"Maaf, Tuan. Tapi lebih baik seperti ini," ujar seorang gadis belia sambil membenarkan tindakan seorang pria tua berjas hitam rapi.
"Siapa kau sampi bisa menyalahkan Tuan Besar?!" seru pengawal-pengawal pria tua itu yang juga sampa rapinya seperti master mereka.
Yoora muda begitu ketakutan ketika mendengar bentakan keras tersebut. Ia butu-butu mengambil langkah mundur dan membungkukan tubuhnya sembilan puluh derajat sambil berkata. "Joesonghamnida, Tuan. Hamba tidak bermaksud demikian."
Seorang wanita dengan hanbok sederhana tergopo-gopo berlari menuju kerumunan tersebut ketika mendengar suara bentakan. Jantungnya berpacu cepat, antara takut dan lelah. Keringat dingin sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipis berkeriputnya. Ia segera merangkul pundak Yoora denan tangan gemetar. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap Sang Tuan Besar.
"Maafkan putri hamba, Tuan. Dia tidak tahu apa-apa."
BUkan bentakan yang terdengar, melainkan tawa geli mengalun dari dua belah bibir Sang Tuan Besar. Hal itu sontak membuat semua orang di sekitarnya mengangkat alis tinggi-tinggi. Ke mana sifat keras, kaku, dan selalu benar Sang Tuan Besar? Diam-diam Yoora mengintip wajah Sang Tuan Besar dari balik poninya.
"Apa aku sekaku itu?" tanya Sang Tuan Besar entah pada siapa karena tidak ada yang berani menjawab pertanyaannya. Mereka memilih bungkam seribu bahasa. Tangan kasar Sang Tuan Besar meraih wajah Yoora, menangkup pipinya dengan sebelah tangan. "Siapa namamu, anak cerdas?"
Yoora tidak lagi ketakutan seperti tadi. Ia bisa melihat pancaran hangat dari sepasang mata yang menyipit tersebut. "Nama saya Yoora, Tuan. Saya tidak punya marga karena saya hanya rakyat biasa."
"Apa kau sekolah?" tanya Tuan Besar lagi. Yoora kembali menggeleng.
Bukannya Yoora tidak mau sekolah. Hanya saja keadaan yang memaksanya demikian. Bisa makan sehari dua kali saja ia sudah sangat bersyukur. Mana sempat ia berpikiran untuk sekolah? Gadis belia itupun mampu membaca dan menulis hangul karena diajari oleh temannya yang bekerja untuk seorang bangsawan baik hati. Kemampuan terbatas itu ia manfaatkan untuk menggali ilmu sebanyak-bayaknya dari buku-buku usang ia ia temukan di sudut pasar.
"Ikutlah denganku. Kau akan kusekolahkan dan mendapat pendidikan yang baik," kata Tuan Besar sambil mengulurkan tangannya yang berkerut-kerut tegas.
Yoora mengedip beberapa kali, mempertanyakan keseriusan lelaki itu. Kemudian mata lebarnya melirik pada ibunya yang melemparkan pandangan linglung. Yoora menggenggam tangan ibunya erat. Di satu sisi ia ingin memuaskan dirinya kan ilmu. Namun di sisi lain ia tidak bisa meninggalkan ibunya yang seorang janda tua sendirian menjadi tulang punggung keluarga dan merawat tiga adik-adiknya yang belum bisa diandalkan.
Perlahan ibunya menyerahkan tangan Yoora pada genggaman Tuan Besar. Air mata menggenang di mata yang tampak lelah. "Pergilah kalau kau mau pergi. Kau berhak mendapat kehidupan yang lebih baik daripada di sini. Kau bisa menjadi seorang yang berilmu seperti keinginanmu, kan?"
"Ayo," ajak Sang Tuan Besar. Genggamannya mengerat di jemari lentik dan indah milik Yoora.
Gadis itu tetap menoleh ke belakang sekalipun kakinya melangkah maju. Ia melihat ibunya mulai menangisi kepergiannya. Ia pun tak kuasa menahan air matanya.
.
.
.
.
.
Hari ini, hari di mana semua kehidupanku berubah. Aku bukan lagi Yoora, seorang rendahan yang tidak berilmu, ataupun beretika. Aku dididik seara privat. Aku tidak diperkenankan menikmati kebebasakan yang katanya dimiliki tiap orang.
Hidupku ada di balik sangkar emas ini. Dididik sebagai putri yang lemah lembut, penurut, dan berkepala dingin. Dididik menjadi calon istri yang terampil mengurus rumah tangga, suami, juga anak-anakku kelak.
Aku dipersiapkan untuk menjadi istri seorang Byeon Baek Beom.
.
.
.
.
.
Byeon Baek Beom © Byeon Family
Park Yoo Ra © Park Family
EXO © SM Entertainment ® 2012
.
.
.
.
.
Setelah sepuluh tahun menetap di London, aku kembali lagi ke tanah kelahiranku, Negeri Ginseng. Mengulang pendidikan dengan segala kecanggungan dan perbedaan budaya antara Inggris dan Korea Selatan sambil terus berpikir.
Kakek tua itu tidak mungkin menyuruhku kembali kalau bukan karena apa-apa. Sekalipun dia kakekku dan aku cucu tunggalnya, dia tidak akan peduli padaku bila aku tidak terlibat dalam rencana menenai obsesinya.
Cepat atau lambat, aku akan segera tahu rencananya.
.
.
.
.
.
"Kau harus kembali ke Seoul."
"But, Mom—"
"Byun Baek Beom, turuti kakekmu."
Pernyataan yang menyertakan namanya sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis Byun seakan menjadi akhir dari semua perdebatan antara ia dan ibunya selama seminggu ini. Wanita itu terlalu keras kepala untuk sekedar mendengarkan alasan Baek Beom tidak ingin kembali ke Seoul.
Seminggu yang lalu, akun perusahaan mereka dibobol oleh karyawan kepercayaan mereka yang sampai hari ini menjadi burnonan di London, tempat mereka tinggal saat ini. Ayahnya yang tidak bisa menerima hal ini mengalami serangan jantung dan sampai hari ini belum sadarkan diri di ICU. Dengan amat terpaksa, ibunya yang seorang ibu rumah tangga harus turun tangan menyelesaikan masalah di perusahaan.
Ini tahun terakhirnya di sekolah menengah atas. Baek Beom ingin mencatatkan namanya di buku tahunan mereka sebagai siswa salah satu sekolah swasta London, bukan sebagai murid di sekolah Korea. FYI, sekalipun darah Korea mengalir kental dalam darahnya, BaekBeom tidak ingin mengakui dirinya sebagai orang Korea.
Wanita itu memegang kedua pundak BaekBeom yang sekarang sudah semakin tinggi melewati dirinya. Lelaki yang dulunya begitu manja padanya kini sudah tumbuh dewasa menjadi pria yang memukau. Ia tidak bisa menahan senyum haru di wajahnya.
"Kembalilah ke Seoul," suaranya melembut dibandingkan tadi. "Jangan pikirkan kami di sini. Belajarlah dengan baik di sana. Turuti apa kata kakekmu."
BaekBeom tidak tahu harus berkata apa lagi. Pelukan ibunya terasa hambar. Ia menarik koper besarnya masuk ke Bandara Heathrow, bandar udara terbesar di London. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa melihat ibunya lagi. Rahangnya ia keraskan, menampilkan wajah dingin khas dirinya.
Perjalanan menuju Seoul yang harusnya ditempuh selama belasan jam terasa jauh lebih panjang daripada seharusnya. Selama semalaman BaekBeom tidak bisa memejamkan mata. Ia memilih melempar pandangan ke luar jendela, memandangi city lights dari negara-negera yang ia lewati.
Pesawat yang ia tumpangi mendarat ketika hari menjelang sore di Bandara Gimpo. BaekBeom tidak berniat melihat-lihat. Ia langsung mengambil kopernya begitu turun dari pesawat.
"Tuan Muda," panggil seorang pria berjas hitam dan kacamata hitam.
Dalam hati BaekBeom ingin mengejek selera kakeknya yang terlalu hiperbolis. Menyeragamkan pengawalnya seperti mafia begini. Menjijikkan, dengus BaekBeom. Ia langsung menyerahkan kopernya pada pengawal tadi. Ia melangkah menuju seorang pria tua yang umurnya hampir sama dengan kakeknya. Dia Tuan Shim, ajudan kakeknya sejak masih muda.
"Selamat datang kembali, Tuan Muda," kata Tuan Shim sambil membungkuk, memberi hormat.
BaekBeom hanya mengangguk sekilas. Ia mengikuti langkah Tuan Shim menuju sebuah mobil sedan hitam mewah yang terparkir di depan pintu masuk bandara. Ia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan orang-orang di sekitarnya yang melempar tanda tanya akan dirinya.
BaekBeom duduk di samping jendela. Ia tidak mendengarkan apapun yang dikatakan Tuan Shim padanya. Pikirannya sibuk melayang pada rencana-rencana yang mungkin saja direncanakan kakeknya.
.
.
.
.
.
Kazuma House Production
proudly present...
.
.
.
Summer Fault
® 2014
.
.
.
COMING SOON
