Disclaimer : I Don't Own Code Geass

Warning : AU, Typo, Maybe OOC

.

.

.

Please, Go Away...

Pairing : Kallen & Gino

Author : Nakki

.

.

.

Chapter 1: Awakening The Hurts


Aku tidak pernah percaya akan bertemu dengannya setelah lima tahun berlalu sejak hari itu. Dia masih memiliki senyum yang sama, sikap ceria yang sama, keramahan yang sama, bahkan rambut pirangnya, tinggi tubuhnya, warna kulitnya, semua tetap sama, seolah tidak pernah ada jenjang waktu yang terbentang selama ini. Seolah hanya aku yang melewati alur waktu, seolah dia hanya bergerak di poros yang ia ciptakan sendiri.

Melihat sosoknya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, dan bukan pula menyedihkan untukku. Hanya saja semuanya terasa begitu salah. Bahkan rasa sakit dalam hatiku seperti meyakinkanku bahwa aku tidak seharusnya berada di waktu ini, bahwa aku salah menjejakkan kakiku, bahkan salah menapaki hari-hariku.

Sebenarnya siapa yang memasuki hidup siapa?

Bukankah dia yang telah membuangku lima tahun lalu?

Ya, Gino Weinberg.

Aku tidak pernah menyangka akan kembali bertatapan muka dengannya, melihat warna matanya yang dulu pernah menyilaukanku, tapi kini terasa begitu perih di hatiku. Sosoknya adalah bayangan masa lalu yang aku lalui dalam tawa dan senyum, namun berakhir dengan tangis kesedihan dan duka yang mendalam. Aku memerlukan waktu yang cukup lama untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak perlu terluka karena kepergiannya. Lalu sekarang aku kembali dihadapkan pada keadaan ini. Apakah Tuhan begitu ingin menguji keteguhan hatiku? Benarkan aku tidak cukup menguatkan diri selama ini, hingga masih perlu diuji kembali?

"Kallen!"

Aku tersentak dari pikiranku sendiri, Milly baru saja menepuk bahuku keras, terlalu keras malah. Dia tersenyum lebar padaku, dan aku membalas senyumnya, mau tidak mau aku juga memberikan senyumku pada Gino.

"Jadi kita akan berada dalam satu tim untuk pekerjaan ini, kau akan menjadi asisten Gino untuk melakukan semua riset produk. Aku dengan Suzaku. Apakah itu sudah cukup jelas?" ulang Milly lagi, dan aku mengangguk sambil melirik Gino sesaat, bersamaan dengan itu dia tersenyum lebar padaku, memberikan seringai cerianya.

"Kita satu tim, Kallen?" cowok berambut pirang itu menjulurkan tangan kurusnya padaku, aku ragu untuk menyambutnya, tapi sekali lagi aku yakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Selama ini aku bisa berdiri sendiri sekalipun begitu tersakiti karenanya, sekarang adalah waktu untukku membuktikan bahwa aku adalah Kallen Kouzuki yang kuat. Bukanlah perempuan cengeng yang bisa dengan mudah dikalahkan oleh perasaan bernama cinta.

Aku menjabat tangan Gino dengan mantap, penuh keyakinan. "Ok, aku akan kerjakan dengan baik, dan akan aku buktikan kalau aku bukan mental lembek, Manager!" kataku sambil mengguncang tangannya.

"OK!" dia mengangkat jempol tangannya yang bebas, aku membalasnya dengan senyuman.

Hah, sepertinya hari-hariku akan berat.

Cerita yang terjadi antara aku dan Gino lima tahun lalu… semua adalah cerita yang selalu aku berusaha kubur dalam-dalam, tapi sepertinya tidak akan pernah bisa.

Lima tahun lalu aku dan Gino sama-sama duduk di kelas dua sekolah menengah. Kami menjalin hubungan yang sangat indah sebagai sepasang kekasih, percintaan semasa sekolah yang begitu manis. Saat itu, Gino adalah cinta pertamaku, sekalipun aku yakin aku bukan yang pertama untuknya. Dia playboy dan terkenal suka sekali menebar pesona pirangnya. Awalnya aku selalu menolak ajakannya, bahkan menghindari setiap jurusnya untuk mendapatkanku, tapi akhirnya aku jatuh juga dalam pesonanya. Dua tahun hubungan kami berjalan dengan sangat baik, namun tiba saat kelulusan sekolah semua berubah drastic.

Perubahan bukan karena aku adalah cewek pertama yang bisa bertahan selama dua tahun dengan Gino, tapi karena perbedaan jalan yang harus kami pilih.

Saat itu… kami baru saja melewati saat-saat kelulusan kami dan setelah acara besar di sekolah, aku merayakannya bersama Ohgi, sepupuku dan Milly, bahkan ada Nina saat itu. Kami makan bersama di restoran Eleven.

Saat kami sedang makan dengan lahap, aku mendengar suara Gino dari belakangku. Aku mengenali suara riang miliknya, dan satu lagi adalah suara ayahnya. Yang menarik perhatianku adalah saat mendengar Gino menyebut namaku.

"Tapi aku tidak bisa, Ayah.. Sekalipun aku tidak mencintainya, aku harus tinggal bersamanya."

"Tidak bisa! Kau mau sampai kapan membiarkannya menjadi benalu dalam hidupmu. Kau harus mengejar cita-citamu, bukan malah tergantung pada satu orang perempuan seperti ini!"

"Tapi, Ayah-"

"Kau ingin menjadi penerus keluarga atau tidak?"

"Tentu saja aku mau."

"Karena itu sejak saat ini kau harus bisa menetapkan hati dan tujuanmu!"

"Itu memang benar…"

Aku ingin menutup telingaku saat itu juga, ingin membuat telingaku tuli, atau bahkan bila ini mimpi aku ingin segera terbangun dari semua ini. Tapi ini nyata. Aku menjejak lantai marmer restoran dengan kakiku sendiri yang gemetar hebat, merasakan sakit di ulu hatiku dengan nyata, bahkan mataku panas ingin meneteskan air mata. Aku memukul kepalaku keras-keras, ini yang selalu aku lakukan untuk mengalihkan perhatian, mencegah air mataku sendiri menetes.

Jadi selama ini aku hanya menjadi beban. Jadi selama ini aku hanya penghalang masa depan Gino. Dia berbeban berada di sisiku, tidak seharusnya kami menjalin hubungan ini. Aku salah karena telah menyangka hubungan ini baik-baik saja. Ia tetap saja playboy, tidak pernah mencintaiku, aku hanya dipermainkan perasaanku sendiri. Sudah cukup, sudah waktunya aku mengakhirinya. Selamanya aku tidak akan kembali berada dalam perangkapnya.

Aku berdiri, beranjak dari sepupu dan teman-temanku.

"Kallen, mau kemana?" tanya Nina dengan sorot mata bertanya. Aku tersenyum dan memberi kode dengan gerakan kepalaku pada meja di seberangku. Nina sempat menjulurkan lehernya agar bisa melihat tempat yang aku maksud. Dia hanya mengangkat alis tidak mengerti.

"Sebentar saja," kataku dalam bahasa bibir, dan mengerlingkan sebelah mata pada Milly agar tetap duduk manis di tempat.

"Dia kenapa?" Aku sempat mendengar Ohgi bertanya saat aku melangkah pergi dari meja kami.

Aku menarik napas panjang, melegakan hatiku dan menguatkan seluruh esensi dalam diriku.

"Ayah…" Gino berhenti bicara saat aku berdiri di hadapannya, matanya membulat sempurna karena terlalu kaget. Aku bisa melihat dia kesulitan bernapas saat membalas sorot mataku. Mata kami bertemu untuk beberapa saat, aku bisa melihat ketakutan di bola mata jernih miliknya.

"Selamat siang, Mr. Weinberg!" sapaku pada sosok kebapakan yang duduk di seberang Gino.

"Selamat siang," jawabnya canggung. Dia tidak membalas sorot mataku, terlihat canggung dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Gino. Aku hanya ingin menegaskan kembali, dan aku harap ini yang terbaik bagi semuanya."

Gino berusaha meraih tanganku, tapi aku mundur, menjauh darinya, mencegah sentuhan macam apapun darinya. Jika tidak maka niat dalam hatiku akan benar-benar runtuh. Hatiku tidak pernah rela melepasnya, karena ia yang pertama bagiku, dan yang paling menyakitkan tentu saja…

Aku menarik napas, memohon udara masuk lebih banyak ke paru-paruku, membantuku menenangkan debaran jantung yang memburu di balik rusukku.

"Aku tidak ingin menjadi benalu, jadi mulai saat ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Terima kasih sudah berada di sisiku selama ini, sangat terima kasih. Tapi kalau sekarang… sudah waktunya bagi kita untuk meraih apa yang memang ingin kita raih. Aku dengan pilihanku dan kau dengan cita-citamu. Kau juga bisa mencintai cewek lain yang tidak akan menjadi benalu bagimu. Apakah itu sudah cukup?" kataku tenang dan tegas.

"Apa maksudmu, Kallen?"

"Aku rasa semua sudah cukup jelas. Mulai saat ini kita jalan sendiri-sendiri. Sampai jumpa lagi,"

Aku membungkuk dalam pada Mr. Weinberg, memberikan salam hormatku pada sosoknya yang begitu terhormat.

"Permisi, dan selamat siang."

Aku mengakhiri kalimatku dengan santai, tidak ada beban. Ya, aku ingin sekali seperti itu.

Tapi pada kenyataannya aku begitu sakit.

Aku ingin kuat, tapi ternyata hatiku belum setegar harapanku. Tepat di hari Gino akan pergi ke luar negeri, aku berusaha mengejarnya, berusaha mencegahnya pergi dan meninggalkanku. Rasanya masih segar sekali ingatan itu dalam benakku, dalam hari-hari yang aku lewati hingga detik ini.

Aku berdiri di halte bis, menunggu bis yang akan mengantarkanku menuju bandara, untuk menghentikan Gino dan menyatakan bahwa aku tidak ingin ia pergi, kalau aku benar-benar mencintainya. Tapi saat aku sedang termenung menatap jalan, aku melihat sebuah mobil sedan silver berhenti melajut karena lampu merah, dan di kursi penumpang aku melihat sosok Gino dengan jelas. Dia menatap lurus ke depan, dan aku langsung tersentak dari tempatku. Berteriak memaggilnya, tapi mobilnya mulai melaju karena lampu sudah berubah warna dalam sekejap. Aku berlari mengejarnya, memanggilnya, tapi dia seperti tidak pernah mendengarku, seperti tidak pernah menyadari kehadiranku. Aku terus memanggil dan berlari seperti orang gila, hingga akhirnya aku tidak sadar aku berlari menyeberang jalan dan aku ditabrak bis yang aku tunggu.

Butuh satu tahun bagiku untuk bisa kembali berjalan, aku harus berada di kursi roda selama hampir dua belas bulan penuh karena kakiku yang hampir di amputasi. Sepanjang hari aku menangisi kebodohanku sendiri yang bisa jatuh cinta dan membiarkan diriku jatuh dalam jerat seorang Gino Weinberg, bahkan membuat diriku hingga terpuruk berada di kursi roda.

Percaya pada hal bernama cinta adalah kebodohanku. Jatuh cinta pada Gino Weinberg adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku dan seluruh hidup yang pernah aku lalui dengan Gino adalah kegagalan, dan aku berusaha untuk memperbaikinya.

Aku bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak lagi jatuh dalam lubang yang sama. Aku akan pastikan bahwa diriku sendiri tidak akan tergantung pada siapapun lagi. Aku bisa berdiri sendiri di atas kakiku. Aku tidak membutuhkan seorang kekasih, terlebih lagi Gino Weinberg.

Milly, Nina dan Ohgi, hanya mereka yang mengetahui kecelakaan naas yang aku alami. Aku meminta mereka untuk tidak mengatakan apapun pada Gino. Aku tidak akan mengemis padanya, karena pada kenyataannya dia memang ingin membuangku. Dia tidak pernah menganggapku seperti yang pernah aku bayangkan.

Sekarang, empat tahun setelah aku berhasil menata hidupku, Gino Weinberg kembali dalam hidupku.

Dia masuk ke perusahaan yang sama denganku, bahkan parahnya lagi dia menjadi managerku. Aku harus menjadi asisten yang baik baginya.

Bukankah dia ingin menjadi penerus keluarganya? Lalu untuk apa dia menempuh jalur karier kacangan seperti ini? Belum lagi dia berada di tingkat yang hampir sama denganku, padahal seharusnya dia sudah bisa meraih posisi yang jauh lebih di atasku, tapi kenapa...

Dia bisa mencari perusahaan lain, bahkan perussahaan milik keluarganya jauh lebih berkelas dari perusahaan dimana aku bekerja. Dengan status keluarga dan pendidikannya, aku yakin dia bisa mendapatkan yang lebih dari ini.

Apakah dia sengaja hadir lagi untuk menertawakanku? Sekedar meyakinkan kalau dia telah benar-benar menghancurkanku? Yang benar saja!


"Kita mulai dari mana?"

Aku menatap layar laptopku, mencantumkan beberapa data yang baru saja aku dapatkan dari hasil browsing.

Dua hari ini aku bersikap cukup professional, namun kekakuan dalam tingkahku masih sangat kentara. Kenapa hanya aku yang sebegini kikuk? Kenapa dia bisa bersikap santai layaknya tidak pernah terjadi sesuatu di antara kami dulu?

"Aku sudah mengumpulkan data yang cukup, Anda bisa melihatnya siang ini, dan memilah yang mana yang bisa digunakan dalam riset," jawabku, tidak perlu memindahkan sorot mataku hanya untuk menatapnya. Aku tidak ingin menatapnya jika itu hanya akan membangkitkan sakit dalam hatiku.

"Benar tidak perlu?" Dia mencondongkan tubuhnya di belakangku. Aku bisa merasakan dengan jelas napasnya di leherku saat ia menjulurkan kepalanya di sampingku, berusaha melihat layar laptop yang tengah aku tatap.

Panas, udara sekitar menjadi begitu panas. Pendingin ruangan tidak berfungsi jika aku merasa sebegini panas akibat suhu badan Gino. Berada dalam kontak sedekat ini dengan Gino hanya akan mengembalikan ingatanku pada saat-saat kami bersama lima tahun lalu. Please, aku tidak ingin menjadi kelinci bodoh yang jatuh dua kali.

"Maaf, tapi Anda terlalu dekat." Aku langsung menggeser dudukku, menjaga jarak di antara kami hingga beberapa langkah. Aku sempat meliriknya sebelum kembali menekuri layar laptop, melihat raut kecewa di wajahnya. Hah! Dia bisa memberikan wajah seperti itu pada setiap wanita yang gagal ia goda. Maaf saja, tapi aku tidak akan pernah menyesal telah membuatnya kecewa.

"Kau kaku sekali, Kallen. Santai saja, atau kau mau kopi?"

"Tidak, terima kasih."

Aku bisa merasakan tatapan tidak percaya Gino jatuh padaku. Inilah aku, dia harus terima ini dengan lapang hati. Aku telah menjadi pribadi yang tegas, tidak lagi memberikan senyum manisku pada sembarang orang seperti yang aku lakukan lima tahun lalu. Aku akan memilah dengan baik siapa yang berhak menjadi sahabatku, menjadi orang yang dekat denganku. Terima kasih, semua berkat sakit hati yang ku dapatkan darinya.

"Kau mau makan siang apa? Aku pesankan ya…"

"Tidak perlu, aku sudah membawanya dari rumah."

"Kallen…" suara manjanya bergema dalam benakku, membuatku mengingat saat-saat dulu dia selalu bersikap seperti ini setiap kali aku marah atau tidak menuruti permintaannya.

"Dari pada repot-repot memikirkan aku, lebih baik Anda mulai menyusun format laporannya. Itu akan jauh lebih menghemat waktu yang kita miliki," tandasku seraya kembali melakukan edit pada dataku.

"Baiklah… Kau yang menager sekarang." Suara Gino yang merajuk dan ngambek itu terdengar ke seluruh ruangaan, dia seperti sengaja mengucapkannya keras-keras hingga bukan hanya aku yang mendengar, tapi seluruh rekan kerja satu ruangan kami.

"Kalau aku sih tidak akan menolak!" celetuk salah satu rekan kerjaku.

Aku hanya melirik Gino yang tersenyum manis pada rekan kerjaku itu, menebar pesona flamboyant yang akan selalu ia tebar kemanapun ia pergi. Tidak sadar aku menghela napas terlalu keras, tapi aku tidak lantas merasa tidak enak, karena aku memang menyesali sikap Gino yang tidak pernah berubah.

Terkadang aku berpikir ingin meneriakkan dengan jelas kebencianku padanya, namun hati kecilku selalu berkata, bahwa aku akan menjadi orang yang kalah, bahwa aku telah menghapus usaha kerasku jika pada akhirnya aku harus lepas kendali.

"Sejujurnya format yang kau sebutkan itu sudah aku siapkan sejak kemarin, aku tinggal menunggu sedikit sentuhan darimu," gumam Gino, kali ini ia mengerling nakal. Aku merasakan perutku teraduk hebat, seperti tengah berada di lautan berbadai.

"Baik, beri aku waktu satu jam dan Anda bisa menyajikan laporannya," tandasku dingin, mempercepat jariku dalam memilah dan memindai data yang akan aku gunakan.

"Ok, kau karyawan yang baik. Aku janji akan mempromosikanmu!" kicau Gino lagi, tapi aku bersyukur karena kali ini ia benar-benar angkat kaki dari meja kerjaku.

Tepat empat puluh lima menit kemudian aku menyerahkan data yang aku janjikan pada Gino, dan aku tidak heran saat Gino bisa menyerahkan laporan matangnya hanya berselang lima belas menit setelahnya. Tidak banyak diskusi yang kami lakukan untuk laporan tersebut, karena Gino, seperti yang pernah aku kenal, dia cerdas dan cekatan, secerdas otaknya yang bisa memikat hati wanita.

Waktu makan siang tiba, dan aku sudah menghilang ke kantin sebelum mendapati Gino kembali mengikis kesabaranku.

Milly duduk di sebelah Suzaku, mereka makan siang sambil mendiskusikan pekerjaan mereka.

"Hai!" sapaku seraya menarik kursi di sebelah Milly.

"Hai!" sahut Suzaku tanpa memindahkan matanya dari kertas sketsa yang ia coret penuh semangat, sepertinya sedang membuat sketsa design yang seharusnya ia selesaikan sore ini.

"Sudah beres rancangannya?" tanyaku berbasa-basi, karena aku bisa tahu jawabannya dengan melihat usaha keras Suzaku untuk menyelesaikan rancangan awal designya.

"Harus kami serahkan sore ini, dan Suzaku menolak makan sebelum selesai," jawab Milly sambil melihat Suzaku dengan ekor matanya, terkesan sangat malas, dia bahkan sambil menyeruput es cappucinonya.

"Kalau aku sudah menyelesaikannya, semua berkat Gino yang sombong itu," kataku tanpa ditanya, dan Milly tampak kaget saat aku merebut es cappucinonya, atau kaget karena tidak percaya laporanku sudah selesai.

"Aku tidak menyangka kau dan Gino bisa bekerja sama dengan baik," komentar Milly yang kembali merebut gelasnya, dan hampir tumpah ke kertas sketsa Suzaku, sampai pria bermata hijau itu hampir berteriak marah padanya.

"Bukan kerjasama, tepatnya mengerjakan tugas masing-masing dengan baik," jawabku sambil membaca daftar menu hari ini.

"Benarkah? Lalu apakah kau akan terus bertahan menjadi asistennya?"

Aku mengendikkan bahu.

"Kau juga tidak akan menceritakan apa yang kau alami lima tahun lalu?"

Seketika aku merasakan seluruh sel di tubuhku menegang, mengingat kembali apa yang pernah aku alami lima tahun lalu bukanlah hal yang bagus untuk otakku yang sudah berpikir terlalu keras di kantor. Aku tidak ingin merasakan kembali sakit itu, baik sakit secara harfiah maupun sakit dalam hatiku.

"Memangnya apa yang Kallen alami lima tahun lalu?" Pertama kalinya Suzaku mengangkat wajahnya dari kertas sketsanya, dia menatapku penuh tanya, membuatku kikuk melihat matanya langsung.

"Tidak terjadi apa-apa, kau lanjutkan saja tugasmu, atau Lelouch akan membuatmu tidak bisa tidur malam ini karena harus lembur," kataku cepat.

"Memangnya aku seburuk itu ya, Kallen?"

Aku tersentak dari kursi, berdiri reflek begitu mendengar suara serak Lelouch Lamperouge. Mati aku, karena sudah menyebut nama langsung dari direktur utama tempat kami bekerja. Tanpa sapaan hormat atau apapun. Habislah aku.

"Maaf Pak, saya tidak…"

"Santai saja…" Lelouch menepuk bahuku, dan mendorongku untuk kembali duduk. Tangannya begitu lembut menyentuh bahuku, sepertinya dia tidak marah dengan sikap tidak sopanku.

"Jadi kalian sudah memesan makan siang?" Lelouch mencondongkan tubuhnya hingga berada di antara aku dan Milly, tapi dia tidak sedikitpun melepas tangannya dari bahuku.

"Be-belum Pak," jawabku, dan Milly tersenyum meledekku, dia pasti senang melihatku terpojok seperti ini.

"Jadi bisa kita makan siang bersama?"

"Tentu saja!" jawab Suzaku antusias. Dia seperti teralihkan sepenuhnya dari kertas sketsa berharganya. Yang aku tahu Suzaku sangat menghargai Lelouch, bukan hanya sebagai atasan, tapi juga sebagai seorang sahabat dan penolongnya, karena itu ia bisa berubah dari seorang workaholic menjadi seorang pria lembut dan penurut.

Kami memesan makan sesuai selera masing-masing, dan Lelouch membayar untuk semua pesanan kami. Bos, tentu saja merasa malu kalau tidak menunjukkan posisi bosnya pada kami.

"Bagaimana pekerjaanmu, Kallen?" tanya Lelouch saat kami menyantap makanan kami.

"Baik," jawabku cepat, takut tersedak telur dadar gulung dalam mulutku.

"Cocok dengan manager barumu?"

Kali ini aku tersedak betulan. Aku sampai merasakan makananku masuk ke saluran hidung dan napasku, aku terbatuk berkali-kali, bahkan sampai sesak.

"Minum ini…" aku menerima gelas yang disodorkan Lelouch yang lebih tanggap dari pada Milly, aku meneguk habis isinya, dan bersyukur karena setelah itu aku langsung tenang. Aku berdehem berkali-kali untuk meredakan gatal di tenggorokan.

"Sepertinya aku menanyakan pertanyaan yang salah," seloroh Lelouch seraya menjulurkan sapu tangan di tangannya, aku ragu untuk menerimanya, tapi aku membutuhkannya. Dalam hati aku merutuki Milly yang terus saja tidak peduli, padahal kalau dia bersikap lebih tanggap sedikit aku tidak perlu merasa tidak enak menghadapi sikap perhatian Lelouch.

"Mungkin," respon Milly dengan wajah tersenyum senang. Aku sengaja melempar sorot mata tajam padanya, namun cukup tersamar karena aku melakukannya sambil menyeka mulutku dengan sapu tangan Leouch.

"Sudah lebih baik?" Badanku kembali kaku saat merasakan usapan lembut di punggungku, tak perlu aku pastikan lagi, itu sudah jelas tangan Lelouch. Aku mengangguk dalam dan menggeliat sopan untuk menghindari usapan tangannya. Aneh sekali rasanya menerima perlakuan selembut ini dari seorang pria, terlebih lagi dari pimpinan perusahaan.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama. Jadi… ada apa dengan Gino Weinberg?"

"Ada yang Anda butuhkan dari saya, Pak Direktur?"

Kami sama-sama menoleh pada suara cerah yang bersumber beberapa langkah dari kami. Aku mendapati Gino berdiri dengan gelas kertas di tangannya. Dia menatap Lelouch, namun sempat melirikku, dan raut wajahnya sempat mengeras dan dengan cepat ia menempatkan wajah cerahnya lagi untuk kami semua.

"Oh, selamat siang Gino. Aku tidak menyangka kau juga makan siang di kantin, ku kira kau akan makan di luar kantor," jawab Lelouch tanpa menurunkan tangannya dari punggungku, seprtinya dia masih mengira aku membutuhkan usapannya pasca tersedak tadi.

"Pak, maaf…" aku menurunkan tangan Lelouch dari punggungku dan dia tampaknya baru sadar kalau dari tadi masih mengusap pungungku.

"Sorry, Kallen," gumamnya, dan terlihat agak canggung saat membalas sorot mataku.

"Aku ingin mengenal lingkungan kerjaku dengan baik. Yah, berhubung Kallen menolak untuk menemaniku, jadi aku harus membaur sendiri," ucap Gino yang tanpa permisi lagi menarik kursi di samping Suzaku, tepat di seberangku. Dia memberikan senyum kebanggaannya lagi, membuatku kembali muak.

"Sepertinya harus begitu, karena Kallen memang tidak pernah mau menemani pria manapun. Termasuk aku." Lelouch menyindirku terang-terangan. Sekalipun ia mengakhiri kalimatnya dengan cengiran lebar, tetap saja aku merasa terpojok. Aku memang sudah menjalankan prinsipku, makanya hingga sekarang aku tidak pernah mengalami penurunkan kinerja, tidak pernah satu kalipun ada kendala perasaan yang akan membuatku mengalami demotivasi dalam bekerja. Termasuk mencampuri kerjaku dengan menghormati ajakan direktur utama untuk menemani makan sekalipun.

Aku sadar sepenuhnya. Lelouch Lamperouge adalah sosok pria tampan yang sangat memikat dan baik hati. DIa memberikan perhatian sedikit lebih banyak padaku dibanding karyawan lainnya. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku berada di jalan menyakitkan itu lagi.

"Apakah aku melewatkan banyak hal beberapa tahun ini, Kallen?" Gino duduk dengan bertopang dagu, tangannya yang kurus dan panjang di atas meja, dan menatapku seolah aku adalah makhluk alien yang tidak akan pernah ia lihat di tempat lain.

Aku membalas tatapan matanya yang berbinar dengan sorot dingin tanpa perasaan, karena memang itulah yang ingin aku sampaikan padanya. Tidak ada hal menarik apapun yang bisa aku bicarakan padanya, tidak sejak ia meninggalkanku dalam keterpurukan.

"Tidak," jawabku pelan dan tegas, namun aku rasa itu sudah cukup untuk menjawab semua pertanyaan telah dan mungkin yang akan diucapkannya. Sudah tidak ada apapun yang bisa aku katakana padanya.

Gino terdiam, bahkan cenderung seperti orang terkena sambaran petir. Aku memilih untuk meneguk kembali minumanku, dan membiarkan kekagetan Gino menguar di antara kami.

"Wow!" seru Gino tiba-tiba. Aku menatapnya dan memberikan sorot mata bertanya.

"Aku tidak pernah tahu kau bisa setegas ini, Kallen. Tidakkah kau merasa sudah bersikap terlalu keras padaku?" lanjut Gino yang lalu memasang wajah cerahnya lagi.

"Karena kau memang tidak pernah tahu diriku."

Aku beranjak dari kursi, tidak ambil pusing dengan sikap diam Gino yang datang tiba-tiba.

"Aku duluan. Terima kasih atas makan saingnya, Pak," ucapku pada Lelouch, dan pria bermata ungu itu mengangguk dalam, seolah ikut terjangkit penyakit yang sama dengan Gino.

Dadaku kembali sakit. Melihat wajahnya saja sudah sebegini menyakitiku. Aku tidak pernah menyangka akan mengalami hari-hari berat seperti ini. Menghadapi Gino yang bersikap sangat biasa justru membuatku hampir mencapai ambang batasku sendiri. Bagaimana bila aku memang tidak bisa melewati ujian ini?

Mungkin aku akan hancur berkeping-keping dan tidak akan pernah kembali utuh.

.

.

To Be Continue

.

.


Authors Note:

Salam Kenal Senpai.

Saya Nakki. Pertama-tama saya minta bimbingan serta dukungannya, karena saya baru di fandom Code Geass.

Pair yang saya pilih dalam fiction ini adalah Kallen & Gino, karena di R2 saya sangat suka melihat kedekatan yang terselubung dari keduanya, jadilah fiction ini. Ide cerita muncul begitu saja dalam benak saya, dan mengenai karakter Kallen dalam fiction ini tidak seutuhnya pribadi yang sama dengan di anime, di sini saya buat Kallen adalah sosok yang sempat terluka jadi dia agak menjaga jarak dengan makhluk bernama pria. Yah, begini jadinya.

Karena itu saya mohon masukannya ya untuk perbaikan selanjutnya.

Terima kasih

Nakki

06-03-2012