Dimohon, dengan amat sangat... JANGAN MEMFAVORITKAN/MEMFOLLOW cerita ini tanpa meninggalkan REVIEW sebelumnya. Please, tolong hargai karya saya lewat tindakan kecil ini.


a/n:

Hi!

Aku bawa another chaptered story bergenre friendship (lagi) yang super ringan (lagi).

Entah kenapa aku jatuh cinta sama genre satu ini, terutama setelah menemukan di FFn jarang banget ada yang mengangkat tema ini. Huhuhu

Idenya terlintas begitu aja di kepala. Tapi aku bingung mau masukin slight official pairing atau ngga di cerita ini, so any idea? ;)

Maafkan jika di cerita ini aku tidak menyajikan cerita percintaan yang menggelora (?) karena fokusnya memang pada persahabatan itu sendiri.

Dan yang terpenting, semoga cerita ini tidak cheesy. Hiks

Kritik dan saran sangat dinanti.

Gamsahamnida!

Note: Italic berari flashback.

.

.


If we could unfold the future, the present would be our greatest care.


.

.

Kepada seluruh siswa kelas tiga diharapkan untuk berkumpul di aula untuk melakukan gladi resik. Diulangi, kepada seluruh siswa kelas tiga...

Seorang pemuda bertumbuh gemuk dan berkaca mata tebal nampak berlari-lari sepanjang koridor sekolah. Paru-parunya terengah-engah diiringi keringat yang meluncur deras di pelipis. Kakinya berusaha melangkah lebih gesit namun apa daya—karena beban tubuhnya yang berlebihan, kecepatannya tetap konstan. Kancing kemejanya seakan hendak terlepas karena tertekan oleh perutnya yang buncit. Dasi namja ini berayun ringan seiring dengan derap yang dipaksakan.

Namja tersebut mendorong sebuah pintu dengan terburu-buru. Ia mendesah lega, rupanya ia belum terlambat.

Matanya kemudian diedarkan untuk mencari-cari sosok lain.

Ck, apa mereka membolos gladi resik lagi? Rutuknya dalam hati.

Seorang yeoja tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang, membuatnya memekik kaget.

"Heh gendut, dimana temanmu yang tampan itu?" Chen berbalik, dihadapannya terdapat sekelompok gadis dengan rok diatas lutut, menampilkan kaki mereka yang jenjang. Yeoja bernama Soojung melambai-lambaikan tangannya tepat di hadapan Chen, "Heh gendut, kau tak dengar kataku ya?"

Chen menelan ludah. Dengan make up tebal, gesture yang dibuat-buat, dan seringai melecehkan—sekelompok gadis lebih pantas disebut menyeramkan daripada cantik.

"M-maksudmu Kris?" tanya Chen terbata.

"Cih, tentu saja bukan. Aku tidak tertarik pada temanmu yang angkuh itu." Gadis itu memutar bola matanya cepat, "Temanmu yang satunya—Jongin—tentu saja."

Chen mengangguk-angguk paham. "Aku juga sedang mencari mereka."

"Huh, ya sudah. Jika kau bertemu dengannya, sampaikan kalau setelah gladi resik—aku menunggunya di ruang UKS untuk menagih ucapan yang dia janjikan semalam." Ucap gadis itu genit.

"Memangnya dia menjanjikanmu apa?" tanya Chen dengan mulut membulat.

"Dia berjanji—ah, sudahlah. Orang jelek sepertimu pasti tidak tahu apa-apa." Gadis tersebut kemudian melengos pergi. Tidak lupa ia melemparkan seringai menyebalkan pada Chen. Teman-teman gadis itu juga turut memberikan tatapan menghina dan tawa mengejek.

Chen sudah terbiasa. Ia sudah terbiasa dihina gendut, jelek, kutu buku, kuper, miskin, atau apapun sebutan menyakitkan lainnya. Tapi ia tidak pernah marah karena memang begitulah adanya.

Tubuhnya tambun dengan lipatan lemak bertumpuk. Untunglah seragam sekolah menyelamatkannya dari selera fashionnya yang buruk. Sebuah kaca mata minus tebal bertengger di hidung. Ketika jam istirahat tiba, ia hampir selalu dapat ditemukan di sudut perpustakaan dengan setumpuk buku. Rambutnya sangat out of style, old style, style orang tua atau apapun istilah yang dapat menggambarkan keadaannya. Meskipun penampilannya menjadi bahan tertawaan, guru-guru sangat menyanyanginya karena otaknya yang cemerlang. Secara fisik, Chen memang tidak menarik. Tapi di balik penampilannya itu, tersimpan sebuah hati yang hangat dan tulus.

Dan hanya ketiga orang sahabatnya lah yang dapat melihat sisi ini.

.

.

.

FOUR SEASONS

AUTHOR: kwondami

CASTS: Kris, Chanyeol, Chen, Jongin.

EXO FANFIC

GENRE: Friendship and Slight Romance (maybe next chap).

RATING: T

.

.


'Cause the future is borderless...


.

.

.

"Hah, disini—hah—kau rupanya." Chen memegang lututnya yang bergetar. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang tubuh tambunnya ke tembok. Nafasnya memburu.

Seorang pemuda bersurai cokelat yang sedang tiduran dengan setangkai ilalang di bibirnya menoleh pada Chen. "Oh hi, Chen-Chen. Kau nampak sedikit lelah." Sebuah cengiran lebar tergambar di wajahnya.

"Kenapa—hah—kau—senang sekali—bersembunyi di atap sekolah sih? Kau kan tahu anak tangga untuk menuju kesini tidak sedikit." Gerutu Chen dengan nafas yang belum normal.

Pemuda yang diajak bicara Chen hanya mendelik jenaka, "Bagus kan, supaya kau sedikit berolahraga." Balasnya. Ia kemudian memposisikan tubuhnya berdiri sambil menepuk-nepuk debu dari celananya. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap Chen yang dipenuhi keringat. "Wah, kau benar-benar kepayahan rupanya Chen-Chen."

Chen melirik sebal, "Jangan panggil aku seperti itu Park Do Bi."

Park Do Bi alias Park Chanyeol tertawa. Ledekan Chen untuknya lebih tedengar konyol daripada menyebalkan.

"Oke oke, jadi apa yang membawa si juara umum olimpiade Kim Jongdae ke atap sekolah di siang hari ini?"

"Kenapa kau membolos gladi resik? Kau kan tahu gladi resik upacara kelulusan itu sangat penting." Omel Chen tanpa jeda.

"Penting untukmu dan Kris, bukan untukku." Ujar Chanyeol seraya menunjuk dirinya. "Lagipula aku bosan dengan acara formal seperti itu, buang-buang waktu saja." Sambungnya malas.

"Oh ayolah, anggap saja ini momen terakhir kita di SMA." Bujuk Chen.

Chanyeol mengangkat bahunya tak peduli.

"Ngomong-ngomong dimana Kris dan Jongin?" tanya Chen lagi.

"Kris sedang berpacaran dengan bola basket sedangkan Jongin—yah—cari saja dia di setiap sudut remang-remang sekolah ini, kau pasti akan menemukannya." Jawab Chanyeol cuek. "Dengan pasangan one night stand-nya—tentu saja." Sambungnya sambil nyengir.

Chen berdecak. Ia kemudian melangkahkan kakinya ke arah pagar kawat yang terdapat di sisi rooftop. Dari sela-selanya ia bisa memandang ke bawah. Tampak seorang pemuda berambut pirang tengah men-dribble bola berwarna oranye dengan semangat. Pemuda tersebut menanggalkan jasnya serta menggulung kemejanya hingga ke siku agar tak menghalangi pergerakan. Empat buah kancing terbuka di bagian atas, menampakan dadanya yang bidang. Dasi merah dengan lambang sekolah masih melingkar di lehernya meskipun bentuknya sudah tak karuan.

Pemuda dengan tinggi melebihi rata-rata anak SMA pada umumnya tersebut melakukan shot dengan mulus seakan hal tersebut biasa ia lakukan. Tidak ada sorak sorai seperti biasa karena saat ini ia hanya bermain sendirian di lapangan basket. Murid-murid kelas tiga lainnya sedang berkumpul di aula untuk gladi resik. Sedangkan murid-murid kelas dua masih ada kegiatan di kelas masing-masing.

"Kris!" Chen berteriak senyaring mungkin dari rooftop. Namun seruannya hanya terbawa angin. "WU YI FAN!" panggil Chen lagi, kali ini menyebut nama asli Kris.

Yang dipanggil sempat menghentikan permainannya. Ia kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara. Karena merasa tak juga menemukan si pemanggil, Kris kembali 'memacari' bola bundar tersebut.

Chen menghela nafas putus asa. Ia kemudian menoleh pada Chanyeol, "Ayo kita turun. Aku akan menarik Kris agar ke aula lalu mencari Jongin."

Chanyeol merenggangkan tangannya lalu menguap lebar, "Hoaahhmmm... kau saja ah, aku malas."

Chen melotot. "Aku tidak mungkin kembali ke aula tanpa kalian bertiga. SooMan seongsaenim akan ngamuk padaku."

"Lalu mencopot titel murid teladan darimu begitu?" goda Chanyeol. "Hahahaha, aku bercanda aku bercanda. Aku mau ke aula asal Kris dan Jongin juga mau kesana." Lanjutnya sambil terkekeh.

Mereka berdua pun menuruni tangga curam. Chanyeol harus memegangi Chen agar sahabatnya itu tidak tergelincir karena tubuhnya yang dua kali lipat ukuran remaja normal. Chanyeol memang suka menggoda Chen karena ukuran tubuhnya yang besar, namun di dalam hati sebenarnya ia merasa kasihan. Chen tidak mampu bergerak gesit, ia juga mudah lelah.

Setelah usaha yang keras, mereka akhirnya tiba di lapangan basket tempat Kris berada.

Kris dan basket adalah sejiwa. Ketiga sahabatnya paham betul, Kris akan benar-benar 'hidup' jika dirinya sudah dihadapkan pada olahraga tersebut. Kakinya yang jenjang seperti diciptakan untuk melompat. Lengannya yang kokoh sungguh fleksibel dalam menggiring bola. Bulir-bulir air mengalir di dahi Kris yang mulus. Rambutnya berkilauan karena keringat. Nafasnya yang terengah-engah dan seruannya ketika berhasil meloloskan bola terdengar sangat sexy.

Kris saat sedang bermain basket terlihat berkali lipat lebih tampan daripada Kris yang biasanya. Semua namja maupun yeoja di sekolah mereka mengakui itu. Kris bisa saja dianggap lebih populer dari Jongin seandainya saja ia bisa bersikap lebih ramah.

Ya, semua orang mengakuinya.

Kris bukanlah seorang yang menyenangkan untuk dijadikan teman.

Karena itulah baik murid maupun para guru heran ketika Chen si kutu buku kuper dapat masuk ke dunia Kris. Chanyeol si pembuat onar juga nampak cocok dengan Kris meskipun sifat keduanya berlawanan—yang satu si happy virus—yang satu lagi berjulukan cold virus. Adanya Jongin di tengah-tengah mereka membuat grup ini semakin janggal.

Mereka ibarat mewakili empat musim yang berbeda.

Kris yang dingin adalah penggambaran nyata dari musim dingin,

Chanyeol yang ceria dan tidak bisa diam ibarat cerahnya cherry blossom di musim semi,

Jongin si pemikat bagaikan musim panas yang bergelora,

Sedangkan Chen adalah perumpamaan musim gugur. Kepribadiannya yang tenang dan tidak meletup-letup seperti daun-daun mapple yang berguguran—tenang dan damai.

.

.

Keempat musim tadi adalah bagian dari siklus perputaran bumi pada matahari.

Dan sungguh, mereka pun kini tengah bergerak pada porosnya masing-masing sambil berputar mengelilingi takdir yang telah digariskan.

Harapan, keinginan, impian...

Ibarat empat musim yang berbeda, mereka saling melengkapi.

Saling berbagi, saling mendukung, saling menutupi kekurangan masing-masing...

.

.

"Jongin aaaakkkkhhhh jangan disini~"

"Ssssst diamlah, keluarkan saja desahanmu."

"Jongin ooohhh tidak jangan disitu ahhhh~"

"Ah—ya—terus—mendesahlah, kau seksi sekali."

PLETAK

Sebuah sepatu sukses melayang tepat ke kepala namja bersurai hitam. Si pemilik kepala meringis marah.

"YA! SIAPA YANG BERANI MENGGANGGU KESENANG—AN—KU..." Seruannya teredam karena kini sebuah tangan berhasil menyekap mulutnya. Sedangkan sebuah tangan gemuk mulai menyeret kakinya.

"Aish, apa tidak bisa kau melakukannya di tempat yang lebih tertutup!? Kau ini, baik yeoja maupun namja sama-sama kau embat." Kata Chanyeol dengan nada ketus. Tangannya masih bertengger manis di mulut Jongin, membuat sahabatnya itu meronta-ronta. "—Mppphhhhh lepaskamphh—aku!"

Seorang namja yang menjadi teman kencan Jongin buru-buru mengancingkan seragam dan menyeletingkan celananya. Kepalanya tertunduk malu. Ia merasa canggung karena momennya diinterupsi oleh tiga orang yang kini berdiri di hadapannya. Sebelum ia melangkah pergi, ia masih sempat menangkap lirikan tajam dari pemuda pirang yang tengah bersender pada tembok. Si pemuda pirang menatapnya dengan penuh arti.

"Mianhae—Tao—aku mmmppphhhh—akan ke kelasmu nanti." Jongin berusaha berbicara dari balik telapak tangan Chanyeol. Setelah namja yang dipanggil Tao itu sudah benar-benar hilang, Chen dan Chanyeol akhirnya melepaskan sekapan mereka.

"Aish! Aku hampir kehabisan nafas tahu! Kepalaku juga benjol!" protes Jongin kesal.

"Bukankah tadi itu si Huang Zi Tao si anak kelas satu? Wah, kau hebat juga bisa memikat dia. Ku dengar dia juga cukup populer." Komentar Chanyeol.

"Huh, tentu saja. Siapa sih yang tidak tahan godaan seorang Kim Jongin." Jongin mendelik nakal. Tangannya kini sibuk membenahi dasinya yang acak-acakan karena 'aktivitas' barusan.

Kris yang dari tadi diam hanya melempar pandangan tak berminat.

"Nah, mari kita menuju aula." Chen mengecek jam tangannya lalu berkata, "Oh tidak, gladi resiknya akan berakhir sepuluh menit lagi. Kita harus bergegas."

"Wah wah, aku tidak sabar mendengar kata-kata terakhir Kris sebagai salah satu perwakilan murid di upacara kelulusan nanti." Seru Chanyeol girang.

"Aku tidak tertarik." Sebuah kalimat akhirnya meluncur dari bibir Kris.

Chanyeol terkekeh. "Ngomong-ngomong aku jadi ingat pidatomu di upacara penyambutan murid baru saat kita baru masuk sekolah ini." Chanyeol berjalan mendahului mereka lalu berbalik. Mimik mukanya ia buat sedingin dan sekaku mungkin. Alisnya meninggi, tatapan matanya ia ubah menjadi tajam, suaranya dibuat serendah mungkin—lalu ia berkata, "Aku bosan."

Tawa Jongin meledak.

"Hahahaha... bukannya mirip Kris, kau malah lebih mirip SooMan seongsaenim yang sedang menahan buang air besar!"

Chen terkikik.

Ia melemparkan pandangan ke arah jendela. Semilir angin berhembus di antara sela-sela kaca, membawa harumnya bunga-bunga yang bermekaran. Meskipun saat ini memasuki penghujung musim dingin, angin segar dan wangi rumput sudah mulai tercium. Mereka akan memasuki musim semi ketiga mereka di SMA. Di Korea Selatan tahun ajaran baru dimulai pada awal bulan Maret. Untuk sekolah menengah di negara ini, waktu yang dihabiskan seorang murid di sekolah bisa mencapai empat belas jam sehari. Jadi, bukan hal yang aneh jika pulang sekolah tengah malam. Maka tak heran jika kelulusan adalah momen yang sangat dinanti.

Chen melayangkan ingatannya pada hari pertama ia melangkahkan kaki di sekolah ini. Saat itu ia belum mengenal siapa-siapa. Tubuhnya lebih gemuk dari ukurannya saat ini. Dengan seragam yang terseterika rapi, ia berbaris tertib di antara murid-murid baru di aula sekolah. Sebuah senyum terkembang. Ia sangat bersemangat untuk menjadi murid SMA.

.

.

"Acara selanjutnya adalah pidato sambutan dari perwakilan murid baru yang berhasil masuk dengan nilai tes tertinggi. Mari kita sambut, Wu Yi Fan!"

Suara tepuk tangan membahana seisi aula. Namun sampai tepuk tangan ini berakhir, murid yang dipanggil belum juga menunjukkan batang hidungnya.

"—Mari kita panggil Wu Yi Fan!" ulang SooMan seongsaenim sambil mengendarkan pandangan ke arah lautan murid kelas satu.

Setelah panggilan diulang tiga kali, sesosok pemuda berambut pirang akhirnya menapaki tangga podium dengan enggan. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menimbulkan kesan arogan. Kemejanya tidak dimasukkan, simpul dasinya melorot. Telinganya dihiasi sepasang earphone berwarna putih. Wu Yi Fan melangkahkan kakinya dengan malas. Ia tak peduli dengan suara-suara bisikan yang mulai mengomentari penampilannya yang urakan.

SooMan seongsaenim tersenyum cerah. Ia kemudian menyodorkan pengeras suara ke arah Kris.

"Baiklah, sekarang mari kita dengar kata sambutan dari Wu Yi Fan sebagai peraih nilai tes sempurna!" tepuk tangan panjang kembali bergema. Yi Fan hanya menatap guru-guru di sampingnya dan barisan murid baru di hadapannya dengan tidak berminat.

Tepuk tangan mereda namun pemuda yang dinantikan sambutannya belum juga mengeluarkan sepatah kata.

SooMan seongsaenim menginjak kaki Yi Fan, mendesaknya untuk bicara.

Kaki Yi Fan bergerak satu langkah ke depan. Ia mengetuk-ngetuk mic di hadapannya, menimbulkan suara melengking.

Siiiiiinnnnggggggg

Seluruh orang di tempat itu sontak menutup telinga.

"Tes tes."

Seisi aula hening ketika pemuda berambut mencolok yang kini tengah berdiri di panggung mulai menggerakan bibirnya.

Ia nampak menghela nafas pendek lalu menatap tajam kerumuman siswa yang memandanginya dengan antusias.

"Aku Kris."

Semua mata kini tertuju pada sosoknya yang tinggi menjulang. Beberapa gadis maupun namja bermental uke mendengus resah ketika melihat dada Kris yang sedikit terekspos karena tiga buah kancing kemeja yang sepertinya sengaja dibuka.

Semua orang menanti kalimat berikutnya dengan tidak sabar. Bagaimanapun juga, sosok Kris sangatlah menarik. Ia tampan, pintar, namun urakan. Apakah hanya sebuah keberuntungan ia meraih nilai tes tertinggi?

Sunyi senyap sampai seuntai kalimat kembali terdengar.

"Aku Kris," ulangnya lagi.

Jeda beberapa saat sampai ia melanjutkan.

"Dan aku bosan."

Hanya tiga kalimat.

Kemudian tanpa mengidahkan tatapan shock dari para guru, Kris menuruni tangga podium dengan tangan masih di dalam saku celana. Kepalanya tegak tak peduli. Tatapannya lurus tak acuh.

Hening.

Seisi aula hening seketika.

Bahkan SooMan si kepala sekolah belum bergerak dari tempatnya berdiri. Oh, jangan lupa—bibirnya yang keriput itu masih menganga lebar.

Sebuah tepukan datang dari barisan murid baru. Seorang murid bersurai cooper brown dan berwajah jenaka bertepuk tangan sambil terbahak. Ia tertawa sambil memegangi perutnya. Ia tak mempedulikan ratusan tatapan mata yang menganggapnya aneh.

"HAHAHAHAHA, ASTAGA TADI ITU KEREN SEKALI! IYA KAN?" Ia menoleh pada murid gendut berkacamata yang ada di sampingnya, siapa lagi kalau bukan Chen. Chen menggosok-gosok lensanya yang tebal dengan canggung. Belum saja selesai kejadian aneh di podium tadi, kini di sampingnya—seorang pemuda yang sangat tinggi—tak hentinya terbahak diantara murid-murid yang masih sunyi senyap.

Dunia SMA sungguh ajaib.

Pikir Chen dalam hati.

Seorang pemuda lain yang berdiri di samping Chen memamerkan seringai meremehkan. Ia bergumam pelan, namun Chen bisa mendengarnya. "Hmmm... menarik sekali. Sepertinya dunia SMA tidaklah buruk." Pemuda berkulit tan tersebut melengos pergi diiringi tatapan kagum dari murid-murid lainnya.

.

.

Bulan Maret, saat itulah Chen bertemu dengan ketiga orang yang akan menjadi sahabatnya. Sebuah upacara penyambutan yang 'tidak biasa' yang akan terkenang seumur hidup.

Mereka disatukan oleh suka duka, tangis dan tawa.

Kepribadian mereka yang berbeda ibarat penggambaran dari empat musim.

.

.

Namun cerita ini tak akan kumulai dari musim semi.

Melainkan kumulai darimana saat daun-daun luruh ke bumi.

Musim dimana warna cokelat dan kuning berkonspirasi menciptakan harmoni.

Musim setelah terjadinya ekuinoks dengan pergerakan matahari meninggalkan zona nyamannya.

Musim dimana desauan dingin mulai membelai kulit, namun belum cukup untuk membuatmu menggigil.

Musim dimana rindu mengalah diri seiring kelopak yang berguguran.

Musim gugur.


to be continued...


.

.

a/n:

Dilanjut atau ngga itu tergantung antusias dan review dari readers.

Gomawo sudah menyempatkan membaca cerita ini. :)