"Some people prefer eating dessert to the main course. These people have never been really hungry."-Vera Nazarian
Exquis
Haikyuu © Furudate Haruichi
KageHina
Cooking AU, Dessert Shop AU, Pastry chef!Kageyama, Novel writer!Hinata
.
.
Prologue: SWEETS
.
.
Makanan manis adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang Hinata Shouyou.
Dia suka manis—bahkan terkadang hingga orang yang melihatnya makan terlalu banyak makanan manis dibuat ngilu sendiri. Ada sesuatu yang adiktif dari gula, mengundang nafsunya untuk meminta lebih dan lebih.
Belum lagi saat dia memakannya—ah. Hinata paling senang jika dia ditanya mengenai ini, karena itu berarti dia akan mengingat setiap pengalaman makannya yang paling indah, dan dia akan merasa seolah menjadi orang paling bahagia di dunia ini.
Yang begitu istimewa dari makanan manis, bagi Hinata, adalah segalanya. Mulai dari tampilan luar makanan yang menggiurkan, melambai kepadanya untuk datang. Aroma harum lembut yang menghanyutkan dan melambungkan. Juga krim dan chocolate chip dan topping lain yang menggugah selera.
Lalu, saat dia mulai memakannya—astaga, Hinata tidak bisa menahan jeritan senangnya tiap kali dia sampai pada tahap ini. Ketika potongan makanan manis—cookies dan cake dan pie dan semua saja makanan manis—masuk ke dalam mulutnya, sensasi manis yang lembut itu segera menyebar, menginvasi mulut dan memanjakan lidah. Kemudian, dia mengunyah, merasakan, dan Hinata semakin dibuat terbang. Kasar-lembut tekstur yang khas menghantam langit-langit mulutnya. Dan dirinya akan dibawa berkeliling, menikmati hidangannya bersama ketetapan adonan, harum panggangan yang menggelitik, dan rasa yang seperti surgawi.
Sungguh, setiap pengalamannya memakan salah satu makanan manis adalah pengalaman paling indah. Dan setelah sekian tahun pun, hingga Hinata menjadi pria muda begini, dia masih belum menemukan cara untuk menghentikan adiksinya terhadap gula dan manis.
Hinata tak bisa makan gula dengan leluasa dulu, saat dia masih menjadi atlet di masa-masa SMA, tapi sekarang dia bisa. Tubuhnya juga seperti mendukung kesenangannya ini, dengan tetap menjadi kurus tak peduli seberapa banyak kue yang dia makan.
Meski sejujurnya dia ingin menjadi kritikus makanan, semacam gourmet king yang keren, Hinata tahu dia terlalu bodoh untuk itu, kemampuan vokabularinya terbatas. Makanya dia menikmati saja kehidupannya sekarang ini, sebagai seorang penulis novel romansa yang sedang naik daun.
Dia sedang mencari berbagai referensi untuk novelnya yang berikutnya—yang akan mengangkat tema dessert, sesuai kesukaannya—dan untuk itu, Hinata rela keluar dari apartemennya yang nyaman di sore yang dingin untuk berjalan menuju salah satu toko roti di pusat kota.
Hari itu adalah hari kerja, sore hari menjelang malam. Toko roti yang Hinata pilih sangat ramai, karena dia datang bersamaan dengan jam pulang orang-orang kantoran. Hinata memesan blueberry muffin dan cheese pie bersama secangkir kopi, sebelum berjalan menuju satu-satunya meja yang tidak penuh, memilih untuk menikmati pesanannya di sana. Mau pulang pun rasanya sayang, pikir Hinata, karena jarak apartemennya dari toko roti ini cukup jauh.
Meja yang dia tuju bermuatan dua orang, tapi satu kursinya telah diduduki oleh seorang pria berambut hitam yang sedang memandangi jalanan dengan piring kosong dan secangkir susu hangat di hadapannya. Maka dia berjalan menuju meja itu, berharap kursi di sebelah pria tadi tak terisi.
"Um," Hinata memanggil pria itu pelan, dan yang bersangkutan segera menoleh malas. Seketika, Hinata terperosok ke dalam jurang berwarna biru. Biru yang gelap, penuh akal. Indah.
Barulah saat pria itu menaikkan sebelah alis, Hinata tersadar bahwa dia terlalu lama menatap matanya. Hinata berdeham, lalu memberi gestur pada kursi kosong di dekatnya. "Apakah kursi ini kosong?"
Pria itu tak lekas menjawab, mengamati Hinata dengan pandangan meneliti. "Ya," jawabnya dengan sedikit diseret.
"Boleh aku duduk di sini?"
Pria itu hanya mengangguk kali ini. Hinata menghela napas lega, menempatkan diri di atas kursi kayu ukir itu, dan membuka pesanannya yang masih mengepul hangat. Mencoba untuk tidak menghiraukan keberadaan pria itu, Hinata mengambil blueberry muffin dan mulai menikmatinya dalam gigitan yang besar-besar.
Rasanya hebat, seperti yang dia duga. Esensi blueberry yang merembes keluar di setiap gigitannya membuat ujung-ujung jemarinya menekuk, dan Hinata mengapresiasi bagaimana rasa blueberry itu tepat. Tidak terlalu kecut dan lebih pada manis—seperti selera Hinata. Memalukan memang, tapi dia tidak bisa menahan jeritan tertahannya di sela-sela kunyahan.
Dia tidak menyangka pria tadi akan menyeletuk, "Enak?"
Hinata hampir tersedak. Orang itu melihatnya makan dengan memalukan sejak tadi? Susah payah ditelannya sisa muffin terakhir yang ada, lalu dia menatap pria itu sambil berkedip seraya berharap wajahnya tidak memerah. "Apa?"
Pria itu mengalihkan wajah tampannya dari jendela yang ditatapnya kepada Hinata. "Aku tanya, bodoh. Apa pesananmu rasanya enak?"
Hinata mengedip lebih lama lagi, bersiul di dalam hati. Wow, hari pertamaku di toko roti ini dan aku sudah dikatai bodoh.
Ucapan pria itu tak sebaik rupanya. Kata-katanya galak, tajam, dan tidak sabaran. Pun dirinya juga menyia-nyiakan wajahnya yang rupawan karena dia hanya menggunakannya untuk menunjukkan kerutan dahi tidak bersahabat setiap saat.
Hinata tergelitik untuk membalas dengan sewot, karena… entahlah. Ada sesuatu di dalam diri pria itu yang menariknya, memanasinya, dan membujuk sifat asli Hinata untuk keluar. "Enak. Iya, enak." Dia mulai menggeser cheese pie-nya sekarang, bersiap menyantapnya sambil menatap pria itu dengan senyum mengejek. "Kenapa? Kau ingin tambah, tapi tidak punya uang? Dasar payah."
"Tidak butuh," gumam pria itu, menyesap kopinya dengan santai. "Aku bisa membuatnya sendiri."
Hinata melotot lebar. Orang ini pasti sedang bercanda. "Serius? Kau bisa membuat muffin seenak tadi?"
"Lebih enak," janji sang pria, lalu dia meletakkan cangkirnya dan menatap Hinata lurus dengan dagu terangkat—pose angkuh yang membuat darah Hinata mendidih.
"Dan kenapa aku harus percaya perkataanmu?" tuntut Hinata.
"Karena," Pria itu mengetukkan jarinya di atas meja, "aku adalah pastry chef."
"Pastry… chef," ulang Hinata. Dia membiarkan mulutnya terbuka sekarang. Orang di seberangnya ini jelas tidak terlihat seperti seorang chef. Dia mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku. Kedua kaki panjangnya dibalut celana hitam. Dia malah terlihat seperti anak muda yang siap berkencan dibandingkan chef yang ingin mengomentari hidangan buatan sebuah toko roti.
Tapi bagaimanapun penampilannya, seorang chef setidaknya akan terlihat lebih senang saat membicarakan hidangan, dan bukan memasang wajah yang bisa menghantui anak-anak seperti pria ini.
"Lalu? Apa yang seorang pastry chef lakukan di sini?" Hinata bertanya dengan tatapan menyelidik.
"Sejak kapan mencari referensi dari toko lain dilarang?" Pria itu mendengus. "Selain itu, dessert buatanku jauh lebih unggul. Aku seharusnya tidak perlu jauh-jauh ke sini."
Dasar sombong.
Hinata menatap pria itu dengan tidak setuju, tapi dia terdiam, dan memilih untuk menikmati pie-nya, dan mengerutkan kening. "Mm. Ini kurang manis."
Pria di hadapannya menarik napas. "Cheese pie memang seharusnya kurang manis. Seharusnya gurih."
Saat Hinata mendongak, sang pria sungguhan terlihat kesal sekarang, seakan yang Hinata katakan telah menghina seluruh hidangan yang pernah dia buat.
"Aku hanya mengatakan pendapatku saja. Kenapa kau marah sekali?" Hinata melipat dahi. "Menurutku, mereka bisa menambahkan lebih banyak gula. Mereka tidak butuh keju dalam dessert!"
Kedua pupil sang pria membuka sekarang, entah berapi-api atau terlalu marah. Pria ini sensitif sekali mengenai topik ini, pikir Hinata, dan dia belum pernah melihat chef yang begini menggebu-gebu. Obsesif. "Kau belum pernah merasakan keju? Keju rasanya gurih. Dan dalam dessert, ada hukum tidak tertulis bahwa keju adalah bahan pelengkap yang hampir mutlak. Itu menjelaskan betapa pentingnya keju."
"Tapi, dessert kurang sempurna kalau mereka tidak manis!" balas Hinata, menyerah untuk mengaku kalah.
"Yang namanya dessert tidak hanya terbatas pada rasa manis, dasar bodoh!"
"Yang bodoh itu kau, dasar idiot!"
"Hah!? Kenapa orang bodoh mengatai orang lain bodoh, dasar bodoh!"
"Terserah!" Hinata melipat kedua tangannya di depan dada. Kopi yang dia pesan masih mengepul, tapi dia tak bisa memaksa dirinya untuk menikmatinya di sini dengan damai, terlebih dengan kehadiran pria menyebalkan ini.
Karena pria ini, acara makan-makan Hinata hancur sudah. Dan Hinata terlalu kecewa dan marah akan kenyataan ini hingga dia tak mampu lagi menyaring apa yang keluar dari mulutnya selanjutnya.
"Kau bicara seolah kau ini hebat atau semacamnya," katanya, "tapi paling-paling, masakanmu biasa-biasa saja."
Hinata melirik pria itu dari sudut matanya, terdiam, dan sesaat menyadari betapa salahnya perkataannya barusan. Pria itu bahkan tidak segera bereaksi atau apapun—dia diam pada tempatnya, dengan kedua mata membulat dan rahang mengatup. Hinata baru saja akan membuka mulutnya untuk mencoba memperbaiki keadaan saat pria itu beranjak tiba-tiba, kedua tangan terkepal.
"Kalau kau tidak tahu apapun, kau sebaiknya diam." Dada pria itu mengembang saat dia mengambil napas, lalu mengempis dengan cepat. "Baiklah. Baiklah, kalau itu maumu. Aku hanya harus memberimu pelajaran."
Dia meraih sesuatu dari saku celananya, lalu menghantamkannya pada meja di hadapan Hinata—sebuah kartu bisnis berwarna ungu. Saat Hinata berhenti memekik kaget dan bergetar, dia menatap mata Hinata lurus, berkata pelan, "Besok, pada jam yang sama. Datangi café milikku. Lihat aku memasak dan rasakan dessert-ku. Lalu kau akan tahu apakah masakanku benar-benar biasa saja atau tidak. Kau akan tahu arti dessert yang sebenarnya."
Hinata menelan ludah, memeluk tas selempang di depan dadanya hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tahu pria ini serius.
"Jangan coba-coba melarikan diri," Pria itu memperingatkan, dan sebelum dia berbalik pergi, sebuah seringai menantang muncul dengan begitu menyebalkan di wajah tampannya, "Akan kubuat kau tak bisa hidup tanpa dessert-ku. Akan kubuat kedua lututmu bergetar sampai kau tidak bisa berdiri lagi."
Dan dia memutar tubuh, berjalan menjauh, dan keluar dari toko meninggalkan Hinata yang masih berdebar takut seorang diri.
Apa yang baru saja terjadi?
Hinata menatap tempat duduk bekas pria tadi dengan setengah sadar. Lalu matanya menatap benda itu—kartu yang tadi ditinggalkan oleh pria itu untuknya—dan dengan sangat hati-hati dia memungutnya.
Kageyama Tobio
080-xxxx-xxxx
Café Pouchkine
Hinata bahkan tidak selesai membaca keseluruhan kartu itu saat sebuah kenyataan menghantamnya.
Kageyama Tobio. King of Pâtissier. Dia baru saja mengajak seorang jenius dessert berkelahi, dan Hinata jelas akan kalah jika dia datang besok.
"Kaa-san..." Hinata menggigiti kukunya dengan bimbang. "Kenapa dari dulu aku bodoh sekali?"
TO BE CONTINUED
Long time no see, huh?
Anyway, jangan percaya pada saya untuk ngupdate ini. Saya super duper sibuk sekarang, dan kondisi duta ga memungkinkan buat nulis. Walo sebenernya saya pingin terus nulis, tapi bener-bener ga sempet. :"
Bersama fik ini, saya mau mengumumkan kalo saya akan hiatus cukup lama—entah sampai kapan. Tapi setiap ada waktu luang, pasti saya ngetik kok, jadi… welp, doakan saja.
Btw, pâtissier artinya pastry chef, dan meskipun namanya adalah pastry chef, mereka juga masak dessert lain, ga terbatas pada pastry. Setidaknya itu yang saya tangkap dari beberapa sumber.
Well then, see you!
