Pulang

Taemin tidak tahu bahwa 'sebentar saja' yang disebutkan oleh Jongin dapat memakan waktu pulangnya sebanyak dua jam. Setelah tetangga kubikel-nya yang hobi merengek itu minta diajari menggunakan aplikasi penyunting video—yang entah untuk alasan apa, Taemin tidak ingin membuang waktunya lebih banyak—dirinya kini menyesal tidak melemparkan pemuda itu kepada Jinki hyung saja, atau pada Kibum hyung sekalian biar bisa mendapat omelan.

Bagaimanapun, ia memang terlalu berhati malaikat untuk Jongin yang keras kepala.

Langit sudah terlanjur menggelap kala dirinya berhasil meyakinkan Jongin bahwa komputer jinjing itu tidak akan meledak hanya karena mengarahkan kursor pada perintah yang salah, bahwa si operator dapat selalu kembali ke keadaan awal dan semua akan baik-baik saja. Terbirit-birit menuruni tangga, Taemin juga harus rela berlarian menuju halte untuk mendapatkan bus, bahkan sengaja berdiri pada pegangan yang paling dekat dengan pintu agar bisa langsung keluar setelah sampai.

Sejujurnya, Taemin adalah tipikal yang mengkhawatirkan banyak hal. Tentang seberapa jauh jarak tempat tinggalnya terhadap kantor bila dihitung dalam satuan meter—tidak, kilometer saja agar angkanya bisa lebih kecil. Tentang kecepatan laju bus yang ia tumpangi bila ditambah dengan beberapa lampu merah dan beberapa titik macet yang berprobabilitas menghambat jalan. Yang paling utama adalah tentang jarum pada arlojinya; sulit untuk berhenti memindah posisi ke kanan. Serius, Taemin sungguhan memelototi benda perak itu secara harfiah hanya demi membuatnya berhenti. Tetapi benda itu menolak untuk menurut dan Taemin hanya mampu mendengus sebal.

Tepat ketika supir menginjak pedal rem dalam tempo yang panjang, Taemin segera melesat keluar tanpa memedulikan bahu-bahu yang ia tabrak.

Meski peluh berceceran, mengalir masuk ke kelopak matanya hingga membuat perih, Taemin hanya peduli pada dasi yang dilepas dan apron yang menggantikan setibanya ia di apartemen. Klotak renyah dari pisau beradu bersama talenan, buih air mendidih, dan desis daging di atas teflon serta-merta memenuhi dapur kecilnya secara spontan. Taemin baru menyadari satu hal dalam dirinya yang selama ini lebih sering diacuhkan, yaitu mahir dalam soal dikejar waktu.

"Akh!"

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh masih belum menjadi kiasan yang basi. Jarinya teriris dan ia mengumpat sebelum menghisap darahnya cepat. Buru-buru membuka kotak obat untuk menemukan selembar plester, sebab ia tak punya cukup waktu untuk membasuhnya dengan alkohol. Dan, pemanggang sudah keburu mengeluarkan bunyi ting yang ringan. Taemin tak punya pilihan selain melilit plester sembari menggerakkan tungkai.

Daging panggang, sup tomat, nasi, dan seloyang pai berlomba-lomba memenuhi meja makan dengan kepulan asap empat puluh menit kemudian. Taemin tersenyum haru. Memandangi hasil masakannya dalam rekor tercepat seperti sedang mengasihi anak bayi; bangga dan penuh harap. Tinggal menata piring, gelas, sendok, sumpit, dan semuanya beres. Mungkin tambahan jus jeruk juga oke. Ia ingat masih menyimpan satu botol lagi di dalam kulkas.

"Nah, benar, kan."

Setelah menuangkan cairan kuning itu ke dalam masing-masing gelas, ia berencana melepaskan apron dan pergi mandi.

Ting tong~

Oh, atau sudah terlalu terlambat untuk mandi?

Buru-buru Taemin meletakkan botol, mengelap telapak tangannya secara asal dan berlari kecil menuju pintu. Daunnya membuka, memperlihatkan sosok dalam balutan jas yang masih terlihat tampan meski lelah dan kantuk jelas menggantung di kelopak mata. Ujung bibir Taemin otomatis terangkat naik.

"Selamat datang!" sambutnya ceria. Kedua lengan telah terbentang, bersiap untuk memberikan pelukan, hanya untuk dihentikan oleh pemuda di depannya dengan sebelah tangan yang menahan bahu.

Taemin mengernyit bingung. Wajah itu dalam sekejap sudah mengambil posisi tepat di depan miliknya tanpa ba-bi-bu. Kedua mata selebar milik kodok itu ikut-ikutan menjadikannya objek pengamatan yang meraup seluruh perhatian. Ia tidak bisa untuk tidak meringis.

"Kau… baru pulang?" akhirnya belahan bibir itu menghasilkan suara ragu.

Taemin terkekeh menggaruk tengkuk. "Ya, tadi ada sedikit masalah di kantor." Jawabnya, sedikit bergumam karena pada dasarnya sangat payah dalam membuat alasan. Ia lalu menambahkan dengan lebih percaya diri, "Tapi, makan malamnya sudah siap, kok. Pai apel-nya juga. Kau bisa makan duluan sementara aku pergi mandi."

Mungkin mata Taemin sudah minta dibelikan kacamata rabun, sebab ia seperti melihat pemuda itu mengusapkan ibu jari di pipinya dengan senyum yang agak sedih. Ia melirik dan hanya mendapati serbuk putih berjatuhan dari tempat yang baru saja diusap, mungkin tepung Taemin mengira. Namun, gagal mengira bagian mana dari tepung yang membuat pemuda matahari itu bisa tiba-tiba menjadi murung.

Pemuda itu menegakkan badan. "Aku jadi merasa bodoh. Berpikir akan mampu memberikan balasan, padahal kau sebaik itu." Seikat bunga mawar merah, secara ajaib, muncul dari persembunyiannya di balik punggung ke depan hidung Taemin. Taemin dapat mencium wangi harumnya dengan begitu jelas, dan ia hanya mampu terperanjat kebingungan mencari kata-kata dalam otaknya. "Maksudku… kau memberikanku segalanya dan aku hanya membalasnya dengan bunga—"

"Minho, ini manis sekali." pekik Taemin tertahan. Di dalam kepala seorang pengusaha muda yang sesak akan berkas dan rapat, Taemin tak pernah mengira bahwa sebuah gagasan untuk membelikannya seikat bunga masih sempat terselip disana. Ini tentu membuatnya ingin menangis.

Atau mungkin sudah, sebab ibu jari itu kembali mengusap pipinya dengan lembut. Tangan yang lain mendorong lehernya dari belakang, mau tidak mau menabrakkan hidungnya pada pundak yang hangat. Puncak kepalanya dikecup dan diusap. Taemin tidak mungkin tidak membalasnya dengan melingkarkan lengan di pinggang pemuda itu erat. Sangat erat. Khawatir longgar sedikit saja bisa lepas.

"Kau suka?" tanya suara berat dari atas kepalanya. Memberikan deru napas hangat yang sudah tidak mengejutkan lagi begitu menenangkan.

Taemin mengangguk tanpa ragu. "Suka sekali." Sebuah cicitan dan satu sedotan ingus yang menyertai. Kekehan pelan meresponnya bersama kecupan lagi pada puncak kepala. Ia agaknya ingin protes ketika tubuhnya sedikit dijauhkan, tetapi memilih tidak mengatakan apa-apa sebab senyuman cerah, secerah yang suka membuat matahari pagi iri itu tampaknya sudah kembali bersarang sebagaimana mestinya.

"Kalau begitu, ayo, kita makan."

"Kau yang makan dan aku akan mandi."

"Kita makan lalu mandi bersama-sama terdengar jauh lebih baik."

Taemin bergumam sebelum mengatakan, "Menurutmu begitu?"

Tidak ada anggukan. Tetapi bahunya yang sengaja diputar menghadap ke arah berlawanan, suara pintu yang ditutup, bersama dorongan dari belakang untuk melangkah ke meja makan dirasanya sudah menjadi sebuah jawaban 'ya'. Taemin mana mungkin tidak ikut berpikiran hal yang sama.