BIRTHDAY CAKE (YOUR GUARDIAN)

Dear lovely Readers,

Terimakasih telah menyempatkan waktunya untuk membaca ini. FF ini semata-mata dibuat karena saya kangen banget sama Hunhan moment. Semoga ini bisa menggantikan rasa kangen kalian juga ya! Storyline murni dari isi pikiran saya. Cerita ini akan saya buat alur timeline, dengan setiap jeda waktunya tetapi mungkin hanya terjadi pada awal chapter saja. Chapter 1 dan 2 mungkin belum terlalu fokus untuk Hunhan, tapi saya sarankan untuk mengikuti dari chapter 1, karena jika tidak, cerita yang kalian dapatkan tidak akan utuh :) Sekali lagi, enjoy ya! Selamat berpetualang di ruang imajinasi~

MAIN CAST Sehun x Luhan

This is yaoi story, so beware

Genre Angst, Romance, Fluff, Family


April 1990

Ada pepatah yang mengatakan, "Kasih sayang Ibu sepanjang Jalan, Kasih sayang Anak sepanjang Galah" mungkin kalian sering mendengarnya. Beberapa orang mengambil kesimpulan, bahwa kasih sayang anak mungkin tidak seberapa bila dibandingan dengan kasih sayang seorang ibu. Kasih sayang Ibu kekal, abadi, bagaimana kamu mendeskripsikan kata abadi? Itu tergantung kamu. Cinta ibu tidak terukur, itu mungkin salah satu tolok ukur kita bahwa sebenarnya kata abadi tidak perlu dideskripsikan kembali. Abadi itu tidak terukur, selamanya, menurut saya mungkin kata ini justru tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, mungkin bisa dideskripsikan ketika kamu merasakannya, keabadian cinta seorang Ibu. Beginilah cerita ini dimulai, Minri telah mengetahui arti cinta ibu sebenarnya ketika dia menggenggam jemari kecil putranya untuk pertama kali, walaupun bayi kecil itu menangis kencang karena terlalu asing dengan dunianya yang baru, yang disebut dengan bumi, tapi wanita yang yang wajahnya penuh dengan peluh itu menunjukkan senyumnya yang lebar. Air mata tergenang pada bola matanya seraya mengucapkan, "Selamat datang Luhan, aku Minri ibumu. Aku akan menjagamu, selamanya" begitulah janji itu terucap.

Desember 2000

Luhan menatap nanar Ibunya yang kini sedang mengangkat sebuah koper ke dalam bagasi mobil. Urat-urat pada tangan kurusnya terlihat begitu jelas sebab koper itu terlihat jauh lebih besar daripada massa tubuhnya. Luhan berlari kecil dari teras rumah dan menghampiri Ibunya. "Sini Bu, biar Luhan bantu" Luhan mengambil alih koper tersebut dan benar saja, koper ini benar-benar berat. Tangannya yang lebih kecil daripada tangan Ibunya pun tak sanggup menariknya.

"Hey sudah, sini biar Ibu saja" Ibunya coba mengambil alih kembali, namun Luhan menepis tangannya pelan. Minri menghela napas panjang, "Baiklah, ayo kita bawa bersama ya" Akhirnya diambilah satu keputusan. Walaupun agak sedikit ragu, Luhan pun membiarkan jemari ibunya menangkup jemarinya yang sedang mengangkat koper.

"Kemana Ibu akan pergi?" Ibunya tersenyum lembut, belum menjawab pertanyaanya. Dengan suara buk! kecil menyadarkan Minri bahwa koper tersebut telah berhasil masuk ke dalam bagasi mobil.

"Ke rumah nenekmu di Busan" Luhan mengerutkan dahinya.

"Berapa lama?"

"Tidak lama, mungkin tiga hari saja. Ibu perlu udara segar agar bisa berpikir jernih, tapi Ibu tidak bisa terlalu lama jauh denganmu, Ibu pasti tidak akan tahan" Minri membelai rambut anak laki-lakinya yang kini berusia sepuluh tahun. Matanya mulai berawan.

"Apa aku bisa ikut dengan Ibu? Aku juga tidak tahan kalau tidak ada Ibu" Luhan menarik bajunya, berharap bahwa ibunya akan luluh kali ini.

"Lu, kamu harus sekolah besok. Besok ada ujian untuk sekolah sepak bola, kamu harus ikut. Selama ini mimpi Luhan kan untuk menjadi seorang pemain bola?" Dinding hati Minri mulai perlahan runtuh, janji yang dulu terucap mungkin tidak dapat ditepatinya kali ini. Minri menahan tangis yang ingin pecah, betapa sayangnya ia pada malaikat kecilnya ini.

"Tapi ayah pasti tidak akan suka aku main bola" Jemari mungilnya menangkap jemari Ibunya, hati Minri mulai perih.

"Tapi ayah pasti senang jika anak kesayangannya tidak menyerah mengejar mimpinya" Ada sedikit keraguan pada jawabannya, bahkan Minri sendiri tidak yakin apakah itu benar atau tidak. Minri membungkukkan badannya dan menatap wajah Luhan lekat. Bentuk wajahnya sangat mirip dengan Minri, dengan garis wajah yang mungil, bibir kecil dan mata yang agak membulat, hanya hidungnya yang mirip dengan ayahnya. Begitu lembut, garis itu begitu lembut pada wajah Luhan. Mungkin jika melihatnya dari jauh, dia akan dikenal sebagai anak perempuan bukan anak laki-laki. Terlalu banyak gen dari Minri untuk Luhan katanya. Ah padahal anak ini sangat laki-laki sekali, suka sekali mengacau dalam rumah dengan bermain bola dan memecahkan beberapa vas bunga dan seringkali membuat ayahnya naik pitam. Luhan begitu lembut, tapi kuat di dalam. Itulah yang Minri tanamkan dalam hatinya. Tapi Minri juga ragu, karena Luhan mempunyai sifat yang begitu lembut. Apakah hatinya juga sangat lembut? Minri pun tak sampai hati jika menyakitinya seperti ini. "Dengar Lu, Ibu akan kembali. Ibu janji, bahkan Ibu tidak akan tahan meninggalkanmu dalam waktu tiga hari, Ibu pasti tidak akan tahan. Jadi kamu tunggu Ibu dengan sabar ya? Janji?" Minri bertanya dengan suara yang lirih.

"I—iya Ma" Luhan memanggilnya Mama, yang hanya diucapkan bila dia harus bersikap serius, Ibu adalah panggilan kesayangan Luhan. Ibunya tersenyum, menepuk pipinya lembut dan kemudian membawa tubuh mungil Luhan ke dalam dekapannya. Matanya hampir saja mengecewakannya, air mata tiba-tiba turun dengan deras. "Ibu jangan lupa makan y—ya" kalimat sesederhana itulah yang membuat Minri menyerah.

"Iya luhan sayang"

April 2001

Luhan sudah tahu ketika hari Ibunya pergi, semua kejadian di dalam rumah tidak akan sama lagi. Ayah yang kini jauh lebih pendiam daripada biasanya, hanya anggukan saja yang menjadi jawaban. Atau kini obrolan antara Ibu dan Ayahnya tak semenarik dulu, senyum yang hadir diantara mereka pun kaku seakan takut bahwa senyum itu akan membuat urat wajah mereka putus, ketulusan tidak hadir disana. Luhan tahu itu, dimata mungilnya, pada pikiran yang mungkin belum sepenuhnya mengerti, pada jemari kecilnya yang kini lebih susah menggapai kedua tangan Ayah dan Ibunya, Luhan tahu itu, bahwa Ayah dan Ibunya tidak lagi 'bersama'.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-11. Bisa dikatakan ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu, karena akhirnya bisa bertemu dengan kue bertabur coklat! Coklat yang manis! Tidak ada yang bisa menggantikan kenikmatan coklat! Ibunya hanya memberi kesempatan untuk makan coklat sebanyak-banyaknya hanya pada hari ulang tahunnya, daaan Luhan sangat senang menyambut hari ini! Dia mungkin tidak akan peduli pada kotak-kotak yang berpita cantik diatas meja makan, yang selalu dia difokuskan adalah kue yang bertabur coklat.

Ibunya sering memberinya nasihat agar tidak mengabaikan kado-kado yang telah diberikan padanya. Tapi apa mau dikata, jika coklat sudah ada di depan mata, dia tidak akan mengalihkan matanya pada apapun. Luhan menarik selimut yang menutupi tubuhnya dan mengambil handuk kemudian bergegas ke kamar mandi, ritual hari ini dimulai dengan membersihkan diri tentu saja.

Anak berumur sebelas tahun itu bersiul bahagia pada saat menuruni tangga. Ayahnya sedang duduk di meja makan dan menyeruput kopi paginya. Matanya melirik anak laki-lakinya, "Selamat pagi Jagoan" sapanya pelan namun Luhan masih bisa menangkapnya.

"Selamat pagi Yah" jawab Luhan ceria. Ayahnya tertawa pelan.

"Anak laki-laki Ayah sepertinya terlalu ceria untuk anak umur sebelas tahun karena hanya menatikan kue ulang tahun" Ayahnya bangkit dari kursi dan memeluk Luhan. "Selamat ulang tahun Jagoan, Ibu mu akan datang 15 menit lagi" katanya seraya mengecup dahi Luhan. Luhan tersenyum lebar. Ah tidak ada yang lebih baik lagi selain hari ulang tahun.

Maret 2006

Minri tergopoh-gopoh berlari, kaki kurusnya terus dipaksa untuk bekerja. Peluh pun tak ayal mengalir deras dari wajahnya. Tangannya mengenggam sebuhah tas jinjing yang berisi sebuah kado. Jantungnya berdegup tak karuan. Hari semakin larut dan janji harus ditepati.

Kaki kecilnya berhenti di depan sebuah toko kue yang gemerlap. Minri kemudian berhenti dan mengatur napasnya. Matanya bergulir kesekitar toko yang hampir tutup itu. Orang-orang di sekitarnya menatapnya kesal karena berhenti di tengah jalan, menganggu mobilitas orang-orang. Ia membungkukkan badanya sambil mengatakan, "Maafkan aku" setelah itu dia menengadahkan kepalanya kembali dan mulai berjalan pelan menuju toko.

Toko ini berdesign minimalis, warna sederhana yang mereka tonjolkan, yaitu hitam putih dan abu-abu, tetapi tidak lupa dengan lampu berkelap-kelip di letakkan pada papan nama toko agar terlihat semakin menarik. Mata Minri menyapu papan nama toko itu dan membacanya pelan, "Make Your Wish in Here"

"Minri ah…" suara pelan memangilnya dari depan toko. Minri menatap seorang wanita paruh baya di depan toko, gesture nya mengatakan wanita ini akan segera menutup tokonya. Tangan kananya memegang sebuah gembok dan yang satunya lagi memegang sebuah tas hitam kecil. Mata Minri membelalak, dia menggigit bibir bawahnya.

"Sooyoung?" Sooyoung menarik napas, kaget. Wanita itu berjalan menghampiri Minri yang sangat terlihat putus asa. Dari bawah cahaya rembulan terlihat jelas carut marut pada garis wajahnya. Kesedihan terlintas disana. Matanya kini diliputi oleh lingkaran hitam yang tercetak bundar, dan rambut yang kini terlihat tidak dibenahi sama sekali. Sooyoung tersentak kaget, tidak akan menyangka wanita dahulu sangat cantik kini harus terlihat seperti ini. Sejak kapan Minri bermutasi menjadi Mayat Hidup? Sooyoung meyakinkan dirinya sekali lagi, matanya mentapa lekat mata Minri yang berkaca-kaca. Hal ini ia sesali, karena ia sama sekali tidak melihat sinar kehidupan disana. "Sooyoung ah, tolong aku" pintanya lirih, dan tangispun pecah.

Sooyoung memeluk Minri dan menolehkan wajahnya pada anak laki-lakinya yang memanggilnya. "Sehun tolong buka toko lagi, Eomma kedatangan tamu"

"Dia akan bahagia, Minri ah. Kamu harus percaya itu" Sooyoung menepuk-nepuk pelan bahu Minri. Wanita didepannya hanya menggigit bibirnya.

"Tidak, dia pasti kesal denganku sekarang. Aku sudah tidak pulang ke rumah selama 5 tahun Youngi ah, Luhan pasti marah sekali denganku" Dia meremas jemarinya. Sehun kemudian datang dan menaruh dua cangkir kopi hangat di depan kedua wanita paruh baya yang sedang mengobrol tersebut. "Terimakasih, Sehun ah" Minri tersenyum yang hanya disambut anggukan oleh anak laki-laki itu. Setelah Sehun kembali ke dapur, Minri bertanya "Dia sebaya dengan Luhan kan? Uri Sehuni sangat tampan sekali Sooyoung ah"

"Iya tapi dia selalu saja menguji kesabaranku. Anak ini, sama sekali tidak tahu bahwa Ibunya sangat menyayanginya" Minri tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada keramaian di luar toko. Napasnya membuat seberkas embun pada jendela toko. "Kau ingin meminta tolong tentang apa? Akan aku lakukan jika kau menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu"

"Tumor otak, stadium akhir" Napas Sooyoung tercekat. Tidak…pasti bukan Minri, tolong Tuhan, bukan dia kan? "Sudah 5 tahun ini aku berjuang dengan tumor otak ini. Jarang pulang ke rumah, jarang bertemu dengan Luhan, hanya untuk terapi. Karena aku pikir ini akan teratasi cepat, karena aku pikir kalau aku pergi sementara aku akan menerima kenyataan bahwa perpisahan bukanlah hal yang menakutkan" Sooyoung mendekap mulutnya, menahan tangis. Tidak, dia tidak akan menangis. Tidak dengan keadaaan Minri yang seperti ini. "Diagnosa pertama datang ketika hari ulang tahun Luhan yang kesebelas, hari itu aku bahkan tidak datang ke rumah. Hanya mengirimkan kado dan ucapan ulang tahun. Pasti anak itu tidak membuka kadonya sampai sekarang…" Minri tertawa kecil. "Dia tidak selalu tertarik dengan kado. Dan aku sadar, aku telah memberi sesuatu yang salah padanya. Harusnya aku memberikan apa yang dia suka" Minri kini menatap Sooyoung. Jejak yang tertinggal, jejak yang tidak pernah diketahui Sooyoung, jejak itu kini sangat perih untuk diikuti, sangat perih untuk diketahui bahwa jejak itu akan memudar seiring dengan waktu. Sooyoung menggenggam tangan sahabatnya.

"Akan aku lakukan semuanya untukmu, Minri ah. Bukan, bukan karena aku iba. Tapi kaulah adalah sahabatku, sahabatku yang pernah membantuku merintis usaha kecil toko kue ini. Sahabatku, yang bahkan aku tidak bisa mengucapkan terima kasih padanya" Minri menghapus bulir air yang kini membasahi pipi Sooyoung. "Maafkan aku, aku seharusnya tidak menangis"

"Sooyoung ah, kamu tahu kan hati Luhan sangat lembut, aku tidak akan pernah bisa membayangkan kalau dia mendengar berita ini. Aku tidak sampai hati, aku belum memberitahunya…"

"Itu terdengar tidak bijaksana Minri ah, bagaimana pun ana-"

"Sooyoung, aku pasti akan mengatakannya, ketika waktunya tepat. Dan kini aku butuh pertolonganmu" Minri mengangguk pelan, memberi isyarat. Minri pun melanjutkan "Tolong buatkan kue ulang tahun untuk Luhan, berikan tepat di Hari ulang tahunnya, dengan resep yang sama ketika kita membuatnya bersama-sama waktu SMA. Dan satu lagi, ada satu orang yang harus mengantarkannya ke rumah, orang ini tidak boleh digantikan ya, hanya dia yang boleh mengirimkan kue itu pada Luhan" Mata Minri menoleh ke arah pintu dapur yang terbuka dan memberi senyuman pada sang pendengar cerita yang sedang berdiri disana. Sehun membelalakan matanya, dia merasa malu karena ketahuan sedang mendengarkan. Minri tertawa pelan, "Sehun ah? Mau kan? Jika mengantarkan kue ke rumah Luhan?" Sooyoung menoleh dan menggelengkan kepalanya. Sehun tersungut berjalan menuju kedua wanita tersebut, tetapi akhirnya mengganguk pelan. Hal ini lah yang mengagetkan Sooyoung karena anak ini bahkan terkadang tidak ingin mendengar nasihat Ibu nya sendiri, tapi kini dia menganggukkan kepala kepada Ibu orang lain. Anak ini…

"Hanya itu?" Minri bertanya.

"Tidak, mungkin ini bagian yang paling sulit dilakukan. Aku mau kue itu diantar kepada Luhan selama 5 tahun, berarti 5 kali kau memberinya kue. Setelah 5 tahun itu berakhir, aku akan memberitahunya"

"Bagaimana caranya kau memberitahunya?" Minri menelan ludahnya, hatinya mengecewakannya dengan berkata Apakah Minri akan bertahan sampai 5 tahun ke depan? Pertanyaan itu tidak dikeluarkan, tersengal dalam hembusan napas. Raga ini tak mampu mendengar jawabannya.

Minri tertawa pelan melihat wajah Sooyoung yang mulai berkedut sana sini, "Itu yang sedang aku pikirkan" Sooyoung melihat Sehun nanar dan anak itu mengangkat bahu. "Ada ide Sehun ah?"

"Tidak" jawabnya pelan. Minri menggigit bibir bawahnya menatap Sehun dengan sarat makna. Entah apa yang dia pikirkan, tapi dari situ takdir Sehun pun berubah. Hal ini lah yang membuat kehidupannya seakan jungkir balik, salto, dan Minri menyimpan sebuah rencana, rencana rahasia, dibalik resep sebuah kue.

"Tolong lindungi Luhan ya, aku titipkan dia padamu" begitu saja janji terucap, walaupun sepersekian detik syaraf tubuh bisa bekerja, tetapi Sehun baru mengetahui makna dari kata tersebut setelah bertahun-tahun kemudian, hari itu dia hanya bisa mengangguk pelan dan mengangkat bahunya lagi. Minri tersenyum senang.