"Growing Up With Akatsuki"
Oleh Ryuku S. A .J
Semua karakter disini adalah fiksi, milik Kishimoto Masashi.
Bila ada kesamaan pada jalan cerita, mohon di pahami bahwa fanfiksi ini bukan hasil MENIRU.
"Sakura, kami akan pergi sebentar. Kami janji kami akan kembali."
Saat itu, aku percaya. Bahwa kedua orangtuaku akan kembali, seperti janji mereka.
Aku menunggu dan menunggu.
Tapi mereka tak pernah kembali.
Yang menemaniku hanya sebuah kalung bunga sakura yang mereka berikan padaku.
Aku percaya…
Sampai detik ini aku masih percaya…
"Mental Sakura Haruno ternyata lebih kuat dari yang kita duga."
"Memang itulah yang aku harapkan dari seorang putri Hokage."
"Namun, kita harus tetap waspada. Sakura masih menjadi incaran musuh yang berkeliaran diluar sana."
"Maka dari itu, aku sudah siapkan tempat dimana Sakura bisa tinggal dan hidup secara aman. Aku juga ingin Sakura tetap mendapat pendidikan genin disini."
Ucapan Sandaime Hokage menutup diskusi dengan tetua desa diiringi dengan bantingan pintu yang cukup keras. Sandaime Hokage sesungguhnya tidak berniat seperti itu. Tetapi tiap kali ia berdiskusi tentang keadaan desa pada para tetua, mereka selalu menunjukkan sikap tidak perduli pada warga desa dan hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Maka dari itu, lebih baik mengakhiri diskusi tersebut daripada harus memicu penyakit jantungnya.
"Aku harap Jiraiya membawakanku lebih banyak buku 'itu'."
.
"Mmm, Kakashi-sensei kita akan pergi kemana?"
"Tenang saja Sakura! Senseimu ini akan membawamu bertemu dengan Hokage-sama! Ayo kita berjalan kesana dengan penuh semangat! Semangat muda!"
Sakura memiringkan kepalanya. Melihat tingkah aneh Senseinya ini hanya bisa membuat kepalanya pusing. Entah mengapa sifat Kakashi malah bertolak belakang dengan sifat Guy, padahal tampang Kakashi lebih meyakinkan daripada tampang Guy.
"Apa aku berbuat salah sehingga Hokage-sama memanggilku?"
Kakashi yang tengah berpose ala burung Flamingo itu pun terkesiap dan terdiam sejenak mendengar pertanyaan Sakura, "Sepertinya bukan itu Sakura. Bagaimana aku harus menjelaskannya…"
Lelaki bermasker itu berpikir serius selama beberapa menit namun kemudian, berubah menjadi heboh kembali, membuyarkan pikiran Sakura kecil.
"Apapun yang terjadi, Sensei akan selalu ada disampingmu! Kau tidak perlu khawatir Sakura!"
Yah, setidaknya ucapan Kakashi menenangkan Sakura sedikit. Sakura menganggukkan kepalanya, tersenyum riang ke arah Kakashi.
"Baiklah, Sensei!"
Kakashi dan Sakura pun berjalan bersama menuju kantor Hokage. Mereka berdua bercerita tentang segala hal. Mulai dari Kakashi yang pamer push-up 500 kali sampai lari keliling desa 300 putaran. Namun, ia mengeluh karena rekornya itu masih bisa dikalahkan oleh Guy. Mereka terus bercerita sampai akhirnya cerita mereka terhenti karena nama mereka di panggil oleh suara yang sangat familiar.
"Hokage-sama!"
Sakura kecil berlari menuju Sandaime Hokage dengan senyum senang di wajahnya. Seiring dengan jarak yang mengecil, Sakura berhenti berlari ketika ia melihat 3 sosok asing berjubah aneh berdiri disamping sang Hokage. Sakura segera berlari bersembunyi di balik jubah sang Hokage.
"Umm…"
"Haha! Tenang Sakura, mereka ini bukan orang jahat. Mereka adalah organisasi khusus yang bekerja langsung dibawah pengawasan para Kage dari berbagai desa."
Mendengar penjelasan Sandaime Hokage, Sakura merasa tenang dan tak takut lagi memandang 3 sosok misterius itu. Ia pun berjalan ke samping Hokage Ketiga, membungkukkan badannya kepada 3 sosok itu.
"Namaku Sakura Haruno."
Kakashi pun menyusul Sakura. Sesampainya ia disana, ia melambaikan tangannya kepada 3 sosok itu.
"Yo, Akatsuki!" Seru Kakashi. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan penuh semangat tak lupa disertai dengan mata berapi-api.
"Sensei kenal mereka?"
"Tentu saja! Mereka adalah saingan beratku juga!" Ucapnya percaya diri.
"Kau hanya mengaku-ngaku, Kakashi."
Akhirnya salah satu dari mereka membuka suara. Suara berat itu berasal dari pemuda yang berada di tengah, berambut jabrik berwarna oranye. Ia melemparkan senyum ejek pada Kakashi sambil melipat tangannya di depan dada.
"Ah! Dasar kau Yahiko tidak punya jiwa muda!"
"Ehem. Panggil aku Pain, tolong. Dan tentu saja aku punya jiwa muda, dasar aneh."
"Kalian sudahlah."
"Pain, ada Hokage-sama disini."
"Bikin malu saja."
Sakura terkikik mendengar acara debat mereka. Melihat Sakura, mereka semua tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut tertawa bersama dengan anak yatim piatu tersebut.
.
"Akatsuki secara khusus ku pinta untuk datang kesini untukmu Sakura."
"Eh?"
Sandaime Hokage membuka sesi tersebut. Sakura tampaknya tidak mengerti dengan apa yang baru saja Hokage tua itu katakan, "Maksud Hokage-sama?"
"Setelah kepergian orangtuamu, kami khawatir kami tidak akan bisa mengawasi atau melindungimu dengan baik. Maka dari itu, Akatsuki yang notabene kelompok khusus pelindung desa-desa kuminta untuk merawatmu hingga kau dewasa. Hingga kau siap untuk hidup sendiri dan melindungi dirimu sendiri. Lalu kau jangan cemas Sakura. Aku juga sudah membicarakan ini pada tetua serta para Kage dari berbagai desa. Mereka sangat setuju. Aku yakin dengan didikan para ninja hebat ini, di masa depan kau bisa menjadi ninja yang kuat dan luar biasa." Jelasnya. Keadaan hening seketika. Sakura menunduk, terlihat sedih. Dan Kakashi hanya bisa mengusap lembut kepala Sakura kecil.
"B-Baiklah."
Raut wajah Sakura menunjukkan kalau ia kurang nyaman dengan pemberitahuan ini. Ia tidak bisa bayangkan harus tinggal dengan orang asing yang tak pernah ia temui sebelumnya. Konan merasakan itu. Konan perlahan menghampiri Sakura, berlutut dihadapan gadis kecil itu.
"Tenang saja, Sakura. Kami akan merawatmu dengan baik. Kami tidak akan meninggalkanmu. Kita akan menjadi sebuah keluarga dan jangan khawatir. Perlahan kami pasti akan menambah jumlah kami sehingga kau tidak kesepian." Ucap Konan sambil tersenyum. Ia kemudian mempraktekkan jurus origaminya pada Sakura. Kertas lipat itu dengan cepat berubah menjadi bunga sakura, sama seperti kalung yang di pakai oleh Sakura.
"Ah… dan kau akan tetap masuk akademi ninja tahun depan. Kami akan mengantarmu secara bergantian. Oke?" Kali ini Pain yang berlutut dihadapan Sakura. Nagato, pemuda berambut merah itu juga melakukan hal yang sama. Ia menyodorkan jari kelingkingnya. Hal klise untuk mengikatkan sebuah janji.
"Terimakasih sudah mau merawatku!"
Sehari setelah pertemuan singkat itu, Trio Akatsuki kembali menjemputnya. Tak banyak yang mengetahui bahwa Sakura secara langsung telah diserahkan pada Akatsuki.
Hari itu adalah hari dimana hidup Sakura yang sepi sendiri telah pudar. Ia akan hidup bersama para anggota Akatsuki. Yang tentunya bisa membuat hidupnya lebih berwarna di kemudian hari.
Aku masih ingat hari itu.
Hari dimana mereka menjadi keluargaku yang baru.
Aroma lantai dan dinding yang lembab…
Aku masih bisa mengingatnya dengan baik.
"Apa ini rumah kalian?"
Pain, Konan, Nagato dan Sakura sampai tepat di depan gua besar yang gelap gulita. Sakura lagi-lagi merasa tidak nyaman dengan hal ini. Ia tidak menyangka kalau tempat tinggal barunya akan seaneh ini. Belum lagi ia harus menghadapi kenyataan lain dimana letak rumah barunya ini berada di tengah hutan belantara dimana ia yakin bahwa tidak ada satu manusiapun yang tinggal di sekitar sini.
"Sakura, pernah dengar istilah jangan menilai buku dari sampulnya? Ayo, ikuti aku dan akan ku perlihatkan semuanya." Nagato dengan inisiatifnya , menjulurkan tangannya kepada Sakura. Sakura tanpa ragu menyambut tangan dingin itu dengan anggukan kecil. Mereka berempat berjalan menyusuri lorong gelap tersebut.
Tak ada pencahayaan sama sekali. Tapi Sakura tidak takut, karena Pain, Nagato dan Konan sudah berjanji tidak akan meninggalkannya. Seiring perjalanan, Sakura menggenggam erat tangan Nagato. Tangan kecil itu sepertinya malah membuat wajah Nagato memerah sendiri. Ia memang bermimpi untuk membina sebuah keluarga kecil yang harmonis. Namun takdirnya sebagai ninja terpilih membuat ia harus berpikir dua kali untuk mewujudkan mimpi itu.
"Ah… disini." Ucap Nagato sambil menoleh kepada kedua rekannya. Pain dan Konan mengangguk. Kemudian mereka bertiga membentuk jemari mereka, melakukan jurus yang Sakura tak ketahui apa itu.
Tak lama kemudian, dinding gua membentuk pintu. Secara perlahan pintu-pintu itu bergeser, memperlihatkan apa yang ada di dalamnya. Setelah semua pintu itu terbuka, Sakura menatap kedalam dengan mata berbinar-binar. Sungguh ruangan yang cantik dan besar. Rapih dan wangi. Warna coklat kayu menjadi lantainya dan wallpaper bergambar bunga dengan bermacam bentuk membuat Sakura semakin bergumam takjub.
"Hmm? Ini kamar Konan."
"Segel ini tembus kemana-mana huh?"
"Yahiko jangan buka lemari pakaian dalamku."
Peringatan Konan membuat Pain secara cepat menutup lemari pakaian dalam Konan. Si Jabrik ini beralasan ia sedang mencari kenop pintu.
"Mmmm… apa aku punya kamar sendiri?" Tanya Sakura. Konan dan Pain tersenyum hangat dan mengangguk.
"Tentu saja! Kau punya kamar sendiri, Sakura."
"Mari, ku antar kau kekamarmu. Biarkan Nagato menyelesaikan urusan segel-menyegelnya sendiri."
Nagato mendesah kesal ketika Konan, Pain dan Sakura pergi meninggalkan mereka.
"Apa segel itu perlu?"
"Sangat perlu. Markas kami tidak boleh diketahui oleh siapapun. Mereka mungkin menemukan gua ini tapi mereka tidak akan menemukan jalan masuk kesini."
"Kalau kau sudah siap, kami akan mengajarimu tentang segel itu Sakura."
Sakura mengangguk senang. Betapa bahagianya ia hari ini. Dibenaknya pun terbesit seperti apa hidupnya nanti ketika ia beranjak dewasa.
"Kamarku jauh juga…"
"Sebenarnya di markas ini banyak ruangan. Tapi yang paling penting adalah ruanganmu dulu. Setelah kau tau ruanganmu, kau bisa menjelajah markas ini sesuka hatimu. Tapi awas, kemungkinan untuk tersesat diatas seratus persen."
"…" Sakura bergidik ngeri. Untung saja lorong markas tak segelap gua yang ia lalui barusan. Gadis kecil itu mengenggam tangan Konan dan Pain. Si kecil ini berjalan ditengah dan lagi-lagi genggamannya itu membuat wajah Pain dan Konan memerah. Mereka berdua pernah berencana untuk menikah, namun karena mereka memikirkan perasaan Nagato, mereka mengurungkan niatnya dan memilih untuk menemani Nagato dalam Akatsuki.
"Ini kamarmu, Sakura." Ucap Pain sambil membukakan pintu untuk Sakura. Ruangan itu kecil namun nyaman. Hijau pada lantai dan pink pada dinding dengan corak bunga sakura sebagai pelengkap. Di atas tempat tidur Sakura, tersusun rapih boneka-boneka imut yang berukuran cukup besar.
Sakura segera berlari dan menempatkan tubuh mungilnya di atas kasur yang empuk itu. Ia memeluk erat salah satu boneka yang ada disana. Tersenyum riang pada Konan dan Pain.
"Terimakasih! Aku janji aku akan menjadi anak yang baik dan akan belajar dengan benar tahun depan! Terimakasih! Terima-hiks-kasih." Dan tanpa ia sadari, ia mulai menangis. Tangisan bahagia. Konan menghampiri dan memeluknya erat. Pain berada di sudut pintu, terharu dan ingin menangis juga.
Kini Sakura tak lagi sendiri. Sakura tidak akan merasakan kesepian dan kesedihan itu lagi. Jikala ia kembali merasakannya, maka ia bisa berbagi kesedihan itu kepada keluarganya yang baru.
Aku masih ingat saat dimana Konan-neechan memelukku dengan eratnya tiap kali aku menangis teringat dengan orangtuaku.
Aku masih ingat ketika Yahiko-niisama merawatku ketika aku demam.
Aku masih ingat ketika Nagato-niichan harus menggendongku kembali kekamarku setelah tertidur dengannya…
Aku masih ingat saat-saat dimana kami bertiga menghabiskan waktu bersama.
Aku masih ingat ketika aku harus kesepian ketika mereka pergi menjalankan tugas.
Dan aku masih ingat ketika mereka kembali dengan sejuta oleh-oleh untukku…
Bersambung. Chapter selanjutnya : Sasori
Curhat Author :
Hai! Setelah tidur panjang akhirnya saya bisa membangkitkan 'nafsu' saya untuk kembali membuat fanfiksi.
Mengapa saya mengambil tema dunia RTN? Karena kita semua tau kalau Naruto sudah tamat dan masing-masing karakter sudah berkeluarga. Nah, saya sendiri masih penasaran tentang "Gimana ya kalau Sakura yang di dunia sana?"
Akhirnya saya membuat jalan cerita RTN menjadi sebuah fanfiksi. Berhubung saya masih mempair Akatsuki x Sakura, jadi saya ambil celah ini untuk tetap memasangkan Sakura dengan anak-anak Akatsuki.
Oke. Terimakasih atas kesudiannya telah berkunjung di fanfiksi saya!
Much Love, S. A .J
