Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
Fluffy lagi. XD
.
Yosh, I will survive!
Dozo, Minna-sama~
.
Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi.I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.
Warnings: AR, boys love/shounen-ai, OOT, OOC, fluff, cliché, typo(s).
.
Special backsound: Echo by SNSD
Saya sudah memberikan warnings. Jadi, jika ada yang tidak disukai, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. ;)
.
Have a nice read! ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Secarik purnama di balik tirai jendela menunjukkan malam kian menua.
"Kouki."
Furihata berguling ke samping kiri.
"Kouki."
Furihata mengubah posisi tidurnya lagi dengan putaran ekstrim ke samping kanan.
"Kouki."
Akhirnya ia kembali ke posisi semula, terlentang menghadap langit-langit ruangan yang remang. Penerangan satu-satunya hanyalah secercah sinar purnama dari kisi-kisi jendela. Bahkan suara anjing chihuahua yang biasa menggonggong tengah malam tidak terdengar.
"Kouki."
Furihata menarik bantal untuk menutupi kepalanya. Berusaha memblokir suara yang terus terngiang dramatis menginvasi ruang pendengarannya. Berupaya membuat dunianya kakofoni dari segala getar yang memvibrasikan namanya dengan cara yang membuat jantungnya berdetak kencang menyaingi tik-tok jam wekernya.
"Furihata … Kouki."
"AAAARRGHH!"
Jeritan frustasi teredam bantal.
Suara Akashi Seijuuro konstan menggema di benak Furihata Kouki.
.
#~**~#
A Kuroko no Basket Fanfiction,
.
Echo
.
Chapter 1
"Echo in My Mind"
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
"Aku tidak mau ikut, Kuroko—"
"—kau diminta mengawasiku dan Kagami-kun supaya tidak berbuat aneh-aneh oleh Kantoku."
"Ka-kalian bukan anak kecil yang harus kuawasi lagi. Kenapa tidak tolak permintaan Kantoku saja, sih?!"
"Oi, Furi, biasanya juga kau ikut kami ke reuni Kiseki no Sedai juga tidak apa-apa."
"Kagami, aku mau pergi menemani Ibuku ke belanja pasar—"
"Sejak kapan kau jadi anak berbudi luhur, Furihata-kun?"
"—err, aku mau bermain dengan anjing Chihuahua tetangga. Dia menggonggong terus semalaman sampai kelelahan, mungkin sekarang dia radang tenggorokan, jadi—"
"—siapa peduli dengan Chihuahua tetanggamu, eh?"
"Tu-tunggu, ke-kenapa tidak gantikan aku dengan Fukuda atau Kawahara?!"
"Karena di antara kalian bertiga, hanya kau yang sering ikut menemaniku dan Kagami-kun ke reuni Kiseki no Sedai."
"A-a-aku harus mengerjakan tu-tu-tugas sekolah. La-lagipula nanti ketika kalian reunian, aku ditinggal kesepian seorang diri!"
"Jangan berbohong. Kita kan sudah mengerjakan tugas bersama-sama. Kau senang mengobrol dengan Momoi-san dan Kise-kun, bukan? Bahkan Akashi-kun saja cukup sering berbicara denganmu."
"Come on! Kenapa kami harus menarikmu seperti orangtua membujuk anaknya yang mau bolos sekolah, Furihata?!"
"Lepaskan aku, Kuroko, Kagami!"
Seorang anak yang baru saja keluar dari restoran hidangan cepat saji itu menarik tangan sang ibu. "Mama, apa yang mereka lakukan?"
Wanita itu menggamit tangan putranya, menjauh dari keributan konyol di depan Maji Burger. "Mungkin mereka bertengkar merebutkan pacar."
"Tapi ketiga kakak-kakak itu lak-laki, Ma."
"Entahlah, tidak usah dipikirkan. Ayo kita pulang, Sayang!"
Selepas kepergian sepasang anak yang masih menoleh kebelakang memerhatikan tiga pemuda seolah mereka berakrobat dan bukannya memesan burger atau vanilla shake beserta sang ibu, seseorang datang—berganti menatapi trio Seirin itu dengan siratan gagal mengerti sirkumstansi.
"Apa yang terjadi? Kasihan Kouki ditarik-tarik seperti robot mainan begitu, Tetsuya, Taiga."
Trio Seirin tersebut statis sejenak. Sebelum Furihata makin belingsatan mencoba melarikan diri. Kagami dan Kuroko terkejut, tak menyangka Furihata kerasukan kekuatan darimana untuk menyentak cengkeraman mereka. Meski aksinya amat luar biasa—layaknya anak akan diculik oleh gembong muchikari lalu dijual ke pasar gelap namun berhasil meloloskan diri, Furihata terbelit tali sepatunya sendiri yang tidak diikat dengan benar. Langkahnya terjengkang, ini menyebabkannya tersusruk ke depan, pada presensi yang menginterupsi keributan trio Seirin dan sigap mengamankan Furihata dalam rengkuhannya sebelum mencumbu mesra bumi dengan wajah terlebih dahulu.
Furihata nyaris mempermalukan dirinya sendiri di muka publik, tepat di depan pintu masuk Maji Burger.
"Kau baik-baik saja, Kouki?" Bibir Akashi tepat di telinga yang tertutupi surai kecoklatan.
Furihata menangis dalam hati, memaki-maki dirinya sendiri. Ruang pendengarannya mengadakan pesta meriah dalam hatinya yang berkhianat dari rasionalitas pikirannya, merayakan suara sang emperor yang mengalun memanggil namanya. Ini gila.
"A-aku … o-oke." Entah dapat kekuatan darimana Furihata dapat berdiri tegak lagi, menyembunyikan keruh mimik wajahnya yang memanas di balik serakan poni sewarna bumi.
Kerutan samar muncul di kening yang dihamburi helai-helai merah. Akashi tahu Furihata jelas tidak baik-baik saja. Furihata menghindari berpandangan dengannya bahkan gelagatnya saat ini jelas mengintensikan niatannya untuk kabur dari hadapan Akashi. Diliriknya penyebab Furihata nyaris terjatuh.
"Ikat tali sepatumu dengan benar, Kouki."
Furihata segera jatuh berlutut untuk mengikat tali sepatu serapi-rapinya. Perkataan Akashi adalah absolut. Tapi dia menuruti perkataan Akashi bukan karena absolutnya sang emperor, melainkan karena dia tidak mau Akashi bicara dengannya lantas memanggilnya lagi.
"Kau sudah makan, Kouki?"
Furihata tak sengaja mengikat jarinya sendiri ke sepatu. Nyaris saja ia memutuskan jari telunjuknya sendiri dengan simpul mati di tali sepatunya. Dia mengangguk cepat-cepat merespon pertanyaan Akashi, bibirnya komat-kamit menderas doa semoga ia bisa menemukan cara untuk lolos dari semua kegilaan ini yang menguras sisa-sisa kewarasan dalam dirinya.
"Kami bertiga belum makan," sergah Kagami. Dia mengibas-ibaskan tangan, "Seseorang membuat kami kerepotan sampai tidak sempat makan siang dulu sebelum pertemuan Kiseki no Sedai," katanya sinis.
"Tapi tujuan kita ke Maji Burger juga makan, Kagami-kun."
"Kau jarang makan. Apa coba kenyangnya minum Vanilla Shake saja, Kuroko?"
Sepasang manik heterokromik membuat duo cahaya-bayangan Seirin tersebut bungkam. Akashi melirik Furihata yang berjengit mendengar perkataan Kagami, "Oh. Benarkah begitu, Kouki?"
Tuhan, sayangilah hambamu, Furihata Kouki yang menderita jiwa-raga karena namanya berulang kali disebut Akashi.
"A-a-aku ma-makan di ru-rumah sa-saja—"
"Ayo kita masuk ke maji burger, Akashi-kun. Kise-kun dan yang lainnya sudah menunggu."
Akashi mengulurkan tangan pada Furihata yang berkeringat parah hanya karena mengikat tali sepatu. "Kau ikut dengan kami, 'kan?"
Furihata bergeming menatapi uluran tangan tersebut. "Ta-tapi, masakan Okaa-san di rumah nanti—"
"Kau tidak mau?"
Kesalahan Furihata saat itu adalah ia mendongak melihat ekspresi Akashi. Tampak kecewa karena kepengecutan dirinya yang ingin kabur hanya demi menyelamatkan sisa-sisa rasionalitas dan jantung malangnya, terlebih tatapan ekspetatif dari sepasang manik heterokromik.
Orang ini benar-benar curang! Furihata menjeritkan distopianya dalam hati yang bergemuruh karena matanya terpaku pada sosok Akashi. Bagaimana bisa mantan Kiseki no Sedai tersebut memasang ekspresi selangka itu dan membuat ulu hatinya ngilu karena merasa beruntung dapat melihatnya?
"A-a-aku—" Furihata menundukkan kepala, meraih tangan Akashi yang terulur dalam genggaman untuk membantunya bangun, mencaci dirinya lagi karena begitu mudahnya luluh, "—ma-mana bisa menolak—" –mu.
"Bagus. Kau harus ikut. Aku tidak begitu tahu menu makanan junk-food seperti di Maji Burger. Beritahu aku, Kouki." Nada tersebut menitah absolut tak mau dibantah, Akashi menggamit tangan Furihata yang tertunduk penuh kekalahan masuk ke maji burger.
Kagami dan Kuroko ditinggal saling berpandangan. Mereka tidak luput menotis seringai modus Akashi saat melihat tingkah gelisah Furihata, ketidakmampuannya menolak perintah absolut emperor tersebut, serta ekspresi antagonis puas atas kemenangan karena sukses menggandeng Furihata tanpa penolakan berarti.
Sepasang cahaya dan bayangan tersebut bertukar high-five. Selamatlah mereka hari ini. Tidak ada petaka berupa gunting Akashi melayang karena mereka berhasil menyeret paksa Furihata untuk ikut reuni ini.
.
#~**~#
.
"Oi, Tetsu, kau bawa pengiring ini lagi? Apa kau dan Bakagami benar-benar butuh baby-sitter, heh?"
"Daiki, jaga bicaramu."
Aomine bungkam. Di bawah meja, Midorima menendang kaki tannya. Aomine melotot garang, Midorima dengan gerakan mata—bulu mata—tajam dan gerak samar bibir mengisyaratkan bahwa hari ini Furihata turut hadir lagi di reuni mereka bukan semata karena disuruh mengawasi Kuroko dan Kagami, tentu Aomine dengan daya pikir lamban di luar basket tak mengerti maksudnya.
Kise yang tadi sedang sibuk bergosip dengan Momoi, menyapa dua pasang pemuda yang datang sembari membawa baki berisi pesanan masing-masing. Murasakibara hanya bergumam, ia bertukar pandangan kompetitif dengan Kagami. Hari ini Maji Burger akan kehabisan stok burger karena ada trio pemuda rakus yang punya nafsu berlebih terhadap burger restoran tersebut. Disinyalir rambut para pelaku penghabis burger berwarna biru gelap, merah gelap, dan ungu.
Momoi memekik riang dengan memeluk Kuroko. Kali ini Furihata tidak lagi memaki dalam hati betapa beruntungnya kawan bayangannya tersebut dipeluk oleh gadis seseksi manajer tim Too itu. Ia sedang khusyuk merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya diseret oleh Kuroko dan Kagami, kemudian luluh karena ekspresi langka seorang Akashi Seijuurou yang merenggut seluruh oksigen di paru-parunya. Disesapnya Red Soda Float pesanannya dengan malas-malasan. Berhubung posisi duduknya kali ini di pinggir, persis sebelah Akashi, jauh dari temannya biasa mengobrol—Momoi dan Kise yang biasanya berbaik hati mengajaknya bercakap-cakap.
Furihata meraih sepotong kentang goreng, mengunyahnya perlahan. Dia jelas tidak bisa mengobrol dengan Murasakibara yang sedang berlomba menghabiskan burger dengan Kagami. Dia pun tidak berminat mengomentari kenapa Midorima membawa gitar padahal tidak bisa memainkan instrumen musik tersebut—pasti itu lucky item-nya hari ini. Ia jelas tidak akan mengobrol dengan Aomine yang entah membicarakan apa dengan Kuroko ditimpali Kise dan Momoi.
Sempurna. Ia tersepi seorang diri.
Menghela napas panjang, ia memilih untuk meraih ponselnya. Membuka fitur aplikasi game, memutuskan untuk memainkan permainan musik bernama Guitar Hero tanpa mengubah setting level Hard menjadi medium atau easy terlebih dulu. Furihata menggigit sedotannya, berjuang memainkan sebuah lagu dengan not-not balok melodi yang harus ia tuntaskan. Runtunan nada sumbang berkumandang dari ponselnya, jari-jari Furihata tak mampu mengikuti kecepatan not-not di layar apalagi mengharmonisasikannya dengan pijitan pada keypad ponsel.
Akashi melirik pada Furihata yang dari tadi diam saja—tidak seperti biasanya. Menundukkan kepala, bibir yang memerah itu—Tuhan bimbinglah hambamu ini agar tidak gelap mata untuk melumatnya—sibuk bergumam entah apa. Menggeser sedikit pandangannya ke bawah, Akashi mengintip kegiatan pemuda di sampingnya—sedang memainkan permainan di ponselnya. Selintas pandang terlihat cukup mudah, walau Akashi tidak pernah memainkan aplikasi game apapun selain catur atau shogi di ponselnya.
GAME OVER.
"Aaaargh." Furihata uring-uringan. Mendengus sebal, ia ngotot lagi memfokuskan diri untuk memenangkan game tersebut. Fukuda saja jago memainkannya, Kawahara pun tidak kesusahan saat memainkannya—dua sahabatnya tersebut yang meng-install game ini ke ponselnya. Berarti seharusnya dia juga pasti bisa. "Sekali lagi."
GAME OVER.
Melihat persistensi Furihata yang berjuang memenangkan game tersebut, Akashi menopang dagunya. Menikmati memerhatikan persona bertendensi pengecut itu ternyata bisa juga geram dan gemas demi meraih kemenangan. Ini sisi baru Furihata yang umum layaknya orang normal biasa yang baru Akashi ketahui. Mengingat orang-orang di sekitarnya orang luar biasa, Akashi tidak begitu mengetahui perilaku orang ordinari bagaimana.
GAME OVER.
Tapi mungkin, bila bukan Furihata, Akashi belum tentu mau memerhatikan orang tersebut dengan bibir mengurva enigmatis.
GAME OVER.
Furihata membenturkan kepala ke meja di sisi nampan berisi minuman dan kentang goreng. Jari-jemarinya keram menekan tuts-tuts ponsel hanya untuk menandingi player computer di game Guitar Hero. Dari konter Maji Burger yang terlihat agak sepi, ia menggeser kepalanya ke samping kanan. Mata coklatnya terbelalak lebar menemukan Akashi tengah menatapinya dengan senyuman geli merendahkan.
"Ke-kenapa ka-kau melihatku be-begitu?" Furihata menciut ketakutan, menyembunyikan wajahnya di balik gelas karton soda merah miliknya.
"Kau kalah sudah empat kali."
Harga diri Furihata terluka parah. Dia menggerung lemah, mengiyakan kenyataan yang disebutkan Akashi.
"Pe-permainannya sangat susah." Furihata mencomot kentang goreng, menggilingnya dengan gigi lamat-lamat untuk menurunkan temperatur udara yang menggumuli pipinya.
"Kelihatannya tidak begitu sulit," kata Akashi tenang.
"K-kan bukan kau yang ma-main." Berikan skor seratus bagi keberanian Furihata menanggapi perkataan Akashi seperti ini—karena inilah yang akan Kiseki no Sedai lakukan andai kata mereka punya papan bertuliskan angka seratus.
Tangan kiri Akashi tertadah. "Coba aku mainkan."
Furihata menggeser sedikit gelas sodanya, menemukan telunjuk Akashi bergerak seakan menantangnya. Entah kenapa dirinya cukup yakin Akashi tidak pernah memainkan game orang-orang biasa seperti ini, dan mungkin tidak akan terbiasa. Diliputi hesitansi, ia menaruh ponselnya di telapak tangan Akashi. Berusaha tak menghiraukan denyar aneh di dasar perutnya ketika mereka melakukan kontak fisik.
Akashi mengoperasikan ponsel tersebut. Mengecek setting di option game itu. "Kouki, ini setting levelnya Hard."
Furihata lekas menegakkan tubuhnya. Ia beringsut mendekati Akashi, turut melihat ponselnya. Dia mengeluh lagi. "Pantas saja, susahnya…" Diliriknya Akashi yang beralih meninggalkan setting game menekan kolom play. "Ti-tidak diganti e-easy saja levelnya?"
"Ini yang tadi kau mainkan. Aku bilang ini tidak begitu sulit, kalau kuganti levelnya sama saja aku menyalahi perkataanku sendiri," tanggap pemuda berambut merah yang memilih sebuah lagu rock up-beat.
Mata emperor sungguh berguna mengikuti hujanan not-not balok, bersinkronisasi dengan jari-jemari yang biasanya handal memainkan bola basket untuk menekan keypad ponsel Furihata. Melodi yang ritmis dan harmonis terdengar dari lubang speaker ponsel tersebut.
Furihata tergemap, menggeser kepalanya sedikit lebih dekat pada Akashi, memerhatikan baik-baik bagaimana Akashi melibas habis satu lagu tersebut tanpa ada nada miss. Begitu selesai, ia terkejut melihat jumlah skor not-not baloknya nyaris mencapai perfeksi. Hanya ada beberapa nada yang sedikit terlambat ditekan tergolong kategori bad. Selebihnya brilian. Lagi-lagi ia dibuat kagum oleh pemuda yang punya hobi memainkan shogi tersebut.
"Ka-kau sering memainkan game ini, A-Akashi?" tanya Furihata pelan.
Akashi memilih lagu berikutnya. Game memang adiktif. Mengangkat kepala, membiarkan saja jarak wajah mereka yang kini begitu dekat dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. "Tidak, pertama kalinya aku memainkan game ini. Cukup menarik."
Sejenak Furihata tercenung. Pertama kali. Pertama kali. Pertama kali. Frasa tersebut bergema mengerikan menginvasi benak pemuda malang tersebut.
"Kouki?"
'PERTAMA KALI, katanya?!'
Kiseki no Sedai yang sedang sibuk masing-masing terkejut ketika tiba-tiba Furihata beranjak dari kursinya dengan airmuka keruh nan lesu.
.
Tsuzuku
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Jadi, Furihata biasa ikut hang-out Kisedai. Terus Akashi juga baik-baik aja dengannya. Terjadilah development feelings seperti chapter 1 ini.
Ini fic fluff, kok. X") /lah terus Furi di atas kenapa dong/
Mampir juga ke fic saya yang lain, ya. ;D
.
And see you latte~
. Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^
.
Sweet smile,
Light of Leviathan
