Don't Wanna Fall in Love

[BTS Fanfiction. Vkook/Taekook] Jungkook adalah murid kesayangannya, cerdas juga aktif mengikuti kelasnya. Tapi Taehyung tak bisa berkata apapun saat ia melihat sosok itu berbalik di dalam kamar bercahaya redup di bar. Presepsinya untuk Jungkook yang manis dan ceria sirna sudah.

.

.

The characters belong to themself and bighitent.

Pair :

Kim Taehyung x Jeon Jungkook

Kim Namjoon x Kim Seokjin

Park Jimin x Min Yoongi (soon)

Warning :

Typo(s), Mature Content, OOC, and many more.

Important Notes!

Taehyung, Namjoon : 32 y/o

Hoseok : 33 y/o

Jungkook, Jimin : 21 y/o

Yoongi : 23 y/o

.

.

Chapter 1

First Night

.

ENJOY


Taehyung memijat pelipisnya pelan, ada tumpukan kertas yang disatukan dengan kawat gulung di mejanya. Tugas-tugas yang belum ia periksa, total dari delapan kelas yang ia ajar. Menjadi dosen fisika dasar membuatnya harus menilai satu persatu soal yang diisi oleh mahasiswanya, mulai dari langkah atau bahkan satu kekurangan angka dan lambang penting.

"Kau terlihat lelah sekali, Profesor Kim."

Taehyung menoleh ke atas, ada Kim Namjoon, dosen psikologi yang tengah meminum secangkir kopi, asapnya masih mengepul. Ia adalah rekannya semenjak mngambil pendidikan magister, menjadi rekan dalam suka duka menjalani kehidupan seorang pengajar mahasiswa.

Taehyung pikir, menjadi dosen itu mudah. Mengajar remaja menjelang dewasa yang notabennya lebih mudah diatur dari pada anak SD-SMP-SMA. Ia langsung mengenyam pendidikan magister setelah lulus sarjana, berjuang mendapatkan sertifikat mengajar setelah lulus dan akhirnya resmi menjadi dosen. Tapi kenyataan berkata lain, Taehyung sulit tidur hanya karena menyiapkan materi, tak punya waktu untuk hang out karena banyak mahasiswa yang meminta bimbingan skripsi padanya. Dan ia sedikit menyesal mengikuti cita-citanya.

Ayah Taehyung adalah seorang guru sekolah menengah atas, dengan mata pelajaran matematika. Taehyung selalu kagum kepada ayahnya yang berwibawa, tegas dan pintar. Taehyung bilang ingin menjadi guru juga seperti Ayahnya, tapi Ayahnya bilang jangan karena gaji guru pada saaat itu sedikit. Ayahnya menyarankan menjadi dosen karena bayarannya lebih besar jika Taehyung tetap kekeh ingin menjadi guru. Dan Taehyung mengikuti sarannya.

Tapi di balik sedikit penyesalannya itu, Taehyung menikmati pekerjaannya. Ia bisa berintaraksi dengan anak-anak muda—Tahyung bukan kakek-kakek tua, usianya baru akan mencapai tiga puluh dua tahun ini—yang berbagai macam, karena Taehyung suka berinteraksi dengan orang baru. Ia juga senang karena kini ia menjadi dosen yang dihormati dan disenangi karena kecakapannya mengajar. Dan kalau mau boleh narsis sedikit, karena tampangnya.

"Aku hanya berpikir bagaimana caranya tumpukan kertas ini hilang dari hadapanku, Namjoon-ah." Taehyung melonggarkan dasinya, hari ini ada upacara penerimaan mahasiswa baru jadi ia harus berpakaian dengan rapi, dan Taehyung membenci dasi.

"Bakar saja," kata Namjoon polos membuat Taehyung ingin menjambak rambut pirangnya yang nyentrik itu, "maksudku, yah, kau tahu, beberapa rekan kita melakukannya dan memberi nilai asal kepada murid mereka."

Taehyung terkekeh, ia dan Namjoon adalah salah satu pemegang prinsip guru yang baik dan benar. Memang melelahkan untuk memeriksa pekerjaan satu persatu murid dan memberi mereka nilai sesuai kemampuan, tapi mereka bilang itu konsekuensi pekerjaan. Tapi beberapa—mungkin mayoritas—dosen yang lain hanya menyimpan tumpukan tugas mereka di gudang tanpa membacanya lalu memberi nilai sekenanya, memberi A atau B pada murid favorit yang aktif dikelas dan C kebawah untuk murid pendiam meski sebenarnya mereka pandai.

"Kau tidak ada kelas?" kini Taehyung benar-benar melepas dasinya, memakai kacamatanya lalu mengambil komputer jinjing juga beberapa buku yang ia perlukan untuk kelasnya yang akan dimulai sebentar lagi.

"Aku kosong, kelas terakhirku berakhir lima belas menit yang lalu." Namjoon menyisir rambutnya ke belakang, menyesap kopinya pelan-pelan. Fakultas Namjoon dan fakultas yang Taehyung ajar tak berjarak jauh, jadi Namjoon sering mampir atau sebaliknya jika mereka tak ada jadwal, makan siang di kantin bersama atau sekedar berdebat tentang politik dan sebagainya di ruang dosen Taehyung, yang kemudian mendapat protes berisik dari rekan seruangan Taehyung.

"Ah, mau menemui dokter itu lagi sekarang?"

Taehyung tertawa jahil saat melihat Namjoon tersedak saat menenggak cairan kopinya. Pria itu sangat mudah dibaca jika sedang jatuh cinta. Namjoon akan menjadi ceroboh dan kaku jika sedang jatuh cinta, berbalikan dengan kewibawaannya saat mengajar dan otak jeniusnya.

Namjoon pernah terjatuh dari sepedanya saat berangkat ke kampus—setiap selasa dan jumat Namjoon akan menggunakan sepeda ke kampus, untuk olahraga katanya—dan dahinya terbentur trotoar hingga berdarah banyak sekali. Ia dilarikan ke klinik sekolah dan ada dokter baru di sana, namanya Kim Seokjin. Dan sepertinya rekannya itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Meski sudah tidak apa-apa, Namjoon masih sering datang ke klinik dengan alasan kepalanya sering pening sejak insiden jatuh itu. Tentu saja itu hanya akal-akalan agar ia bisa terus menerus menemui Seokjin.

"Aku hanya akan mampir dan mengajaknya makan malam bersama. Jika shift-nya sudah selesai." Namjoon mengelap sudut bibirnya yang terkena noda kehitaman kopi, menatap Taehyung terlalu bahagia dengan senyumnya sampai Taehyung meringis geli melihat tingkah Namjoon yang seperti ini.

"Baiklah. Good luck bro, semoga kau mendapatkan hatinya dengan cepat. Aku risih melihatmu seperti remaja yang sedang cinta monyet." Taehyung kini sudah siap untuk berangkat ke kelasnya, kemejanya sedikit ia gulung karena cuaca musim panas yang mendera bulan juli ini cukup ekstrim.

"Love is beautiful Taehyung, you never know until you feel it." Namjoon mulai dengan filosofi-filosofi bahasa inggrisnya yang membuat Taehyung harus memutar kepala. "Cobalah jatuh cinta lagi Taehyung, aku belum pernah melihatmu menggandeng seseorang lagi setelah Sujeong."

Taehyung tertawa sarkastik, Sujeong adalah cinta pertamanya sejak sekolah menengah atas dan mereka berpacaran selama kurang lebih empat tahun. Saat Taehyung berlari menuju apartemen Sujeong untuk merayakan hari jadi ke empat tahun mereka, Sujeong sedang tidur bersama pria lain. Dan itu sudah cukup untuk membuat Taehyung berhenti jatuh cinta.

"Berisik, aku ke kelas dulu." Taehyung langsung pergi begitu saja meninggalkan Namjoon yang memanggil-manggil namanya sambil mengoceh soal untuk cepat-cepat dapat gebetan juga. Taehyung hanya memutar matanya malas dan melanjutkan jalannya ke kelas yang akan ia ajar.

"Prooooofeeesooor Kiimmmmmm!"

Taehyung menoleh saat namanya dipanggil panjang-panjang dan keras sekali oleh suara yang sangat ia kenal. Ia tersenyum lebar saat seorang laki-laki dengan kaus putih dan celana denim robek-robek dan tas besar di punggungnya berlari mendekatinya. Ia juga membawa tabung sketsa di pundaknya.

"Aigoo Jeon Jungkook, tidak telat lagi?" Taehyung menggasak rambut mahasiswanya yang bernama Jungkook itu sementara yang menjadi korban hanya mencibir pelan sambil mengambil beberapa buku yang Taehyung jinjing untuk dibawakan sampai ke kelasnya.

"Aku tidak jadi telat saat mengetahui aku dapat kelas Profesor Kim lagi semester ini." Jungkook tersenyum lebar, menunjukkan gigi kelincinya yang menggemaskan sambil menyamakan langkahnya di samping Taehyung. "Aku berdoa setiap malam agar tidak dapat Profesor Angela yang katanya killer plus pelit nilai."

"Doamu terkabul boy, kau dapat dosen ini lagi yang tampan juga baik hati memberi siswa sering bolos sepertimu absen dan nilai." Taehyung menoleh sedikit saat menemukan Jungkook hanya terkekeh kecil.

Jungkook tidak sering bolos, hanya saja saat Jungkook tidak masuk kelas pagi, selalu bertepatan dengan kelas Taehyung. Jungkook beralasan jika shift kerjanya ditambah, dan Taehyung tidak protes karena Jungkook tetap mengerjakan tugasnya meski sepeuluh menit sebelum akhir deadline baru dikumpulkan. Dan kalau boleh dibilang, Jungkook adalah murid paling cerdas yang Taehyung temui selama ia mengajar. Ia pandai bicara, mengolah kata-katanya saat presentasi juga kecakapannya dalam materi luar biasa. Taehyung pernah sekali melihat rapot semester Jungkook dan ia nyaris mendapat A untuk semua mata kuliah kecuali bahasa inggris—setidaknya Jungkook mendapat B+ pada mata pelajaran itu.

"Kau beruntung karena aku tak punya jadwal kelas pagi di kelasmu." Taehyung memberikan sisa buku juga laptopnya pada Jungkook, membuat muridnya itu meringis sambil berbisik umpatan-umpatan kecil merasakan bebannya bertambah.

"Ya, tapi aku tak bisa bolos lagi karena bukan kau yang mengajar. Sialan." Jungkook berkata dengan nada kesal yang membuat Taehyung ingin tertawa, Jungkook sudah dua puluh satu tahun dan ia masih terlihat seperti bocah sekolah menengah pertama.

"Kelas pagimu memang hari apa saja dan siapa?" tanya Taehyung penasaran.

"Setiap hari selasa dan kamis, Profesor Yoon." Jungkook berkata sambil membenarkan posisi tumpukan buku juga laptop milik Taehyung. "Aku belum pernah diajar olehnya, tapi katanya dia sudah tua dan pelupa."

"Kau benar, jadi kau bisa bolos kapan pun di kelasnya. Titip saja absen pada teman sekelasmu."

Jungkook melontar kata yes penuh semangat saat Taehyung berkata demikian, berlari kecil saat Taehyung jalan terlalu cepat dan meninggalkannya yang sedang merayakan kelulusannya. Mereka berjalan menuju kelas sambil membicarakan banyak hal, kebanyakan soal materi-materi yang akan Taehyung ajar hari ini juga satu semester kedepan.

Dan seperti biasa, kelas Taehyung berjalan lancar dengan banyak murid yang menyambut antusias kedatangannya. Dan Jungkook yang dengan senang hati menjawab brbagai pertanyaan yang ia lemparkan. Jungkook memang murid kesayangannya.


Taehyung menyesap minumannya pelan. Menikmati malam minggu di bar setelah lima hari penat mengajar adalah salah satu cara Taehyung melepas stres. Terkadang ia hang out bersama Namjoon atau reuni kecil bersama teman semasa kuliahnya, tapi jika sedang sendiri begini, ia akan ke bar langganannya dan minum ditemani seorang bartender yang sudah dekat dengannya.

"Sendiri lagi?" tanya bartender tersebut. Namanya Jung Hoseok, satu tahun lebih tua daripada Taehyung dan minuman yang ia racik selalu membuat Taehyung ketagihan. Orangnya pun ceria, betah untuk diajak beralama-lama mengobrol sampai ia mabuk dan pulang dengan taksi.

"Kau selalu menanyakan itu setiap aku datang, tentu saja aku sendiri." Taehyung memutar kursi tingginya, tadinya ia menonton lantai dasa yang riuh tapi kini ia hanya fokus untuk mengobrol dengan Hoseok. "Kau tahu aku Hyung."

"Ya aku tahu benar kau, maka dari itu carilah pacar atau yah gandengan hanya untuk malam minggu. Aku serius tidak tega melihat orang tampan sepertimu menjomblo bertahun-tahun seperti ini." Hoseok terkekeh saat melihat wajah sebal Taehyung, tangannya tak berhenti bergerak untuk mengelap gelas-gelas kaca untuk pelanggan-pelanggannya.

"Kau lama-lama seperti Namjoon sialan," Taehyung meringis saat merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya saat ia menelan minuman beralkohol tersebut, "semua orang saja menyuruhku berpacaran."

Hoseok pergi sejenak untuk melayani pelanggan lain, dan Taehyung memerhatikan Hoseok dengan cermat. Taehyung selalu terkagum saat tangan Hoseok bergerak untuk meracik minuman, ia hapal semua jenis minuman favorit pelanggannya. Taehyung pernah meminta Hoseok menjadi pacarnya saat Hoseok dan Namjoon terus menerus menggodanya untuk mencari pacar—Taehyung juga bercanda berkata demikian pada Hoseok—dan Hoseok bilang ia sudah punya kekasih. Namjoon dan Taehyung sama-sama terkejut karena Hoseok tidak pernah cerita.

"Taehyung-ah, tidak mau mencoba one night stand atau semacamnya begitu?"

Taehyung menyemburkan minumanya saat Hoseok tiba-tiba menghampirinya dan menanyakan topik vulgar seperti itu. Hoseok dengan telaten memberinya tisu, mengelap meja yang basah dan berucap maaf pelan sambil terkekeh.

Taehyung tentu pernah melakukan hal itu, beberapa kali hanya jika sedang ingin saja. Kesibukannya dan patah hatinya dulu membuat ia sedikit tidak peduli soal kehidupan seksnya sendiri, terkadang Taehyung hanya akan menonton beberapa video untuk memuaskan dirinya sendiri.

"Hyung jangan mulai deh ngawur-nya," Taehyung mengelap mulutnya dengan tisu yang diberikan Hoseok.

"Aku serius, siapa tahu kau bisa bertemu jodohmu lewat one night stand," Hoseok masih dengan telaten mengelap bagian meja di hadapan Taehyung yang basah, "atau jika kau takut dengan random people untuk diajak one night stand—kau tahu tidak semua orang cocok di atas ranjang—bar kami memiliki... ekhem... yah semacam orang-orang yang memberi jasa untuk hal itu."

Memang benar one night stand dengan sembarang orang tidak selalu berakhir bagus, waktu itu Taehyung pernah hampir diikat dan mendapat perlakuan aneh dari wanita yang ia temui di bar. Ia benar-benar kinky dan menyeramkan, untungnya Taehyung berhasil kabur. Dan sebenarnya, Taehyung baru tahu jika bar Hoseok menyediakan jasa semacam itu.

"Kau bisa mencobanya. Kebanyakan mereka yang datang ke bar kami memang mencari jasa tersebut, bar kami yang terbaik." Hoseok terkekeh kecil saat melihat ekspresi Taehyung yang sulit ditebak. "Ayolah kau harus mencobanya. Kau terlalu banyak uang untuk diri sendiri, sekali-kali sumbangkan pada orang lain."

Taehyung tertawa mendengar Hoseok. Penghasilan Taehyung memang terbilang terlalu banyak untuk hidup sendiri. Pekerjaannya sebagai dosen dan terkadang guru les menghasilkan uang yang banyak untuknya. Orang tua mahasiswa yang anaknya lulus berkat bimbingannya pun sering memberi imbalan dengan jumlah fantastis.

Dan kalau dipikir-pikir, kegiatan seksnya yang terakhir adalah sekitar enam bulan lalu, itu pun dengan teman semasa kuliahnya yang sepakat untuk hanya melakukan hubungan satu malam saja. Taehyung juga butuh sesuatu untuk melepas stresnya.

"Bagaimana? Karena itu kau aku bisa merekomendasikan beberapa yang aku tahu selalu memuaskan pelanggan mereka." Hoseok mengangkat alisnya persuasif, senyumnya terangkat lebar dan Taehyung hanya bisa mendesis sambil mengangguk kecil. "Baiklah akan kucoba."

"Pilihan yang bagus, aku akan mendapat bonus dari bos karena menarik pelanggan baru untuk lantai dua," Hoseok tersenyum berarti, "Mau yang seperti apa? Laki-laki? Perempuan? Masih muda? Atau sepantaran?"

"Di sini menyediakan laki-laki juga?" Taehyung menggigit bibir bawahnya pelan, ia pernah mencoba dengan laki-laki dan Taehyung akui ia lumayan menyukainya.

"Tentu, baru dua tahun kebelakang ini sih tapi peminatnya cukup banyak."

Taehyung menggigit bibir bawahnya. Ia tak punya tipe pasti untuk seseorang idealnya. Selama ini hanya ada Sujeong yang terus menghantui mimpinya meski ia sudah berusaha keras untuk melupakannya. Kata orang, cinta pertama memang tidak akan pernah terlupakan.

"Berikan saja yang terbaik di sini, aku tak peduli laki-laki atau perempuan."

Hoseok menepuk tangannya antusias saat Taehyung berkata demikian, "Ada seorang pemuda, dia masih sangat muda, dia baru setahun di sini tapi sudah menjadi favorit pelanggan. Kau akan menyukainya. Tunggu sebentar."

Taehyung menunggu sesuai permintaan Hoseok, ia menghabiskan minumannya sambil memperhatika Hoseok yang berlari ke dalam dapur lalu mengambil ponselnya dan berbicara dengan seseorang. Hoseok terlihat sangat antusias sekali untuk mencarikan Taehyung teman tidur—atau mungkin pacar jika ingin lebih halus sedikit.

"Naiklah, dia ada di kamar nomor 7. Langsung masuk saja dia sudah siap di dalam. Kau beruntung sekali karena belum ada yang menggunakan jasanya malam ini."

"Jika dia tidak memuaskan akan kupenggal lehermu besok pagi Hyung."

"Aku tidak akan pernah mengecewakan Taehyungie kesayanganku. Ayolah cepat dia sudah menunggu."

Hoseok memberi tahu jangkauan nominal yang harus Taehyung bayar sebelum ia meninggalkan bayaran untuk minumannya di atas meja lalu berjalan santai ke lantai dua. Dan benar saja sesuai dugaannya, di lantai ini dipenuhi pintu-pintu kamar dan beberapa pasangan yang berciuman di koridor. Taehyung tak ingin ambil pusing dan langsung melesat ke kamar nomor tujuh yang Hoseok janjikan. Tanpa basa-basi ia langsung membuka pintu tanpa mengetuknya—karena Hoseok bilang langsung masuk saja—dan menemukan seorang laki-laki dengan kemeja putih dan celana jeans sedang berdiri membelakanginya. Itu pakaian yang sangat kasual untuk seseorang yang bekerja seperti ini pikir Taehyung.

"Halo?" sapa Taehyung saat ia masuk dan enutup pintunya. Tubuh orang itu bagus sekali, tegap dan berisi, tingginya mungkin tak terlalu jauh darinya. Tapi entah kenapa ia merasa seperti mengenali posturnya.

Pria itu berbalik dengan cepat sehingga Taehyung tidak bisa mengontrol ekspresinya saat melihat wajah orang tersebut. Itu Jeon Jungkook. Muridnya. Iya, Jeon Jungkook mahasiswa jurusan arsitektur yang berlabel murid kesayangannya.

"P-profesor Kim?" Jungkook hampir terjatuh ke belakang saat berbalik dan menemukan Taehyung berdiri di sana seperti orang kikuk saat melihat wajahnya. Jungkook panik—terlalu panik bahkan ia bisa merasakan keringat keluar dari pelipisnya.

Ini adalah pekerjaan rahasianya, dan Taehyung ada di hadapannya sekarang ini adalah masalah besar. Taehyung bisa saja memberi tahu pihak kampus dan menendangnya keluar lalu teman-temannya membencinya dan ia menjadi sampah masyarakat—memang pada dasarnya ia sekarang ini adalah sampah masyarakat tapi ini benar-benar di luar perkiraannya. Taehyung adalah profesor yang ia kagumi, dan mereka cukup dekat bahkan Taehyung beberapa kali menarktirnya makan siang. Dan bertemu dalam keadaan seperti membuat Jungkook ingin mati saja sekalian.

Tidak ada yang memulai percakapan sampai Taehyung berjalan mendekati Jungkook dan berhenti tepat di hadapannya. Jungkook mencengkram meja nakas di belakangnya kuat-kuat saat melihat wajah Taehyung yang tidak dapat ditebak.

"A-aku tidak tahu Profesor sering datang kemari—"

"Aku hanya akan meninggalkan uangnya dan pergi."

"A-apa—Tunggu..."

Taehyung tak banyak bicara, ia mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan beberapa lembaran uang yang Hoseok sebutkan jumlahnya berapa tadi di awal dan menggenggamya sambil menghembus napasnya berat. Ia lalu dengan kasual menjulurkan tangannya melewati badan Jungkook dan menyimpan lembaran-lembaran uang itu. Taehyung dengan cepat membalikkan badannya dan berniat untuk pergi karena ada banyak pertanyaan di otak Taehyung yang gatal ia ingin lontarkan sekarang juga. Dan ia tidak mungkin menanyakannya, sopan santun adalah segalanya bagi Taehyung.

"T-tunggu, tunggu! Jangan pergi!" Jungkook menggenggam tangannya saat ia hendak melangkah meinggalkan kamar berukuran sedang dengan kamar mandi di dalam dan satu ranjang berukuran queen tersebut. "K-kau tidak boleh begitu saja membayar tanpa mendapatkan apa-apa dariku. Bosku bisa marah."

Taehyung berbalik, menemukan wajah Jungkook yang masih panik seperti tadi. Ia menggigiti bibirnya dan menghindari kontak mata dengan Taehyung. Dengan canggung ia menarik Taehyung untuk duduk di sisi ranjang dan ia berlutut di hadapannya.

"Aku tidak ingin dipecat karenamu, jadi biarkan aku memberikanmu sesuatu."

"Y-ya Jeon Jungkook apa yang kau lakukan—"

Ucapan Taehyung terpotong oleh tarikan napasnya sendiri saat jungkook dengan cepat dan terlatih membuka resleting lalu menurunkan celananya sedikit. Ia mengambil sesuatu di dalamnya dan meremasnya pelan membuat Taehyung benar-benar kehilangan akalnya. Yang ada di hadapannya ini sekarang adalah muridnya, bukan jalang murahan atu lainnya dan Taehyung seharusnya bisa menghentikannya.

"Astaga Jungkook..." Taehyung mencengkram sprei di bawahnya erat-erat saat remasan pelan itu sudah berubah menjadi pompaan dengan tempo sedang.

Jungkook tidak menatap matanya, hanya fokus terhadap pekerjaannya sementara Taehyung berusaha melawan nafsunya dan pergi dari sini. Ia tidak ingin menerima ini semua dari Jungkook. Ini sungguh tidak benar.

Tapi otaknya tiba-tiba kosong dan hanya dipenuhi oleh nama Jungkook saat mulut hangat Jungkook menyapanya. Taehyung harus kuat-kuat menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara akibat bagiamana baiknya Jungkook bekerja. Jungkook benar-benar membuatnya hangover hanya dengan mulutnya itu, Tahyung berkali-kali mendongakkan kepala dan memejam mata nikmat karenanya.

Jungkook sesekali mengintip wajah Taehyung yang menunjukkan kepuasan, ia sebenarnya tidak ingin melakukan ini tapi ia terancam kehilangan pekerjaan jika bosnya mengetahui seorang pelanggan kabur setelah meninggalkan uang. Dan ia masih tidak menyangka saat ini benar-benar sedang memberi blowjob pada profesornya. Benar-benar diluar nalar dan memacu adrenalinnya.

"J-Jungkook—fuck," Taehyung hanya tak tahan untuk tidak meremas rambut Jungkook dan membuatnya bergerak lebih cepat. Dan Jungkook menurut dengan menggerakkan kepalanya lebih cepat, sesekali tersedak karena milik Taehyung benar-benar berukuran tidak kecil. Terlebih erangan rendah suara Taehyung yang seksi tersebut entah kenapa membuatnya semakin bersemangat. Ia baru mendengar suara Taehyung yang seperti ini saat menyebut namanya, dan ia berharap lebih.

Taehyung keluar saat ia tak sempat mengeluarkannya dari mulut Jungkook. Jungkook dengan patuh menelan segalanya lalu mengambil napas banyak-banyak. Taehyung hampir kehilangan akal sehatnya saat Jungkook menatapnya dengan tatapan sayu dan wajah yang merah padam, sudut bibir yang bengkak serta cairan milikya mengalir di sudutnya. Taehyung menggeurutu dalam hati kenapa Jungkook bisa semenggoda ini dan ia tidak sanggup untuk menahannya.

"Aku pergi sekarang."

Jungkook mengelap sudut bibirnya lalu berdiri setengah limbung sementara Taehyung dengan terburu-buru membenarkan celananya. Taehyung pergi bahkan sebelum Jungkook sempat memberi tahu Taehyung untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapa pun. Dan Jungkook hanya bisa berdoa bahwa Taehyung masih punya cukup kebaikan untuk tidak menyebarkan hal ini.


"Kenapa lagi hmm?"

Jungkook langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur milik sahabatnya tersebut. Ini pukul dua pagi dan seorang teman yang masih membiarkannya menerobos masuk dan menyabotase kasurnya adalah hanya Park Jimin seorang. Teman sekelasnya sekaligus teman semenjak sekolah menengah atas satu-satunya yang tahu segala hal tentang Jungkook. Bahkan pekerjaannya.

Awal Jimin mengetahui tersebut adalah Jungkook yang memberitahunya sendiri, sambil menangis dan bilang bahwa ia dipecat dari pekerjaan lamanya dan tidak tahu bagaimana harus membayar uang kuliahnya. Jimin tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain memeluk Jungkook dan membiarkannya menangis semalaman.

"Mendapat pelanggan aneh lagi? Atau dipecat lagi?" Jimin menarik kursi belajarnya dan duduk di sisi ranjang, menunggu jawaban sahabatnya tersebut sambil mengambil satu bungkus rokok dari meja nakas kasurnya. "Jika hanya kau tidak bisa tidur karena mimpi buruk aku akan menendang bokong sialanmu keluar. Kau benar-benar mengganggu waktu tidur damaiku bangsat."

"Tenanglah dan dengarkan aku dulu sebelum kaki pendekmu itu bisa menendangku." Jungkook bangkit dari tidur telungkupnya dan duduk menghadap Jimin, tangannya bergerak untuk meraih selimut kesayangan Jimin dan menutupi kakinya. "Ya aku mendapat pelanggan aneh lagi tapi bukan dalam konten aneh seperti yang waktu itu."

"Lalu?" Jimin menyalakan pematik api pada rokoknya sambil mengintip ke arah Jungkook. Waktu itu Jungkook pernah berlari ke apartemennya karena kabur dari pelanggan psycho yang hampir menyayat seluruh tubuhnya. Beruntung pihak bar langsung mem-blacklist pelanggan tersebut dan Jungkook bisa bekerja dengan tentram.

"Pelangganku tadi..." Jungkook mengambil napas dalam-dalam, sementara Jimin yang sudah menyesap rokoknya itu penasaran setengah mati, "Profesor Kim."

"Uhuk!" Jimin tersedak asap rokoknya sendiri, "A-apa? Profesor Kim? Profesor Kim Taehyung dosen fisika dasar yang menyukaimu itu?"

"Ish dia tidak menyukaiku, aku hanya murid favoritnya karena aku selalu aktif dikelasnya." Jungkook membuat nada untuk menyindir Jimin yang selalu tertidur di kelas Taehyung. Karena tahu Taehyung baik dan masih muda, Jimin memanfaatkan kesempatan itu untuk tidur. Jungkook bukanlah murid jenius seperti Jimin yang meski sedang tidur pun ia mendengar dengan baik penjelasan Profesor Kim, jadi ia harus tetap membuka matanya meski semalam suntuk bekerja dengan tubuhnya yang lelah.

"Ya ya terserah, tapi maksudku... fuck bagaimana bisa?!" Jimin sedikit panik, ia tahu betul peraturan kampus amat ketat bagi mahasiswanya. Mereka bahkan tidak diizinkan merokok di dalam kampus atau bahkan memakai tato. Ia takut sahabatnya ini terkena masalah.

"Aku juga tidak tahu," Jungkook mengacak rambutnya frustasi, "ia tiba-tiba saja datang seperti petir dan boo pergi kembali."

"Jadi... apa kau benar-benar tidur dengannya?" Jimin menatap penuh rasa ingin tahu, rokok dijarinya sedikit ia abaikan dan terfokus pada cerita Jungkook.

"Tidak, awalnya ia bilang hanya ingin meninggalkan uang dan pergi tapi bosku bisa marah jika mengetahuinya jadi..."

"Jadi?" Jimin makin mendesaknya untuk berbicara lebih lanjut, matanya yang sudah sipit itu semakin mengecil menatap Jungkook dengan serius.

"...aku memberinya blowjob."

Jimin diam, Jungkook juga diam. Ada suasana canggung di antara mereka untuk beberapa saat. Jungkook dan Jimin tidak jarang membahas sesuatu yang berbau seks, terlebih si playboy Park Jimin ini hobi bergonta-ganti pacar dan selalu menceritakan pengalaman ranjangnya bersama Jungkook.

"Kau gila, astaga you literally sucking off your profesor's dick. Wah, aku seperti membaca sebuah cerita murahan dimana mahasiswa memberikan layanan kepada gurunya untuk mendapat nilai bagus di ujiannya." Jimin membuat ekspresi yang terkejut, mulutnya sampai detik ini masih terbuka dan ia menaruh sementara rokoknya di atas asbak. Jungkook memutar matanya malas saat Jimin sudah overdramatic seperti ini.

"Tapi aku tidak melakukannya untuk itu! Sialan, aku benar-benar tidak punya muka untuk datang ke kampus besok astaga." Jungkook melemparkan punggungnya ke atas kasur, menutup wajahnya dengan selimut lalu berpikir hal-hal kelewat batas yang mungkin besok bisa terjadi kepadanya.

Semoga besok Jungkook tak mendapat masalah apapun.

-to be continued-

A/N

My first story! Please enjoy reading this and dont forget to leave a review. Will update asap sooo hope you like it!

p.s : reupload soalnya yang sebelumnya garis antar scne menghilang huhu