Saat semua orang memilihmu, aku malah meninggalkanmu. Aku benci! Seharusnya kau mengejarku. Bukannya ikut bersama mereka. Kau mencintaiku, bukankah begitu?
Kise ryouta, lelaki berumur –entahlah- mungkin sekitar 16 tahun, mungkin lebih, mungkin juga kurang. Aku tidak begitu perduli. Dia adalah orang paling ribut dan merepotkan yang pernah kukenal. Meskipun ia seorang model ternama, itu tak berefek apapun padaku. Melihat wajahnya membuatku muak. Meskipun kuakui dia lumayan berkarisma dan sedikit lebih tampan dari lelaki kebanyakan. Namun ada sesuatu yang kurang darinya. Seolah dia sedang menyembunyikan sesuatu. Yang jelas aku sama sekali tidak ingin berurusan dengan orang merepotkan sejenis dia.
Adakah yang bertanya-tanya mengapa aku begitu mengerti tentang lelaki berambut blonde dengan tinggi entah berapa meter itu? Tentu saja karena aku selalu melihatnya setiap hari. Tanyakan kepadaku kenapa itu bisa terjadi? Tunggu! Jangan berpikiran aku satu sekolahan dengan lelaki merepotkan itu. Sejujurnya aku masih duduk di bangku SMP. Lebih tepatnya kelas 3 SMP. Lalu mengapa aku bisa bertemu dengannya?
Hah, tentu saja itu karena ulah kakakku yang selalu membawa manusia jadi-jadian itu ke rumah kami. Namaku kasamatsu [name] pikir saja, siapa kakakku itu. Sebenarnya aku tidak terlalu keberatan kakakku membawa temannya ke rumah. Tapi kalau setiap hari sama saja bohong! Itu bukan sekedar bermain. Pasti ada niat terselubung dibaliknya. Tapi siapa peduli. Toh ia hanya membawa kise ryouta.
Betapa menyesalnya aku saat mengingat awal-awal kakak membawanya kerumah. Aku sangat senang, sampai lompat-lompat di hadapannya. Memeluknya erat-erat sambil mengatakan pada diriku sendiri kalau ini bukan mimpi. Asal tau saja, aku cukup menggemari lelaki bernama kise ryouta itu. Namun itu dulu. Ingat sekali lagi ya! Dulu.
"oi kise! Ayo masuk." Ah suara kakakku terdengar sayup-sayup dari tempatku berdiri. Aku melangkah keluar kamarku sambil terseok-seok. Seragam sailorku belum sempat kuganti. Terlalu malas untuk menggantinya.
Aku menuruni tangga menuju dapur. Tidak berminat berdiam diri di kamar lagi. Kenapa? Apalagi kalau bukan untuk mencari ketenangan? Kalau kise ryouta berada di kamar kakakku, -yang secara tidak langsung berada tepat di sebelah kamarku- pasti akan terjadi keributan. Seperti yang sudah-sudah.
"Tadaima. [Nama],"
Aku menguap lebar, "aah.. okaeri nii." lalu melirik kakakku yang berjalan melewatiku begitu saja. Lalu beralih pada lelaki pirang yang dengan semangat membara sedang melepas sepatunya.
"yahoo.. hisashiburi [name]cchi." Si blonde mulai berulah dengan mengeluarkan lengkingannya. Ia memandangku dengan senyuman tipis menghiasi wajah tampannya. Bajunya terlihat kusut dan sedikit berantakan. Bau keringat menyeruak melalui hidungku. Terasa sedikit kecut dan.. oah, wangi?
Haha, mana mungkin. Hidungku sepertinya mampet.
"baru kemarin kita bertemu. Tidak sepatutnya kau mengatakan 'hisashiburi' ryouta-san." Aku melirik sekilas kemudian melanjutkan perjalananku yang tertunda. Kemana lagi kalau bukan ke dapur.
"ahaha.. cuek seperti biasa yaa.." kise mengacak-acak rambutku gemas. Membuat rambut yang sengaja ku gerai menjadi berantakan. Aku mendecak sebal. Menampik tangannya kasar. Memelotinya setelah itu. Mengatakan secara tersirat untuk tidak menyentuh maupun mengacak rambutku.
"permisi." aku melenggang dengan wajah kusut.
"ah, [name] bisa kau buatkan minuman dan bawakan snack yang ada di kulkas ke kamarku? Aku tunggu. Sankyuu.." dasar kakak tidak tahu diri! Memangnya dia tidak tahu? Aku sedang dalam masa menghindari kise dan tidak ingin berdekatan dengannya.
"cih." Dengusku semakin kesal.
"mau kubantu-ssu?" kise tiba-tiba menawarkan bantuan. Ia berbalik arah sambil menunggu persetujuanku. "tidak." balasku singkat. Perduli amat dengannya. Aku hanya ingin tenang! Jadi jangan sampai dia menghalangi niat suciku itu! Jangan pernah!
"tung- [name]cchi..!" kurasakan kise menggenggam telapak tanganku. Aku menoleh. Bersiap menaboknya sekuat tenaga. Tapi pukulanku terhenti di udara karena lelaki itu menahannya. Gawat! Aku tidak bisa bergerak. Tenaganya besar sekali. Aku menarik tanganku sekuat tenaga. Tapi kise tak terlihat ingin melepaskannya.
"apa?" suaraku terdengar datar.
"ah maaf. Aku refleks saja meggenggam tanganmu. Baiklah, kalau kau tak butuh bantuan. Aku akan ke kamar senpai." Ia tiba-tiba menunduk lesu. Kemudian melepas tanganku begitu saja. Lalu mulai menaiki tangga.
"hoi," Aku menarik salah satu bahunya keras. Memaksa lelaki itu untuk berbalik menghadapku lagi.
Kise menoleh. Memandangku penasaran. "jangan pernah panggil aku dengan akhiran –cchi lagi." Dapat kulihat matanya melebar.
"kenapa?"
"menjijikkan!" aku berpaling. Meninggalkan orang itu tanpa berbalik lagi. Sempat kulihat matanya membulat sebelum akhirnya aku meneruskan perjalananku.
"hidoi-ssu, [name]-san.." kise menunduk dalam. Suaranya seakan tidak rela dengan apa yang baru saja kukatakan.
Aku berhenti melangkah. Ia panggil aku apa barusan? [name]... san? Apa aku salah dengar? Ia memangilku dengan.. Ah, pasti itu imajinasiku saja. Mana mungkin dia memanggilku dengan sebutan –san.
"hoi kise! Mau sampai kapan kau di sana? Tidak jadi belajar bersama?!" kakak menuruni tangga sedikit terburu-buru.
"ah, senpai. Mungkin aku pulang saja. Aku sedang tidak bersemangat." Kise berjalan terseok melewati tubuhku yang masih mematung di ambang pintu dapur. "jaa, [name]-san." Ia menepuk puncak kepalaku lembut. Lalu menarik tangannya cepat sembari melanjutkan langkahnya tanpa berhenti maupun menengok lagi ke belakang.
"oh, yasudah." Kakak berucap cuek ketika kise akan memakai sepatunya.
"oh iya senpai. Aku tidak akan main di rumahmu lagi. Nampaknya ada yang keberatan aku kemari." Lelaki itu menoleh menampakkan senyum getir di wajahnya yang semulus porselen.
Kamu Kamu.
Apa maksudnya itu aku? Tapi.. hey! Seenaknya saja dia berkata hal seperti itu di depan mukaku. Tidak tahu diri sekali! Tapi baguslah, aku jadi tidak harus menahan kesal setiap melihatnya.
"are? Siapa?" pertanyaan kakak tak mendapatkan jawaban dari yang ditanya karena dia sudah pergi meninggalkan rumah kami. "[name]... apa kau tau siapa orang yang ia maksud?" tanya kakak kepadaku. Namun matanya masih melihat kearah pintu yang baru saja tertutup.
"m-maksudmu apa sih nii?" aku malah balik bertanya.
"aku tidak tahu." lanjutku cuek. Setidaknya itu yang kuusahakan. "benarkah?" kakak melirikku ragu. Kalau tidak bisa mendapat jawaban dariku, mungkin ia akan bertanya pada kise langsung.
Kakak melangkah menuju dapur. Ia melewati tubuhku yang masih mematung di ambang pintu. "jangan menghalangi jalan, [name]." aku terlonjak. Padahal kakak hanya mendorong tubuhku sedikit. "kenapa? Ada apa?" aku tidak menyahut. Tiba-tiba aku tidak berselera makan. Rasanya nafsu makanku meluap entah kemana. Akhirnya, aku melangkahkan kakiku ke kamar. Sudah tidak ada pengganggu itu, jadi aku bisa hidup tenang.
Saat berada di ujung tangga, "nii, tolong katakan pada manusia kuning itu agar jangan pernah nampakkan wajahnya di hadapanku lagi." Kemudian melesat ke dalam kamar. "Ha? Apa maksudmu [name]?" sempat kulihat kakak melongokkan kepalanya dari pintu dapur sambil membawa sekotak susu. Aku yang biasanya akan marah jika kakak meminum susu kesukaanku kali ini hanya diam saja. Berusaha mengacuhkannya. Lalu mencoba menenangkan jantungku yang tiba-tiba berdebar cepat.
Apa ini? Kenapa aku tidak rela melihat dan mendengar pernyataan kise barusan? Aku ingin lelaki blonde itu pergi, tapi kenapa saat dia benar-benar pergi aku malah tidak ikhlas? Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku? Pasti ada yang salah.. Aku..
Aku..
"nii!" spontan aku terlojak, berlari mendobrak pintu dapur. Lalu tanpa pikir panjang segera menubruk tubuhnya keras. Dia yang sedang memegang sesuatu secara reflex segera menyembunyikan apa yang dipegangnya barusan. Gelagapan, ia berencana menceramahiku.
"apa itu?" mataku menyipit. Meminta penjelasan. Meskipun berkacamata, aku tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari dia sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi kakak hanya tertawa hambar sambil melirik ke arah lain. Itu berarti ia tak akan memberi tahukannya padaku meski aku menangis darah sekalipun. Sial.
"di mana rumah kise?" tujuanku kemari adalah untuk menanyakan hal itu. Apapun yang terjadi, aku akan menyelesaikan apa yang telah kuperbuat. Aku akan meminta maaf pada kise. Aku seharusnya tidak perlu melakukan hal kejam seperti tadi. Namun semua sudah terjadi.
"untuk apa kau bertanya? Kau mau kesana?" kakak melotot seketika. Memangnya salah? Dia saja selalu kemari, apa tidak boleh aku kesana?
"A." menjawabku Lantang.
"AP— mau apa kau kesana?!" kakak histeris sekali. Seakan tidak percaya apa yang barusan kukatakan, ia malah menampar mukaku berkali-kali. Hey! Aku sadar. Aku tidak mabuk atau mengigau. Dia pikir aku ini boneka tabok atau apa?!
"sudah cepat beritahu aku!" aku berteriak kesal. Menyebalkan sekali kakakku ini. Selain suka menendang-nendang, dia juga suka memukulku. Dasar kuda liar! "mau apa ke sana?"
"ada urusan!" spontan aku berteriak. Kesal juga menunggu manusia satu ini. Tinggal jawab apa susahnya sih? Memangnya harus di interogasi dulu baru di beri tahu ya? Dasar merepotkan.
"kau tidak boleh kesana!" kakak memasang wajah khawatir. Tatapannya menampakkan ketidak setujuan yang terlihat nyata. Sial! Ada apa dengan orang ini? Segala melarangku pergi. Dia pikir aku tidak bisa menjaga diri sendiri?
Aku menoleh melihat jam. Masih pukul 4 sore. Aku punya banyak waktu sebelum orang tua kami datang. "kalau begitu antar aku ke sana sekarang."
"tidak bisa." Kakak menjawab cepat. Ups, terlalu cepat. Aku curiga di menyembunyikan sesuatu. Mataku menyipit. Kemudian mendekatkan wajahku padanya. Meminta penjelasan. Sekarang aku sama sekali tidak mood untuk berdebat.
"apa? Kau ingin aku menjelaskan apa?!" kakak mundur selangkah. Ia menatapku tak percaya. Tatapan mataku semakin menyipit.
"onii-chan.. kau tahu apa yang akan terjadi jika aku marah, kan?" kulihat dia bungkam. Beberapa detik kemudian menelan ludah takut-takut. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. aku tak akan melepaskanmu bebas nii.. bersiaplah kalau kau ingin mencari masalah denganku.
"uhm.. kalau begitu.." kakak menuliskan sebuah memo untukku. Aku menyambarya ganas bahkan sebelum dia sempat menjelaskan apapun. Sesegera mungkin aku berlari ke stasiun. Naik salah satu kereta menuju alamat yang tertera disana.
20 menit berlalu. Mungkin lebih. Mungkin juga kurang. Aku sampai di depan sebuah rumah berukuran besar. Itupun kalau tidak ingin di bilang megah. Bercorak indah dengan warna yang menenangkan hati. Namun entah mengapa, melihat bangunan itu malah membuatku sesak nafas. Apa ada yang salah? Kenapa jantungku berdetak detak seperti ini? Gugup? Hah, mana mungkin..
"are? Ryouta-kun, jangan begitu.." suara seorang gadis terdengar sayup-sayup dari arah belakang. Reflex, aku menoleh. Mendapati seorang gadis bersama lelaki berrambut kuning sedang berjalan ke arahku. Nampaknya lelaki itu belum sadar aku ada di sini. Aku terdiam melihat pemandangan di hadapanku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Bahkan mataku tak bisa berkedip sedikitpun.
Tes ..
Tes .. Anda ..
Hujan turun. Seketika menjadi deras dalam hitungan detik. Lelaki itu mendongak. Terkejut karena serangan hujan itu. Tatapannya bertemu denganku. Matanya membulat. Jelas sekali terlihat ekspresi terkejut disana. Aku hanya tersenyum. Kehadiranku tak dibutuhkan. Untuk apa aku kesini, sedangkan dia malah berdua-duaan dengan seorang gadis. Aku ingin minta maaf. Tapi..
Ah, aku bicara apa sih?
Sebenarnya aku ini mau apa? Bukankah aku benci dia? Bukankah dia itu menyebalkan? Bukankah aku tak ingin bertemu dengannya? Tapi kenapa aku ada di sini? Apa yang kulakukan?
"[name].." satu kata itu, cukup satu kata itu. Mampu membuatku tersadar dari alam mimpiku.
"apa yang kau laku- name!" aku berlari tiba-tiba. Guyuran hujan semakin bertambah deras. Membuat kulitku terasa sakit karenanya. Dadaku sesak. Nafasku juga sesak. Aku tak ingin berlama-lama di sini.
Berbagai pertanyaan menyeruak di otakku. Bermunculan bagai petasan luncur. Siapa wanita itu? Kenapa dia bersama ryouta? Kenapa ryouta mau saja di peluk-peluk? Kenapa mereka terlihat sangat mesra? Kenapa ia tidak menepis gadis itu? Kenapa? Kenapa?
Ah, sial! Sebenarnya aku kenapa?!
Aku menjambak rambut depresi. Mungkinkah aku cemburu? Seakan tersadar, tubuhku tak bisa di gerakkan. Cemburu? Aku? Aku tak bisa merasakan kekuatan menopang kakiku untuk tetap berdiri. Seluruh otot syarafku tiba-tiba mati rasa. Aku terduduk di jalanan yang sepi. Tak peduli jika akan menjadi tontonan orang lain.
Sekuat tenaga, kuangkat tanganku. Ia bergetar. Aku memandangnya nanar. Kemudian meremas baju yang kupakai sekuat tenaga. Sakit. Apa ini? Kenapa sesakit ini? Rasanya perih, kecewa, tersiksa. Tepat di ulu hatiku.
Ya, selama ini aku sudah cemburu. Pertama, cemburu pada kakakku, karena kise ryouta lebih memilih berduaan dengannya di kamarnya daripada ngobrol bersamaku. Cemburu karena setiap kali aku melewati gedung SMA dan bertemu dengan lelaki itu, dia selalu di kelilingi gadis. Cemburu karena kise ryouta tak pernah sekalipun memperhaikanku. Cemburu ketika melihat dia terlihat asyik dengan seorang gadis cantik di sebuah majalah. Juga, cemburu ketika..
Ah, aku egois sekali. aku terlalu serakah untuk memiliki pria itu seorang diri. Aku ..
Tak pantas.
"[name]!" seseorang menghampiriku kemudian mengguncang bahuku pelan. Bahkan suara lelaki itu terdengar sampai sini. Baunya pun tercium, walau tidak terlalu kentara. Mengingat hal itu, air mataku semakin mangalir deras.
"yappari.." aku masih terisak. Suaraku mengecil sampai tak ada yang mampu mendengarnya. "su-"
"[Name]!"
Aah, kenapa semua jadi gelap?
TO BE CONTINUE :3
