Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I just own the idea of the story.
Warning : OOC, typos, Alternate Universe.
Rating : T
Genre : Drama
Please enjoy my come back fic! :D
.
.
.
Red
.
.
.
Kakashi
'PBB telah mengancam akan mencabut keanggotaan Israel dari daftar negara-negara di dunia jika tak melakukan gencatan senjata. Yang berarti, menghentikan segala bantuan dalam berbagai sektor, tak terkecuali sektor makanan, obat-obatan, dan militer. Namun, pihak Israel bersikeras mereka akan terus menggempur Gaza...'
Sekumpulan tentara mendengarkan berita dunia dari sebuah televisi portabel di markas mereka. Dalam kepala mereka, ada banyak hujatan, pendapat, dan kritikan tajam menanggapi berita yang baru saja mereka lihat.
"Mereka cuma bisa ngomong. Coba mereka yang berperang disini! Kau kira enak apa setiap hari menjinakkan bom lalu ada ranjau dimana-mana?! Aku ingin memasukkan bom-bom molotov itu ke dalam mulut mereka dan pantat mereka juga!" hujat Iruka.
"Demi tukang cukur rambut mangkokku, aku menyumpahi PBB. Kerja mereka sangat mengecewakan! Kenapa tidak dari dulu mereka ancam serigala bau sebelah itu?"cibir Maito Guy.
Asuma menghisap rokoknya. "Serigala bau? Maksudmu itu Israel, Guy?"
"IYA! Siapa lagi?! Lagipula, Amerika juga hanya penjilat PBB. Memalukan!" teriak Guy.
Kakashi mengamati rekan-rekannya. Dengan suara ngantuknya, ia menanggapi. "Kalian ini kenapa marah-marah sendiri? Percuma, mereka tak akan dengar."
"Apa yang akan kalian lakukan kalau sudah pulang ke Amerika?" tanya Asuma. Asap rokoknya mengepul dan baunya semacam tembakau murahan.
"Aku akan menikahi Shizune!" teriak Maito Guy kegirangan.
Kedua bola mata bundarnya berubah menjadi hati berwarna merah yang berdetak kencang. Ia sangat mencintai kekasihnya itu, bahkan di antara helm tentara dan rambut mangkoknya yang hitam mengkilat seperti disemir, ia menyisipkan fotonya bersama Shizune.
Iruka menertawakan Guy. Ia adalah seorang gay. "Ah, well, mungkin aku akan bersenang-senang. Bar, pub, dan mencoba wine mahal."
"Kau, Kakashi?" tanya Asuma.
"Aku tak punya keluarga disana," jawabnya dingin. "Wanita juga tidak. Lagipula, aku tak suka wine mahal."
Pembicaraan mereka terhenti ketika Jendral Jiraiya masuk ke markas dan menginformasikan musuh baru saja meletakkan bom-bom berdaya ledak tinggi di pusat kota. Jelas, Israel ingin membunuh lebih banyak lagi orang-orang Palestina. Mereka berempat segera menuju pusat kota dengan kendaraan semacam truk tentara.
Kakashi memeriksa alun-alun yang kelam itu. Beberapa tahun lalu, ada pembantaian disana sehingga darah sudah menjadi semacam mural yang indah. Mural darah yang seperti dilukis oleh Leonardo Da Vinci, berdimensi, indah, dan kelam. Kakashi sudah terbiasa dengan situasi-situasi mengerikan semacam itu. Ia juga sudah terbiasa dengan kematian, bunyi ledakan yang memekakkan telinga, dan jeritan kesakitan. Bertahun-tahun tinggal sebagai pasukan pengaman sebagai bantuan dari Amerika, ia sudah banyak melihat tragedi-tragedi yang dianggap mengerikan.
Alat pendeteksi bomnya berbunyi nyaring ketika ia melewati sebuah pilar yang nyaris runtuh. Kakashi mendekati pilar itu dan di balik reruntuhan bangunan yang amat rapuh, disanalah bom itu tersembunyi.
"Halo, sayang," sapanya seolah-olah bom itu adalah kekasih yang butuh belaian mesra.
Dengan cekatan, Kakashi memutuskan salah satu kabel, menjinakkan bom itu. Ia lalu mengambil bom yang sudah jinak itu untuk dihancurkan di markas. Bom-bom itu akan muncul dalam berbagai wujud. Suatu kali, ia dan timnya pernah luput memeriksa sebuah boneka anak-anak. Ternyata, sebuah bom berdaya ledak sedang disembunyikan di dalam boneka itu di antara busa yang membuatnya tampak gendut dan lucu. Mereka menyatakan tempat itu aman. Seorang gadis kecil Palestina yang memakai kerudung berlari ke dalam sana. Gadis itu berteriak, "Penny!" sambil mengambil bonekanya. Ia pun memeluknya. Dan, tidak lama, terdengar suara ledakan yang begitu keras dan memilukan. Tempat itu hancur dan gadis itu sudah tak berbentuk lagi. Sampai saat ini, Kakashi masih ingat wujud gadis itu dan bonekanya. Sejak itu, ia dan timnya memeriksa semua benda tanpa terkecuali. Cerita tentang gadis itu dan boneka berisi bomnya begitu memilukan sampai ia tak ingin mempunyai anak perempuan.
"Kakashi, apa kau sudah melakukan kerjamu?" tanya Asuma.
"Ya," jawabnya singkat. Ia menepuk-nepuk sarung tangannya yang terkena debu reruntuhan.
"Barusan, Jendral memberitahuku. Kabar bagus untuk jiwa-jiwa kita yang sudah menyaksikan banyak kematian tragis," Asuma memberi kabar dengan gaya khasnya yang sedikit dramatis.
Kakashi tidak sabar. "Apa berita itu? Kita akan dikirim sebagai pasukan garis depan?" tanyanya enteng.
"Bodoh, besok kita semua akan pulang!" Asuma menjitak Kakashi.
.
.
Malam itu, mereka semua berkemas. Guy meloncat-loncat bahagia sambil berbicara dengan foto kekasihnya. Iruka membelai foto wine mahalnya. Asuma sangat bahagia karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan istri dan anak kembarnya. Sementara, Kakashi hanya mengamati mereka semua sambil menghisap rokok Gold Blendnya yang ia curi dari tas Jiraiya. Ketiga rekannya telah menemukan definisi nyata untuk kata bahagia, kekasih, wine, dan keluarga. Sementara, Kakashi sendiri tak pernah tahu bahagia itu seperti apa. Baginya, rokok mahal curiannya itu saja masih tak bisa menghangatkan jiwanya yang dingin.
"SHIZUNE! AKU AKAN MENIKAHIMU!" teriak Guy.
Jangan dekat-dekat Guy saat ia girang karena gendang telingamu bisa saja pecah. Teriakannya sangat nyaring melebihi lengkingan Whitney Houston untuk soundtrack film yang ia bintangi. Lagu itu masih sering diputar di markas karena tak ada CD-CD musik baru yang diekspor ke Palestina dan CD Whitney sendiri mereka temukan di antara puing-puing rumah penduduk.
Tidak memedulikan Guy yang menggila, Iruka sangat tenang seperti biasa sambil berbaring di ranjang tentaranya dan mengamati foto wine mahal dari Perancis. Kabarnya, minuman itu mencampurkan wine dengan sejenis susu sapi impor dari Swiss. "Hmmmm, wine mahal, kita akan berkencan sayang..." suara Iruka terdengar mengerikan, penuh nafsu, sekaligus lembut.
"Kalian semua sudah gila, ya?" tanya Kakashi, masih dengan rokok curiannya yang sangat nikmat.
Guy dan Iruka tersindir. "Kau harus mencari kebahagiaanmu, Kakashi."
Dan, Kakashi hanya menjawabnya dengan tertawa. Tawa yang hampa dan dingin.
.
.
Kapal dari baja sudah merapat di pelabuhan. Asuma, Iruka, Guy, dan Kakashi beserta beberapa gelintir tentara lain berbaris memasuki kapal. Kedisiplinan dan keteraturan sudah mengakar tunggang dalam nadi mereka. Kapal ini dipenuhi bau orang Amerika sementara baju seragam mereka berbau debu, angin gurun, dan rokok. Kadang-kadang, baju mereka juga berbau mesiu. Peledak dimana-mana dan ranjau sudah seperti kotoran kucing di gang-gang padat penduduk.
Ketiga lelaki itu senang akhirnya mereka bebas dari dunia yang penuh kekerasan, kematian, dan konflik. Mereka senang mereka tidak akan lagi mencium bau peledak, rokok dari tembakau murahan, debu pasir, dan angin gurun. Sementara Kakashi, ia sebatang kara. Baginya, debu pasir sudah menjadi senyawa molekul sahabat oksigen yang mengalir sepanjang tubuh dan paru-parunya. Ia juga lebih suka rokok dari tembakau murahan yang membuat penggunanya terbatuk sepanjang malam daripada rokok Gold Blend yang rasanya luar biasa. Di kota tempat tinggalnya di Amerika tidak akan ada angin gurun. Yang ada hanya angin dingin dari Laut Utara yang menyerang sendi-sendi tubuhnya. Dan, angin itu dingin menusuk tidak seperti angin gurun yang sejuk membelai. Bunyi ledakan, rintihan kesakitan, dan jeritan kehilangan itu juga sudah seperti musiknya sejajar dengan soundtrack film Whitney yang ia tak tahu judulnya. Di Amerika sana ia akan mendengar suara-suara yang hingar bingar dan penuh kegembiraan dengan musik yang sangat kekinian.
Mereka berempat duduk bersama di anjungan kapal. Bersiap untuk melambaikan tangan pada daratan yang menyimpan tragedi dan ironi yang dikatakan neraka dunia.
"Kau akan merindukan tempat itu?" tanya Asuma.
"Tidak! Aku merindukan Hawaii! Aku akan membawa Shizune berbulan madu kesana!" teriak Guy girang. Ia tak sabar angin dingin laut Utara mengoyak rambut mangkok warna semir sepatunya.
"Aku berani bertaruh, Iruka ingin pergi ke San Fransisco, bukan begitu, eh, Iruka?" goda Asuma.
"Aku ingin mengunjungi ibuku dan kau tahu, kami punya ladang anggur," katanya. Lagi-lagi soal anggur. Kakashi berpikir, jika pensiun nanti, Iruka bisa menjadi bartender yang sangat brillian.
Kakashi menyulut rokok tembakau murahan yang ia bawa. "Kau tak perlu bertanya padaku, Asuma. Kau tahu aku tidak tertarik untuk pulang."
Mereka berempat terdiam. Terpaku dalam pikiran masing-masing tentang apa yang akan mereka lakukan setelah pulang dari Palestina. Tenggelam dalam pikiran masing-masing sementara kapal baja itu terus membelah lautan menuju daratan Amerika.
.
.
Seorang laki-laki berbaju nautical khas pelaut klasik membangunkan mereka berempat sekaligus menginformasikan kapal telah merapat dengan selamat di pelabuhan New York. Patung Liberty yang menjulang dan tak lelah-lelah juga membawa obor itu menyambut mereka. Mereka segera berkemas dan menyandang tas besar di bahu.
Asuma dijemput istrinya dan anak kembarnya. Istrinya begitu cantik dengan anak kembar yang lucu. Guy dijemput Shizune dan keluarganya. Sementara, Iruka dan Kakashi berjalan berdampingan. Mereka sama-sama berasal dari San Fransisco. Sepanjang perjalanan mereka dengan kereta, lagu-lagu asing yang hingar-bingar terdengar. Iruka sengaja membeli CD musik itu karena ia berpikir perjalanan menuju San Fransisco sangat lama.
"Aku tak begitu suka musik ini," kata Iruka.
Kakashi mengangguk. "Aku lebih suka lolongan wanita di lagu yang kita putar tiap hari saat di markas dan juga musik blues."
"Seleramu melankolis. Aku lebih suka lagu Sting yang diputar nenekku tiap malam waktu aku kecil. Judulnya Englishman In New York dan sekalipun musiknya bagus, lagu itu selalu membuatku teringat betapa out of place -nya aku ini. Tapi, Guy pasti menyukai musik ini," kata Iruka. Ia mencoba menikmati musik yang terdengar asing.
"Guy? Kurasa dia lebih sering mendengar lagu-lagu tentang pernikahan sekarang," canda Kakashi.
"Hahaha itu pasti. Kau berencana menikah, Kakashi?"
"Tidak," jawabnya cepat. "Mungkin dengan gadis yang memakai mahkota bunga?" candanya.
"Gadis macam itu hanya ada di abad Pertengahan! Kau gila! Dia juga harus menyukai musik melankolismu," balas Iruka.
Mereka berdua tertawa dengan humor yang mereka ciptakan. Humor khas Amerika.
.
.
Kakashi dan Iruka berpisah di stasiun. Iruka tinggal dekat ladang anggur sementara Kakashi tinggal di daerah urban di pinggir kota San Fransisco yang sepi penduduk. Sebuah blok sepi di tempat terpinggir di pusat San Fransisco. Dulu, blok yang bernama Kensington Road itu sempat ramai oleh orang kulit hitam sebelum mereka semua dibinasakan sebagai ancaman kulit putih terhadap keinginan Martin Luther King untuk membebaskan kaumnya. Bekas-bekas kekejaman terukir jelas pada retakan-retakan keras dinding rumah-rumah sepanjang blok itu. Kakashi masih ingat, ketika kakeknya menyaksikan semua kejadian itu dan menceritakannya pada cucunya. Hanya beberapa rumah yang berisi penghuni. Sisanya kosong.
Kakashi tinggal di sebuah rumah peninggalan ayahnya. Rumahnya kelam dengan cat yang hampir seluruhnya mengelupas. Rumah itu terkesan angker dari luar. Dari dalam sekalipun, kesannya tidak jauh berbeda. Perusahaan listrik sudah memutus saluran listrik di rumahnya. Kakashi berniat membersihkan rumahnya sebelum langit menjadi gelap.
Saat ia membersihkan kamar terbesar di rumahnya, ia ingat itu adalah bekas kamar ayahnya, ia menemukan kotak hitam dengan pita merah tersembunyi di bawah meja. Penutupnya sudah sangat berdebu ketika Kakashi mengambilnya. Sudah lama Kakashi tidak menginjakkan kaki di kamar ayahnya. Kamar itu terkesan sangat mengerikan. Sprei dan selimut besar itu penuh debu dengan tirai jendela yang warnanya sudah memudar. Ia tak ingin berlama-lama di kamar itu dan membawa pergi kotak berpita merahnya. Ia melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya.
.
Kakashi teringat akan kotak berpita merah itu ketika hari sudah malam. Ia membawa kotak itu ke balkon kamarnya dan membukanya dengan penerangan bulan purnama. Kakashi menarik pita merah yang mengikat kota yang dilapisi kain beludru hitam. Di dalamnya, ada beberapa lembar foto yang hampir pudar, sebuah puisi cinta, dan sebuah cincin.
Foto-foto ayahnya bersama seorang wanita muda berambut pirang pucat. Ia sama sekali tak mirip wanita itu. Apa benar itu ibunya? Ia seumur hidup tak pernah melihat wanita yang bersakit-sakit demi membawanya ke dunia, pada daratan penuh kematian, dan pada dunia yang bengis.
Ayahnya yang memiliki rambut pirang nyaris putih, mata sayu, dan kulit yang pucat sepertinya. Di antara berlembar-lembar foto lama itu, ada seorang bayi dalam gendongan wanita pirang itu. Bayi berambut pucat itu pasti dirinya.
'Siapa wanita ini? Pengasuh? Istri ayahku? Atau hanya kekasih?' pikirnya.
Kakashi membaca selembar puisi di atas kertas yang lusuh dan menguning di makan waktu.
.
.
.
.
.
.
.
.
...TBC
Well, gimana ya?
Saya merasa bersalah meninggalkan fic undone, hiatus lama, terus tiba-tiba nulis lagi kayak gini *ditabok bakiak Jiraiya* Tapi, saya incredibly happy saya sudah membobol internet positif (HA!) dan akhirnya berhasil mempublish fiksi saya lagi hahaha :D
Minna san yang saya sayangi sebesar Oro sayang Manda, please kasih saya kritik, saran, atau tanggapan. It matters a lot to me karena saya ingin belajar menulis dengan lebih baik *kasih kue* :D
