Dia cantik. Mata sipitnya sangat pas dipadukan dengan softlens minus, yang menambah nilai kecantikannya. Ditambah lagi dengan senyuman manis dan tawa renyah yang menghangatkan hati orang-orang.
Lalu aku? Aku juga tidak kalah cantik. Aku memiliki mata sipit seperti dia, bahkan jika aku tersenyum atau tertawa akan membentuk eye smile. Kulitku putih sesuai dengan gen ibuku.
Dia adalah sahabatku, Luhan. Kami bersahabat sejak Masa Orientasi Siswa SMA. Aku masih ingat, dia menggumam, "Kemejanya putih sekali. Mataku jadi sakit." Haha. Memang kemeja yang kukenakan saat itu baru. Kemudian kami bercakap-cakap dan sejak saat itulah kami berteman dan menjadi sahabat.
Kecantikan Luhan menarik banyak perhatian para lelaki, bahkan senior kami. Luhan memiliki watak yang ceria sehingga mudah bergaul dengan siapa saja. Sedangkan aku, aku juga memiliki watak ceria namun hanya kepada mereka yang dekat denganku saja. Aku seolah memberi batas kepada mereka yang hanya mengenal namaku saja.
Saat kami masih kelas satu, aku dekat dengan salah satu senior dari jurusan IPA. Aku mengenalnya sebagai sosok yang murah senyum, pandai menghibur, perhatian, dan tampan.
Senior itu adalah Chanyeol.
Tetapi, dia penipu. Dengan sikap menawan yang sudah menggetarkan hatiku, dia memiliki maksud lain.
Chanyeol mendekatiku karena Luhan. Chanyeol menginginkan Luhan.
Bukan aku, Baekhyun.
"Baekhyun! Ayolah, kau pasti bisa. Luhan saja sudah bisa memasukkan bolanya." Chanyeol berteriak dari pinggir lapangan disamping Luhan. Sedari tadi aku mencoba memasukkan bola ke dalam ring, tapi selalu saja gagal. Sedangkan Chanyeol dan Luhan hanya duduk dan meneriakkan kata semangat saja. Sakit telingaku.
"Yah Luhan bisa karena kau yang menuntunnya Sunbae." Aku menggerutu. Sekali lagi aku mencoba melempar bola menuju ring, tapi gagal lagi.
Hhhh. Menyebalkan.
"Kau harus bisa. Ayo ikuti aku." Tiba-tiba saja Chanyeol berada di balik punggungku dan menarik lenganku keatas untuk menuntunku melempar bola. Chanyeol berbicara banyak, tentang bagaimana tubuhku harus bersikap. Tapi, bagaimana aku bisa mendengar ucapannya jika yang terdengar hanyalah degup jantungku?
"Fokus Baekhyun." Pandanganku segera kutujukan pada ring basket di ujung lapangan.
"Yes! Berhasil!" Chanyeol membuka tangannya dan kami melakukan high five berulang-ulang karena aku terlalu gembira.
"Luhan ayo bertanding dengan Chanyeol. Dua lawan satu." ucapku jahil. Aku dengan Luhan di satu team dan Chanyeol sendirian. Dia lelaki bukan?
Aku tidak pernah melupakan hari itu.
Hari mulai gelap ketika kami selesai bermain bola basket. Luhan segera menelpon supir pribadinya. Setiap harinya aku pulang dengan bus, jadi aku selalu menunggu Luhan dijemput di halte sekolah.
Tapi, sore ini berbeda. Chanyeol ikut menunggu dan menawariku untuk pulang bersama.
Oh Tuhan. Aku punya masalah sekarang. Bagaimana aku bisa mengontrol degup jantungku? Aku pasti mati terkena serangan jantung.
"Kau ingin makan?" ucap Chanyeol setelah Luhan pulang.
"Bagaimana dengan semangkuk Ramyeon?" Chanyeol dengan segera mengangguk dan melajukkan motornya.
Aku sungguh tidak pernah melupakan hari itu.
Kami menikmati semangkuk Ramyeon di kedai pinggir jalan ditengah keramaian kota. Aku tidak menyangka, hari ini sungguh ada.
"Baekhyun, aku ingin berbicara."
"Hmm. Bicaralah." Aku masih menyeruput kuah Ramyeon yang tersisa.
"Aku menyukai Luhan."
Aku tidak percaya hari ini ada.
"Lalu?" Aku berucap dengan nada yang sewajar mungkin.
"Bisa bantu aku?"
Jadi, itu sebabnya Chanyeol mengajakku makan.
Sungguh, aku masih mengingat hari itu hingga saat ini.
