Sore hari itu seperti biasa Holmes duduk di singgasananya sembari membaca koran dan menikmati secangkir teh hangat. Sinar matahari berwarna oranye menyelinap masuk melalui jendela yang dibiarkan terbuka, mempersilahkan angin untuk bisa keluar masuk dengan mudah. Di tengah keheningan, terdengar suara pintu yang dibuka dan ditutup dari kejauhan. "Nyonya Emily mengeluh soal perutnya lagi?" tanya Holmes yang seakan sudah mengetahui bahwa Watson lah yang masuk ke dalam rumah.
"Ya, namun satu-satunya yang bermasalah mungkin hanya kepalanya. Minggu lalu sudah kupastikan penyakitnya sembuh," jawab Watson.
"Itu akibat karena kau menghiraukan ajakan makan malamnya."
"Ya mau bagaimana lagi," Watson menggantungkan jas yang tadi dikenakannya. "Minggu ini aku akan pergi lagi ke Nottingham."
"Padahal baru sebulan yang lalu kau ke sana."
"Aku khawatir keadaan nenekku memburuk."
Holmes mengacungkan sepucuk surat dengan tangan kirinya sambil terus memaca koran. "Undangan pesta malam ini," jelasnya.
Watson yang penasaran segera mengambil surat itu lalu membacanya. "Kita akan datang?"
"Sepertinya tidak ada pilihan untuk menolak."
"Baiklah aku akan segera bersiap, sebaiknya kau juga!" Watson merebut koran dari Holmes yang seakan menempel dengan tangannya. Mereka sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti itu setiap hari. Watson menjadi pengingat akan segala sesuatu yang selalu Holmes abaikan. Meski Holmes menganggapnya sebagai seorang partner, namun kenyataannya Watson lebih pantas disebut sebagai seorang pengasuh. Ditambah lagi sudah tiga hari Nyonya Hudson pergi untuk berlibur ke rumah keponakkannya, sehingga Watson hanya bisa menghadapi tingkah aneh Holmes seorang diri.
Acara malam itu tampak sangat meriah. Banyak bangsawan dari mulai kelas rendah hingga kelas atas yang berkumpul di dalamnya. Seorang politikus bernama Kent Lydon lah yang menyelenggarakan pesta ini.
Beberapa orang yang tertarik akan keberadaan Holmes menghampirinya, dan mulai mengeluarkan ocehan yang tak lain hanya berupa basa basi semata. Sambil menikmati segelas anggur, satu persatu dari mereka memperkenalkan diri. Rudd Carlton, pria berbada gemuk, merupakan seorang kritikus yang hampir selalu menghiasi halaman pertama pada koran pagi. Sedangkan orang yang tampaknya memiliki hubungan sangat dekat dengannya bernama Ackerley Eboni, pemegang kuasa akan perusahaan percetakan di kota ini. Parker Osmond adalah orang yang paling memiliki dendam kepada Ebony karena sempat di kudeta dari jabatannya akibat aib tentang perbuatan korupsi yang dia lakukan menjadi berita hangat dalam koran pagi beberapa tahun lalu. Namun tampaknya sekarang dia sudah melupakan masa lalu dan memiliki usaha lain. Terakhir ialah Ilde Ashford, kepala polisi yang saat ini menjadi buah bibir masyarakat karena cara memimpinnya yang kurang disukai.
"Nikmat sekali anggur ini," Osmond berkata dengan gayanya yang menyerupai seorang kritikus makanan.
"Sacred Hill Shiraz Cabernet. Nama yang indah bukan, untuk anggur seenak ini," ujar Lydon yang baru datang sambil menggenggam segelas anggur.
"Salah satu dari koleksi miliku yang terbaik," Carlton menimpali perkataan Lydon dengan penuh rasa bangga. "Kapan-kapan anda harus berkunjung ke gudang ku jika ingin mencicipi anggur yang tidak kalah enaknya," tambahnya lagi.
Beberapa saat anggur milik Carlton tersebut menjadi bahan perbincangan, sebelum akhirnya Lydon mebuka topik baru dengan mulai menyapa Holmes, yang kini sedang termenung memegangi gelas anggurnya. "Tuan Holmes! Terimakasih anda telah datang."
"Saya yang harusnya berterimakasih, karena persediaan makanan di rumah hampir habis."
Lydon pun tertawa mendengar jawaban polos yang dilontarkan oleh Holmes. "Suatu kehormatan orang setenar anda bisa datang."
"Akhir-akhir ini nama Tuan Holmes selalu disebut-sebut orang, hingga namaku saja hanya bisa menempati halaman kedua dalam koran pagi," Carlton berkata sembari tertawa seorang diri.
"Mungkin jika semua anggota kepolisian memiliki kemampuan seperti anda kami tidak akan pernah kesusahan seperti sekarang," Ashford menambahkan.
"Masalah tahanan bernama Arsene Lupin yang kabur itu?"
"Ya. sepertinya kami terlalu senang karena orang yang selama ini kami cari bisa tertangkap."
"Padahal jika bisa menampilkan wajahnya yang misterius itu aku bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar," Ebony turut menyampaikan pemikirannya.
"Jangankan anda, kami pun belum sempat melihat batang hidung aslinya."
"Benar-benar orang dengan seribu wajah."
"Bagaimana menurut anda Tuan Holmes?"
Pertanyaan seseorang lagi-lagi memecahkan lamunan Holmes. "Hmm.. hal itu sangat buruk. sepertinya keberadaanku di halaman depan koran pagi akan terancam," ujarnya. Semua orang tertawa.
Seperti Holmes yang namanya mulai membahana, Arsene Lupin pun sama. Hanya saja dia bukan berada dalam posisi yang sama sebagai seorang detektif, melainkan terkenal karena kelihaiannya dalam mencuri barang. Beberapa hari lalu Lupin berhasil dijebloskan ke dalam penjara. Meski semua orang beranggapan mungkin saat itu dia sedang kehilangan keberuntungannya. Belum lewat satu hari pihak kepolisian menikmati uforia akan tertangkapnya sang buronan, Lupin kembali meninggalkan sel tahanan. Hal itu membuat Ashford murka.
Seusai pesta, Holmes sangat antusias untuk segera pulang. Saat hendak masuk ke dalam rumah, Watson mendapati sepucuk surat dalam sebuah amplot berwarna coklat muda dari atas lantai. Terpampang tulisan ' Teruntuk Tuan Sherlock Holmes. 221B Baker Street' pada sudut kanan atas amplopnya.
"Surat untuk mu," Watson memberikan surat itu kepada Holmes lalu mengunci pintu. "Jarang sekali ada surat yang datang."
Tanpa sempat melepaskan mantelnya, Holmes membaca surat itu sambil berjalan. Tiba-tiba dia terdiam dan tersenyum. "Sepertinya aku akan sibuk beberapa hari kedepan." Setelah diam beberapa detik, dia meneruskan penjelasannya, "Ada yang ingin beradu kemampuan denganku."
"Siapa?" tanya Watson dengan penuh rasa heran.
"Arsene Lupin."
