pasien UGDnya tadi pagi tengah dirawat.
"Ada apa ini?" tanya Sakura heran, berdiri termenung di depan pintu kamar bernomor 418.
Seorang perawat pria yang bersimbah peluh tersentak menoleh ke arah Sakura. "Ah, Dokter Haruno," sapanya gugup.
"Ada apa?" ulangnya, melirik pintu kamar yang tengah tertutup itu. Sakura bersumpah dia bisa mendengar suara bentakan dan bantingan dari dalam.
"Uh…" Pria berusia tiga puluh tahunan itu tampak lebih gugup dari sebelumnya. Dengan ragu dia menjawab, "ada sedikit masalah dengan pasien kamar 418. Dia…mengamuk."
"Mengamuk? Apa yang terjadi?" tuntut Sakura tak sabar. Dia sudah akan membuka kenop pintu kalau saja tangannya tidak ditahan oleh perawat itu.
"Kami juga tidak begitu paham, Dok. Pasien itu terbangun dari obat tidur, padahal dosis yang diberikan cukup untuk membuatnya tidur sampai besok. Begitu dia bangun, dia terus menanyakan dimana istrinya berada dan meminta untuk diantar ke sana."
"Lalu kenapa tidak kalian antar?" tanya Sakura, merasa luar biasa bingung. Sudah jelas seorang suami akan menanyakan kabar istrinya yang terluka parah dan meminta untuk dipertemukan kembali. Yang menjadi keanehan di sini adalah keengganan para perawat untuk membawanya. "Kalian jelas paham itu cara tercepat meredakan amukannya."
"Kami tidak punya izin untuk mendatangi kamar perawatan istrinya, Dokter. Ada satu regu polisi yang berjaga di luar."
Mendengarnya membuat cambuk kejengkelan Sakura melecut. Apa yang kepolisian bodoh itu lakukan di sini? Apa mereka kira rumah sakitnya adalah sarang penjahat sampai-sampai perlu menurunkan satu regu untuk berjaga di depan pintu sebuah kamar? Demi Tuhan! Masalah ini bertambah konyol setiap detiknya.
"Biar kuurus," ujar Sakura kaku dengan rahang mengeras.
Perawat itu sudah akan menghentikan Sakura, lagi, kalau saja dia tidak mendapat pelototan mengerikan dari Sakura. Popularitas Dokter Haruno sudah merambah hingga seluruh departemen di rumah sakit itu. Singkat kata, semua orang tahu untuk tidak mencari gara-gara dengannya. Selain akan mengundang kemarahannya, direktur mereka juga akan turun tangan begitu mengetahui ada yang mencari masalah dengan anak didiknya. Terdengar penuh nepotisme memang, tetapi bagi mereka yang mengetahui bisa sekeras apa didikan seorang Senju Tsunade dan prestasi yang dicapai Haruno Sakura, mereka akan bungkam.
Merasa pria di depannya sudah menyerah, Sakura tidak lagi membuang waktu. Dia putar kenop pintu dan menyentaknya kasar. Sebuah vas keramik melayang dan mendarat tepat di samping kepala Sakura. Keramik itu pecah berhamburan akibat bertabrakan dengan kusen kayu pintu dan pecahannya menggores pipinya. Darah segar mengalir dari bekas goresan itu, tetapi Sakura hampir-hampir tidak peduli. Tidak sekali pun dokter muda itu gemetar. Sepasang mata hijaunya nyalang memandang pria setengah baya yang tengah kesulitan mengatur napas di ranjangnya.
"Aku tidak menyarankan olah raga berat untuk pasien dengan beberapa belas jahitan, Tuan," ujar Sakura ringan sambil berjalan mendekat.
"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin bertemu istriku," balasnya kasar. Suaranya serak dan dalam.
Sekali lagi Sakura dibuat terheran-heran. Di atas kaki-kakinya yang jelas gemetaran, pria itu teguh berdiri. Balutan kasa yang melilit tungkai dan lengannya tidak cukup kuat untuk menahan rembesan darah segar. Pria itu pasti sudah membuka satu atau dua jahitannya. Namun, tidak sekalipun dia menunjukkan ekspresi sakit di wajahnya. Walaupun pandangan matanya sesekali kehilangan fokus, dia masih cukup sadar untuk mempertahankan diri. Seorang perawat pria lain yang berdiri di sudut jauh ruangan hanya bisa mematung ketakutan.
"Tentu saja. Aku akan membawamu menemuinya," janji Sakura.
Bukannya tampak senang, pria itu justru memicingkan mata, tampak tak sedikit pun yakin dengan janji Sakura. "Sudah tiga jam aku mendengar kalian semua melarangku, dan sekarang kau datang dengan ucapan manis begitu. Kau hanya akan menyuntikku dengan obat penenang."
Haruno Sakura bersiul geli. Pria di hadapannya ini jelas bukan pria biasa. Bahkan di kondisinya yang masih terpengaruh obat penenang, pikirannya begitu tajam. "Bawakan kursi roda untukku," perintahnya kepada perawat yang masih berdiam di sudut ruangan itu. Ketika pria itu tidak juga bergerak dari tempatnya, Sakura membentak. "Apa kau tuli? Ambilkan kursi roda!"
Baik Sakura maupun pasien itu bersama-sama memperhatikan perawat malang itu keluar dari kamar dengan gemetar.
"Kau benar-benar akan membawaku menemui istriku?" tanya pria itu ragu-ragu.
"Nah, aku hanya ingin memenuhi janjiku. Aku berjanji kepadamu akan menyelamatkan istrimu. Sudah kulakukan dan sekarang aku ingin kau memastikannya sendiri," jawab Sakura dengan senyuman.
"Kau…" Pria itu berkedip lambat. "Kau yang berjanji kepadaku," bisiknya, nyaris terdengar tak percaya.
Kali ini Sakura menyeringai lebar. "Seharusnya aku tidak berjanji, tapi kau membuatku melakukannya," ujarnya dengan tawa. "Sekarang duduklah sampai bocah bodoh itu datang, semoga saja dengan kursi roda pesananku. Kau tidak boleh banyak bergerak dengan luka sebanyak itu."
Dengan pikiran setengah melayang, pria itu mendudukkan diri dengan kaku di atas ranjangnya. Rambut keperakannya berantakan ke segala arah.
"Namaku Sakura. Haruno Sakura. Senang berkenalan denganmu, Tuan."
"Kakashi. Aku—namaku." Pria bernama Kakashi itu berdehem. "Hatake Kakashi."
Sakura mengangguk puas, kemudian mengambil duduk di samping pria itu. Matanya dengan jeli mengakses luka di tubuh Kakashi. Baju pasien lengan pendeknya basah oleh keringat dan menempel di kulitnya. Pria itu jelas perlu mendapat ganti perban, barangkali beberapa jahitan ulang.
Tak lama kemudian, perawat pria yang tadi berdiri di luar ruangan masuk sambil mendorong kursi roda kosong. Tampaknya rekan perawatnya yang tadi Sakura bentak terlalu syok untuk kembali. Kemudian dengan perhatian penuh, dia membantu Kakashi duduk di atas kursi tersebut. Ketika dia bergerak akan mendorongnya, Sakura buru-buru menghentikannya.
"Biar aku saja. Kau pergi dan panggil petugas kebersihan untuk membereskan ruangan ini. Tuan Hatake tidak akan kembali ke kamar ini."
Tanpa menunggu reaksi perawat yang terbengong itu, Sakura segera mendorong kursi Kakashi dengan mudah menuju meja informasi yang ada di lantai itu.
"Dimana—" Sakura beralih bertanya kepada Kakashi. "Siapa nama istrimu, Kakashi?"
"Ri—rin. Hatake Rin," jawabnya parau, suaranya serak oleh kedalaman emosinya.
Dari arah belakang, Sakura bisa melihat getaran halus kegembiraan yang menjalari tubuh Kakashi. Diam-diam dia tersenyum lembut. Tidak peduli seberapa tuanya seseorang, kegembiraan bertemu dengan orang tercinta selalu mengingatkan akan momen-momen pandangan pertama mereka. Sakura sendiri tidak punya hak untuk berkomentar soal itu. Dia tidak tahu bagaimana rasanya gemetar oleh kegembiraan dan ketidaksabaran untuk segera bertemu dengan pria yang dicintainya.
"Dimana kamar Hatake Rin?" tanyanya kepada seorang perawat yang bertugas di meja informasi.
Wanita paruh baya di balik layar komputer itu segera menjawab dengan mekanisme terlatih. "ICU 24, Dokter." Dan seolah baru tersentak, dia buru-buru menegur. "Tapi tidak seorang pun diizinkan masuk kecuali dokter penanggungjawabnya!"
Dia kira Sakura akan menggubrisnya? Sudah cukup banyak orang yang mengatur hidupnya dan seorang perawat tidak akan membuat Sakura mundur.
Dengan tatapan dinginnya, Sakura berlalu sambil mendorong serta Kakashi. Sama sekali tidak memedulikan kepanikan perawat yang bertugas di meja informasi tersebut.
Mendengar satu regu dari kepolisian berjaga di depan kamar pasien terdengar konyol, tetapi melihat satu regu pria bersenjata lengkap berdiri tegak bagai domino di sepanjang koridor ICU benar-benar absurd. Bahkan hanya melihatnya membuat kejengkelan Sakura dengan cepat naik hingga level siaga. Kata kejengkelan bahkan tidak lagi patut untuk mendeskripsikannya.
Sakura murka.
Dan Haruno Sakura yang murka bukan orang yang tepat untuk diajak beramah-tamah. Ledakan amarahnya—lengkap dengan level dan tiga karatenya—bisa menciutkan nyali prajurit berpengalaman sekalipun. Dengan dagu terangkat tinggi, dia meneruskan langkah menuju kamar ICU paling ujung yang sudah dia hafal bernomor 24. Namun belum dua langkah dia maju, langkahnya terhenti oleh seorang pria tinggi besar yang mengacungkan senjatanya.
Haruno Sakura memicingkan mata. Amarah membuat ekspresinya kaku dan murka seolah menetes dari setiap suku kata kalimatnya. "Kau akan ingin menyimpan baik-baik mainanmu, atau kau harus menggantinya dengan yang baru."
Pria itu tidak gentar. Sayangnya, begitu pula dengan Sakura.
Tanpa memedulikan pria itu lagi, Sakura kembali mendorong kursi Kakashi dengan mantap. Pria itu anehnya hanya diam. Namun, Sakura yakin bukan karena takut. Barangkali dia sendiri kesulitan menahan diri untuk tidak melompat dari kursinya dan berlari menuju kamar istrinya. Di situasi genting semacam ini, Sakura anehnya bisa menemukan kesegaran.
"Tidak seorang pun yang diperkenankan memasuki area ini, Dokter." Seorang pria lain dengan perawakan lebih besar tetapi berwajah hangat, menyela Sakura dan kereta pikirannya.
"Dan kenapa begitu?" tantang Sakura, bertambah murka setiap detiknya.
"Kami sedang melindungi orang penting di sini," jawab pria berambut vermillion itu dengan nada halus.
"Tapi aku ingin bertemu dengan pasienku," sanggah Sakura keras kepala.
Seorang pria berseragam lain maju. Rambutnya pirang platina dengan semburat lembayung. Dia mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya yang membusung. "Oh ya? Kau tidak akan bisa masuk. Akses pintunya hanya untuk beberapa orang saja."
Dan Haruno Sakura sekali lagi tidak mengindahkannya. Dia menghentikan diri di depan pintu bernomor 24. "Nah kita sudah sampai," bisiknya riang kepada Kakashi.
"Kau kira kau bisa masuk, onna?" Pria perak itu kembali bicara, kali ini dengan nada mencemooh dalam suaranya. Caranya menyebut Sakura dengan kata onna membuat dokter itu merasa baru saja dihina hanya dengan statusnya yang ditakdirkan sebagai wanita.
Dengan satu lirikan dingin, Sakura mendengus dan menyeringai tajam. "Jika aku bisa masuk, kau akan berlari di atas kedua tanganmu mengelilingi kompleks rumah sakit ini." Dasar pria!
Termakan oleh hasutan Sakura, pria itu langsung membalas tantangan Sakura. "Hah! Kita lihat saja, onna!"
"Hentikan, Suigetsu," larang pria berambut vermillion itu dengan desah napas. Melihat reaksinya yang masih tenang-tenang saja—bosan malah, Sakura menduga dia telah terbiasa menghadapi ledakan emosi rekannya yang bernama Suigetsu itu.
Sambil mengedipkan sebelah mata kepada Suigetsu, Sakura meraih kotak keamanan yang dipasang di sisi pintu dan menekankan ibu jarinya ke detektor sidik jari berwarna biru itu. Dalam dua detik, lampunya menyala hijau dan pintu otomatis terbuka. "Sampai jumpa nanti sore, Tuan. Kusarankan kau makan dulu sebelum olah raga ringan nanti. Kau tahu, ini saran dari seorang dokter dengan akses tak terbatas."
Tanpa sepenuhnya melewatkan ekspresi syok di wajah Suigetsu (dan beberapa pria berekspresi serupa), Sakura kembali mendorong kursi Kakashi dan menghilang di balik pintu otomatisnya.
Rupanya keduanya tidak sendiri di dalam ruang khusus itu. Duduk di sofa yang disediakan rumah sakit, tiga orang pria yang tengah berdiskusi serius tersentak dari lingkaran pembicaraannya. Namun, Sakura sama sekali memedulikan mereka. Dia hanya fokus mengarahkan kursi roda yang ditempati Kakashi ke arah ranjang, tempat dimana seorang wanita dengan rambut auburn berbaring tanpa daya. Alat bantu pernapasan terpasang menutupi mulut dan hidungnya. Ritme mantap yang berasal dari alat pantau jantung adalah satu-satunya suara di dalam ruangan itu.
Ketika keduanya sudah mencapai tepi ranjang, Kakashi sudah kehilangan kendali atas kesabarannya. Tangannya yang dibalut perban menyambar tangan istrinya—erat, tetapi tetap menjaga kelembutannya.
"Dia baik-baik saja. Kami hanya perlu mengawasi kondisinya lebih lama lagi, memastikan kondisinya sudah benar-benar stabil sebelum memindahkannya ke ruang perawatan biasa," bisik Sakura, mencoba menjelaskan kondisi wanita itu kepada suaminya tanpa membuat Kakashi lebih tegang dari sebelumnya.
"Aku sangat takut," bisik Kakashi. "Dia mengeluarkan darah begitu banyak dalam pelukanku. Perutnya…"
Sakura meremas pundak Kakashi hati-hati, menawarkan dukungan moril untuknya. "Operasinya berjalan lancar. Kau bisa tenang sekarang."
Kakashi mengangguk, kemudian diam mengamati istrinya yang tampak pucat tetapi tetap luar biasa cantik.
Begitukah wajah seorang wanita yang diberkahi cinta dalam hidupnya? Sakura bertanya-tanya. Begitu cantik bahkan dengan rona tak sehat di wajah lebamnya.
Sedangkan Sakura?
Banyak yang memuji kecantikannya. Orang bilang, eksotis. Dengan warna kulit susu, rambut pink aprikot, dan sepasang emerald bening, Sakura sudah lebih dari cukup untuk menarik perhatian lawan jenis. Namun, kecantikannya bukan kecantikan yang hangat dan berseri seperti wanita di hadapannya itu. Kecantikannya dingin dan mengintimidasi. Dia tajam, penuh perhitungan, dan tidak mengerti caranya memercayai orang.
Puas dengan keheningan ruangan itu, Sakura mundur teratur. Dia berniat memberikan Kakashi privasi untuk bisa bersama istrinya sebelum petugas-petugas konyol itu mulai meneriakkan perintah mereka.
"Bagaimana kau bisa masuk?"
Nah, apa Sakura bilang. Belum selesai Sakura berprasangka negatif tentang mereka, salah satunya justru sudah buka mulut.
Sambil berputar dengan tumit sebagai tumpuan, Sakura memandang tajam pria yang berdiri di belakangnya—pria berpakaian pasien. "Tentu saja karena aku punya aksesnya," jawab Sakura dengan alis terangkat tinggi.
Pria itu merona, tak salah lagi karena teringat percakapan panas mereka tadi pagi. "Ah—Dokter…"
Tampaknya bukan hanya Sakura yang merasa aneh dengan reaksi pria tersebut karena dua pria lain yang masih duduk di sofa juga turut menaikkan alis-alis mereka.
"Tersipu malu di depanku?" ejek Sakura sinis.
Tampak luar biasa mirip dengan rusa yang tengah terpojok, pria itu menunduk memandang lantai. Hanya keheningan yang kemudian tercipta, tetapi kali ini rasanya begitu tidak nyaman. Bahkan atmosfer penuh kedamaian yang menguar dari Kakashi tidak mampu untuk memukul mundur ketegangan yang Sakura rasakan dari detektif itu. Setelah akhirnya Sakura lelah berdiam diri, barulah pria itu bicara dengan suaranya yang, anehnya, ragu-ragu dan malu-malu.
"Aku…ingin minta maaf," mulainya lamat-lamat. "Aku sadar aku telah…melukai perasaan dan harga dirimu sebagai seorang wanita dan dokter. Aku telah meminta sesuatu yang tidak seharusnya, yang sebenarnya tanpa diminta pun sudah pasti akan kau usahakan. Aku seharusnya yakin setiap dokter akan mengusahakan yang terbaik untuk pasien mereka, tidak peduli pasiennya adalah saksi penting atau orang biasa."
Haruno Sakura menaikkan sepasang alis terangnya tinggi-tinggi. Matanya sekali lagi menilai-nilai kejujuran dari suara pria di hadapannya itu. "Akan kumaafkan," Sakura dengan sengaja menggantung kalimatnya, menunggu pria itu menatapnya. Ketika pandangan mereka bertemu, Sakura mengulas senyum di sudut bibir, "kalau jerih payahku menyelamatkan saksimu lunas terbayar. Aku ingin dengar akhir persidangan penting ini."
Barangkali metafora lampu yang dinyalakan itu pantas untuk mendeskripsikan wajah pria itu. Seolah baru mendapat sumber energi, wajahnya yang tadi murung dan pucat kini berseri luar biasa cerah—Sakura nyaris meringis melihatnya. "Kau akan segera mendapatkan kabar baik dariku, Nona Dokter. Tuan Jaksa di belakang itu akan menambahkan tuntutan mengenai kasus percobaan pembunuhan untuk memberatkannya."
Sakura mencoba mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pria di depannya yang memberi isyarat dengan ibu jarinya. Kedua pria itu terlihat serupa, nyaris identik kecuali panjang rambutnya. Sakura tidak tahu siapa di antara keduanya yang merupakan jaksa untuk kasus ini, tetapi barangkali anggukan takzim dari pria berambut panjang yang diikat rapi di tengkuk itu adalah pertanda. Sakura kemudian balas mengangguk singkat, tidak terlalu tertarik berlama-lama berbicara dengan orang-orang ini. "Baik kalau begitu," komentarnya datar.
"Oh, baiknya kuperkenalkan diriku. Aku Uchiha Shisui, detektif."
Sakura kembali fokus kepada pria yang tengah berbincang dengannya sambil mengulurkan tangan. Usianya kira-kira di awal hingga pertengahan tiga puluhan, tetapi sikap dan senyumnya masih kekanakan. Benar begini seorang detektif? Jujur saja, Uchiha Shisui tidak terlihat tangguh sama sekali. Justru pria yang sedari tadi belum membuat gerakan supaya dikenali itu, yang berambut hitam pendek berantakan, terlihat lebih tangguh; lebih berbahaya; seolah tengah mengeluarkan aura mengintimidasi bahkan tanpa mencoba—dan sejujurnya, Sakura sedikit merasa terintimidasi oleh tatapan tajamnya. Dan tidak banyak yang berhasil membuatnya merasa begitu, kecuali yah, mentornya yang memang terkenal galak dan punya daya ledak trinitrotoluena.
Sakura segera balas menjabat tangan Uchiha Shisui dan mengangguk singkat, mempertahankan mode profesionalnya yang jarang gugur. "Tidak begitu senang berkenalan denganmu dan senangnya aku tidak tertarik," salam Sakura balik dengan suara dan wajah pasif. Nadanya datar, tanpa celah kesalahan. Sakura buru-buru melepaskan jabatan tangannya dan dia bersumpah dia baru saja melihat dua pria yang berlagak patung itu tersedak kecil. "Aku harus kembali bertugas." Dia kembali berbalik dan mendekati Kakashi, kemudian berbisik di telinga pria itu. "Aku akan mengatur ruang perawatanmu dipindah di sini." Sebelum dia benar-benar keluar dari ruang ICU itu, Sakura melirik Shisui tajam. "Dan tidak seorang pun yang boleh macam-macam dengan pasienku—" Dia tekan tombol merah yang akan memerintahkan pintu terbuka, menunggu beberapa saat sebelum akses keluarnya dibuka. "—ah, salah satu temanmu di luar sini akan melakukan pertunjukan lari di atas kedua tangannya. Traktiranku."
Ketiga pria itu ditinggal tanpa sempat bereaksi.
Setelah beberapa detik kepergian wanita itu, Uchiha Shisui hanya bisa mendesah. "Wanita menakjubkan. Kau harus lihat stilettonya tadi pagi, sepupu-sepupuku tersayang."
—
—
"Matsuri!
Bentakan dokter kepala ruang gawat darurat bukan suatu hal yang jarang, lebih-lebih di ruang UGD yang selalu riuh. Semua anggota timnya sudah fasih mempraktikkan trik-trik jitu supaya tidak menjadi sasaran bentakan ganas tersebut. Sayangnya untuk pagi ini (dan pagi-pagi sebelumnya), bentakan yang menandakan bahaya tersebut perlu disikapi dengan cara berbeda. Tidak lagi mereka mangkir dan menyempurnakan aksi buta–tuli sejenak mereka. Kali ini mereka harus siap siaga, terlebih bagi mereka yang disebut namanya dengan panggilan sayang khas Haruno Sakura seorang.
Matsuri, perawat muda yang baru bertugas dua tahun di UGD, segera menghentikan pekerjaan apa pun yang sedang dilakukannya sesaat sebelum namanya diteriakkan (yang untungnya hanyalah menyeduh secangkir kopi di ruang perawat). Dalam sepuluh detik tercepat dalam sejarah hidupnya, wanita muda tersebut sudah berdiri siap siaga di samping dokter kepalanya. "Ya, Dok?"
Satu anggukan kaku dari Sakura menandakan wanita itu telah diakui keberadaannya, untungnya tanpa repot-repot mengalihkan pandangan matanya kepada Matsuri. Matsuri lega sekali karena kalau pandangan bisa membunuh, dia pasti sudah sampai ke langit ketujuh sekarang dan tidak punya kesempatan kembali. Bahkan dari samping pun, tatapan tajam Sakura sudah cukup mengerikan. Matsuri perlu mengasihani siapa pun subjek malang yang menjadi akhir penerimanya. Namun ketika dia melirik siapa pria yang tengah berdiri di depan atasannya, mau tak mau rasa belas kasih Matsuri menguap ke udara bebas. Entah pria itu tak kenal takut, atau terlalu pemberani, atau—dengan penjelasan paling sederhana: terlalu bodoh.
Haruno Sakura tidak mudah dipicu amarahnya apabila menyangkut hal-hal selain profesinya—keselamatan orang, ketertiban ruangan, kejelian pemeriksaan. Terlepas dari profesinya yang menuntut dirinya menjadi seorang perfeksionis dan tidak mengizinkan terjadi kesalahan, Haruno Sakura adalah perwujudan dari wanita impian para wanita dan idaman para pria. Menjadi seperti dirinya lah wanita lain memimpikan: cantik, sukses, jenius, mandiri. Dalam wujud dirinya lah para pria mengidamkan istrinya: keibuan, penuh perhatian, berpenghasilan sendiri, bisa diandalkan. Dengan kesabaran dan kelembutan hatinya, semua wanita akan gigit jari dan semua pria harus kuat-kuat menahan diri. Dan tampaknya, si bodoh entah-siapa-ini telah berhasil menyedot sumber kesabaran Sakura hingga ke dasar-dasarnya, menjadikan dokter dua puluh sembilan tahun tersebut perlu menaikkan nada suaranya ke tingkat membahayakan.
"Tunjukkan kepada Yang Mulia Detektif ini pintu keluar. Dia pasti sedang tersesat. Kasihan sekali."
Nada dingin yang terbawa dalam suara halus Sakura membuat punggung Matsuri mendingin. Dan tampaknya, hal serupa juga dirasakan detektif tersebut, yang terlihat dari rona mukanya yang dengan segera memucat.—Nah, akhirnya dia sadar juga singa betina mana yang dia bangunkan dari tidurnya.
"Tunggu dulu! Tunggu!" pintanya dengan suara parau ketika melihat Sakura sudah berbalik. Tarikan napasnya pendek-pendek, seperti penderita asma akut. "Hari ini aku ada urusan pekerjaan denganmu. Serius!"
Sakura menghentikan proses berbaliknya, berputar menggunakan tumitnya sebagai poros tubuh. Sepasang mata hijaunya yang ditutupi kaca tipis menyipit. Rahangnya mengeras dan gigi-giginya gemeletuk. "Jadi akhirnya kau mengakui kalau selama tiga minggu ini kau hanya mengganggu pekerjaanku, Uchiha?"
Bahkan Matsuri harus meringis ketika mendengar cara Dokter Haruno menyebutkan nama detektif itu—dengan segenap racun dan ancaman mematikan. Kalau bukan membekukan.
"Bisa kita lupakan itu sejenak?" pintanya putus asa, terdengar jelas dari suaranya dan lebih jelas lagi dari ekspresi wajahnya yang lebih mirip orang konstipasi. Ketika Sakura buka mulut untuk balas membentak, dia buru-buru menambahkan. "Persidangan lanjutan akan dilaksanakan tiga hari lagi dan pasienmu adalah saksi penting bagi kami. Aku perlu meminta keterangan resmi dokter supaya kesaksiannya tidak disangkal." Ada nada memelas yang mendalam dalam suaranya, membuat Sakura untuk sejenak mengikat erat tali emosinya.
Dipandanginya detektif di hadapannya dengan tatapan penuh prasangka, mencari-cari kebenaran dari pandangan gugupnya. Lucu, padahal selama tiga minggu belakang pria lajang di depannya ini tampak punya keberanian dan kepercayaan diri tinggi ketika berusaha mendekatinya. Melihat dia beserta egonya mengerut tanpa daya di hadapannya, Sakura tak bisa menahan humor dari kerlip hijau matanya.
"Dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien itu bisa memberikan keterangan resmi," ucap Sakura datar. "Dan dokter tersebut bukan aku. Kalau kau memang kesulitan bertemu dengannya, akan kumintakan pernyataan tertulis dari Dokter Kato."
"Masalahnya tidak hanya sesederhana itu, Dokter Haruno." Mendengarnya, Sakura menaikkan sepasang alis kemerahannya. Pria di hadapannya ini, yang namanya lebih sulit dia ingat dari nama strain virus, memegang kedua sisi kepalanya dengan kekalutan tergambar jelas dalam pandangan mata gelapnya. "Kami butuh pernyataan paling kuat yang bisa kami dapat, Dokter." Untuk sekali ini, detektif tersebut menahan diri untuk tidak menyebut dokter muda di hadapannya itu dengan panggilan favoritnya—cantik, manis, atau sayang. Dia tentunya enggan mengganggu singa betina itu lebih jauh. Raungannya tadi sudah cukup menjadi sinyal.
"Dan dokter itu tidak cukup? Asal kau tahu saja, dokter-dokter di rumah sakit ini punya kredibilitas tinggi dan yang terbaik di bidangnya." Kedua tangannya kini dilipat di depan dada. Bisa dia rasakan berbagai macam tatapan anggota timnya; yang hanya berani lirik-lirik dari sudut mata atau terang-terangan memelototi mereka. Yah, Haruno Sakura bersama seorang pria non-medis memang jarang berada dalam satu frame adegan bersamaan.
"Tapi kau yang melakukan operasi untuk Hatake Rin!"
"Memang," balas Sakura keras kepala. "Tapi yang mengontrol perkembangan kesehatannya bukan aku."
"Mereka akan mencari celah untuk menyangkalnya."
"Dan apa peranku di sini?"
Merasa telah menemukan setitik cahaya dalam gelapnya jurang neraka abyss, pria tiga puluh lima tahun tersebut menghela napas lega. "Aku tahu Dokter Kato juga sangat hebat, murid pertama Senju Tsunade sendiri, tapi kami harus memastikan mereka tidak akan melemparkan berbagai keberatan lain. Persidangan ini sudah dua kali ditunda karena alasan kesehatan saksi yang mengada-ada."
Mendengarnya, Sakura memicingkan mata. "Hatake Rin tidak bermasalah dengan otaknya, maupun sistem saraf keseluruhan."
"Itu sudah sangat jelas, tapi tuduhan mereka semakin macam-macam saja. Mereka tidak akan berkutik kalau pernyataannya datang dari dokter sekaliber dirimu, Dokter Haruno. Sejauh ini, kau adalah dokter terbaik di kelasmu. Mereka tidak akan berani mempertanyakan kemampuanmu, ditambah dengan pernyataan dokter yang menanganinya, setidaknya tidak tanpa menambah tuntutan kepada mereka sendiri."
Ada nada harap putus asa yang dengan jelas Sakura tangkap dari suara memelas pria tersebut. Untuk sejenak, dia pertimbangkan keputusannya—walaupun sebenarnya pikirannya sudah mantap. "Jam berapa persidangannya?"
Sepasang mata gelap itu bersinar lebih kecokelatan ketika terkena pantulan sinar dari lampu. Wajahnya senang bukan main. "Persidangannya dimulai jam sembilan, tapi aku tidak bisa menjanjikan kapan berakhir."
Dokter Haruno mengangguk sekali, tegas dan tak ramah. "Aku dan Dokter Kato akan ada di sana."
"Ter—"
Sakura mengangkat tangan, menghentikan ucapan apa pun yang hendak dilontarkan pria di hadapannya. Setelah itu dia menoleh ke arah Matsuri yang masih setia berdiri di sisinya—tidak salah lagi sambil memasang telinga baik-baik untuk kemungkinan gosip harian rumah sakit. "Tuan detektif ini masih perlu dituntun menuju pintu keluar. Buat dirimu berguna, Matsuri."
Matsuri meringis, kompak dengan sang detektif.
Segera setelahnya, Sakura berbalik pergi dan mulai mengecek laporan pemeriksaan pasien-pasien UGD, melupakan keberadaan si detektif.
"Mari saya tunjukkan pintu keluarnya, Tuan Detektif."
—
—
"Dokter Haruno?"
Sang dokter yang namanya dipanggil itu tengah mengetikkan pekerjaannya di komputer ketika Hyuuga Hanabi mengetuk pintu ruangannya. Tanpa mengalihkan pandangan dari monitor tujuh belas inchi di depannya, Sakura menggumam, "ada apa, Hanabi?"
Merasa telah dipersilakan masuk, dokter dua puluh empat tahun itu buru-buru masuk. Di tangannya sudah ada mug merah berukuran sedang yang mengepulkan asap tipis. Berusaha meminimalkan bunyi yang dibuatnya, Hanabi dengan hati-hati meletakkan cangkir keramik tersebut di atas meja kerja Sakura. "Silakan, Dok."
Tanpa perlu merasa curiga, Sakura meraih mug merah tersebut dan menyesap cairan gelap di dalamnya pelan-pelan. "Ini favoritku," katanya setengah terkejut begitu merasakan cairan hangat itu melewati lidah dan kerongkongannya; akhirnya membagi fokusnya untuk pekerjaan dan dokter bimbingannya.
Hanabi berusaha menelan ludah tanpa kentara. "Bubuk cokelat dan susu vanilla tiga banding dua. Kurasa semua orang di sini sudah tahu, Dok," jawabnya setengah tergagap.
"Ya, aku tahu itu." Dia letakkan mugnya di meja kembali dan memutar kursi supaya dapat memandang Hanabi lebih jelas melalui sepasang matanya yang kini dibingkai kaca mata tipis, "tapi bukan di situ poinnya."
Hyuuga Hanabi menghela napas pendek.
"Katakan apa maumu."
"Sebenarnya ini bukan ideku, Dokter," mulai Hanabi ragu-ragu. Tangannya sibuk mencari-cari genggaman: bolpoin, ujung jas dokternya, tepian meja. Apa pun selain meremas-remas tangannya yang berkeringat. "Kami sepakat Dokter sedang terlalu lelah, atau sedang ada masalah atau pikiran berat, atau barangkali membutuhkan liburan."
"Kalian?" Sakura menaikkan alis tinggi. "Siapa 'kalian' dalam konteks ini?"
"Uh—aah, kami semua, Dokter."
"Apa yang membuat kalian berpikir begitu?" tanya Sakura dengan senyum di sudut bibir. Kembali dia tekuni pekerjaannya tadi, memasukkan data terbaru pasien-pasiennya yang baru dipindahkan dari UGD. Namun, pendengarannya tetap awas mendeteksi suara Hanabi yang semakin lama semakin lirih—nyaris terdengar seolah sedang merasa bersalah.
"Uh…Dokter terlihat terlalu tegang belakangan ini—dan selalu tersentak kaget tiap kali mendengar dering telpon." Hanabi memandangi seniornya melalui sepasang mata lembayung pucatnya yang gelisah. "Dan kurang istirahat."
"Diagnosis yang panjang, rupanya," canda Sakura. "Tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja, Hanabi. Kerjakan saja tugas jagamu."
Hanabi menghembuskan napas sebal. "Dokter Haruno harusnya tahu sebesar apa rasa sebal seorang dokter ketika pasiennya selalu berkata 'aku baik-baik saja, tidak merasa sakit' padahal jelas-jelas yang begitu itu bohong. Bagaimana bisa dia sembuh kalau tidak mau mengadu?"
Kembali menatap dokter muda berbakat tersebut, Sakura memecah senyum. "Kau belajar dengan baik dari kami, Hanabi. Aku dan Dokter Senju sangat bangga."
"Ha-ha," kata Hanabi sinis sambil memutar bola mata. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Dengar," Hanabi mencondongkan tubuhnya ke depan. "Psikologi memang hanya bidang minorku, tapi aku jelas tahu kau sedang ada masalah. Kuakui aku bukan orang yang tepat untuk mendengarkan masalahmu, jadi aku hanya bisa menasehatimu untuk segera menemui Ino-nee atau Naruto-nii untuk berbagi masalah dengan mereka. Kau benar-benar membutuhkannya, Sakura-nee."
Wanita di balik meja kerja itu memutar bola mata main-main. "Kita sedang di tempat kerja, Dokter Hyuuga. Beri sedikit hormat kepada seniormu."
Hanabi mendengus, kemudian berbalik pergi. "Kau telpon Naruto-nii lebih dulu atau aku yang mengadu supaya kau diberhentikan sementara."
"Aku ingin lihat kau melakukannya!" sergah Sakura sedikit kesal. Kembali dia raih gelasnya dan menyesap cokelat hangat tersebut. Kerut di keningnya mendalam. Memangnya dia terlihat segamblang itu? Sementara di sini Sakura merasa dia telah menutupi masalahnya baik-baik.
Setelah merasa puas meneguk minumannya, Sakura menyandarkan punggung di sandaran kursinya. Sakura dan cokelat memang sahabat karib. Selain Sousuke, cokelat adalah obat paling manjur untuk memperbaiki emosinya.
Untuk beberapa saat lamanya, Sakura membiarkan keheningan menyelimutinya. Benaknya tak membutuhkan waktu lama untuk berkelana, memutar berbagai cuplikan episode kehidupannya selama hampir tiga puluh tahun terakhir. Beberapa terekam begitu jelas dalam ingatannya; beberapa telah buram termakan usia; beberapa membuat matanya basah oleh haru; beberapa mati-matian ingin dia lupakan.
Sakura melihatnya semua; pertengkaran kedua orang tuanya, perceraian mereka; pernikahannya sendiri; kelahiran Sousuke; dimulainya neraka dunianya. Sakura mengingat semuanya.
Ketika akhirnya dia telah berdamai dengan batinnya yang bergolak, Sakura meraih gagang telponnya dan menekan nomor telpon yang sangat dia hafal. Pada dering keempat, panggilannya terhubung.
"Halo Naruto, kau ada waktu sore ini? Aku ingin bertemu."
—
—
Uzumaki Naruto telah menjadi sahabat karibnya sejak Sakura bisa mengingat. Membiasakan diri dengan sifat cerah dan suara kerasnya adalah satu pekerjaan yang perlu Sakura kuasai pada awalnya, tetapi begitu melewati masa-masa itu Naruto adalah sosok teman dan saudara lelaki yang setiap gadis inginkan. Perhatian, menyenangkan, bisa diandalkan, dan bisa dipercaya—kecuali cara kerja otaknya yang sedikit berbeda frekuensi dengan orang kebanyakan. Di sepanjang hidupnya, belum pernah Sakura merasa menyesal mengenal pria itu.
Yah, barangkali sore ini adalah satu pengecualiaan.
"Aku tahu kau terkadang bodoh, tapi tidak sebodoh ini 'kan?" Sakura menggerutu. Tangannya bersedekap di depan dada, untuk sesaat melupakan cookies cokelatnya di meja. Dia tengah sibuk memberengut ke arah pria yang duduk berseberangan dengannya—yang kini dengan wajah tak berdosanya tengah tersenyum lima jari. Untuk sekali ini, Sakura menyesal putranya telah menjiplak sempurna senyum itu.
"Dimana letak kesalahannya?" komplain Naruto sambil memberengut. Senyumnya untuk sejenak hilang.
"Tidak terletak dimana-dimana," dengus Sakura, "semuanya salah," tekannya.
Kerut di kening Naruto semakin dalam. "Tentu saja tidak mungkin. Aku baru saja memberikan satu ide paling brilian untukmu, Sakura-chan."
Serahkan kepada Uzumaki untuk memanggil Sakura dengan –channya di usia setua ini.
"Bagaimana cara supaya pria gila itu berhenti mengejarku?" beo Sakura dengan nada nyaris mencemooh. "Menikah lagi, tentu saja. Itu idemu. Dengan siapa, tepatnya, Naruto?"
Melewatkan sindiran yang dialamatkan kepadanya, Naruto kembali berseri-seri. "Aku punya seorang sahabat, dia masih lajang. Kalian pasti cocok satu sama lain. Lagipula kalian berdua 'kan sahabatku." Dengan logika setara bocah lima tahun itu, Naruto berujar dengan dada mengembang bangga.
Sembari menarik napas tajam, Sakura memicingkan mata. "Yeah, brilian. Dan babi sudah terbang sekarang."
Naruto terlihat kecewa dan bahunya merosot. "Oh ayolah, Sakura-chan. Kau tahu ini ide paling bagus."
"Uh huh?" tantang Sakura.
"Dengan menikah, mantan suami sial itu tidak akan bisa memaksamu lagi. Kau tidak perlu takut terjebak pernikahan mengerikan bersamanya. Itu pertama. Kedua, akan ada laki-laki yang memastikan keadaanmu baik-baik saja. Bukannya aku enggan atau apa, tapi aku juga tidak bisa menjanjikan 24/7-ku terus berkomunikasi denganmu. Aku tidak bisa melindungimu setiap saat," jelas Naruto panjang-lebar.
Oke, sejauh ini bocah rubah ini ada benarnya. Dengan menikah, setidaknya Sakura bisa menghilangkan kemungkinan akan terperangkap pernikahan dengan Kabuto dan dia akan lebih aman. Namun, menikah berarti satu perangkap lain dan Sakura belum siap untuk terjebak ke dalamnya. Sayangnya, Sakura tidak bisa dengan gamblang mengatakannya kepada Naruto. Pria itu tidak memahami sepenuhnya alasan ketakutan Sakura.
Terlalu rumit. Sakura sendiri yakin dirinya tidak akan mampu menjelaskan duduk perkara komplikasi batinnya kepada orang lain tanpa membuat mereka sama bingungnya—atau membuat mereka beranggapan Sakura mengidap fobia.
"Aku tidak bisa menikah begitu saja, Naruto. Aku bahkan tidak mengenal 'sahabat'mu ini. Bagaimana kalau ternyata kami tidak cocok? Tentu saja penyelesaiannya bukan dengan sebuah perceraian lain."
"Yah, dia memang terkadang menyebalkan—dia lebih sering membuatku jengkel dan aku curiga dia tidak punya kemampuan komunikasi, tetapi dia pria yang baik! Dia tidak akan berlaku kasar kepadamu. Dia sangat gentleman, yah seperti yang kubilang tadi, selain sifat antisosialnya."
Seperti Sakura yang putus asa berusaha kabur dari Kabuto, Naruto seolah tengah putus asa mempromosikan sahabatnya kepada Sakura.
Sakura memandang sahabatnya curiga. Bukannya apa, tetapi sikap Naruto sudah memasuki area mencurigakan. "Bukannya aku mempertanyakan ketulusanmu membantuku, Naruto, tapi aku tidak bisa untuk tidak merasa was-was dan curiga terhadapmu. Aku merasa alasan kau menjodoh-jodohkan aku dengan sahabatmu itu lebih dari sekadar membantuku." Sakura mencoba untuk menjaga nada suaranya tetap tenang dan stabil.
Puji Tuhan Naruto memutuskan menjadi direktur perencanaan sebuah perusahaan real estate dan bukannya petugas hukum. Pria itu benar-benar tidak bisa berbohong, atau setidaknya menata ekspresinya.
Segera setelah Sakura menyuarakan kecurigaannya, Naruto menciut di kursinya. "Ah…" responnya payah, segera mengundang seringai geli Sakura.
"Aku jauh lebih tidak keberatan kalau kau jujur, kau tahu," bujuk Sakura halus.
"Dia…sedang mengalami masa-masa berat. Selain tuntutan menikah, dia sedang terbelah dua—" Naruto bicara dengan wajah ekspresif, berusaha menggambarkan situasi mengenaskan sahabatnya dengan berbagai cara. Tangannya melambai-lambai di udara, wajahnya mengerut. "Dia berasal dari keluarga yang kental dalam bidang hukum. Hakim, pengacara, polisi, jaksa, semua jenis ada dalam keluarganya. Dan menjadi jaksa juga adalah cita-citanya." Naruto menghela napas panjang. Bahunya kembali merosot. Menjadi seorang empatis seperti dirinya tidak mudah. Pria itu mendeskripsikan kondisi buruk temannya seolah dia sendiri yang tertimpa masalah itu. "—tapi keluarga pihak ibunya punya perusahaan, tempatku bekerja, dan ibunya yang masih menjabat sebagai CEO membutuhkan penerus."
"Dan sahabatmu ini adalah penerusnya?" tebak Sakura.
"Kakak laki-lakinya, awalnya, tapi kakaknya dengan cepat meraih posisi kuat sebagai jaksa muda dan karirnya melejit. Hak warisnya dipindahkan kepada adiknya."
"Jadi sekarang ini sahabatmu sedang beradaptasi dengan dunia real estate? Yah, kedengarannya tidak mudah," komentar Sakura, turut bersimpati mendengar kondisi sahabat Naruto.
Namun, pria itu justru menggeleng. "Tidak, tidak. Sasuke-teme sudah lama bekerja di perusahaan ibunya, sebagai direktur marketingnya. Dan jujur saja, dia brilian dalam pekerjaannya…"
"Tapi menjadi jaksa adalah cita-citanya sesungguhnya," ulang Sakura mantap.
Uzumaki Naruto kembali menghela napas. "Dia menyelesaikan dua studinya bersamaan. Hukum, yang gila-gilaan itu, dan bisnis. Dia sudah melalui waktu-waktu yang gila, tapi aku berani bertaruh dia masih memimpikan menjadi seorang jaksa suatu hari," Naruto terlihat luar biasa sedih. Wajahnya mengerut dan sepasang mata electric bluenya kini berkilat seperti bagai es. Pria ini tidak pernah lulus dari fase emosionalnya. "Sasuke-teme tidak pernah tidak bertanggung jawab. Walaupun ini bukan keinginannya, dia tidak pernah mengeluh dan terus melakukan yang terbaik demi perusahaan ibunya. Sebentar lagi dia akan diangkat menjadi CEO, di ulang tahunnya yang ke tiga puluh dua. Tekanannya semakin berat, tapi dia belum juga menemukan kebahagiaan," ucap Naruto memelas. Kedua tangannya terkepal di atas meja kafe dan bergetar samar.
Menjadi CEO di usia tiga puluh dua tahun? Sakura bertanya-tanya apakah pria dalam pembicaraan mereka ini sehebat yang Naruto ceritakan—menyelesaikan dua mayor studi yang sama-sama berat bersamaan—atau menjadi CEO semata-mata karena darahnya? Meskipun demikian, Sakura tak kuasa menyuarakannya.
"Dan kau berpikir Sasuke ini bisa menemukan kebahagiaan melalui pernikahan?" tanya Sakura memastikan. Dari mana Naruto bisa menarik kesimpulan seperti itu, Sakura tidak paham. Menikah dengan orang asing, atau dalam kasus mereka: menikah dengan janda beranak satu, adalah jawaban untuk kesengsaraan hidupnya tidak terdengar sebagai satu solusi menjanjikan di telinga Sakura. Namun kemudian, sahabatnya itu selalu punya pemikiran orisinil.
"Tidak," Naruto menggeleng lemah, "tapi cinta."
Haruno Sakura tidak bisa menahan diri untuk tidak terbelalak kaget. Pernikahan adalah satu hal, tetapi cinta adalah hal di luar konteks yang sama sekali berbeda. Mereka bisa saja menikah tanpa cinta, tetapi mengharapkan cinta dari pernikahan? "Cinta?" beonya tergeragap.
"Ya, cinta," ulang Naruto semakin mantap. Mata birunya yang tajam menatap ke dalam jiwa Sakura. "Intuisiku bilang begitu."
Sakura mendengus mendengarnya. "Dan intuisi cintamu ini mengarah kepadaku?"
"Uh huh."
"Dari mana datangnya ide konyol itu?" sergah Sakura jengkel.
"Aku tidak tahu dari mana datangnya intuisi. Kau dokternya, kau yang beri tahu aku," jawab Naruto santai dengan seringai rubahnya.
"Ini absurd, Naruto," bantah Sakura yang tiba-tiba merasa sesak napas.
"Tidak, kurasa kalian berjodoh. Bahkan nama putramu terdengar mirip dengan namanya. Sousuke, Sasuke."
Uzumaki Naruto tertawa renyah. Haruno Sakura tak mampu bicara.
—
—
Dalam waktu singkat, Sakura telah berteman baik dengan Kakashi dan istrinya yang kini dalam proses penyembuhan. Wanita itu mendapati Kakashi merupakan teman menyenangkan untuk diajak mengobrol ringan, tentunya setelah membutakan diri terhadap kebiasaan pria itu membaca pornografi dengan bebasnya. Yang benar saja, Sakura tak habis pikir, tetapi di lain pihak tidak bisa berbuat apa-apa. Setidaknya istrinya luar biasa ramah dan lebih menyenangkan menjadi teman mengobrol.
Ramah dan menyenangkan tidak benar-benar patut mendeskripsikan pribadi Hatake Rin. Angelic.
Sembari Sakura menyusuri koridor lenggang yang menghubungkan kamar-kamar perawatan kelas satu (dia segera menyadari kalau Hatake Kakashi adalah pengusaha kaya) dengan kotak bekal makan siangnya, dia tidak ada hentinya tersenyum—mengundang tatapan aneh dari orang-orang yang dilaluinya. Namun, Sakura hampir-hampir tidak memedulikannya.
"Selamat siang, Rin," sapa Sakura ramah. Kepalanya dimiringkan saat dia berdiri di ambang pintu yang terbuka.
Hatake Rin, yang tengah duduk di ranjangnya dengan sebuah buku di tangan, mendongak dan segera tersenyum. "Ah, Sakura. Selamat siang," sapanya. "Sudah jam makan siang?"
Sakura mengangguk antusias, masuk dan menempati kursi di samping ranjang Rin. "Kemana perginya suami mesummu itu?"
Rin tertawa renyah. "Sedang ke kafetaria, membeli makan siangnya sendiri."
Sakura menyenandungkan balasannya. "Dan dimana makan siangmu?"
"Aku harus menunggu perawat datang. Atau kau mau berbagi bekalmu?" Ada gemerlap menggoda di mata hangat Rin.
Sakura memberengut penuh canda. Dia sembunyikan kotak bekalnya di belakang tubuhnya. "Ini bekal buatan Sousukeku sayang, mana mungkin kubagi denganmu," ejek Sakura sambil menjulurkan lidahnya.
"Kau tahu, kau menyebut putramu hampir-hampir seperti menyebut kekasih atau apa. Kalau ada pria yang tertarik kepadamu mendengarnya, dia bakal mundur teratur mengira kau sedang tergila-gila kepada pria lain." Suara berat dan malas-malasan terdengar dari arah belakang.
Sakura segera memutar tubuh dan wajah cemeberutnya berubah permanen. "Hari yang indah juga, pak tua," sapa Sakura kering.
"Ouch."
Tidak peduli seberapa menyenangkannya Kakashi, pria itu tetap terkadang luar biasa menjengkelkan (yang sayangnya lebih sering daripada menjadi gentleman). Dia suka sekali menyindir Sakura dengan berbagai topik—ketiadaan suami, salah satunya.
Sakura memang sudah menceritakan kisah hidupnya kepada pasangan suami-istri itu, termasuk perkembangan terakhirnya yaitu pertemuannya dengan Naruto yang berakhir konyol. Dan semenjak itu, rasa-rasanya kejahilan Kakashi berlipat tiga. Sepertinya pria itu sepakat dengan sahabat bodoh Sakura, dan Rin juga tak menutup-nutupi keinginannya melihat Sakura menikah.
"Itu karena Sousuke adalah satu-satunya penghuni hatiku," balas Sakura dengan nada datar seolah menyampaikan fakta semata—yang memang benar begitu adanya.
"Dan satu pria lagi tidak ada salahnya," ulang Kakashi sambil mengambil tempat di sebelah Sakura. Di tangannya sudah ada bungkusan makanannya sendiri.
Dua orang dewasa itu terus cekcok dan melempar berbagai hinaan, memberikan hiburan bagi Rin yang dengan antusias memilih menjadi pendengar, sampai akhirnya adu mulut mereka terpaksa berhenti karena kedatangan seorang perawat yang membawa nampan makan siang Rin. Begitu penghuni kamar itu memegang makan siang masing-masing, mereka mulai menyantap makan siang mereka.
Siang ini, Sakura punya satu set lengkap makan siang berisi nasi, telur gulung keju, beberapa potong sosis dan bacon goreng, dan salad. Entah bagaimana Sakura bisa hidup tanpa putranya. Jujur saja, bocah itu semakin lama semakin mahir memasak, telah lama mengalahkan ketrampilan memasak Sakura yang memang pas-pasan. Sousuke selalu membuatkan bekal makan siang untuknya.
Kakashi sendiri tengah menyantap makan siangnya yang berupa sandwich tebal yang harum. Satu atau dua kali Sakura akan mengomentari pola makan Kakashi yang tidak lengkap nutrisi dan pria itu akan mengibaskan tangan tak peduli. Perhatiannya selalu terfokus untuk istrinya, yang berusaha menghabiskan makan siangnya sendiri walaupun nafsu makannya tidak juga membaik.
Sampai detik ini, Haruno Sakura belum bisa meredakan kekagumannya atas cinta yang berkobar jelas di depannya. Nyaris seperti dalam dongeng. Seorang pria yang hanya mencintai satu wanita. Walaupun Kakashi, sama seperti kebanyakan pria lain, sering kedapatan mengerling ke arah wanita lain, Sakura selalu menemukan gemerlap main-main di sana—seolah pria itu semata-mata hanya ingin membandingkan wanita-wanita lain dengan istrinya, dan dengan bangga memutuskan Rin tetap tak terkalahkan.
Sudahkah Sakura bilang dia juga mendambakan cinta yang begitu?
Tidak, tidak perlu seintens itu. Sakura sadar ikatan kuat antara Kakashi dan Rin bukan sesuatu yang dimiliki banyak orang. Bahkan di antara pasangan-pasangan penuh cinta lainnya, ikatan mereka berdua spesial. Ada luka dan rasa sakit di sana, tetapi karena itulah hubungan mereka menjadi lebih bermakna. Mereka saling menatap bagaikan seorang buta yang pertama kali melihat cahaya. Barangkali memang begitu adanya. Cinta mereka adalah cahaya kehidupan bagi keduanya.
Kalau saja Sakura tidak sedang serius memperhatikan kedua orang itu, dia pasti sudah tertawa mendapati dirinya menjadi begitu puitis. Namun, bagaimana pun juga Sakura pada dasarnya punya jiwa yang romantis. Terkubur dalam-dalam, diam-diam menanti seorang pria untuk mengeruknya. Itu, kalau dia bisa menggali melewati timbunan kesedihan, luka, pengkhianatan, kepahitan, dan segala macam sampah yang hidup tumpahkan kepada Sakura.
Siapa pun pria itu, pasti dia sudah gila. Banyak wanita-wanita di luar sana yang jauh lebih baik darinya dan tentunya dengan masa lalu yang lebih sederhana, tidak mengerikan seperti dirinya. Sakura justru iba jika ada pria yang mendekatinya. Selain wajah dan titel, tidak ada yang patut dibanggakan dari seorang Haruno Sakura.
Kalau begitu, pupus sudah harapan menemukan seorang pria malang itu.
—
—
Seperti yang sudah dijanjikan, pukul delapan lewat empat puluh lima, Haruno Sakura bersama rekan dokternya, Kato Shizune, telah tiba di gedung pengadilan. Haruno Sakura akan hidup untuk menyaksikan persidangan ini dimenangkan oleh para jaksa. Dan Dokter Haruno tidak pernah selain teliti dan perfeksionis. Dia datang dengan membawa sebendel berkas pasien selama masa pengobatan. Dia akan memastikan kesaksiannya dan Shizune terhadap kemampuan Hatake Rin bersaksi tidak mampu diganggu gugat.
Sekali lagi, Haruno Sakura yang benar-benar memfokuskan pikirannya untuk satu tujuan tidak akan mudah dihadang.
Begitu kedua wanita itu memasuki gedung pengadilan dan segera dipandu ke ruang persidangan oleh seorang petugas pengadilan yang mengenali mereka sebagai salah satu saksi tambahan. Di ambang pintu masuk ruangan, Uchiha Shisui tampak serius berbicara dengan salah satu rekan kerjanya. Baru setelah Sakura hanya beberapa langkah darinya, pria itu menyadari keberadaannya. Keseriusan di wajahnya menghilang seketika, digantikan dengan ekspresi bohlam—anekdot Sakura untuk menyebut ekspresi konyol di wajah Shisui. Sejujurnya, dengan wajah serius seperti itu, Shisui tampak lebih menarik perhatiannya. Namun, Sakura tidak akan berkomentar mengenai itu. Dia tidak ingin mengambil resiko meledakkan bohlam itu. Kortsleting, seberapa pun kecilnya, tetap tidak baik.
"Ah kau datang, Dokter!" serunya bahagia.
Sakura membalasnya dengan sepasang alisnya yang naik tinggi. "Aku sudah berjanji. Dan ini," dia mengisyaratkan Shizune yang berdiri agak di belakangnya, "Dokter Kato Shizune."
Uchiha Shisui mengangguk antusias. "Ada ruang tunggu khusus untuk para saksi. Biar kutunjukkan jalannya."
Mendengarnya, Shizune yang sejak tadi diam, turut menaikkan alisnya tinggi. "Kami hanya datang untuk memberi pernyataan kesehatan saksi. Dan sekarang kami pun dianggap saksi?"
"Prosedur," gumam Shisui enggan.
Mau tak mau, kedua wanita itu hanya bisa berjalan beriringan mengikuti Shisui dari belakang. Keduanya digiring ke ruangan kecil yang terhubung dengan ruang persidangan. Di dalam ruangan itu sudah ada Hatake Kakashi bersama istrinya, Rin yang masih tampak pucat tetapi cukup sehat untuk duduk tegak, dan beberapa saksi lain yang tampak tegang.
"Kakashi," sapa Sakura dan Shizune. "Rin."
Selama perawatan intensifnya, Hatake Rin telah sering berjumpa dengan kedua dokter yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Mereka telah menjadi teman mengobrol yang sangat menyenangkan. Shizune, yang secara teratur datang dengan papan pemeriksaan, selalu merasa perlu untuk singgah sejenak dan mengobrolkan hal-hal di luar pekerjaan dan kondisi mereka. Adapun Sakura sering menemui Rin di kamarnya kapan pun dia tidak sedang dibutuhkan di departemennya sendiri. Dalam beberapa kesempatan, Sakura bahkan telah mengenalkan putranya kepada pasangan Hatake itu—yang serta-merta menyayangi Sousuke begitu saja. Sayang sekali pasangan suami-istri itu tidak bisa memiliki putra sendiri karena kondisi kesehatan Rin yang sejak awal memang lemah. Kasihan sekali. Seorang anak yang terlahir dalam keluarga penuh cinta itu akan sangat beruntung.
Kehidupan kembali membuktikan bahwa tidak ada yang namanya kesempurnaan hidup.
"Halo, Dokter-dokter cantik," sapa Kakashi menggoda. Istrinya, yang duduk di sampingnya, tertawa kecil.
Shizune memutar bola mata malas-malasan. Memiliki suami yang luar biasa genit, Shizune menjadi luar biasa kebal terhadap rayuan gombal para pria. "Simpan rayuanmu untuk istrimu, Hatake."
"Kuambil pujiannya saja, terima kasih," sahut Sakura acuh, yang kemudian mengundang tawa lebih keras dari Rin. Sayangnya, tawa merdu itu segera terpotong oleh desah sakitnya. "Jangan tertawa keras-keras dulu, Rin."
"Sulit sekali, Sakura," keluhnya dengan wajah susah payah menahan tawa. Kali ini wanita itu terlihat lebih kesakitan menahan tawa daripada menahan sakit. "Suamiku ini justru memilih kesempatan ini untuk bertingkah konyol."
"Aku tahu kau mencintaiku," balas Kakashi menggoda seraya mengecup ringan pelipis istrinya.
Hatake Rin menyeringai lebar. Haruno Sakura hanya bisa menahan gejolak rasa iri dan getir dalam dadanya.
—
—
"Dalam proses perawatannya, Hatake Rin tidak pernah mengonsumsi obat penenang, Yang Mulia." Suara tenang dan tegas Haruno Sakura terdengar hingga ke sudut-sudut ruang pengadilan. Tatapannya tajam dan posturnya menolak segala rupa interupsi. Di tangannya sudah ada satu jilid tipis catatan obat yang diberikan kepada pasiennya, lengkap dengan tanggal, jam, dan dosis pemberian. "Obat-obatan yang pernah diberikan kepada pasien kami selama perawatannya hanya mencakup antibiotik, beberapa vitamin dan mineral, obat gatal, serta obat demam dalam dosis rendah. Pasien secara sadar telah menolak diberi obat pereda rasa sakit."
Para hakim yang mendengarkan penjelasannya terdiam, kemudian saling berbisik satu sama lain sebelum hakim yang duduk di tengah berbicara. "Kami ingin melihat catatan tersebut, Dokter."
Sakura mengangguk, kemudian menyerahkan jilid tipis di tangannya kepada jaksa yang menangani kasus ini—Uchiha Itachi, yang dengan segera mengopernya kepada hakim. Untuk beberapa saat lamanya, para hakim itu bergantian memeriksa catatan medis yang dibawa Sakura, kemudian mengangguk puas.
"Jadi Hatake Rin memiliki kesadaran sepenuhnya atas ucapan dan tindakannya dalam kesaksiannya?"
Haruno Sakura mengangguk tegas. "Benar begitu, Yang Mulia."
Di deretan terdepan kursi penonton, bersama dengan Hatake Kakashi yang tampak resah memandangi istrinya, Uchiha Shisui mendengus. "Sial, wanita ini hebat sekali," gumamnya, masih tajam mengamati postur Sakura dari belakang.
Pria yang duduk di samping kirinya, yang tak lain adalah pamannya, terkekeh. "Kau mengenalnya?"
Shisui mengangguk. "Aku beruntung sekali ada dokter ini, Paman Obito. Dia menyelamatkan Hatake Rin, dan kini berlagak bagai pengacara saksi dengan membawa bukti tak terbantahkan untuknya. Sial. Kalau saja aku tidak tahu profesinya sebagai seorang dokter, sudah lama kukira dia pengacara terkemuka. Bagaimana bisa ada wanita semenakjubkan ini?" Pujian, keluhan, dan makian serasa berbaur tanpa batas yang jelas.
Uchiha Obito kembali terkekeh pelan. "Kau akan terkejut kalau sudah mengenalnya lebih jauh, keponakan."
Kali ini Shisui terkejut. "Memangnya Paman kenal dia?"
Uchiha Obito menjawabnya dengan tawa rendah.
—
—
"Terima kasih atas kerja samanya hari ini, Dokter Haruno, Dokter Kato."
Uchiha Itachi menjabat tangan kedua dokter itu bergantian. Wajahnya tidak menunjukkan banyak ekspresi dan tatapan matanya tajam dengan suara tegas, sama sekali tidak buang-buang waktu. Selain ciri-ciri fisik yang kurang lebih serupa—rambut gelap, mata gelap, dan kulit alabaster—Sakura sama sekali tidak menemukan persamaan dalam dirinya sepupunya, Uchiha Shisui. Atau begitulah yang mereka klaim. Dalam satu kesempatan, tiba-tiba saja Sakura mengenal banyak Uchiha sekaligus. Terlalu banyak malah, mengingat kehadiran satu Uchiha dari bertahun-tahun silam yang telah membantunya lepas dari monster masa lalunya.
"Apa kabar, Obito-san?" sapa Sakura dengan senyum kecil kepada Uchiha tertua di sana; berusia sebaya Kakashi dan tampaknya adalah sahabat karib pria itu. Sungguh, terkadang dunia terlalu sempit untuk dinikmati seorang diri.
"Sudah cukup lama tidak berjumpa, Sakura-san. Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu dan putramu?" Uchiha Obito mengulas senyum lebarnya, membuat usia matangnya untuk sekejab melebur dan menampakkan wajah kekanakannya.
"Jauh lebih baik dari yang sudah-sudah, dan jelas kepada siapa ucapan terima kasih ini harus kusampaikan."
Obito mengibaskan tangan ke udara. Ekspresinya begitu kontras dengan keponakannya, Uchiha Shisui, yang kini tengah melotot ke arah pamannya. "Paman benar-benar mengenalnya? Putranya?" serunya tajam.
Sakura tidak mau pusing-pusing memikirkan reaksi terduga pria flamboyan itu. Memang fakta mengenai dirinya yang telah memiliki seorang putra tidak banyak diketahui orang. Dia sendiri sangat menjaga privasi keluarganya dan hanya orang-orang terdekatnya yang benar-benar mengetahui cerita masa lalunya. Jumlahnya bahkan tidak lebih dari dua tangan.
"Tentu saja, keponakanku. Aku punya banyak kenalan di luar sana," jawab Obito, dengan sengaja menghindari menjawab topik mengenai putra Sakura. "Ah, aku sempat melihat poster resital musik tahunan Mabushii Music School. Kalau tidak salah, aku membaca nama putramu di sana. Benar begitu?"
Ketika putra kebanggaannya menjadi topik pembicaraan mereka, Sakura tidak mampu menyembunyikan senyum bahagianya. "Benar, Obito-san. Dia akan tampil membawakan beberapa lagu."
"Aku ingin sekali membelinya, tapi sayang sekali aku sudah kehabisan tiket," keluh Obito kecewa. "Apa ada cara lain untuk mendapatkan tiketnya?"
Mendengarnya, Haruno Sakura tertawa. "Anda harus menghubungi Gaara langsung, sayangnya."
"Terlalu ketat," keluhnya lagi sambil mengibaskan tangan di udara.
Tiga orang yang menyertai percakapan mereka hanya diam mendengarkan. Shisui dengan ekspresi tercengangnya; Itachi dengan sedikit penasaran; Shizune dengan kebanggaan serupa ketika mendengar topik tentang bocah yang turut serta dia besarkan.
Tiba-tiba saja percakapan mereka tersela oleh dering telpon dari ponsel Sakura. Wanita itu kemudian memisahkan diri untuk mengangkat telponnya. "Moshi-moshi?"
"Ah, Sakura tersayang…"
"Kau—" Napas Sakura tercekat. Gemetar mulai menguasai tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan di sana bersama jaksamu itu? Menyusun rencana licik lain? Hm?"
Sakura sontak mengedarkan pandangan dengan urgensi ke sekelilingnya. Dalam kekalutan pikirannya, dia gagal menyadari empat tatapan heran yang diarahkan kepadanya.
Kabuto melihatnya? Dia ada di sini? Dimana pria terkutuk itu?!
"Ada apa, Sakura?" Suara halus Shizune gagal memecah kekacauan pikiran juniornya.
"Tidak perlu tergesa mencariku begitu. Aku menelpon karena ingin memberitahumu Sousuke sedang bersamaku, jadi kau tidak perlu khawatir dan kebingungan mencarinya dari sekolah."
Tanpa daya, map folder di tangannya jatuh begitu saja ke lantai, menyebabkan keributan tersendiri. Lutut Sakura lemas dan keningnya terasa pening. "Apa?" Mati-matian dia menarik napas. "Apa yang kau lakukan? Dimana kau? Dimana putraku?!" teriaknya tanpa daya. Sebelah tangannya menjambak rambutnya keras-keras, mencegah air mata yang mengancam jatuh.
Shizune dan Obito, jaksa yang dulu menangani kasus kekerasan rumah tangga Sakura, langsung siaga. Mereka berdiri dekat dengan Sakura, mencoba membawa ibu satu anak itu untuk duduk. Namun, Sakura menolaknya.
"Apa yang kau lakukan kepadanya?!" teriaknya lagi, putus asa, ketakutan.
Tiba-tiba saja terdengar teriakan tertahan seorang anak laki-laki. Suara Sousuke yang memanggil-manggilnya!
"Kembalikan dia!"
Namun kali ini, suara dari seberang sambungan hanyalah tawa mengejek Yakushi Kabuto. "Tenang, sayang, dia aman bersamaku. Kalian akan berjumpa segera setelah kau datang kepadaku."
"Tidak! Kembalikan putraku!"
Begitu sambungan telpon itu diputus sepihak, kegelapan begitu saja mengklaim kesadaran Sakura. Tanpa daya, dia membiarkan tubuhnya roboh. "Sou—" rintihnya.
—
—
Haruno Sakura tidak kehilangan kesadaran lama, hanya beberapa menit dan itu cukup untuk memindahkan tubuh lemahnya ke salah satu ruang kosong di dalam pengadilan. Begitu dia kembali sadar, hanya bisikan nama putranya yang bisa dia ucapkan.
"Kembalikan putraku," isaknya parau tanpa ada air mata yang keluar. Aneh memang, tetapi entah untuk alasan apa Sakura tidak bisa meneteskan air mata. Dadanya perih dan hatinya telah hancur, tetapi air mata masih menolak untuk menunjukkan diri.
"Hsssh, Sakura, tenanglah," bisik Shizune dari sampingnya. Wanita itu segera memeluk Sakura begitu dia tersadar.
"Oh, Shizune apa yang terjadi? Mana putraku?"
"Mereka sedang berusaha mencarinya sekarang. Tenangkan dirimu, kuatkan dirimu, Sakura."
Sakura tidak kuasa melakukan keduanya. Tubuhnya terus gemetar dan dia masih belum bisa merasakan kaki-kakinya. Bahkan untuk menggerakkan tangan saja sudah merupakan upaya keras. "Shizune… Apa yang bisa kulakukan tanpa dirinya? Oh Shizune…" rintihnya memelas.
"Kita akan menemukannya, kita akan menemukannya, Sakura," janji Shizune dengan suara sama tercekatnya. Hingga detik ini, dia sama sekali tidak mengetahui bahwa mantan suami Sakura, Kabuto, ternyata telah bebas dari hukuman penjaranya. Bukankah seharusnya pria terkutuk itu masih akan mendekam hingga setidaknya lima tahun lagi? Mungkinkah karena ini belakangan ini Sakura luar biasa tertekan? Dia sama sekali tidak tahu, demi Tuhan, dan kini monster itu kembali mengancam kehidupan Sakura dan merenggut satu-satunya kebahagiaan wanita dalam dekapannya itu. "Kita akan menemukan Sousuke dan mereka akan menjebloskan pria itu ke penjara lagi."
Haruno Sakura terus merintih, sesekali kembali tidak sadarkan diri. Wanita perkasa itu kini terguncang luar biasa dan Shizune tidak tahu harus berbuat apa. Obito yang mengetahui dengan pasti duduk perkara ini segera mengerahkan kedua keponakannnya untuk melacak jejak Yakushi Kabuto dan Sousuke. Sementara itu, dia telah menghubungi Tsunade bereaksi yang sama tidak menyenangkannya—lebih-lebih dengan deretan sumpah serapahnya di telinga Shizune. Kini, yang bisa Shizune lakukan hanyalah memeluk Sakura dan mencoba menenangkannya. Sebentar lagi barangkali ambulans 119 akan datang dan Sakura bisa dirawat di rumah sakit. Haruno Sakura dan depresi bukan teman baik.
"Ambulansnya sudah datang, Dokter Kato," Uchiha Itachi berbicara dengan suara rendah di dekatnya. "Kau perlu bantuan membawanya?"
Dengan enggan, Shizune mengangguk dan membiarkan pria itu membopong Sakura yang lagi-lagi tak sadarkan diri. Wajahnya luar biasa pucat dan keringat dingin tak henti-hentinya merembes dari kening dan lehernya.
Perjalanan dari pengadilan ke rumah sakit tempat mereka berdua bekerja tidak memakan waktu lama. Tim regu gawat darurat begitu sigap memindahkan Sakura dari ambulans ke ruang perawatan dan tak butuh waktu lama, wanita itu telah aman di atas ranjangnya. Satu selang infus menancap di pergelangan tangannya, memberinya nutrisi yang dibutuhkan untuk menstabilkan kondisinya.
"Bagaimana dengan proses pencariannya?" tanya Shizune khawatir kepada Shisui yang secara langsung memimpin proses pencarian. Mereka berdua tengah berbicara di koridor rumah sakit yang sedikit ramai.
"Kami baru bisa melacak lokasi terakhir Yakushi Kabuto," jawab Shisui dengan nada penuh sesal.
Kato Shizune tidak bisa menyalahkan detektif itu. Dia tahu betul betapa licik dan licin mantan suami Sakura. Adalah suatu keajaiban dalam waktu setengah jam mereka bisa melacak tempat tinggal Kabuto. "Tolong segera temukan putra Sakura secepatnya. Dia—Sakura bisa gila kalau putranya tidak kembali."
Uchiha Shisui mengangguk resah. "Kami akan mengerahkan tim pencari terbaik."
"Kuserahkan kepadamu, Uchiha-san."
—
—
Ketika Haruno Sakura terbangun, dia mendapati dirinya menatap langit-langit ruangan yang dicat hijau mint. Faktanya, seluruh ruangan itu berwarna mint menyejukkan, tetapi Sakura hampir-hampir tidak memperoleh ketenangan dari warna itu. Dia bingung luar biasa, kehilangan arah, dan bertanya-tanya barangkali begini perasaan banyak pasiennya ketika terbangun di ruangan yang tidak dia kenali. Namun, kebingungan itu dengan segera sirna. Dia kembali mengingat dengan jelas suara tawa mengerikan itu di telinganya; mendengar panggilan ketakutan putranya; mendengar dirinya sendiri berteriak, kemudian jatuh tak sadarkan diri.
Segera, Sakura melompat bangun dari tidurnya dan rasa pusing itu membuat pandangannya bergoyang. Tak satupun dia pedulikan. Dengan satu hentakan kuat, Sakura melepas jarum infusnya dan segera berlari keluar kamar. Pikiran Sakura langsung bekerja, menyusun berbagai cara untuk mendapatkan putranya kembali. Pikirannya bekerja berkilo-kilometer cepatnya, tetapi kegilaan yang telah bergelayut di tepian kesadarannya dengan mantap merangkak maju.
Sakura harus melakukan sesuatu. Dia harus mendapatkan kembali putranya sebelum kewarasannya benar-benar tandas tak bersisa. Namun sayangnya, Sakura tidak bisa menyelamatkan dirinya dari kegilaannya sendiri. Dia hanya mampu berlari melewati koridor-koridor rumit rumah sakit; tak memedulikan teriakan putus asa orang-orang yang dikenalnya dari belakangnya, putus asa mengejarnya, tetapi Sakura tidak dapat dihentikan. Kegilaannya tak bisa dihentikan. Dia tak kuasa dan hanya bisa berlari keluar, menuju suatu tempat tak tentu sebelum dia tak lagi memegang kuasa atas realitanya.
Namun pria itu—pria yang tengah menggenggam seluruh realitanya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya; pria yang tengah membawakan satu-satunya remidi untuknya; pria yang tengah berjalan timpang dengan sebelah mata tertutup dan darah mengalir dari sudut kepala, telah memulangkan kewarasan Haruno Sakura, membawakannya untuknya di tangan kuatnya.
Tidak ada yang pernah menduga justru pria itu yang datang menyelamatkannya. Sakura yakin dia hanya sekali bertemu dengannya, itu pun tanpa sempat mengetahui namanya.
Uchiha Sasuke, bisik seseorang tak jauh darinya.
Pria itu berjalan dengan langkah tersaruk, setengah menahan sakit di setiap langkahnya, tetapi kedua lengannya yang membopong putranya tak pernah goyah. Darah masih mengalir dari sudut kepala, mengalir melewati mata kanannya dan menodai kemeja putih lusuhnya yang carut-marut.
Tanpa daya, Sakura membiarkan paramedis lain mencoba membantu pria itu. Namun, Sasuke tidak memedulikannya. Anak lelaki dalam dekapannya masih ngotot bergantung kepadanya, seolah melepasnya sama dengan mati. Sakura tidak pernah menyaksikan putranya setakut ini sebelumnya. Sasuke terus berjalan mantap ke arah Sakura yang kini berlutut tanpa kekuatan di pintu masuk rumah sakit—sekujur tubuh gemetar oleh ketakutan, kegembiraan, dan keputusasaan.
Perlahan, kegilaannya menepi jauh.
Ketika akhirnya pria itu berlutut di hadapannya, Haruno Sakura bersumpah akan menuruti apa pun yang pria itu inginkan darinya. Ketika dia bicara, suaranya parau oleh kesakitan yang nyata dia rasakan. "Dia terus mencarimu," bisiknya. Melihat wanita itu gemetar di atas kedua lututnya, Sasuke mengulurkan lengannya yang lain yang tidak dia gunakan untuk menyangga Sousuke, dan membiarkan wanita tersebut menenggelamkan diri kepadanya.
Dan Haruno Sakura tidak pernah merasa sesempurna itu dalam hidupnya.
—
—
