Fic ini untuk Rise Star, oreo-chan, Kim Ri Ha, ochan malfoy dan para reviewer.


Disclaimer: Harry Potter milik J.K Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Blaise Zabini.

Rating: T


Hal paling kuingat dari Lady Zabini adalah kecantikan eksotis yang fantastis. Bertubuh tinggi semampai dengan kulit semulus pualam, Lady Zabini benar-benar merupakan contoh konkret perpaduan keindahan Oriental dengan Latin.

Sedangkan, hal yang paling aku ingat dari Mister Zabini adalah keramahan yang luar biasa. Pria berkulit gelap itu juga murah hati dan sering membelikan aneka mainan serta buku cerita bergambar setiap kali bertandang ke rumahku.

Kata ayahku, yang sudah berteman dengan Mister Zabini semenjak mereka menuntut ilmu di universitas yang sama, di balik karakter riang dan selalu cerah ceria, Mister Zabini sangat berdedikasi dan gemar melakukan eksperimen tak masuk di akal. Tak heran jika percobaan-percobaan fenomenal itu membuat Mister Zabini dijuluki sebagai Ilmuwan Gila oleh rekan-rekan sejawat mereka.

Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan istrinya yang irit bicara, Mister Zabini terkenal blak-blakan dan senang bercerita. Tatkala bertamu, Mister Zabini senantiasa menyempatkan diri membeberkan semua pengalaman unik, termasuk dongeng dan legenda aneh yang dipelajarinya.

Dari sekian banyak kisah dahsyat yang dipaparkan, aku paling suka dengan hikayat tentang penyihir, Veela dan kaum penghisap darah, drakula. Cara bercerita Mister Zabini yang mengalir dan asyik diikuti sempat membuatku mengira kalau bangsawan Italia itu pernah mengalami langsung semua kejadian yang diutarakannya.

Ketika aku mengungkapkan keheranan tentang pengetahuan luas Mister Zabini mengenai penyihir, Veela dan para vampir, ayahku hanya tersenyum menenangkan. Menurut ayahku, daya imajinasi dan fantasi Mister Zabini memang di luar ambang batas, apalagi jika digabungkan dengan kemampuan indra keenam yang sangat tajam.

"Tidak apa-apa, Hermione. Dad saja sempat kaget dengan semua tingkah abnormal Zabini di masa-masa awal pertemanan kami," ujar ayahku sabar, membolak-balik dengan perlahan lembaran koran sore yang sedari tadi dibaca.

Menjilati lelehan madu murni di kue kering buatan ibuku, aku memandang ayahku dengan sorot penasaran.

"Kok Dad bisa berkenalan dengan Mister Zabini? Kalian kan mengambil jurusan yang berbeda?"

Melipat rapi koran di pangkuan, ayahku menyesap kopi espresso yang baru diminum separuh. Menatapku dengan manik cokelat yang bersinar di balik kacamata baca bergagang perak, ayahku menyeringai lebar.

"Sampai sekarang Dad sering tertawa kalau teringat awal perjumpaan kami. Saat itu, Zabini panik luar biasa karena tak bisa memasukkan kartu pengenal mahasiswa ke mesin absen," kekeh ayahku geli.

Menyenderkan punggung di kursi malas, ayahku melanjutkan cerita, "Seharian itu pun tingkahnya benar-benar heboh. Zabini terlihat seolah-olah baru saja keluar dari gua purbakala."

Mengunyah habis kue madu yang tadi aku jilati sepenuh hati, aku melongo terpana. Kebingunganku bukan berasal dari kebiasaan ayahku dan temannya itu untuk memanggil nama keluarga ketimbang nama depan, melainkan karena penuturan tentang keeksentrikan tindak-tanduk Mister Zabini.

"Maksudnya apa, Dad?"

Mengacak-acak rambut cokelat lebatku yang semegar surai singa, ayahku mengedip singkat.

"Maksudnya Zabini sama sekali tak paham cara memakai barang canggih seperti komputer atau telepon genggam. Ia juga takjub ketika melihat helikopter atau pesawat terbang yang melintas di atas kepalanya."

Dahiku mengerut mendengar penjelasan ayahku. Mengambil dan mengisap-isap kue madu kedua, aku melompat ke pangkuan ayahku, menyingkirkan koran sore yang bertengger di sana.

"Kok bisa ya? Padahal Italia negara besar yang tak kalah modern dan maju seperti Inggris."

Mengecup perlahan puncak kepalaku, ayahku memeluk tubuh mungilku dengan penuh kehangatan.

"Memang sedikit janggal, apalagi selama pertemanan kami yang berjalan bertahun-tahun Zabini tak mau menceritakan apapun tentang dirinya maupun keluarganya."

Menghela napas, ayahku menatap ke luar jendela, memandangi ibuku yang sedang asyik bersenandung sembari menyirami rumpun bunga begonia.

"Dad juga baru tahu Zabini punya anak dan istri setelah ia membawa mereka ke sini kemarin siang."

Anak dan istri...

Jika hal yang paling kuingat dari Lady Zabini adalah kecantikan tak wajar yang setara ratu peri, hal paling berkesan dari pertemuanku dengan Blaise Zabini, putra tunggal mereka adalah sikap dingin yang sederajat dengan temperatur Kutub Selatan.

Tak sekalipun Blaise mempedulikan ajakan untuk bermain bersamanya. Bocah laki-laki yang tampak lebih jangkung dan matang di usia yang baru sepuluh tahun itu juga tak menggubris semua ocehanku. Apapun yang keluar dari mulutku tak ubahnya angin lalu. Tak urung, gelagat suntuk dan permusuhan itu membuatku gundah gulana. Padahal, aku tak punya niat buruk. Aku hanya mencoba berbaik hati sekaligus menambah teman baru.

Lady Zabini sendiri sepertinya mendukung penuh aksi tak sopan putra semata wayangnya. Jika suaminya sedang lengah, Lady Zabini memandangiku seolah-olah aku ini selokan busuk penuh belatung. Ia juga memonyongkan mulut indah yang terpulas pewarna bibir merah darah saat aku menggenggam tangan Blaise, membujuk anak laki-laki pendiam itu agar mau bermain ayunan bersama di taman sebelah.

"Blaise tak biasa bermain dengan mainan standar seperti itu," ketus Lady Zabini sengit, memutar-mutar dan mengibaskan kipas bergalur kuat-kuat dengan kecepatan tinggi.

Tampaknya, setelah berdiam diri bermenit-menit, wanita jangkung dan anggun itu tak tahan lagi melihat anaknya terus diintimidasi. Menjauh dariku dan bergegas merapat ke samping ibunya yang merengut masam, Blaise memejamkan mata rapat-rapat. Pundaknya tampak bergetar dan menggigil. Butiran keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan di pelipis yang digelayuti anak rambut berwarna hitam pekat.

Lady Zabini tampaknya tak menyadari kondisi ganjil anaknya. Ia terus saja menyerocos tanpa henti, mengomeliku yang dicapnya kampungan.

"Ayunan? Mainan jungkat-jungkit? Pantat Merlin! Instrumen kacangan seperti itu mana mungkin cocok untuk Blaise. Blaise itu biasanya bermain Quidditch!"

Aku tak sempat bertanya lebih lanjut jenis mainan apa Quidditch itu sebab tubuh Blaise sudah limbung dan terjatuh. Untung saja lantai ruang tamu dilapisi karpet Maroko yang tebal dan empuk sehingga kepala indah Blaise luput dari ancaman gegar otak.

"Blaise!"

Teriakan panik Mister Zabini yang baru saja keluar dari kamar mandi bercampur baur dengan lolongan histeris istrinya, yang melompat-lompat tak tentu arah seperti kelabang kepanasan.

Jika wajah Mister Zabini yang gelap tampak memucat, paras oriental Lady Zabini bersinar garang. Manik sipit panjang Lady Zabini yang sarat dengan tatapan menghakimi menyorotkan amarah tertahan yang siap meledak kapanpun juga.

Tak membuang waktu, Mister Zabini buru-buru pamit pada ayah dan ibuku yang berdiri cemas. Tawaran ayahku agar Blaise diperiksa sebentar atau dibawa ke klinik terdekat ditepis langsung oleh Mister Zabini.

Tanpa banyak kata-kata, Mister Zabini membopong tubuh lunglai putranya, didampingi istrinya yang merintih lirih. Belum lima detik mereka keluar dari pintu depan, aku menyadari kalau sarung tangan yang tadi dikenakan Blaise tertinggal di kursi ruang tamu.

Aku pun buru-buru berlari mengejar keluar tapi halaman depan sudah kosong melompong. Anehnya, pintu gerbang masih tergembok rapat, mengindikasikan tak ada orang yang barusan lewat dari situ. Untuk sesaat aku terpaku mematung. Bagaimana caranya mereka keluar dari sini?

Menghilang dalam kepulan asap seperti sihir?


Hal paling kuingat dari Hermione Jean Granger adalah wajah cantik polos dan sosok kecil yang manis imut-imut. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku sudah ingin memeluk dan tak melepaskan walau cuma sedetik.

Aku bersyukur ayahku berhasil memaksaku untuk datang kemari sebab pada awalnya aku menolak mentah-mentah rencana berkunjung ke kediaman Muggle konyol teman dekat ayahku itu.

Muggle!

Semula aku tak habis pikir kenapa ayahku yang berdarah biru dan disebut-sebut sebagai salah satu pemimpin masyarakat kelas teratas mau-maunya merajut persahabatan dengan kaum Muggle rendahan. Gerombolan makhluk memuakkan yang tak lebih baik dari anjing kampung hina yang sepatutnya dibasmi tanpa sisa.

Belum lagi dengan profesi si Muggle yang menjijikkan. Dokter gigi! Pekerjaan yang kata ayahku berurusan langsung dengan rongga mulut dan seisinya!

Walau aku geregetan memprotes, ayahku bersikeras mempertahankan hubungan aneh tak masuk di akal itu. Menurut ayahku, si Granger telah banyak membantunya selama ia belajar di dunia Muggle.

Untuk yang satu itu aku juga tak mengerti mengapa ayahku yang merupakan penyihir paling top dengan status terpandang bersedia mencemplungkan diri ke dunia Muggle yang primitif. Dari keterangan ibuku, aku paham kalau ayahku putar haluan menggali ilmu di Universitas Muggle karena ingin memperluas cakrawala. Memang, di balik tampang keren dan nama beken, ayahku punya otak encer yang haus akan ilmu pengetahuan.

Di dunia Muggle, ayahku berkesempatan mengeksplorasi semua hal yang belum pernah disentuh, dilihat maupun dipelajari. Ayahku bahkan sering mengatakan kalau Muggle tak selamanya udik, terbelakang dan tak berakal.

Katanya, teknologi dan talenta mereka dalam menciptakan barang-barang baru patut diacungi empat jempol. Pujian yang aku anggap berlebihan mengingat kami, kaum penyihir bisa menciptakan apapun hanya dengan bermodalkan tongkat tipis semata.

Ibuku sendiri tak terlalu mempermasalahkan kegandrungan ayahku pada pernak-pernik berbau Muggle. Aku akui, ibuku memang egois dan terlampau mencintai kemewahan. Bagi ibuku, tak masalah jika ayahku terobsesi dengan ilmu Muggle asalkan dirinya tetap leluasa berfoya-foya dan menggelar pesta spektakuler setiap malam.

Jika ibuku tampak tenang-tenang saja menanggapi persahabatan ayahku dengan kaum Muggle, aku tentu saja berpikiran berbeda. Bagiku, semua Muggle itu kotor, mengerikan serta tak layak menghirup udara yang sama dengan kami, kaum elit yang bisa menguasai atau meruntuhkan bumi hanya dengan satu jentikan jari.

Sejauh ini, sebisa mungkin aku merahasiakan perkawanan ayahku dengan Muggle Granger dari teman-teman sebayaku. Aku tak mau jadi bulan-bulanan ejekan sahabat satu geng-ku. Apalagi, grup kami tersohor sebagai kelompok anak-anak darah murni terkaya di seluruh dunia.

Tak heran saat ayahku memintaku untuk datang bersamanya ke kediaman Muggle Granger di Hampstead Garden, London, aku menepis habis-habisan gagasan tak bermutu seperti itu.

Makan siang di rumah Muggle! Kentut Merlin! Bagaimana mungkin ayahku tega meracuni usus dan lambungku dengan makanan ternak murahan yang dimasak tangan kotor Muggle?

Tapi, bukan ayahku namanya jika tak berhasil memaksakan kehendak. Sedari lahir, ayahku memang diberkahi pesona khas pria Italia. Daya pikat yang mampu merontokkan keteguhan iman dan tekad siapapun. Termasuk kekeraskepalaan anaknya sendiri!

Begitulah, dengan tampang manyun aku akhirnya mau beranjangsana ke rumah Muggle hina itu. Dan di sanalah aku pertama kali bertemu dengan putri tunggal si Muggle Granger.

Hermione Jean Granger...

Selama ini, aku hanya mengenal Hermione dari cerita-cerita yang digambarkan ayahku. Kata ayahku, Hermione anak yang genius, manis dan sangat memukau. Ketika itu, aku hanya mendengus meremehkan. Hah! Mana mungkin bocah Muggle itu semenarik yang diceritakan ayahku.

Tapi, setelah melihat Hermione dengan mata kepala sendiri, aku harus mengakui kebenaran perkataan ayahku. Hermione Granger tak sekadar manis. Ia bahkan lebih manis dari lapisan gula dan kue madu bikinan Mrs Granger yang ternyata sangat sedap dan lezat.

Hidung mungil Hermione yang berbintik-bintik selalu mengerut jika ia berpikir keras. Dahi cerdasnya yang dihiasi surai cokelat bergelombang kerap mengernyit ketika ia membayangkan sesuatu. Tingkah polahnya sangat menggemaskan, membuatku tersihir sehingga tak bisa mengalihkan pandangan.

Tapi, di antara semua kelebihan fisik, keharuman lezat dan memikat yang meruap dari pori-pori kulit Hermione-lah yang membuatku terjerat sensasi mencekam.

Untuk sesaat aku meneteskan air liur dan dirasuki keinginan mengecap habis semua pesona yang mengalir di dalam pembuluh darah. Niat mengagetkan itu juga dibarengi dengan hasrat gelap dan kuat untuk menjadikan Hermione milikku seutuhnya.

Gabungan emosi dan kebutuhan menggebu tersebut tentu membuatku kelimpungan. Aku ini masih bocah sepuluh tahun, tapi kenapa sudah disusupi bisikan gelap dan gejolak puber seperti ini?

Untuk memusnahkan sensasi tersebut, aku mati-matian bersikap dingin pada Hermione. Tak menghiraukan semua bujukan untuk bermain ayunan di taman sebelah rumah.

Dari luar, aku kelihatan acuh tak acuh serta tidak peduli, padahal di dalam hati aku melenguh sedih melihat ekspresi kecewa yang terlukis di wajah sejuk Hermione. Tatkala tangan kecilnya menggenggam tanganku, aku merasa seperti disambar petir di siang bolong. Aku ingin sekali memerangkap Hermione dalam pelukan untuk selama-lamanya.

Untunglah, di saat mengejutkan seperti itu, ibuku menyelamatkanku dengan sindiran pedas yang mengalir laksana proyektil panas. Menyentak lepas tangan Hermione, aku buru-buru merapat ke samping ibuku, berjuang meredam perasaan janggal yang menyelimuti.

Ibuku, yang memanfaatkan ketidakhadiran ayahku (yang mendadak ingin buang air besar setelah menyantap ganas berstoples-stoples kue madu) tak henti-hentinya menceramahi Hermione dengan kata-kata menyengat. Saking getol mengomel, ibuku tak menyadari perubahan kondisi fisikku.

Dari detik ke detik, tetesan peluh mulai membanjiri kening, getaran asing yang ganjil dan tak terdefinisikan membuat pundakku bergetar hebat. Mataku terpaksa kupejamkan lekat-lekat untuk memblokir hasrat menyeret Hermione bersamaku ke dalam kegelapan.

Pertahanan raga membendung gempuran gelombang aneh akhirnya ambruk juga. Satu-satunya kata yang sempat aku dengar sebelum jatuh pingsan terkulai adalah Quidditch, olahraga favorit yang sering aku mainkan bersama teman-teman satu geng-ku.

Sadar-sadar, aku sudah terbaring di ranjang berkanopi. Sayup-sayup kudengar suara pertengkaran ayah dan ibuku yang terjalin dalam beberapa bahasa berbeda.

Ayah dan ibuku memang menguasai banyak bahasa, mengingat campuran etnis yang mengalir di nadi mereka. Jika ibuku terlahir dari pasangan darah murni Tiongkok dan Spanyol, ayahku merupakan keturunan langsung dari penyihir bangsawan Italia dan Afrika.

Kendati adu mulut itu terlontar dalam bahasa yang campur-aduk, secara garis besar aku bisa menangkap esensi keributan. Ibuku menyalahkan ayahku karena keegoisannya dalam melakoni eksperimen sewaktu aku lahir di Transylvania, Rumania, sepuluh tahun lalu.

Ayahku, yang dimaki-maki balas berteriak. Pria murah senyum yang rajin membacakan dongeng tentang Veela dan vampir sebelum aku tidur malam itu menuding ibuku tak tahu diuntung. Katanya, jika bukan karena kedalaman pikiran dan percobaan hebat yang dilakukan, mereka tak akan memiliki keturunan.

Pernyataan terakhir ayahku membuatku terperanjat. Apa maksud kata-kata ayahku tadi, yang menegaskan tentang penyelamatan nyawaku di saat darurat? Mungkinkah jika bukan karena kecerdasan keji dan eksperimen gila ayahku, aku seharusnya sudah mati ketika dilahirkan?


Hal paling kuingat dari Blaise Zabini adalah sikap temperamental menyebalkan yang kelewatan. Hari ini contohnya. Setelah setahun tak bertemu usai insiden pingsannya dia di rumahku, Mister Zabini mengundangku ke rumahnya di Florence, Italia untuk berlibur sekaligus merayakan ulang tahun Blaise yang kesebelas.

Undangan itu tentu kutanggapi dengan berbunga-bunga. Maklum saja, selain penasaran dengan seluk-beluk kota Florence, aku juga kangen dan tak sabar untuk kembali berjumpa dengan Blaise.

Pesona kota Florence yang disebut-sebut sebagai salah satu kota tercantik dan paling romantis di Eropa ternyata tak bisa menandingi keindahan rumah Blaise. Kastil bergaya Renaissance itu tampak anggun dan menegaskan jati diri si pemilik sebagai kaum ningrat nomor satu di Italia.

"Ya ampun, kenapa kau tak bilang kalau temanmu ternyata miliuner?" tegur ibuku pelan, terpana mengawasi kemegahan bangunan kuno klasik yang tersaji di sekeliling kami. Ayahku, yang belum sadar sepenuhnya dari keterkejutan hanya mengedikkan bahu. Mengelap pelan lensa kacamata bergagang perak, bola mata cokelat ayahku mencermati lusinan tamu elit yang berbisik-bisik di ujung koridor beratap melengkung.

Jika kalangan wanita mengacung-acungkan jemari lentik mereka ke arah kami dengan sikap mencemooh, kaum pria yang tampak agung dan mengintimidasi dalam balutan setelan mahal mendesis-desis sinis dalam bahasa yang tak kupahami.

"Ah, Granger. Untung kau tiba dengan selamat di gubuk yang sederhana ini."

Berbalut jas sutra hitam elegan rancangan desainer termahal abad ini, Mister Zabini menyeruak dari balik punggung para tamu yang bergosip seru, melangkah ramah dan penuh wibawa menghampiri kami yang berdiri ternganga. Kehadirannya efektif membungkam mulut jahil mereka. Dari sudut mata, kulihat sejumlah tamu wanita yang berdandan modis tanpa malu-malu mengedipkan mata dan memajang senyum menggoda. Beberapa di antara mereka bahkan cekikikan norak sembari mengerjapkan bulu mata tebal yang terpulas sempurna.

Mister Zabini sendiri tampaknya sudah kebal menghadapi rayuan maut dan kedutan genit seperti itu. Mungkin baginya bukan hal aneh jika kaum wanita berjalang-jalang ria di depannya. Dengan ketampanan dan kepintaran yang melegenda, Mister Zabini tentu sangat populer. Belum lagi jika digabungkan dengan kekayaan tak terhingga yang diwarisi, Mister Zabini tak ubahnya tangkapan gemuk yang tak bisa dilepaskan kodok pemangsa.

"Sebenarnya, kami tak ingat bagaimana bisa sampai ke sini, Zabini," urai ayahku manggut-manggut. Memasang mata, menoleh mengawasi pria tegap berjubah kuno berkerah tinggi kaku yang berdiri tegak di belakang, ayahku kembali berceloteh.

"Begitu kami semua masuk ke mobil limusin yang kau sediakan di bandara, kami langsung tertidur. Sadar-sadar kami sudah ada di sini."

Mister Zabini hanya tersenyum simpul merespon penjelasan tersebut. Seringaian yang sarat dengan rahasia, aku berpikir kritis dan tajam. Melihat dahiku yang berlipat, Mister Zabini tergelak pelan. Beranjak mendekat, Mister Zabini tersenyum ramah dan menundukkan wajah yang hangat kebapakan.

"Hermione, senang sekali melihatmu di sini. Blaise sangat ingin bertemu lagi denganmu."

Aku hampir terbang melompat ke planet Pluto saking girangnya mendengar pengakuan tersebut. Jadi Blaise juga rindu dan tak sabar ingin melihatku lagi?

Ternyata, kerinduan Blaise tak sama dengan kerinduan tulus yang aku rasakan padanya. Ia cuma rindu menjahili dan mempermalukan diriku di depan teman-temannya yang takabur dan selalu memandang tinggi diri sendiri.

Saat aku memberi hadiah dan ucapan selamat ulang tahun, aku memberanikan diri memeluk Blaise yang tampak menawan dalam balutan jubah cokelat mahogani. Tak disangka, Blaise sangat gusar dengan aksi spontan tersebut. Ia mendorongku keras-keras sehingga tubuhku terjengkang dan melayang di udara.

Gelak tawa keji tak terkendali dan ringkikan geli mengiringi proses jatuhnya diriku ke atas meja panjang yang berisi gundukan kue selai lezat, puding busa manis dan minuman aneka warna. Saat itu, aku merasa seolah berada dalam adegan film fiksi ilmiah dan sejenisnya.

Bagaimana bisa tubuhku melayang di udara seperti ini? Ini kan bumi yang punya daya gravitasi, bukan bulan yang memang bisa membuat manusia mengambang.

Bunyi debam keras berpadu suara meja retak membuat para orangtua yang tadi bergerombol di luar ruangan merangsek masuk ke dalam. Pekik histeris ibuku terdengar nyaring di antara lengkingan tawa keji ibu-ibu yang lain.

Aku meringis perih merasakan beling mengiris kulit tubuh. Mengedarkan pandangan, mataku bertubrukan dengan sepasang mata oriental Blaise yang berkilat dalam campuran berbagai macam emosi.

Terjangan kuat Mister Zabini di punggung Blaise membuat suasana yang tadinya hiruk-pikuk seperti sirkus hening seketika. Tepat di depan mataku yang membulat kaget, Mister Zabini menghilang dengan membawa Blaise yang meronta-ronta.

Menghilang!

Abrakadabra! Alakazam! Aloha!

Selamat datang di dunia kegilaan, otakku berdendang tak percaya.

Ini pasti cuma fatamorgana. Tipuan mata. Ilusi optik.

Mana mungkin manusia bisa menghilang seperti sihir!

Kedua orangtuaku tampak sama terperangahnya seperti diriku. Kami makin tercengang-cengang ketika Lady Zabini yang berdiri pongah mengambil sebuah tongkat tipis dari balik gaun sutra biru pirus bertabur perhiasan yang membalut rapat tubuh indah yang seksi menggugah. Melambaikan benda yang mirip potongan ranting itu ke tubuhku yang berdarah-darah, dalam sekejap mata Lady Zabini menyembuhkan semua luka, memar dan goresan yang melekat.

Tersenyum merendahkan melihat rahangku yang menganga, Lady Zabini merapikan seisi ruangan yang berantakan dengan ranting ajaib dalam sekali jentikan. Menoleh dari balik pundak ramping yang elegan, Lady Zabini tanpa berpanjang kata meminta kami untuk secepatnya angkat kaki.

"Tapi, kau belum memodifikasi ingatan mereka, Sayang."

Seorang wanita jelita berwajah putih pucat dengan rambut panjang tergerai halus sepanjang pinggang menatap waspada. Di samping wanita pirang menawan yang menjulang megah itu, sesosok bocah yang seumuran denganku memandangiku dalam-dalam. Rambut pirang yang bersinar keperakan dan mata dingin serupa cahaya bulan yang terus menghunjam membuatku merasa terhipnotis dan terseret ke dalam pusaran perasaan yang membingungkan.

"Draco!"

Suara teguran si wanita pirang membuatku tersentak dan tersadar dari belitan sensasi tak terkatakan yang melingkupi.

"Draco, bukankah Mother sudah bilang jangan sembarangan mengumbar kekuatan?"

Si bocah pirang platina yang dipanggil Draco hanya menyeringai kecil, terus menyipit mengawasi melalui sepasang mata perak murni. Lintasan pertimbangan melesat sekilas di iris memikat yang sepucat kabut musim dingin.

"Pesta ini sudah selesai apa belum, Tante?"

Seorang anak perempuan berparas judes dengan rambut bob runcing ala ratu Mesir Cleopatra merajuk manja, dua bola mata hitam tengah malam yang setajam silet baru diasah mengerling menghina. Mengusap pipi si bob runcing yang wajah jeleknya mengingatkanku pada anjing pesek tetangga, Lady Zabini terkikik terpaksa sebelum tersenyum dengan kemanisan yang dibuat-buat.

"Belum, Pansy. Perayaan akan segera kita mulai kembali setelah tiga binatang gua tak beradab ini lenyap dari hadapan kita semua."

Komentar sarkastik Lady Zabini tentu menyalakan api emosi ibuku. Mengangkat muka dan kepala dengan bangga, ibuku mendesak ayahku untuk segera pergi dari 'gubuk sederhana' yang disesaki ular siluman berlidah dua dan makhluk jahat dari neraka.

Ketika kami bergegas meninggalkan ruang pesta, mengekori jejak si pria berotot berjubah hitam yang menyambut dan memandu kami sedari bandara, suara dingin dan licin milik si wanita pirang panjang kembali mengalun.

"Kau belum menghilangkan memori mereka, Sayang. Apa itu tidak berbahaya bagi kita semua?"

Menghilangkan memori?

Rasa penasaran memaksaku menolehkan muka ke belakang. Kulihat Lady Zabini tersenyum kaku seraya meremas jemari ramping si wanita pirang.

"Suamiku melarangku untuk memakai mantra dan jampi-jampi apapun pada mereka, Cissy."

Jampi-jampi dan mantra? Otakku mulai berputar kencang seperti mesin pesawat jet. Apa yang mereka bicarakan? Mungkinkah Blaise dan keluarganya berprofesi sebagai dukun? Bukankah hanya dukun dan cenayang yang identik dengan mantra dan jampi-jampi?

Perasaan menggelitik yang tadi kurasakan ketika bertatapan dengan si bocah pirang bernama Draco kembali menghantam. Berbalik ke samping, mata cokelatku kembali terkunci dengan iris abu-abu perak Draco yang berdiri santai di dekat meja berisi tumpukan puding persik.

Bocah aneh, dengusku sengit. Apa maksudnya dia sedari tadi membelalakkan mata seperti itu? Memberengutkan mulut, aku membuang muka sehingga tak menyadari sama sekali keterkejutan hebat yang berkelebat di bola mata kelabu pucat yang menghipnotis itu...


Hal paling kuingat dari Hermione Jean Granger adalah sikap impulsif yang menggetarkan. Setelah dua belas bulan tak bertemu pasca insiden jatuh pingsannya diriku di rumahnya, akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan Hermione di pesta ulang tahunku yang kesebelas.

Semula aku menegang kaget, syok tak terkira melihat Hermione muncul di ruangan pesta. Aku tak menduga ayahku nekat mengundang keluarga Hermione untuk menghadiri pesta ulang tahun yang sudah pasti dipenuhi kalangan penyihir berdarah murni.

Demi seluruh iblis di neraka! Apa sih yang dipikirkan otak ayahku yang katanya brilian itu? Apa ayahku tak bisa membayangkan respon atau reaksi negatif yang akan diterima keluarga Hermione jika seluruh tamu ras murni yang hadir mengetahui identitas Muggle mereka?

Belum sempat aku menemukan jawaban atas kepanikan yang melanda, aku terhenyak ketika Hermione menghambur dan memeluk sembari membisikkan selamat ulang tahun.

Aroma tubuhnya yang manis dan menggoda membuatku hilang akal. Secara refleks aku mendorong sekencang mungkin untuk menghapus gelora aneh yang kembali menjerat. Hasrat kuat untuk menjadikan Hermione milikku untuk selamanya.

Rupanya, tenaga dalam yang aku keluarkan terlalu berlebihan. Energi ekstra yang berpadu dengan kekuatan sihir berlebih membuat tubuh Hermione mengambang di udara. Melihat hal itu, mataku membulat dan nyaris meloncat keluar saking kagetnya.

Oh Tuhan, aku sama sekali tak berniat mencelakakan Hermione. Aku hanya ingin menjauhkan dirinya dari diriku yang tengah dikungkung perasaan berbahaya.

Selaras dengan tawa membahana dan lengkingan kejam teman-temanku, tubuh Hermione mendarat sukses di meja kayu keras yang dipenuhi peralatan makan porselen, gundukan kue selai buah, puding multi-warna dan minuman aneka rasa. Debam menyakitkan dan suara kaca pecah menusuk gendang telinga seiring dengan aroma darah segar yang menyusup ke hidung.

Mengendus aroma semanis ambrosia; makanan para dewa, gigi taringku gatal seolah hendak tumbuh dan memanjang. Memicingkan mata cekung dan sipit hingga tinggal menyisakan satu garis tipis, aku menatap Hermione yang tersuruk di antara serpihan kaca dan percikan darah.

Dalam sekejap, raungan perasaan berbeda menjajah diri. Di satu pihak, aku berhasrat menikmati kelezatan cairan merah yang mengalir dari sela-sela luka Hermione tanpa tersisa setetes pun. Di sisi lain aku ingin menghirup seteguk dan menjadikan Hermione sebagai pasangan abadi seutuhnya.

Terkaman kuat tangan ayahku di bahuku yang bergetar-lah yang membuatku tak bisa menyerang Hermione. Memanggul tubuhku yang berontak gila-gilaan, ayahku ber-Disapparate menghilang. Membawaku secara paksa kembali ke tempat tidur pribadiku di lantai atas.

Setibanya di kamar, ayahku mendudukkanku di kasur lembut. Kurang dari lima detik kemudian, ayahku memaksaku meminum sebotol cairan kental, minuman amis dan anyir yang selalu aku hirup setiap akhir bulan. Walau aku menolak tegas, ayahku tetap mendesak. Katanya, tak apa-apa bila aku mereguk eliksir merah pekat itu di pertengahan bulan seperti sekarang ini.

Usai menenggak habis larutan kelam yang disebut-sebut ibuku sebagai suplemen dan vitamin penambah darah, aku merasa sangat mengantuk. Sebelum jatuh tertidur, aku sempat menangkap seberkas rasa bersalah yang bersarang di mata hitam ayahku.

Setelah pulas cukup lama, aku terbangun karena mendengar kegaduhan yang terjadi di ruangan sebelah, kamar tempat tidur ayah dan ibuku. Emosi tak terkendali tampaknya membuat mereka lupa merapalkan Mantra Muffliato untuk meredam suara sebab aku bisa mendengar semua perdebatan keras mereka dengan jelas.

Ibuku lagi-lagi menyalahkan ayahku karena menjerumuskanku ke dalam permainan untung-untungan dan eksperimen sinting tak masuk di akal. Ayahku, yang tak terima diomeli balas menghardik dengan mengatakan bahwa ia melakukan hal itu untuk menyelamatkan kelangsungan pohon keluarga Zabini.

Semua perselisihan panas yang makin mendidih membuat otakku pusing tujuh keliling. Kelelahan tak berujung memaksaku untuk berbaring meringkuk di sudut ranjang ukuran raksasa. Di dalam remang kamar, mataku mengerjap menatap amplop perkamen besar kekuningan yang dihiasi segel ungu bergambar lambang huruf H yang dikelilingi singa, elang, musang dan ular.

Surat undangan masuk Sekolah Sihir Hogwarts, aku menguap lebar-lebar dan menenggelamkan kepala di bantal bulu angsa yang empuk dan nyaman. Satu-satunya yang terbayang di benak sebelum kembali tertidur dalam kegelapan selembut beludru adalah engahan memburu dan wajah lembut Hermione yang memucat ketika tubuh kecilnya terangkat ke udara...


Hal paling kuingat tentang Blaise Zabini adalah sifat sombong yang menjadi-jadi. Setelah beberapa minggu tak bersua seusai insiden terbang melayang di pesta ulang tahunnya yang kesebelas, aku berjumpa kembali dengan Blaise di toko jubah Madam Malkin's di Diagon Alley.

Ya, Diagon Alley.

Belum pernah mendengar tempat itu? Yah, aku juga awalnya tidak tahu ada tempat bernama Diagon Alley sampai sebuah surat undangan masuk Sekolah Sihir Hogwarts mendarat di rumahku. Surat itu datang bersamaan dengan seorang wanita sinting yang mirip serangga besar berkilauan.

Mengenalkan dirinya sebagai Profesor Sybill Trelawney, wanita sekurus hantu kerangka berjalan itu tanpa banyak basa-basi menyeretku dan kedua orangtuaku yang masih terbengong-bengong untuk segera berbelanja perlengkapan sekolah di Diagon Alley.

Setibanya di Diagon Alley, yang ternyata terletak di balik tembok tempat minum kumuh Leaky Cauldron yang ajaibnya berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan termewah di kota London, aku tak bisa menutup rapat mulutku saat menyaksikan keanehan yang berseliweran di sekitar.

Setelah terkaget-kaget melewati bar bobrok milik Tom si pria bongkok bergigi ompong, aku makin tersentak ketika dibawa ke Bank Sihir Gringotts. Di gedung putih bersih menjulang yang lebih tinggi dari bangunan lain di sekitarnya, Dad menukarkan Poundsterling miliknya dengan mata uang resmi kaum penyihir; Galleon emas, Sickle perak dan Knut perunggu.

Para Goblin yang duduk statis di meja kasir sepertinya sudah terbiasa menghadapi nasabah seperti kami yang mulutnya terus menganga seperti kucing kurang makan. Tanpa banyak kata, makhluk cebol yang selama ini hanya kulihat di buku dongeng bergambar melayani transaksi kami dengan kecepatan dan keakuratan mengagumkan.

Usai menukarkan uang di Bank Sihir Gringotts, Profesor Trelawney yang bertugas sebagai pemandu membimbing kami untuk memulai aktivitas belanja. Proses pertama dimulai dengan memborong buku-buku pelajaran dan perkakas sekolah lainnya termasuk kuali timah campuran segala ukuran, timbangan kuningan, botol tinta, perkamen dan berbagai pena bulu.

Setelah semua perlengkapan tulis menulis lengkap termasuk tongkat sihir, barang yang paling esensial dalam kehidupan seorang penyihir, Profesor Trelawney menggeret kami untuk membeli jubah sekolah di toko jubah Madam Malkin's.

Dan, di sanalah aku bertemu kembali dengan Blaise Zabini.

"Blaise," aku berseru riang melihatnya tengah menjajal jubah hitam necis. Tak bertemu beberapa pekan saja Blaise sudah banyak berubah. Posturnya kini lebih tinggi dan berkarakter sehingga tak kelihatan seperti anak berumur sebelas tahun.

Berpaling lambat-lambat, mata panjang dan sipit Blaise memicing terkejut. Kelihatan sekali ia tak mengira akan bertemu dengan diriku di tempat ini.

"Hermione? Apa yang kau lakukan di sini?"

Menyeringai lebar, aku semakin beringsut mendekati Blaise yang membatu di depan cermin panjang besar.

"Sama sepertimu. Mau membeli jubah sekolah Hogwarts."

Wajah angkuh Blaise dipenuhi ekspresi tidak percaya mendengar pengakuan tersebut.

"Hogwarts? Jadi kau... tapi orangtuamu..."

Aku mengernyit heran mencermati reaksi Blaise yang kalang-kabut. Tak biasa-biasanya Blaise gagap seperti ini. Memang sih selama ini ia jarang bercakap-cakap denganku tapi sejauh yang aku tahu aura percaya diri selalu menaungi sosoknya.

Menjulurkan tangan untuk mengusap lengan jubah hitam legam Blaise, aku kembali berceloteh, "Aku juga kaget saat mengetahui ternyata aku punya kemampuan sihir. Bayangkan saja aku... aduh!"

Aku meringis kesakitan setelah tanganku yang bertengger di lengan Blaise ditepis kasar. Memandang garang, Blaise mendesis penuh ancaman.

"Jangan coba-coba panggil aku Blaise di Hogwarts nanti! Jangan pernah menyebut atau menganggapku sebagai temanmu!"

Gertakan Blaise tentu membuatku yang tadinya mendongkol karena diperlakukan kasar merengut pilu. Kenapa Blaise tak mau berteman denganku? Padahal aku sangat gembira karena kami bisa bersekolah di tempat yang sama.

"Tapi kita memang bersahabat, Blaise," aku berteriak tak mau kalah.

"Aku bukan temanmu! Kita tidak sederajat!" Blaise menghardik gusar, melepas paksa jubah hitam yang tadi dikenakan. Membuang jubah ke lantai, Blaise mendengus sebal dan memelototi penyihir pendek gemuk yang tercengang-cengang mengawasi keributan di antara kami.

"Madam Malkin, aku minta mantel baru! Aku tak mau pakai pakaian kotor penuh lumpur itu!"

Penyihir dalam balutan jubah lembayung muda yang ternyata merupakan sang empunya toko mendecak-decakkan lidah dengan tidak sabar. Melambaikan tongkat sihir untuk mengangkat dan membersihkan setelan beludru hitam yang dibanting Blaise, Madam Malkin melempar senyum keibuan ke arahku.

"Tunggu sebentar ya, Miss. Setelah urusan Tuan Muda Zabini selesai, kita akan memilih jubah yang tepat untukmu," ujar Madam Malkin tegas, sengaja menekankan nada tak suka di kalimat 'Tuan Muda Zabini'.

Mengangguk lemah, aku memandangi punggung Blaise yang menghilang di balik deretan rak-rak terbuka. Terus terang, penolakan Blaise untuk bersahabat akrab membuat hati sakit. Aku tak menyangka Blaise ternyata sangat membenciku.

"Hermione, apa jubah resmi sekolah yang kau incar sudah ketemu?"

Orangtuaku, yang tadi kutinggal di luar toko Madam Malkin's karena mereka terlampau heboh mengamati bergalon-galon kompos ekor tikus dan ampas kotoran naga yang terpajang besar-besaran di toko obat bertanya penasaran ketika melihatku mematung di dekat rak pakaian pria.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, masih nelangsa memikirkan kekasaran yang dipertontonkan Blaise barusan. Mengapa ia terkejut ketika mengetahui aku juga penyihir sama seperti dirinya? Kenapa ia juga membawa-bawa orangtuaku dalam percakapan kami tadi?

Keresahanku tak berlangsung lama sebab Mister Zabini yang melihatku bermuram durja berinisiatif mentraktirku makan es krim di kedai Florean Fortescue's yang tersohor. Demi alasan kesopanan, Mister Zabini yang terlihat kurang nyaman berdekatan dengan Profesor Trelawney mengajak wanita aneh berkacamata pantat botol itu untuk ikut bersama kami.

Dengan suara mistis mendayu-dayu yang kentara betul dibuat-buat, Profesor Trelawney menepis tawaran itu dengan alasan dirinya harus segera balik ke Hogwarts untuk menghadiri rapat guru yang rutin dihelat sebelum tahun ajaran dimulai.

Sayangnya, acara makan es krim yang juga dihadiri Blaise dan ibunya yang awalnya ditujukan untuk menghibur hatiku berubah jadi petaka. Di saat aku dan ibuku sedang berdiskusi mengenai kemungkinan aku melahap aneka es krim super-manis, Blaise tiba-tiba bergabung dalam obrolan. Pedihnya, ia tak umbar pendapat melainkan menghina ukuran gigi depanku yang terbilang lebih besar dibandingkan anak-anak seumuran kami.

Caci-maki Blaise pastilah membuat mukaku digelayuti mendung. Melotot ke arah Blaise yang dengan polosnya menyantap es krim cokelat kopi bertabur kacang almond tanpa rasa berdosa, Mister Zabini memutuskan untuk mengakhiri pertikaian di antara kami.

Tak mempedulikan rengekan istrinya, Mister Zabini memerintahkan Blaise untuk menjabat tanganku sebagai tanda berbaikan. Setelah didesak berulangkali, Blaise dengan cemberut dan ogah-ogahan akhirnya rela menggenggam tanganku.

Ketika pertama kali tangan kami bersentuhan, getaran aneh melingkupiku. Aku merasa nyaman dan terlindungi meskipun telapak tangan Blaise terasa dingin membekukan.

Melihat kami saling berjabat tangan, Mister Zabini mengedip nakal. Mengeluarkan tongkat sihirnya, benda yang semula kukira potongan ranting pohon, Mister Zabini menyeringai licik dan berkomat-kamit pelan, komat-kamit yang langsung disambut semburan amarah istrinya.

Mister Zabini hanya cengar-cengir merespon omelan istrinya yang dilafalkan dalam bahasa Mandarin bercampur Italia.

"Sudah terlambat. Semua sudah terikat," ujar Mister Zabini enteng, mesam-mesem tak ada juntrungan.

Reaksi menggampangkan masalah yang diperlihatkan Mister Zabini membuat amarah Lady Zabini meletus. Blaise yang menyaksikan silang pendapat di antara kedua orangtuanya diam tak bergeming. Mata indah, tajam dan memikat Blaise memicing segaris memandangi tangan kami yang masih terjalin. Rasa dingin tak wajar pun makin kental menyelubungi genggaman tangan kami.

"Err... Blaise?" tanyaku hati-hati, sedikit ciut melihat ekspresi beku yang terpahat nyata di wajah aristokratnya.

Mendongakkan kepala, aku terperangkap dalam bola mata hitam keemasan yang dipenuhi binar misterius. Senyuman predator dalam sekejap terpahat di wajah Blaise yang dihiasi tulang pipi tinggi.

Tepukan sengit kipas bulu merak Lady Zabini di tanganku-lah yang membuatku terbangun dari aura hipnotis yang menaungi. Memelototkan manik khas yang diwariskan ke Blaise, Lady Zabini bergegas menyeret suaminya yang tersenyum-senyum sendiri.

Mendesis dalam bahasa yang tak pernah kudengar seumur hidup, Lady Zabini menekan-nekankan jari telunjuk langsing yang lentik terawat ke dada kokoh suaminya yang terbungkus jubah bersulam emas. Apapun perkataan yang diucapkan Lady Zabini rupanya dianggap lelucon oleh Mister Zabini sebab pria tinggi besar berkulit hitam itu membalas komentar istrinya dengan bahasa tubuh menggelikan, menunjuk-nunjuk udara kosong sambil menggeram-geram.

"Itu bahasa Troll," ujar Blaise, mengagetkanku yang tengah terkesima menyaksikan debat aneh pasangan suami-istri itu.

"Sedangkan ibuku berbicara dengan bahasa Goblin, Gobbledegook."

Menoleh menghadap Blaise yang berdiri di sebelah kanan, aku mengerutkan dahi mendengar penjelasan kompletnya. Tumben sekali Blaise mau mengobral banyak kata. Biasanya ia pendiam dan kikir dalam berbicara. Terus mengamati ayah dan ibunya yang masih beradu bahasa unik, Blaise menggeram serak. Raungan paraunya membuat dirinya terlihat lebih dewasa dari umurnya yang baru sebelas tahun.

"Janji barusan tak mengubah apapun di antara kita. Kita bukan teman dan jangan coba-coba berakrab-akrab denganku di Hogwarts nanti!"

Beranjak menjauh dariku yang terperangah, Blaise mencolek lengan orangtuanya yang masih sibuk menggelar perang kata-kata. Berpaling ke arah Blaise, sang ayah menunduk dan membisikkan sesuatu yang direspon dengan semprotan murka sang bunda.

Tanpa menghiraukan teriakan peringatan suaminya, Madam Zabini memeluk Blaise erat-erat dan menghilang dalam sekejap. Melesat pergi meninggalkan kami yang berdiri mematung tak mengerti...


Hal paling kuingat dari Hermione Jean Granger adalah status baru yang sangat mengagetkan. Setelah prahara mengenaskan yang terjadi di pesta ulang tahunku yang kesebelas, aku tak mengira bisa secepat ini bertemu lagi dengan Hermione.

Lokasi perjumpaan kami juga amat mengejutkan. Toko jubah Madam Malkin's di Diagon Alley. Butik berkelas yang hanya diketahui dan bisa dilihat oleh kalangan penyihir.

Penyihir...

Jadi Hermione adalah penyihir, sama sepertiku? Tapi, bukankah status orangtuanya Muggle? Jika orangtuanya Muggle, berarti Hermione adalah penyihir kelahiran Muggle atau yang biasa disebut Darah Lumpur? Kasta terendah dalam dunia kami?

Keterkejutan membuat lidahku kelu dan tak bisa berfungsi semestinya. Kulihat mata cokelat Hermione terpana tak percaya melihatku berbicara terbata-bata. Kegugupanku memudar seketika tatkala tangan mungil Hermione mengusap lenganku yang terselimuti jubah hitam.

Merlin, meski dilapisi kain aku bisa merasakan kehangatan dan kenikmatan liar yang menyebar dari kulit selembut satin itu. Kedekatan kami membuatku bisa menghirup wangi tubuh Hermione. Aroma manis vanila yang bercampur nektar merah darah.

Kemunculan hasrat aneh yang semakin menguat membuatku terperanjat. Sisi otakku yang selama ini dicekoki tentang keburukan Darah Lumpur meraung dramatis, memintaku untuk mengingat kembali petuah ibuku yang menyatakan kalau kaum Hermione hanyalah perusak peradaban dunia sihir, pencoleng hina dan kaum keparat gila yang gemar mengada-ada.

Belitan praduga tentang kebusukan Darah Lumpur sebagai perampok hak kekayaan intelektualitas membuatku secara otomatis menepis tangan Hermione yang melingkar di lengan jubah. Kuakui, hatiku terasa nyeri ketika melihat guratan kesedihan dan kekecewaan yang terpancar di paras mungil Hermione.

"Darah Lumpur itu perampok tak berharga. Mereka hanyalah aib dan noda hitam dalam kehidupan dunia kita."

Ungkapan pedas ibuku tentang koloni Hermione mengenyahkan semua keraguan yang berkelebat di benak. Melotot gahar, aku membentak dan menuntut Hermione untuk tak memanggil nama depan ataupun menganggap diriku sebagai temannya.

"Tapi kita memang bersahabat, Blaise."

Sahabat...

Oh tidak, Hermione. Aku tak mau cuma menjadi sahabatmu semata. Yang aku inginkan lebih dari itu. Aku ingin jadi pendamping dan pasangan hidupmu untuk selama-lamanya.

Salazar Slytherin! Aku hampir menyepak bokongku sendiri karena sempat-sempatnya memikirkan hal memalukan seperti itu. Demi neraka! Aku ini baru sebelas tahun. Tapi kenapa bisa menginginkan sesuatu yang jelas-jelas tak sepatutnya dipikirkan bocah seusiaku.

Melepas jubah beludru hitam dengan brutal, aku mencampakkan salah satu seragam resmi Hogwarts ke lantai yang dilapisi permadani bercorak kulit macan, tak menggubris pekikan samar Madam Malkin yang baru keluar dari balik rak jubah pesta.

Memberengut berang, aku menyemprot Madam Malkin, mendesak penyihir pendek gempal itu untuk memberikanku jubah baru dengan alasan mantel megah yang barusan aku pakai terkontaminasi noda lumpur.

Madam Malkin yang biasanya gemar mengumbar senyum tampak berang menerima ketidaksopanan dan kekurangajaranku. Namun, berhubung ibuku merupakan pelanggan tetap yang paling royal, wanita paruh baya itu hanya mampu berdecak-decak sebal seraya membersihkan jubah hitam yang aku buang ke lantai.

Menanggung kekesalan segunung, aku bergegas menghilang ke balik rak jubah pesta warna-warni. Setelah yakin diriku telah lepas dari pandangan terluka Hermione, aku menyandarkan tubuh yang menggigil ke rak besi yang dingin. Perasaan asing dan lelah dengan tubuhku sendiri memaksaku memejamkan mata rapat-rapat.

Aku tak bisa berlama-lama bersemedi memikirkan apa yang telah terjadi di dalam diri karena ayahku mendadak muncul. Wajah kharismatiknya, yang memiliki tulang pipi tinggi sama sepertiku menyiratkan kekecewaan mendalam. Mendesah singkat, ayahku mewanti-wantiku untuk tak berbuat jahat lagi pada Hermione.

Aku hanya bungkam seribu bahasa menanggapi keluhan dan wejangan ayahku itu. Sejujurnya, aku juga tak suka bertindak ketus pada Hermione tapi aku tak kuasa mengendalikan diri. Lagipula, aku tak mau diasingkan teman-teman satu geng-ku karena bergaul dengan Darah Lumpur seperti Hermione. Apa kata Draco dan Pansy nanti? Bisa-bisa mereka mencapku lebih dungu dari si goblok Vincent Crabbe dan Gregory Goyle.

Tersenyum hambar melihat respon dingin yang aku perlihatkan, ayahku akhirnya menyerah. Bangsawan berkasta tinggi yang amat kukagumi karena sangat jenius dan jago bermain Quidditch itu mengajakku untuk makan es krim di toko Florean Fortescue's.

Ajakan tersebut pastinya kusambut dengan bersemangat. Aku memang sangat menggemari semua es krim yang dijual di sana. Terutama es krim cokelat kopi dengan taburan kacang almond. Kuliner sedap yang selalu kusantap setiap kali menemani ibuku berbelanja di Diagon Alley.

Kegembiraanku mengempis ketika mengetahui Hermione dan kedua orangtuanya ternyata ikut ditraktir es krim bersama kami. Ibuku juga sepertinya menyimpan kebencian serupa. Seringkali kulihat ia mengerucutkan bibir atau mengernyitkan hidung, berakting seolah-olah Hermione dan keluarganya baru saja keluar dari padang rawa tempat pembuangan sampah.

Jika ibuku mengerutkan hidung mungil mancung miliknya karena menganggap Hermione berbau seanyir bangkai, aku menutup hidung karena tak tahan menghirup aroma feminin Hermione yang kuat dan memabukkan. Wangi manis menggoda yang mampu meluluhlantakkan semua logika, membuat sekujur tubuh tegang dan mendamba.

Sesampainya di toko es krim Florean Fortescue's, aku tanpa basa-basi langsung memesan es krim favorit. Hermione juga tak kalah sigap menyampaikan es krim kesukaannya. Seperti sosoknya yang manis, Hermione juga menggemari semua makanan yang manis-manis. Memamerkan senyum lebar yang mempesona, Hermione meminta Mr Florean Fortescue untuk membawakannya es krim vanila madu.

Orangtua Hermione yang berprofesi sebagai dokter gigi tampaknya tak mendukung pesanan anaknya. Sang ibu, yang berambut ombak seperti putrinya memperingatkan Hermione untuk tak kebanyakan mengonsumsi gula.

"Tapi, Mom, menurut buku yang aku baca tadi di toko buku Flourish and Blotts, es krim di kedai Florean Fortescue's dibuat dengan sihir dan bahan khusus, sehingga tak akan merusak gigi," dalih Hermione, berupaya menyakinkan ibunya yang mendesah tak setuju.

Menatap balik ke sosok empunya toko yang balik tersenyum hangat, Hermione kembali melanjutkan argumentasi.

"Lagipula, aku sudah jenuh memakan camilan dengan pemanis buatan, Mom. Sesekali aku ingin mencicipi rasa manis yang murni."

Aku mendengus keras dan memasukkan sesendok besar es krim cokelat kopi ke dalam mulut.

Pemanis buatan? Gigi bolong dan keropos?

Hah! Muggle itu benar-benar terbelakang. Di dunia sihir tak ada itu yang namanya gigi rusak karena overdosis makan gula atau penganan serba manis lainnya. Para penyihir baru kehilangan gigi di usia lanjut seperti Tom, si pemilik bar Leaky Cauldron yang bongkok dan ringkih.

Kalaupun gigi penyihir rontok saat pertempuran atau terbentur Bludger di pertandingan Quidditch, hal sepele seperti itu bisa diatasi dengan mantra-mantra pengobatan yang dikuasai para Penyembuh profesional yang mengabdi di Rumah Sakit Saint Mungo.

"Tak usah takut gigimu peyot, Hermione. Gigimu itu besar-besar dan panjang seperti berang-berang. Jadi, kalaupun keropos, masih ada sisanya," celetukku tajam, menggigit remahan kacang almond yang bertebaran di atas es krim cokelat kopi.

Komentar miringku dibalas geram dongkol ayahku yang duduk di samping kiri. Kadang-kadang aku suka heran kenapa ayahku sangat mempermasalahkan semua perlakuanku pada Hermione. Jika ayahku meradang, ibuku tampak girang menanggapi ejekanku. Meskipun mulutnya ditutup dengan kipas bulu merak, ibuku tak bisa menyamarkan hujan tawa cekikikan yang penuh penghinaan.

Reaksi Hermione sendiri membuatku amat terpukul. Biasanya, ia hanya cemberut atau mengumbar senyum kecut tapi kali ini ekspresinya sangat bertolak belakang. Sudut matanya tampak berair dan tangannya yang terkepal terlihat gemetar menahan sedu sedan yang tertahan.

Perasaan bersalah yang amat dalam menghantam nuraniku. Jika tak melihat keadaan, ingin rasanya aku berlutut dan meminta maaf atas semua komentar burukku barusan.

"Darah Lumpur itu perampok tak berharga. Mereka hanyalah aib dan noda hitam dalam kehidupan dunia kita."

Lagi-lagi ucapan ibuku terngiang kembali di otakku, membuatku tak berdaya dan terombang-ambing di antara dua pilihan. Meminta maaf atau berpuas diri karena berhasil menyakiti perasaannya.

Segala kegundahan yang menderu-deru terhenti ketika ayahku memintaku untuk menjabat tangan Hermione, sebagai bentuk permintaan maaf. Segala penolakanku tak bisa meremukkan kebulatan tekad ayahku yang berlagak seperti duta perdamaian. Akhirnya, dengan bersungut-sungut aku menjabat tangan Hermione yang masih sedikit bergetar.

Sesaat setelah tangan kami bersentuhan, perasaan posesif yang aku rasakan semakin menggila. Hampir saja aku menyeret Hermione pergi bersamaku seandainya saja ayahku tidak mengalihkan perhatian dengan rapalan mantra yang dicuap-cuapkannya.

Seperti Hermione yang bengong tak mengerti, aku juga tak paham dengan mantra yang diobral ayahku. Hanya ibuku yang sepertinya mengetahui rahasia dan makna di balik gumaman pelan tersebut.

Terbukti ketika ibuku, yang biasanya pantang marah-marah di depan umum langsung kehilangan kontrol dan mendamprat ayahku habis-habisan. Bagiku, semua kerusuhan itu tak ada artinya dibandingkan sensasi menghanyutkan yang kurasakan ketika tanganku bersenggolan dengan jemari Hermione.

Tertunduk memandangi tangan kami yang masih menyatu, sebuah tekad asing tumbuh di dalam benak. Ikrar yang membuat sudut bibirku terangkat ke atas, membentuk seringai khas predator. Senyuman iblis serigala yang sepertinya membuat Hermione terperanjat dan nyaris meloncat dari kursi.

"Darah Lumpur itu perampok tak berharga. Mereka hanyalah aib dan noda hitam dalam kehidupan dunia kita."

Untuk kesekian kali, pernyataan ibuku tentang kebusukan komunitas Hermione membuat akal dan mental terbelah dua. Perang psikologis antara batin dan logika pun terjadi. Pertempuran ketat yang ujung-ujungnya dimenangkan oleh akal sehat dan kewarasan.

Setelah nalar kembali menguasai, tanpa belas kasih aku mengultimatum Hermione untuk mengabaikan ritual apapun yang baru saja terjalin di antara kami. Prosesi sihir yang sesungguhnya belum aku pahami secara pasti.

Tak mau akal sehat kembali goyah melihat roman terluka di muka polos Hermione, aku bergegas menuju kedua orangtuaku yang masih berapi-api berdebat dengan memakai bahasa Goblin, Gobbledegook dan bahasa resmi Troll.

Ayahku, yang menyadari keberadaanku setelah lengannya aku jawil menundukkan kepala dan membisikkan satu hal yang menjadi akar keributan mereka barusan.

Satu hal yang akan mengubah hidupku untuk selama-lamanya...

"Itu tadi Sumpah Tak Terlanggar, Blaise. Kau sudah mengikat Hermione sebagai pasangan hidup."

Wajahku memucat dan darah seolah menyusut dari seluruh tubuh sewaktu mendengar perkataan tak terduga itu. Gelegar kemarahan ibuku mengiringi degup jantungku yang bertalu-talu memikirkan kemungkinan bersatu dengan Hermione.

Sisi primitif yang kusadari bangkit setelah pertama kali berjumpa dengan Hermione melonjak kegirangan. Sedangkan, bagian superioritas darah murni yang telah dicekoki perbedaan kasta dan hierarki ras kelimpungan memikirkan penyatuan yang berpotensi menodai pohon keluarga.

Memeluk erat tubuhku yang sedikit terguncang, ibuku berteriak marah, tak peduli dengan dengung ingin tahu yang merebak dari pengunjung kedai es krim Florean Fortescue's.

Di sela-sela hardikan dan repetan yang mengalir ritmis dalam berbagai bahasa aneh di dunia, termasuk Mermish, bahasa ikan duyung yang sudah dikuasai ibuku sedari batita, badai air mata mengalir deras menuruni wajah rupawan yang secantik bunga musim panas. Butiran cairan hangat yang menerpa tulang pipi tatkala kami melaju menghilang dalam satu kilasan cahaya.

Sesampainya di rumah, ibuku yang masih sedikit kalut berjanji akan menyelesaikan masalah pelik ini. Kata ibuku, sebelum kembali lenyap untuk menyeret ayahku pulang, pasti ada cara untuk membatalkan Sumpah Tak Terlanggar. Solusi lain yang bisa membebaskanku seutuhnya dari belenggu masa depan.

Sepeninggal ibuku, aku menghela napas dan membanting tubuh ke kasur empuk. Mataku menatap cepat langit-langit kamar yang bisa kuganti sesuai dengan cuaca hati. Langit-langit kamar yang kali ini aku ubah menjadi awan mendung tipis dengan sinar mentari yang merayap malu-malu.

Menyangga kedua lengan di balik kepala, tanpa bisa kuelakkan, sebuah senyum puas tercetak di bibir. Sekuat apapun berusaha, ibuku tak akan bisa membatalkan Sumpah Tak Terlanggar. Sekalinya terucap, janji sihir itu tak bisa terhapus kecuali dengan kematian.

Itu berarti, aku akan terus mendampingi Hermione sampai akhir hayat nanti...


Hal paling kuingat dari Blaise Zabini adalah hobi buruk yang suka meledek dan mengata-ngataiku.

Setelah beberapa hari tak bertemu usai skandal heboh di toko es krim Florean Fortescue's, aku kembali bertatap muka dengan Blaise di peron sembilan tiga perempat. Peron khusus penyihir yang tersembunyi di antara peron sembilan dan sepuluh Stasiun King's Cross, London.

Bersandiwara tidak melihat lambaian tanganku, Blaise yang didampingi ibunya buru-buru masuk ke dalam kereta api Hogwarts Express merah tua, meninggalkanku yang tengah berlari-lari kecil menghampiri.

Aku yang tak melihat kehadiran Mister Zabini tentu bertanya-tanya. Ke mana gerangan penyihir simpatik itu? Kenapa ia tak mengantar Blaise seperti ayah-ayah lainnya?

"Dad dengar Zabini sakit. Jadi ia tak bisa mengantar Blaise," jelas ayahku, mata cokelat ramahnya melebar di balik kacamata ketika keganjilan itu aku pertanyakan.

Memasukkan tangan ke saku, ayahku melanjutkan gelombang keluh-kesah.

"Dad tak bisa menjenguk Zabini sebab tak tahu lokasi pasti rumahnya. Yang paling menjengkelkan, istrinya enggan memberikan alamat rumah mereka pada Dad," gerutu ayahku pelan, tampak kesal dan sebal sebab tak bisa membesuk salah satu teman lamanya.

Menghembuskan napas sedih, Dad mengawasi Lady Zabini yang asyik mengobrol bersama wanita pirang berkulit putih keperakan seperti sinar bulan, wanita cantik memikat yang dipanggil sebagai Cissy. Di samping Cissy, yang pagi ini tampak megah dalam balutan gaun terusan model formal berbahan emas, aku melihat seorang pria berbadan tinggi dan angkuh yang tengah memeluk erat putranya.

Seolah sadar dirinya diamati, si bocah laki-laki yang ternyata Draco, anak laki-laki aneh yang kutemui di pesta ulang tahun Blaise melepas pelukan ayahnya dan mengangkat muka. Menatap lekat-lekat dengan iris kelabu perak pucat yang berkilau dengan ekspresi tak terbaca, Draco mengirimkan pandangan menohok yang membuatku buru-buru mengalihkan pandangan.

Bunyi peluit panjang yang meluncur dari lokomotif membuatku tersentak. Rupanya, jam di dinding peron sudah menunjukkan jam sebelas tepat, saatnya untuk Hogwarts Express lepas landas. Memeluk erat kedua orangtuaku yang tersenyum bangga untuk terakhir kalinya, dengan sumringah aku melambaikan tangan dan bergegas memasuki gerbong kereta yang sudah dipadati banyak siswa.

Dalam perjuangan menemukan kompartemen yang masih kosong, aku berpapasan dengan seorang bocah berwajah bundar yang bermata sembap seperti habis menangis. Anak laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Neville Longbottom itu rupanya tengah kalut mencari kodok betung, Trevor yang raib entah ke mana.

Iba menyaksikan kesengsaraan Neville, aku dengan senang hati membantunya mencari kodok cokelat gemuk yang doyan melompat itu. Menggandeng tangan Neville yang bersimbah peluh, aku mengelilingi gerbong dan kompartemen, bertanya-tanya kepada setiap siswa berbagai angkatan yang kami jumpai apakah mereka melihat seekor kodok betung tak bertuan.

Tak berhasil menemukan Trevor di gerbong depan dan tengah, kami beranjak ke gerbong belakang. Membuka salah satu kompartemen yang berisik dan dipenuhi suara tawa, mata cokelatku langsung bertabrakan dengan netra hitam kelam keemasan milik Blaise.

Begitu melihatku berdiri di ambang pintu bersama Neville yang gemetaran, Blaise yang tengah menyeringai menikmati gurauan teman-temannya dalam sekejap berubah sikap. Paras cerah yang tadi diperlihatkannya berganti menjadi roman muka keruh, persis air sungai yang tercemar limbah.

Menyadari perubahan ekspresi Blaise, penghuni kompartemen yang lain menghentikan obrolan bising dan candaan mereka. Keempat kawan Blaise, termasuk Draco si pirang aneh itu mengawasiku dengan tatapan waspada dan penasaran.

"Tunggu dulu," Pansy, si cewek bertampang mirip anjing pesek, gadis judes yang kutemui di pesta ulang tahun Blaise memekik terkejut, berteriak nyaring dengan suara tinggi melengking tak wajar. Lengkingan cempreng Pansy yang lebih ribut dari kerusuhan tawuran nyaris membuat langit-langit kompartemen di atas kami retak dan bergetar.

"Kau Muggle jelek yang waktu itu datang ke pesta ulang tahun Blaise. Jadi kau ini-"

"Darah Lumpur kotor," suara bernada lambat yang diulur-ulur mengalun dari bibir tipis Draco. Menaikkan alis pirang pucat, mata kelabu perak Draco menyipit segaris, sarat dengan luapan pertimbangan.

Aku, yang masih awam dengan seluk-beluk dunia sihir termasuk idiom maupun istilah-istilahnya belum memahami makna di balik umpatan Darah Lumpur tersebut. Satu hal yang pasti, julukan itu berkonotasi negatif sebab Neville yang berdiri di sampingku menegapkan tulang punggung sembari mengepalkan tangan.

"Jaga mulutmu, Malfoy. Jangan pernah mengata-ngatai Hermione dengan sebutan tak bermoral itu lagi!"

Aku sama sekali tak mengira Neville yang tampak penakut berani membela seperti itu. Rasa haru dan gembira berjumpalitan di hati. Aku merasa bahagia karena mendapatkan seorang teman yang bersedia berbagi suka dan duka.

Mungkin, pikirku sambil memandangi keempat teman Blaise yang lain, yang menganga terkejut merespon pembelaan Neville, aku bisa berkenalan dan berteman dengan mereka. Bukankah sesudah menerima surat undangan masuk Hogwarts, aku bertekad untuk memperbanyak dan menambah teman yang sepantaran denganku?

Harapanku untuk memperluas lingkup pergaulan menipis ketika Pansy tertawa terbahak-bahak. Memegangi perut, penyihir cerewet bersuara fals itu tergelak hebat hingga nyaris menitikkan air mata.

"Oh lihat, akhirnya si bego Longbottom punya pacar. Dia... adaww!"

Pansy menjerit ngilu karena kedua kakinya diinjak secara bersamaan oleh Blaise dan Draco. Kedua anak laki-laki itu tetap menghentak-hentakkan sepatu mereka di kaki Pansy meskipun gadis kecil berambut hitam runcing itu mengaduh-aduh kesakitan.

"Idih, Blaise! Draco! Apa-apaan sih kalian!"

Pansy, yang tak sanggup lagi menjadi keset hidup menarik kaki menjauh dari teman sepermainannya yang mendadak sakaw. Meringkuk di sudut kompartemen, bergabung bersama dua anak laki-laki gembul yang bertampang mirip kerbau bloon, gadis berwajah sangat galak itu mendengus tajam dan menghunuskan tatapan mematikan setajam anak panah runcing ke arahku.

Menahan napas, aku berjuang menghalau aura permusuhan dan pandangan penuh racun yang terpancar. Tersenyum grogi dan meremas-remas jari perlahan, aku menoleh ke arah Blaise yang setia memasang tampang kelam.

"Blaise, apa kau lihat kodok Neville? Trevor, yang berwarna cokelat dan gemuk?" tanyaku lamat-lamat, sedikit ciut melihat ekspresi sekeras baja di wajah Blaise. Blaise tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya mengangkat bahu dan membuang muka, memilih memandangi panorama di luar jendela yang bergerak cepat seiring dengan laju kereta.

"Ooh, si kodok lezat itu ya?"

Salah satu dari anak laki-laki kelebihan kalori yang duduk mengapit Pansy menyeringai menyebalkan. Menepuk-nepuk perut buncit yang penuh gelambir lemak, bocah gembrot itu menggembungkan pipi seperti kodok, bersendawa keras dan panjang sambil tersenyum puas.

"Kodok itu sudah jadi camilan sambilan tadi. Dari dulu aku memang suka Cokelat Kodok."

Pansy kembali meringkik-ringkik tertawa, mengeriut-ngeriutkan wajah merespon kelakar tak lucu itu. Draco yang duduk manis di seberang pun mengulaskan seringaian khas yang menyebalkan. Blaise, yang mengambil posisi mepet dengan jendela, tepat di samping Draco mendengus menahan tawa.

Neville yang malang mengeluarkan suara tercekik. Muka bulat Neville yang seperti labu memucat tak berdarah, tampak terguncang mengetahui kodok kesayangannya telah ludes dilalap si bocah gendut yang sedang tertawa berguling-guling di lantai kompartemen.

Berkacak pinggang, aku menghentakkan kaki ke lantai kompartemen, berharap bisa menghentikan parodi memuakkan sekaligus membungkam mulut sableng si bocah edan yang sialnya masih terbahak-bahak begitu keras, memuntahkan sisa-sisa kunyahan Merica Setan di setiap dengung tawa.

"Ya, ya, ya, Kocak sekali. Teman-temanmu benar-benar lucu, Blaise. Aku-"

Seolah menyadari niat yang sempat terselip di dalam nurani, Blaise memotong ucapanku dengan komentar sadis yang menyayat hati.

"Jangan bermimpi untuk berteman dengan kami, Granger. Sadar dong kalau makhluk jelek penghuni rawa-rawa kotor berlumpur seperti dirimu tidak selevel dengan kami."

Penegasan arogan Blaise membuat benang kesabaran putus. Cukup sudah aku berbesar hati menerima tanggapan pedas yang menyakitkan. Ini sudah kesekian kalinya Blaise menampik uluran persahabatanku.

"Terserah kalau itu memang maumu! Aku juga tak mau berteman dengan anak-anak jahil dan kurang kerjaan seperti kalian!"

Mendongakkan hidung setinggi mungkin, aku membalikkan badan, membuka pintu kompartemen dan sedikit membantingnya untuk memberi efek dramatis. Neville, yang mengembik ngeri menonton gelegak kemarahanku dengan hati-hati merendengi sepanjang perjalanan kami ke kompartemen berikutnya.

Di kompartemen kedua dari belakang itulah aku bertemu dengan Harry James Potter dan Ronald Bilius Weasley. Dua laki-laki hebat yang akan menjadi teman terbaik sepanjang masa...


Hal paling kuingat dari Hermione Jean Granger adalah sifat pantang menyerah yang mengagumkan. Walaupun sudah puluhan kali aku berlagak bengis dan mengabaikan habis-habisan, Hermione tetap gigih mendekatkan dirinya padaku.

Seperti hari ini misalnya. Di tengah-tengah keriuhan dan kerumunan manusia yang memadati peron sembilan tiga perempat, mataku dengan mudah menangkap sosok Hermione yang tengah berbincang seru dengan kedua orangtuanya.

Tatapanku yang tak berkedip dirasakan juga oleh Hermione. Sejurus kemudian, anak perempuan berambut ikal semak yang telah menghantui pikiran sejak pertama kali kami bertemu itu mengangkat muka.

Mengunci mata cokelat dengan manik hitam keemasanku, Hermione melayangkan sepotong senyum singkat. Senyum bersahabat yang lebih hangat dari sweter lembut dan syal Kashmir kualitas terbaik.

"Darah Lumpur itu perampok tak berharga. Mereka hanyalah aib dan noda hitam dalam kehidupan dunia kita."

Teror kata-kata ibuku membuatku pura-pura tak melihat lambaian tangan Hermione yang berderap antusias menyambangi. Berjinjit dan mengecup sekilas pipi halus ibuku yang dipulas kosmetik, aku terbirit-birit melesat secepat angin menerobos ke dalam gerbong. Kabur melarikan diri untuk bergabung bersama Pansy, Crabbe dan Goyle yang sudah lebih dulu menjajah kompartemen paling belakang.

Setibanya di kompartemen, aku menghenyakkan diri di bangku dekat jendela, tak menghiraukan sama sekali aksi berisik Crabbe dan Goyle yang sibuk melempar-lemparkan kartu Cokelat Kodok edisi Morgan Le Fay, ratu pulau legendaris Avalon sekaligus penyihir wanita jahat terkuat yang hidup di Abad Pertengahan.

Menghela napas perlahan, aku menopangkan dagu dengan sebelah tangan, menatap hampa gulungan asap tipis yang berasal dari cerobong Hogwarts Express yang tengah melakukan pemanasan mesin sebelum berangkat.

Bertolak belakang dengan kemeriahan dan keceriaan di sekelilingku, gelombang kemasygulan tak terkatakan tumpah-ruah menyesaki kalbu. Sejujurnya, aku tak mau berada di dalam kompartemen ini, bersiap-siap berangkat menuju sekolah sihir paling prestisius sedunia. Ya, jika bisa memilih, aku pasti menetapkan hati untuk mendampingi ayahku yang tengah tergolek sakit di pembaringan.

Tapi, kata ibuku, apapun yang terjadi aku tak boleh menunda keberangkatan ke Hogwarts. Ibuku berkilah sakit ayahku tidak terlalu mengkhawatirkan. Alasan yang aku duga cuma dibuat-buat untuk mengusir keresahan. Bagaimana bisa ayahku disebut baik-baik saja sedangkan dari hari ke hari tubuh besarnya semakin tirus dan kurus.

Janji ayahku bahwa ia akan segera pulih sehingga kami bisa bermain lempar salju di liburan Natal membuatku mau berangkat ke Hogwarts. Mendekap erat ayahku yang terbatuk-batuk hebat tak beraturan, aku berjuang menahan luapan kesedihan. Rasa lara yang mendera karena sampai detik ini aku belum bisa membalas semua jasa baik ayahku.

Lamunanku tentang kondisi kesehatan ayahku yang memburuk terinterupsi dengan kedatangan Draco. Membawa gundukan permen kecut segar, cokelat madu besar-besar dan gula-gula manis berempah di dalam dekapan lengan, Draco menyeringai lebar menatap Crabbe dan Goyle yang terengah-engah meneteskan air liur.

Melemparkan semua barang jarahan ke berbagai arah, Draco dengan congkak dan penuh kepuasan tergelak-gelak menyaksikan Crabbe dan Goyle melompat-lompat seperti kodok, berusaha menangkap semua camilan manis yang berhamburan di udara.

Terus terang, sikap sepele yang diperlihatkan Draco pada dua teman muda merangkap algojo setia membuatku muak. Meski aku tergolong pilih-pilih teman, aku pantang menginjak-injak harga diri sahabatku.

Tapi kau sudah menindas harga diri Hermione...

Bisikan nurani yang muncul tanpa diminta membuatku ditikam perasaan bersalah. Ya, bukankah jika dipikir-pikir lebih dalam aku sama saja seperti Draco, yang tak peduli pada perasaan tulus teman-temannya? Bukankah aku juga menyepelekan ajakan berteman yang diajukan Hermione?

Justru itulah masalahnya!

Aku tak mau cuma jadi teman biasa. Aku ingin jadi teman hidup. Pendamping jiwa sampai akhir masa.

Sekali lagi, percikan suara kegilaan tersebut membuat tubuhku limbung. Pantat Kucing! Apa mungkin di usiaku yang baru sebelas tahun ini aku sudah diserang gairah brutal yang disebut hormon remaja? Memikirkan tentang belahan jiwa segala?

Mendudukkan diri di bantalan samping, Draco meletakkan sekotak Kacang Segala Rasa Bertie Botts dan menatap aneh penuh curiga dengan pandangan menyelidik.

"Apa sih yang kau pikirkan Blaise? Jidatmu berkerut-kerut seperti kakek-kakek begitu."

Pansy, yang bisa jadi punya gen kuda dalam tubuh karena gemar sekali meringkik kembali cekikikan tak terkendali mendengar komentar usil Draco. Melekatkan tubuh ceking kerempeng sekurus tiang penangkal petir, gadis jelek dengan geligi sehancur gigi Troll itu tak puas-puas memandangi wajah tampan alami Draco dengan sorot memuja.

Aku menggeleng-gelengkan kepala menonton ekspresi Pansy yang terhipnotis. Dasar Draco, kendati sudah diperingatkan untuk mengontrol kekuatan, ia masih juga mengobral daya pikat dengan sembarangan.

Mengalihkan pandangan ke jendela, aku menatap bayangan pucat Draco dari pantulan kaca seraya merenungkan kembali asal-muasal perkawanan kami. Tak seperti Pansy yang sudah berteman denganku sejak masih di dalam buaian, aku baru bertemu dengan Draco si manusia manja setahun yang lalu.

Ketika itu, di tengah malam di musim dingin yang menggigit, ayah Draco, Lucius Malfoy tergopoh-gopoh mendobrak pintu rumah kami. Bersikeras ingin bertemu dan berbicara empat mata dengan ayahku.

Aku yang tengah main petak umpet dengan peri rumah pengasuh di ruang kerja ayahku tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan rahasia mereka yang berkisar tentang kekuatan Veela yang dimiliki Draco.

Veela...

Selama ini makhluk magis yang punya daya hipnotis itu biasanya identik dengan peri perempuan yang cantik jelita. Tapi, tak menutup kemungkinan gen Veela mereka diwariskan ke keturunan laki-laki.

Kendati sihir magis mereka tak sekuat Veela perempuan, Veela pria juga mempunyai sejumput kekuatan dan ciri-ciri fisik sama. Berambut pirang halus keperakan, berkulit putih pucat seperti cahaya rembulan dan sorot mata kelabu perak menghipnotis.

Rupanya, walau memiliki tanda-tanda fisik seperti Veela, ayah Draco tak mewarisi kemampuan eksotis tersebut. Menurut ayah Draco, sudah beberapa generasi keturunan Veela tak lahir di klan mereka.

Setelah mengira darah Veela yang berasal dari leluhur Malfoy yang menikah dengan gadis Veela Slavia musnah ditelan zaman, ayah Draco dikejutkan dengan kekuatan samar yang diperlihatkan putra tunggalnya yang baru berulang tahun kesepuluh, enam bulan lalu.

Ayahku, yang tak menyadari kehadiranku yang bersembunyi di dalam lemari antik berukiran elegan berjanji untuk meneliti kasus ini lebih lanjut. Ia juga meminta ayah Draco untuk membawa putranya ke tempat kami esok lusa.

Di pertemuan dua hari kemudian itulah aku bertemu pertama kali dengan Draco. Ketika menatap sosok Draco yang tampan gemilang, aku langsung tahu bahwa di dalam pembuluh Draco mengalir aroma kekuatan dan darah Veela. Ketika itu, indra penciumanku menangkap bau magis yang entah kenapa membuatku tak nyaman. Membuatku ingin menghabisinya sesegera mungkin.

Selama beberapa minggu, Draco menginap di rumahku. Aku yang sudah tak suka dengan Draco sejak pertama kali bertemu menolak beramah-tamah dengan bocah pirang pucat itu. Gelagat serupa juga diperlihatkan Draco. Bocah pongah sok berkuasa yang gemar membuat pelayan dan tamu-tamu ibuku bertekuk lutut dengan pesona khas Veela itu juga enggan mengakrabkan diri maupun bermain bersamaku.

Dari hasil investigasi ayahku, yang dengan ketekunan luar biasa menyelidiki garis keturunan Draco, diketahui kalau bangsawan berdarah campuran Inggris-Prancis-Slavia itu memiliki seperdelapan darah Veela. Genetika yang tak terlalu besar itu memungkinkan Draco untuk tak secara absolut mengikuti karakter dan gaya hidup Veela tulen.

Mujurnya, ayahku yang tak pelit ilmu dan hobi bercerita bersedia membagikan hasil penyelidikan kepadaku. Persetujuan Lucius Malfoy untuk berbagi rahasia denganku membuat ayahku makin bersemangat bercerita.

Menurut ayahku, secara garis besar, Veela memiliki kecenderungan untuk berpasangan dengan seseorang seumur hidup. Jika tak bisa berpasangan dengan sang belahan jiwa, Veela tersebut akan mati menderita.

Berhubung gen dan darah Veela yang mengalir di diri Draco terbilang sedikit, anak laki-laki yang gemar mengenakan setelan jas bagus dan pakaian perancang itu memiliki kemungkinan untuk berganti pasangan jika sesuatu hal buruk terjadi pada kekasih abadinya.

Saat itu, aku menghela napas lega mendengar penjabaran ayahku tentang proses berpasangan Draco yang bisa ditukar ulang. Perasaan lega yang janggal sebab selama ini aku tak pernah mengenal Draco namun sudah dikuasai aroma persaingan tak masuk di akal.

Sejak tahu Draco bukan lagi ancaman bagiku, aku mau-mau saja ketika diajak berteman olehnya. Termasuk berakrab-akrab ria dengan dua tukang pukul kesayangan yang tak pernah kenyang-kenyang.

Jika Draco mengenalkanku dengan Crabbe dan Goyle, dua bocah goblok dengan nilai yang selalu jeblok, aku berbaik hati memperkenalkan si belagu Pansy ke Draco. Seperti yang kuduga, begitu melihat Draco yang sangat menawan, Pansy langsung meleleh. Teman sejak kecilku itu bahkan segera merunduk-runduk seperti anjing pesek tatkala Draco mencoba mengeluarkan sihir Veela.

Untung saja, ibu Draco, Narcissa Malfoy gemar mewanti-wanti anaknya untuk mengendalikan kekuatan. Kalau tidak, bisa-bisa lantai rumahku digenangi air liur Pansy yang tak habis-habis.

Menyimpan memori masa awal pertemanan dengan Draco ke sudut ingatan terdalam, aku mengalihkan perhatian ke parade banyolan yang dilontarkan Crabbe dan Goyle. Ketika aku tengah terbahak mentertawakan humor renyah dan talenta Crabbe yang piawai meniru ekspresi pelawak dunia sihir, pintu kompartemen berderit terbuka.

Senyum lebar yang melintas di bibirku memudar ketika aku melihat siapa tamu tak diundang itu. Hermione Granger dan Neville Longbottom, anak laki-laki kecil bertubuh pendek bulat yang kepengecutan akutnya mempermalukan nama penyihir berdarah murni.

Tampangku makin kelihatan rusuh setelah aku melihat jemari Hermione menggenggam lekat tangan buntek Longbottom. Desakan fisik untuk memotong-motong tangan lancang Longbottom karena berani menyentuh jari Hermione melonjak ke permukaan.

Syukurlah jeritan lantang Pansy membungkam keinginan horor tersebut. Menuding Hermione dengan telunjuk kurus yang dipenuhi cincin emas putih, Pansy mempertanyakan status baru Hermione. Predikat mengenaskan yang langsung ditegaskan Draco yang duduk tegang di samping kanan.

Sedikit rasa perih mengisi hati ketika umpatan Darah Lumpur kotor diutarakan Draco. Ya, Darah Lumpur memang kotor dan mengapa Hermione harus menjadi salah satu dari kaum buangan seperti itu?

Di tengah degukan konyol Crabbe dan Goyle yang mengangguk-angguk sepakat menyetujui komentar pimpinan mereka, si bodoh Longbottom mengobral aksi sok pahlawan. Mengepalkan tinju yang cuma sebesar biji semangka kisut, Longbottom yang gemetaran mati-matian membela kehormatan Hermione.

Sikap heroik Longbottom yang bertingkah seperti pahlawan kesiangan kontan memunculkan amarah menggelapkan dan perasaan tersaingi di dalam diri. Sisi diriku yang berada di luar kendali logika memberontak hebat. Bersiap melumat siapapun yang sok-sokan bergaya di depan Hermione.

Tepat sebelum tubuhku menerjang Longbottom untuk mencabik-cabiknya menjadi potongan daging mentah cincang yang tak bisa dipermak lagi, Pansy, si jalang blasteran anjing pesek dan kuda melontarkan ocehan yang membuat letusan api kemarahan berpindah ke dirinya.

"Oh lihat, akhirnya si bego Longbottom punya pacar."

Secepat sapu balap kesurupan, aku menginjak kaki Pansy sekuat mungkin, membuat penyihir tak berotak itu memekik-mekik pilu. Tanpa diduga, Draco juga melakukan hal serupa, menjadikan kaki ceking Pansy keset alas sepatu hitam mengilap.

Terus menancapkan sepatu di kaki Pansy, aku mengerling sengit ke arah Draco. Lirikan berbisa yang dibalas tak kalah beracun olehnya. Masing-masing dari kami saling melotot habis-habisan dan baru terputus ketika Pansy menyentak lepas kaki yang mulai membiru.

Menghambur ke arah Crabbe dan Goyle yang tengah mengunyah sekardus Merica Setan, Pansy melipir di antara paha besar dua ayam jantan kelas bantam yang masih mengunyah nyaman. Hermione, yang belum memahami pemicu kerusuhan di iklim hati, termasuk tatapan menusuk yang diumbar Pansy bertanya tentang kodok betung milik Longbottom yang hilang karena suka melompat-lompat.

Buh! Aku nyaris mengacak-acak rambut megar Hermione dan mencubit gemas hidungnya karena pernyataan yang menggelikan. Bukannya dari dulu kodok, katak dan makhluk amfibi lainnya dikenal suka melompat?

Rasa geli yang merambati diri memudar tatkala melihat tangan bengkak Longbottom masih terpaut di antara jemari Hermione. Menghembuskan napas gusar, aku menyandarkan punggung ke bangku kompartemen, bersusah-payah mengalihkan pandangan dari adegan memuakkan itu.

Crabbe, yang sudah selesai mencaplok semangkuk besar Merica Setan dan sekarang tengah mengganyang Kerumunan Kecoak dengan kerakusan berlebihan mencoba berparodi dengan membual bahwa dirinya barusan menelan kodok buronan itu hidup-hidup.

Guyonan Crabbe tak urung membuatku terpingkal-pingkal. Di antara derai tawa, bara kemarahan padam dan aku pun membatalkan niat untuk mencacah habis Longbottom, merobek tulang demi tulang hingga lumat tak bersisa.

Sayangnya, di saat kepala panas mulai mendingin, Hermione, yang tak terpengaruh dengan lelucon basi Crabbe berusaha menjernihkan suasana. Usaha mendongkrak semangat Longbottom si pengecut kecil tak bernyali itu membuatku naik pitam. Tanpa berpikir panjang, aku kembali menyinggung perasaan halus Hermione dengan penekanan kembali status dan posisi kami.

Keputusan spontan untuk mengungkit-ungkit kembali faktor derajat dan kasta darah segera kusesali detik itu juga. Hermione, yang selama ini teguh pendirian dalam menjadikanku teman dekatnya rupanya sudah berada di ambang batas kesabaran.

Berteriak lantang tak akan pernah mau lagi mencoba berkawan denganku, Hermione melesat keluar dan membanting pintu kompartemen hingga bergetar.

Getaran menyakitkan yang gemanya terasa nyeri sampai ke ujung sukma...


Hal paling aku ingat dari Blaise Zabini adalah sikap plin-plan yang membingungkan.

Setelah menegaskan dirinya tak sudi berteman denganku hanya karena aku Darah Lumpur, istilah hina yang baru aku ketahui artinya dari penuturan Ron, Blaise mendadak mengemis-ngemis meminta untuk tak meninggalkannya.

Terus terang, tindak-tanduk Blaise yang berubah drastis secepat pusaran air bah itu membuatku gundah. Padahal, selama dua tahun terakhir ini aku dan Blaise sukses berakting seakan-akan kami tidak saling mengenal satu sama lain.

Persahabatanku dengan Harry dan Ron turut membantuku melupakan kegetiran akibat penolakan kasar Blaise di kompartemen Hogwarts Express, dua tahun lalu. Memang sih, tak selamanya pertemananku dengan Ron dan Harry penuh suka cita. Kadang-kadang kami juga berselisih paham karena persoalan remeh-temeh. Namun, semua kerikil itu tak bisa mengkandaskan fondasi pertemanan kami.

Banyak kalangan iri dengan keberuntunganku yang bisa bersahabat karib dengan Harry dan Ron. Kecemburuan paling dalam tentulah datang dari kubu gadis-gadis Hogwarts yang mengidam-idamkan bisa berdampingan dengan pahlawan negeri dan legenda dunia sihir seperti Harry.

Sejak berhasil membumihanguskan penyihir sesat berilmu setan, Lord Voldemort, Harry sudah langsung jadi buah bibir semua penyihir.

Meskipun harus kehilangan ayah dan ibu serta terlantar habis-habisan ketika diasuh paman serta bibi yang kikir dan pelit bukan main, Harry yang kurus kering karena kurang makan tak kekurangan perhatian saat dirinya masuk ke Hogwarts. Seluruh murid perempuan dari beraneka ragam angkatan berbondong-bondong mencuri perhatian si Anak-Laki-Laki-yang-Bertahan-Hidup.

Sedangkan Ron...

Yah, aku juga tak tahu apa yang dilihat gadis-gadis Hogwarts dari diri seorang Ron. Yang jelas, remaja tinggi kurus berambut semerah bara itu tak kalah ngetop dari Harry. Lavender Brown, teman sekamar di Menara Gryffindor bahkan mendeklarasikan pendirian klub pencinta Ron, Won-Won United Fans Club.

Sebenarnya, bukan ketenaran Harry dan Ron yang membuatku amat bersyukur bisa bersahabat dengan mereka. Prinsip setia kawan mereka-lah yang membuatku tersanjung. Setiap kali aku tertimpa masalah, yang biasanya disebabkan mulut teler Pansy Parkinson, Harry dan Ron setia menunjukkan solidaritas mereka.

Sesungguhnya, jika dikaji lebih jernih, aku tak perlu menganggap serius segala gerak-gerik Blaise yang gampang berubah semudah angin bertiup. Wajar-wajar saja kiranya jika ia berubah pikiran, apalagi di saat-saat rapuh seperti sekarang ini. Di momen kematian ayah tercintanya.

Aku masih ingat kejadian seminggu lalu, ketika kami semua sarapan di Aula Besar. Baru beberapa menit sesi makan pagi dimulai, seekor burung hantu gagah berbulu putih keabu-abuan terbang menerabas meja Slytherin yang disesaki siswa-siswa bertampang mengantuk.

Burung hantu milik keluarga Blaise itu rupanya membawa kabar kematian si kepala keluarga, Mister Zabini. Sedetik setelah surat duka itu datang, Kepala Sekolah Profesor Albus Dumbledore meminta Blaise segera pergi ke kantornya untuk menemui ibundanya yang baru tiba dari Florence, Italia.

Setelah perjumpaan mengharukan itu, Blaise minta izin pulang demi menghadiri upacara pemakaman ayahnya yang meninggal karena sakit keras.

Aku yang mengintip bersama-sama Harry dan Ron di balik pilar batu bata besar bergalur yang bersisian dengan tangga pualam melengkung bisa melihat jelas kondisi lemah Lady Zabini. Wanita tinggi hati dengan kecantikan prima yang sulit dilupakan itu merayap terseok-seok, berjalan tertatih-tatih seakan-akan dirinya tak punya semangat untuk terus bertahan hidup.

Setelah beberapa hari cuti sekolah, Blaise akhirnya kembali ke Hogwarts. Ketika melihat kedatangan Blaise di Aula Besar, aku didera perasaan was-was. Blaise tampak kuyu dan lemas, kulit cokelat gelap hangatnya yang eksotis bahkan terlihat memucat.

Teman-teman dekat Blaise yang mengerubuti dan silih berganti menawarkan penghiburan tak bisa membakar api semangat Blaise. Dengan kondisi fisik tak stabil seperti itu, aku tentu merasa sedikit lega ketika keesokan harinya burung hantu keluarga Blaise datang membawakan sepucuk pesan.

Mengantuk-antukkan paruh di jendela kamar, burung hantu Blaise langsung menyergap masuk sesaat setelah ambang jendela batu dibuka. Bertengger di meja rias kayu yang dipenuhi botol tabir surya dan gel pencerah wajah milik Lavender Brown, dengan lagak sok penting burung hantu gagah itu menyodorkan secarik pesan yang terikat di salah satu kaki.

Melepas ikatan perkamen, aku memberi burung hantu yang ber-uhu-uhu lantang sejumput manisan pepaya dan sebatang permen lolipop rasa bayam yang berserakan di sekitar meja. Memanggul barang upeti di sudut paruh, burung hantu besar itu melirik sekilas sebelum terbang melesat kembali menembus kabut fajar keabu-abuan dan awan tipis yang bergulung-gulung.

Menengok ke kiri dan ke kanan, memastikan kondisi aman, aku bergegas membuka perkamen yang ternyata berisi permintaan Blaise untuk bertemu seusai pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib pagi ini.

Suara nyanyian sumbang Lavender yang baru keluar dari kamar mandi memaksaku buru-buru menyembunyikan pesan di balik kantung jubah. Aku tak mau rencana perjumpaan dengan Blaise diketahui Lavender yang beken sebagai biang gosip nomor wahid.

Selama makan pagi dan sepanjang pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib yang dikomandani salah satu guru kesayanganku, Rubeus Hagrid, aku benar-benar gelisah seperti musafir kekurangan air.

Berkali-kali aku menjatuhkan pandangan, melirik Blaise yang tampak berkonsentrasi menyuapi Cacing Flobber dengan tumpukan daun selada. Saking fokusnya, Blaise tak menanggapi lelucon idiot Crabbe yang berpura-pura jempol jumbonya digigit si cacing yang tak punya gigi sebiji pun itu.

Untungnya, tak ada satu orang pun yang menyadari kerisauanku, termasuk Harry dan Ron yang tengah menggosipkan fitnah keji Malfoy terhadap Hippogriff peliharaan Hagrid, Buckbeak. Beberapa waktu lalu Malfoy memang terluka agak parah karena ditendang dan dicakar Buckbeak tapi itu semua gara-gara ketololan Malfoy sendiri yang nekat memprovokasi binatang segalak Buckbeak.

Ngomong-ngomong tentang Malfoy, pangeran pirang platina yang senantiasa menginginkan seluruh isi dunia membungkuk sempurna di hadapannya itu juga sama membingungkannya seperti Blaise.

Kadang-kadang, pewaris utama estat Malfoy itu mengolok-olokku dengan julukan favorit, Darah Lumpur kotor. Tapi, jika hobi busuk tersebut tidak kumat, seringkali Malfoy menggangguku dengan tatapan intens yang menembus tulang belulang.

Sejauh ini, apapun tindakan sinting Malfoy sebisa mungkin tak kuanggap sebagai hal penting. Semenjak pertengkaran sengit dengan Blaise di kompartemen Hogwarts Express dua tahun lalu, aku berusaha menjaga jarak termasuk tak lagi memanggil Blaise dan Malfoy dengan nama depan mereka.

Setelah menghabiskan banyak waktu dengan menjejalkan berkardus-kardus daun selada ke mulut Cacing Flobber, pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib kelar juga. Mengerling Blaise yang sedang menyibukkan diri mengumpulkan stoples-stoples besar berisi Cacing Flobber gemuk, aku berdebar-debar menanti isyarat.

Menengok sesaat, Blaise mengedikkan kepala ke arah belakang pondok Hagrid. Sebuah sinyal samar agar aku menemuinya di sana. Beralasan hendak membantu Hagrid memasukkan koleksi Cacing Flobber, aku undur diri dan meninggalkan Harry serta Ron yang mengernyit keheranan.

Setelah yakin Harry dan Ron serta murid-murid lain termasuk Malfoy dan kawan-kawan menghilang dari pandangan, aku tergopoh-gopoh mengayunkan kaki menuju ke belakang pondok papan Hagrid yang ditumbuhi semak bunga mangkuk dan tanaman labu kuning seukuran bayi Troll.

Setibanya di belakang pondok, aku menemukan Blaise duduk menunduk dan melipat kedua lutut. Bersembunyi di gerumbul lebat labu kuning paling besar sehingga tak mungkin dilihat Hagrid yang tengah merebus air dadih dan gajih binatang di dalam kuali batu besar, Blaise menyembunyikan wajah di sela-sela tangan. Pundak bidangnya yang agak lebih lebar dari dua tahun silam sedikit berguncang, menandakan dirinya tengah menangis tanpa suara.

Terdiam tak yakin, aku duduk berjongkok di sisi Blaise, terkoyak antara keinginan menghibur atau menghambur kabur demi gengsi mengingat seluruh perlakuan buruk di masa lalu.

"Err... Zabini," aku berdeham kecil, tak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi seorang anak laki-laki yang berduka. Selama aku berkawan dengan Harry dan Ron, kedua remaja itu selalu riang gembira dan tak pernah menitikkan air mata setetes pun.

"Kenapa dia harus wafat secepat itu? Ayahku kan penyihir... seharusnya dia tidak meninggal dunia..." ujar Blaise kering, tersendat-sendat di sela-sela sedu-sedan yang menyedihkan.

Jika tak mengingat kepiluan Blaise, mungkin aku akan mendengus dalam, tergelak meremehkan mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut. Ya ampun, picik sekali kaum penyihir itu, beranggapan mereka bisa selamat dari kematian. Ekspektasi berlebihan sebab bagaimanapun juga penyihir tetap manusia yang punya daya hidup dan kadar umur terbatas.

"Sudah dua tahun ayahku bergulat melawan penyakit. Aku tidak percaya ia bisa meninggalkanku seperti ini," sesal Blaise tragis, suara serak dan berat Blaise yang mengalir terpatah-patah membuat udara berdesing dalam kedukaan mendalam.

Terenyuh menonton kesedihan Blaise yang membabi-buta, aku yang sedari tadi menatap hening bergerak merapatkan diri ke samping. Menepuk-nepuk halus lengan kiri Blaise seperti mengelus anak kucing yang baru lahir, aku mencoba menghibur sebaik mungkin.

"Semua manusia pasti meninggal, Zabini. Dalam setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Ada awal pastilah ada akhir. Jadi-"

Ceramahku terhenti karena secara tiba-tiba Blaise menarik ke dalam rengkuhan. Melingkarkan lengan di pundak, mengunciku seperti borgol baja, Blaise menyurukkan wajah di lekukan leher. Suaranya terdengar serak dan sengau ketika berkata-kata.

"Jangan tinggalkan aku, Hermione. Kumohon, tetaplah di sisiku selamanya."

Permohonan itu tak ayal membuatku menahan napas. Bukankah Blaise yang sedari awal tak ingin berdekat-dekatan denganku? Bukankah Blaise yang meninggalkanku di belakang? Berakting seakan-akan kami bukan kenalan lama?

Menangkup wajahku dengan dua tangan yang dingin, Blaise menatap lekat-lekat dengan mata hitam keemasan yang berkaca-kaca digelayuti kabut kekhawatiran.

Menyapukan bibir di ujung hidungku yang berbintik-bintik, menciumi dan menggoda garis hidung dengan kecupan liar, tak terkendali dan sangat memuaskan, Blaise menggumamkan kalimat dalam bahasa yang tak kupahami. Hembusan napas harum dan jemari Blaise yang bermain di belakang leher membuat akal sehat terbang menghilang dari raga, berganti dengan hasrat indah dan kuat yang menggelegak dalam jiwa.

Akhirnya, setelah sekian lama kami saling berpelukan dalam kelembutan, bunyi bel tanda berakhirnya jam makan siang membuatku tersentak dan kembali ke alam nyata. Menghembuskan napas singkat, Blaise bangkit dari posisi.

Membersihkan helaian rumput dan daun kering yang menempel di belakang celana sekolah, Blaise mengawasi dalam-dalam, memperhatikan dengan kehangatan dan rasa kepemilikan yang nyata sebelum beranjak perlahan menuju ke Aula Depan.

Pergi tanpa suara meninggalkanku yang masih duduk terpaku...


Hal paling kuingat dari Hermione Jean Granger adalah rasa pemaaf yang tak terbatas.

Walapun selama dua tahun ini aku bersikap formal dan kaku, Hermione tetap menawarkan kasih tulus. Sejujurnya, aku tak berharap Hermione mau memaafkan semudah itu. Apalagi jika melihat perang dingin yang kukibarkan selama ini. Tanpa diketahui siapapun, termasuk Hermione sendiri, sesungguhnya dua tahun terakhir ini aku lalui dalam kegelapan tak berujung.

Buruknya kondisi kesehatan ayahku ditambah bekunya hubungan dengan Hermione membuat hari-hariku di Hogwarts terasa sepahit empedu. Belum lagi dengan kehangatan persahabatan yang terangkum antara Hermione dengan dua idiot Gryffindor, si Jidat Pitak Harry Potter dan si Rambut Wortel Ron Weasley.

Tiap kali melihat mereka bersenda gurau, hatiku terasa panas membara. Saban hari aku memergoki ketiga orang itu berangkulan dan saling bergenggaman tangan, hatiku hangus dilalap api kecemburuan.

Cemburu?

Ya, demi semua iblis di dunia, aku cemburu buta!

Aku tidak rela Hermione lengket dengan orang lain. Aku tahu bahwa berdasarkan pandangan masyarakat, Hermione si Darah Lumpur tidak layak mendampingiku. Tapi, di tengah belitan dilema, sudut hatiku terus berharap mampu mematahkan stigma perbedaan derajat itu.

Jikalau praduga publik tak surut, aku masih punya senjata mutakhir yang bisa melancarkan ambisi mempersunting Hermione saat aku dewasa nanti. Sumpah Tak Terlanggar, janji yang hanya bisa dihancurkan dengan kematian. Janji sihir yang dibuat ayahku ketika kami makan bersama di kedai es krim Florean Fortescue's, dua tahun lalu. Janji yang membuatku merasa sedikit tenang dan mampu menatap masa depan.

Sayangnya, secuil ketenangan batin itu pecah berhamburan seiring dengan kematian ayahku. Ayahku yang selama dua tahun belakangan ini sakit-sakitan akhirnya tak kuat lagi menahan penderitaan yang menggerogoti.

Ibuku yang sudah menyiapkan diri untuk menyambut tragedi terburuk tetap tak bisa menyamarkan kesedihan. Saat ayahku dinyatakan wafat akibat sakit keras yang tak tersembuhkan, ibuku patah merapuh, jatuh pingsan tak sadarkan diri hingga berkali-kali.

Selama berumah tangga, memang tak ada percikan cinta antara ibu dan ayahku yang menikah karena dijodohkan orangtua. Kendati tak ada cinta romantis, mereka tetap saling mengagumi dan menghormati. Bagi ibuku, ayahku adalah penopang hidupnya. Tak heran jika kepergian ayahku membuat dunia ibuku jungkir-balik.

Setelah upacara pemakaman ayahku yang dihadiri kerabat, sanak saudara, teman bisnis dan kaum kelas atas darah murni lain, aku yang bersiap-siap kembali ke Hogwarts dikejutkan dengan surat wasiat yang ditinggalkan ayahku.

Di dalam surat itu, selain memberikan seluruh harta peninggalan di Bank Sihir Gringotts termasuk ratusan properti dan anak perusahaan di seluruh dunia, ayahku juga menyampaikan permintaan maaf.

Permohonan maaf karena telah membohongiku soal Sumpah Tak Terlanggar.

Kata ayahku, janji itu tak pernah terjadi karena saat di toko es krim Florean Fortescue's, ia hanya bermain-main sekaligus membalas perbuatanku yang tega menghina ukuran gigi depan Hermione.

Penjelasan ayahku itu membuatku ingin meneriakkan setiap vokal dan konsonan kemarahan ke langit. Jadi, Sumpah Tak Terlanggar itu tak pernah ada. Janji yang kuharap bisa dimanfaatkan suatu saat nanti itu ternyata hanya khayalan semu semata.

Bertolak belakang dengan kegembiraan ibuku yang merasa bersyukur janji itu cuma janji abal-abal, hatiku menjerit nelangsa. Jika tak ada Sumpah Tak Terlanggar bagaimana aku bisa mendapatkan Hermione?

Padahal, dengan janji itu aku optimis bisa menyumpal mulut usil kalangan darah murni sekaligus memaksa Hermione seandainya ia menolak pinanganku.

Sayangnya, seperti ayahku yang pergi meninggalkanku, harapan dan impianku juga terbang melayang, musnah tak bersisa seperti embun yang menguap terpanggang sinar mentari. Bayangan akan kehilangan Hermione memangsa bulat-bulat, membuat tampangku jadi tak enak dilihat. Draco si pangeran peri saja menyindir dengan mengatakan mukaku persis seperti orang yang baru minum dua galon pipis Goblin bercampur pupuk kandang tengik.

Tak ingin terus berkubang dalam kebimbangan pukulan moril, aku memutuskan kembali menghubungi Hermione. Dengan harap-harap cemas, aku mengutus burung hantu keluargaku untuk menyampaikan pesan pertemuan pagi ini.

Menatap burung hantu yang menghilang di balik ujung Menara Gryffindor, aku bersumpah di dalam hati. Jika Hermione mau datang menemui, aku tak akan menyerah dan tetap memupuk asa bahwa bagaimanapun caranya pada akhirnya kami akan bersatu suatu saat nanti.

Selama pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib yang benar-benar menjemukan, aku memergoki Hermione berulang kali mencuri-curi pandang. Harapanku sedikit melambung dan selama menyuapi Cacing Flobber, aku terus memanjatkan doa semoga Hermione melupakan semua luka hati dan mau bertatap muka denganku lagi.

Doaku untungnya terkabul. Dari hembusan angin bulan Oktober yang membawa harum aroma polos Hermione, aku mengetahui keberadaannya yang duduk membisu di samping kiri. Setelah menit-menit berlalu tanpa kata-kata, kebisuan itu aku pecahkan dengan curahan hati mengenai kematian ayahku tercinta.

Tanggapan Hermione sungguh mengejutkan. Tanpa diduga ia menegaskan prediksi ketakutan suram yang menyatakan bahwa setiap insan yang aku kenal akan meninggalkanku sendirian. Terdorong kekalutan dicampakkan oleh satu-satunya sinar mercusuar dalam hidup, aku bertindak spontan dan memeluk Hermione erat-erat, berbisik memohon memintanya untuk terus mendampingi sampai akhir hayat nanti.

Desir angin dan rapatnya jalinan tubuh kami membuat harum khas Hermione yang semanis madu musim semi merasuk ke sanubari, membangkitkan insting predator sekaligus hasrat melindungi dalam diri. Tanpa berpikir panjang aku membingkai wajah manis Hermione yang berpotongan simetris dengan dua telapak tangan yang bergetar.

Mata cokelat Hermione yang terang berbinar membulat terkejut, suara terkesiap mencuat keluar dari tenggorokan ketika aku menyentuhkan bibir di puncak hidung yang berbintik-bintik. Menautkan jari di ikal rambut Hermione, aku menggumamkan kata-kata yang mendadak muncul di otak. Kalimat yang terbilang asing dan tak pernah aku ketahui sebelumnya.

Memandangi paras halus yang merona, ingin sekali rasanya aku mencicipi manis mulut Hermione, mencium keras dengan ritme panas yang mencuri napas sampai kami berdua lupa daratan dan hanyut dalam ombak gairah yang manis dan kuat. Namun, dorongan protektif memadamkan hasrat tak senonoh itu. Hermione sangat berharga dan wajib diperlakukan lebih baik.

Aku berkeinginan ciuman pertama kami berlangsung romantis dan tak akan pernah terlupakan.

Atas dasar itulah, aku memuaskan diri dengan menciumi kedua pipi Hermione yang panas merona. Jemari tanganku bergerilya di belakang leher yang ditutupi rambut mengikal lembut, dengan manis dan perlahan menyusuri titik nadi yang berdenyut.

Kendati terbilang sederhana, aktivitas yang aku lakukan membuatku panas dingin dan hampir kehilangan kendali. Syukurlah, bunyi bel tanda usainya jam makan siang mengembalikan kewarasan yang hampir terlepas.

Usai melepaskan semua rumput dan daun gugur yang melekat di celana, aku menatap Hermione lekat-lekat untuk terakhir kali sebelum beranjak ke Aula Depan guna mengikuti pelajaran selanjutnya.

Seiring setiap langkah kaki, janji dan ikrar terpancang dalam sanubari. Aku akan melawan takdir dan mempertahankan Hermione di sisiku. Apapun yang harus aku hadapi nanti...


Hal paling kuingat dari Blaise Zabini adalah tindak-tanduk buruk dan gaya mata keranjang yang menjengkelkan!

Dua tahun sesudah ratapan pilu yang menyayat kalbu, Blaise berubah total. Ia bukan lagi pemuda dingin yang alergi pada perempuan. Blaise yang sekarang terkenal suka bergonta-ganti kekasih hati setiap musim berganti.

Aku tak tahu pasti apa yang membuat Blaise berubah jadi Don Juan pecicilan seperti ini. Kalau menurut asumsi Lavender yang ngotot menjadi salah satu gadis taklukkan Blaise, perubahan gaya hidup itu disebabkan oleh pengaruh hobi baru Lady Zabini yang gemar bergonta-ganti suami.

Memang, tak lama setelah Mister Zabini berpulang ke pangkuan Tuhan, Lady Zabini secara fenomenal mengumumkan pernikahan kedua dengan seorang taipan jompo kaya-raya asal Swedia. Pernikahan kedua itu tentu membuatku terguncang sebab melihat limbungnya perasaan Lady Zabini tatkala suaminya meninggal, aku mengira penyihir cantik berparas klasik itu tak akan bisa berpaling ke lain hati.

Nyatanya, aku keliru. Tak makan waktu lama, Lady Zabini sudah menemukan pengganti mendiang suaminya. Hebohnya lagi, belum genap setahun berumah tangga, suami kedua Lady Zabini juga sakit misterius dan meninggal. Usai bercucuran air mata menguburkan suami kedua, empat bulan kemudian Lady Zabini, yang menolak mengganti nama panggilan meski sudah menikah berkali-kali kembali mengejutkan jagat sihir dengan berita pernikahan ketiga.

Kasus mengenaskan kembali terulang. Suami ketiga Lady Zabini, bangsawan renta asal Prancis juga meninggal karena sakit keras. Alhasil, kematian beruntun itu membuat gosip tak sedap bermunculan. Jurnalis hiperbolis, Rita Skeeter pun bergosip di kolom artikel. Mengatakan kalau Lady Zabini yang disebut Black Widow alias Janda Maut sengaja meracuni suami-suaminya untuk mendapatkan harta warisan.

Tudingan ngawur Rita Skeeter tentu menimbulkan kerusuhan dan sempat membuat Dewan Eksklusif Dunia Sihir Wizengamot turun tangan. Berdasarkan hasil investigasi, tak ada unsur kematian paksa ataupun pemberian racun mematikan dalam kasus meninggalnya ketiga suami Lady Zabini. Ketiga penyihir malang itu terbukti wafat karena sakit dan faktor usia.

Masih menurut prediksi Lavender, selama proses investigasi, Blaise tentulah menjadi target utama publikasi miring dan pemberitaan tak senonoh lain. Dengan semua tekanan maha-dashyat itu tak salah kiranya jika Blaise mencari kompensasi untuk melampiaskan seluruh beban hidup.

Dan, masih menurut dugaan Lavender, bentuk penebusan itu tak lain dan tak bukan bersenang-senang dengan konvoi murid perempuan yang menari-nari mengitari.

Bagiku, selogis apapun praduga Lavender tak dapat menyurutkan api kecemburuan yang menggelegak di batin. Seharusnya Blaise tak memanfaatkan para gadis yang setia memuja. Seyogyanya Blaise hanya mengandalkanku sebagai satu-satunya tempat bernaung.

Percikan kecemburuan itu membuatku tersadar akan hal penting yang selama ini aku ingkari. Cinta terpendam dan perasaan kasih sayang mendalam pada Blaise yang ternyata sudah muncul sejak awal pertemuan kami.

Tapi, seluas apapun emosi istimewa yang aku pendam pada Blaise, ia tidak menyorongkan hati untuk kujaga dan kurawat. Ia lebih memilih gadis-gadis lain yang jauh lebih memukau dariku.

Gadis seperti Prefek perempuan Ravenclaw, si centil Padma Patil yang sejak empat bulan lalu berkoar-koar menyatakan diri sebagai pacar abadi Blaise. Gadis yang saat ini nyaris baku hantam dengan sesama Prefek, Hannah Abbot dari Hufflepuff.

"Pokoknya, potong sepuluh angka dari Ravenclaw, Padma!" tandas Hannah ketus, menatap jengkel Padma yang sibuk memutar-mutar bola mata.

"Kau tak bisa memotong angka dari sesama Prefek, Hannah," tukas Padma sebal, terus menggelendoti Blaise seperti tanaman Jerat Setan.

"Oh tentu saja bisa, Padma Patil! Kau telah melalaikan kewajiban sebagai Prefek malam ini. Seharusnya kau patroli bersama Draco Malfoy di koridor lantai empat, bukannya mojok di rumah kaca seperti sekarang ini," balas Hannah dongkol, wajah bulatnya yang kemerah-merahan makin merona karena api amarah.

Di dalam hati, aku membenarkan keputusan Hannah. Sudah sewajarnya Padma dihukum karena mangkir dari tugas. Draco Malfoy yang tadi kami temui tengah mencak-mencak karena ditinggal kabur saja bersumpah bakal mempengaruhi Ketua Murid, Terence Higgs untuk memvonis Padma seberat-beratnya.

Padma yang terkenal pemarah dan tak mau kalah menyeringai mengejek. Mata bola belo Padma yang dihiasi bulu mata panjang dan tebal mengawasi Hannah dari ujung jempol kaki sampai sudut rambut pirang yang dibuntut kuda.

Mendengus melecehkan, Padma mengibaskan kepangan rambut hitam legam beraroma wangi dengan gerakan seanggun permaisuri. Melengkungkan bibir ke atas, membentuk segurat senyum sinis yang sarat penghinaan, gadis darah murni secantik dewi surgawi itu terkekeh kegelian.

"Oooo, Hannah Sayang, kau pasti iri karena tak bisa berduaan dengan Blaise. Makanya kau ngotot merampas nilai asrama Ravenclaw."

Tuduhan Padma membuat Hannah menggelembung dan membengkak besar, jengkel bukan main saking marahnya. Mengepalkan tangan membentuk tinju, urat-urat di jidat Hannah nyaris meledak karena terpaan emosi.

"Untuk apa aku cemburu pada jalang kegatelan dan pelacur bermuka badak sepertimu?"

Respon balasan Hannah menjadikan Padma gelap mata. Tak makan waktu lama, dua Prefek perempuan yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi murid-murid lain menggelar kontes sumpah-serapah. Adu kalimat kotor, kasar dan amoral yang tak kusangka bisa keluar dari mulut dua gadis yang selama ini dikenal sopan dan bermartabat.

"Titillando."

"Tarantalleggra."

Sekejap setelah cahaya dua mantra menghantam Hannah dan Padma, keributan seperti duel anjing dan kucing terhenti seketika, berganti menjadi parodi yang mengundang tawa.

Aku nyaris tak bisa menahan senyum menyaksikan duet aneh antara Hannah yang mengikik kegelian seperti habis menyantap sekarung Jamur Tertawa dengan Padma yang melentingkan tubuh dan berdansa cepat layaknya penari kesetanan.

Menaikkan sebelah alis cokelat hingga tinggi menjulang, aku berpaling ke belakang. Menoleh ke arah si sumber kutukan, Prefek pria Slytherin; Draco Malfoy yang bersandar santai di ambang pintu rumah kaca. Menyadari dirinya aku amati, Malfoy balas menatap dengan mata kolam perak yang menghanyutkan.

"Seharusnya kau cukup membekukan mereka dengan Mantra Petrificus Totalus, Malfoy. Tak perlu jampi-jampi hiperbola seperti ini," aku mendengus dalam, menunjuk dua Prefek perempuan yang terus terbahak dan menari tergelitik seakan tak ada hari esok untuk mereka.

Memasang senyum menggoda, Malfoy memasukkan tongkat sihir ke dalam saku jubah dan berangsur-angsur mendekat. Selama itu mata cahaya perak Malfoy tak pernah lepas mengawasi lekat-lekat.

"Ha! Kau sendiri hanya berpangku tangan menonton perang kata-kata vulgar mereka," Malfoy menatap malas, berdiri menjulang di samping kanan dengan semua kearoganan yang bisa diperlihatkan.

"Lagipula, aku hanya bertujuan membuat atraksi dua ratu drama Hogwarts ini jadi lebih atraktif," Malfoy memiringkan wajah, melemparkan senyum memabukkan ke arahku.

Jika gadis-gadis Hogwarts lain mencair, meleleh perlahan gara-gara efek senyuman menyihir Malfoy yang panas membara, reaksi bertolak belakang diperlihatkan tubuhku. Bibirku hanya berkedut, meringis menahan tawa yang meriap di tenggorokan.

Dasar Malfoy, mentang-mentang dirinya punya ketampanan gemilang dan sejentik pesona Veela, ia kebablasan mencoba merayu semua penyihir perempuan di sekitarnya. Tak terkecuali aku yang keturunan Muggle ini.

Veela...

Ya, sudah sejak tahun ketiga di Hogwarts aku mengetahui kalau Malfoy itu dialiri darah Veela. Tepatnya setelah guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, Profesor Remus Lupin meminta kami menulis esai tentang makhluk mistis dunia sihir seperti Veela dan manusia serigala.

Ketika menelusuri buku dan literatur pendukung tugas itulah aku menyadari bahwa Malfoy memiliki semua ciri-ciri penyihir keturunan Veela. Mulai dari ketampanan surgawi, kecerdasan licik serta senyuman magis dan tatapan menghanyutkan yang membuat semua target incaran jatuh berlutut tak berkutik.

Mungkin, dari seluruh populasi perempuan di kompleks Hogwarts, hanya aku yang kebal pada kesempurnaan dingin dan pandangan menggoda Malfoy. Sejak bertemu pertama kali dengan Malfoy di pesta ulang tahun Blaise yang kesebelas, aku tak pernah terlena dan menggubris pandangan itu. Yang ada, aku malah merasa geli atau sedikit terganggu.

Sadar senyum manis merayu dan pesona panas pandangan mata tidak mempan padaku, Malfoy mencoba jurus lain yang lebih ekstrem, sentuhan fisik. Tak mempedulikan pelototan menusuk Blaise, yang melotot murka dengan intensitas mematikan, Malfoy menyusuri dan menjajaki lekuk wajahku dengan jemari pucat yang hangat. Menangkap dagu dengan sekali sentuhan, ibu jari Malfoy dengan berani bergerilya dan mengelus bibir bawahku.

Sentuhan erotis Malfoy yang didambakan seluruh siswi Hogwarts hanya mengirimkan sedikit getaran listrik di tubuh. Sejumput gejolak elektrik yang menguap ketika aku memikirkan perasaan Blaise yang berdiri mematung di dekat kami.

"Cepat lepaskan tangan kotormu, Malfoy."

Geraman berang Blaise yang berbahaya tak urung membuatku melirik takut-takut. Menyentak lepas tangan Malfoy, aku beringsut mundur dengan berhati-hati sebelum terkesiap kaget karena lengan Malfoy menangkap dan menarikku ke dalam pelukan.

Disertai raungan brutal, Blaise mencengkeram pundak Malfoy dan melemparnya ke tumpukan Mandrake yang tengah tertidur di jejeran rak kayu. Kerasnya bantingan Blaise membuat Malfoy terjungkal. Sejumlah bayi Mandrake pun lepas dari pot tanah liat dan langsung menjerit-jerit kesetanan.

Bentakan keras Blaise yang diucapkan dalam bahasa asing yang tak kupahami bercampur-baur dengan pekikan nyaring Mandrake yang tak terima tidur malam mereka terinterupsi paksa. Buru-buru kucabut tongkat sihir dan segera mengucapkan Mantra Silencio dan Muffliato untuk meredam gelombang teriakan yang memekakkan telinga.

Bergegas mengumpulkan bayi Mandrake dan menjejalkan tanaman gaib beracun berwujud mirip manusia itu ke dalam guci tanah liat dan jambangan berukuran besar, aku mengawasi Blaise yang masih bergulat dengan Malfoy. Menarik kerah kemeja Malfoy yang berlumuran tanah, Blaise berbisik kasar. Gumaman sarat ancaman yang disambut Malfoy dengan gelak tawa merendahkan.

Menghentak dan mendorong Blaise, Malfoy mencabut tongkat sihir yang tersimpan di mantel jubah. Untuk sesaat aku mengira dua idola sekolah itu akan saling adu kutukan.

Melirik ke arahku yang berjongkok di dekat rak Mandrake, Malfoy mengucapkan kalimat dalam bahasa asing, bahasa tak dikenal yang tadi keluar dari tenggorokan Blaise.

Apapun yang dikatakan Malfoy tampaknya makin mengipasi bara emosi Blaise. Aura membunuh hampir keluar dari sosok jangkung Blaise. Mengerling ke arahku yang kelabakan menumpuk tanah di pot-pot bayi Mandrake yang masih merengek sesenggukan, Blaise menghembuskan napas panjang.

Kejadian berikutnya membuat mulutku makin terbuka lebar. Dua pemuda idaman seluruh wanita yang tadi nyaris adu jotos saling berjabatan tangan. Melepaskan tangan dari genggaman Blaise, Malfoy memandang penuh perhatian, mengunciku dengan pandangan magis sembari melemparkan ciuman jauh.

Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, Malfoy berbalik badan dan pergi sambil bersiul-siul kecil. Tak menggubris sama sekali pandangan mengebor Blaise yang bisa melubangi tulang punggung.

Menghela napas gundah, aku mengalihkan perhatian dari sosok Malfoy yang menghilang di balik pintu rumah kaca ke dua Prefek perempuan yang hampir mati sekarat karena kebanyakan tertawa dan menari gila. Memuntir tongkat sihir di udara, aku melafalkan mantra kontra kutukan, membebaskan Hannah dan Padma dari belenggu jampi-jampi iseng dan mantra salah arah kreasi Malfoy.

Setelah Padma dan Hannah bisa menarik napas lega, aku melipat tangan di dada dan melotot seseram mungkin. Menunjuk Padma yang meringis memegangi tungkai kaki yang kram, aku menyuruh gadis berkebangsaan India itu untuk segera kembali ke sekolah dan melapor pada Ketua Murid, Terence Higgs.

"Tapi aku masih ada perlu dengan Blaise," kilah Padma bandel, mengedip nakal ke sosok Blaise yang menatap dengan sorot tak terbaca di iris hitam keemasan.

Rengekan penolakan Padma membuatku membelalak tak percaya. Aku pun berkacak pinggang dan meninggikan suara, sesuatu yang jarang aku lakukan selama aku berteman dengannya.

"Aku benar-benar kecewa padamu, Padma. Seharusnya kau bisa menjaga sikap dan menyadari predikat agung sebagai seorang Prefek Ravenclaw yang diberkahi bekal intelektual tinggi. Kau itu-"

"Ya, ya, ya," Padma melambaikan tangan dengan gaya meremehkan, menginterupsi kicauan yang mengalir tanpa titik koma. "Kau dan Hannah sama saja! Dengki pada keberuntungan dan nasib mujur yang menimpaku."

Mulutku menutup dan membuka seperti Mandrake kelaparan. Merlin! Ada apa dengan Padma Patil yang kukenal? Biasanya sebagai penghuni Menara Ravenclaw ia senantiasa bertanggung jawab dan konsisten dalam melaksanakan semua tugas.

"Asal kau tahu saja, Hermione Jean Granger," suara Padma makin nyaring meruncing.

"Kau itu cuma mimpi di siang bolong jika berharap bisa berkencan dengan Blaise. Dia mana mau mendekati penyihir keturunan Muggle yang biasa, sederhana dan berwajah pas-pasan seperti dirimu."

"Tutup mulutmu, Padma Patil. Atau aku yang akan menutupnya secara paksa," potong Blaise gusar, tiap konsonan suku katanya kental dengan nuansa permusuhan.

Padma yang tengah mabuk kepayang tak menyadari gema kemarahan Blaise. Merapatkan tubuh seksi yang indah mengundang, gadis bermata sehitam kayu eboni itu berjinjit dan mengusap-usap tulang pipi Blaise yang bergaris tegas. Mengedip-ngedipkan tirai bulu mata, Padma mendengkur manja seperti kucing betina penggoda.

"Menutup mulutku? Dengan apa, Blaise? Dengan ciuman?"

Sedetik setelah Padma merayu menggoda, rasa lapar membakar dan kilasan pemangsa berkelebat di bola mata hitam keemasan Blaise. Lintasan perasaan tak terdefinisikan yang sukses mencerai-beraikan hati menjadi serpihan setipis debu. Apa Blaise benar-benar menyimpan hasrat terlarang pada Padma? Pandangannya begitu lapar seakan-akan hendak menikmati Padma bulat-bulat.

Dikipasi kejengkelan dan kecemburuan sedalam perut bumi yang mampu memecah tengkorak kepala, aku menggamit lengan Hannah yang masih mengatur napas pasca dipaksa tertawa tanpa henti. Berbalik cepat dan memutar tumit dengan kecepatan tinggi, bersama-sama kami pun pergi menjauhi sejoli tak tahu malu itu.

"Jangan salahkan aku jika Ketua Murid menjatuhkan sanksi indisipliner super-berat padamu, Padma," aku mengancam keras untuk terakhir kali, menengok sengit dari balik pundak.

"Itu masalahku, Hermione! Bukan urusanmu!" sembur Padma judes, tampak tak sabar menendangku jauh-jauh ke gua bersalju Siberia.

Melempar pandang sekilas ke siluet Blaise yang tertutup bayangan, aku membuang muka dan menggigit bibir. Dalam diam mencekam yang sarat rasa kekecewaan, aku bergegas melangkah meninggalkan sumber kekalutan hidupku itu.

"Menyebalkan sekali si Padma Patil itu," gerutu Hannah berapi-api ketika kami menyusuri tangga kayu berukir tempat markas Ketua Murid berada.

Aku hanya tersenyum kering dan tak mengumbar sepatah kata pun. Padma memang merasa di atas angin sebab Blaise merespon rayuan dan godaan dengan antusias. Kenyataan pahit itu membuatku gemetar hebat seperti dihantam halilintar. Aku ingin sekali bisa membenci Blaise tapi perasaan sayang padanya jauh lebih dalam dan berakar.

Memutar kenop, aku membuka daun pintu dan melangkah masuk bersama Hannah yang masih bersungut-sungut. Di dalam ruangan, kulihat seluruh Prefek sudah berkumpul, termasuk Malfoy yang setia mengamati tajam-tajam dengan mata kerlap-kerlip keperakan. Mengawasi dalam-dalam seperti takut aku akan menguap lenyap detik itu juga.

Di kursi tengah ruangan, Ketua Murid pria; siswa tahun terakhir Slytherin, Terence Higgs tengah berdiskusi serius dengan Ketua Murid perempuan, Cho Chang. Dari rona merah ceri cerah yang meranahi kedua pipi, tampak jelas kalau Cho sedang menahan malu menyikapi perbuatan indisipliner salah satu juniornya di Ravenclaw.

Menyadari kehadiranku dan Hannah, sebagai Prefek terakhir yang tiba di ruangan, Higss menghentikan obrolan. Menyiratkan senyum berwibawa, Seeker kedua tim Quidditch Slytherin itu menyuruhku dan Hannah untuk segera mengambil posisi di bangku yang tersedia.

Aku yang berencana duduk di dekat Ron yang terkantuk-kantuk memekik pelan ketika Malfoy menarik tangan dan mendesakku untuk duduk di sebelahnya. Tak mau mendulang keributan, aku mengalah dan duduk di samping Malfoy yang menyeringai kegirangan.

"Malfoy melapor kalau Padma Patil menghilang di tengah-tengah inspeksi koridor. Setelah dicari-cari, Malfoy menemukan Padma tengah pacaran, menggelar pesta kumpul-kumpul seru dengan Blaise Zabini di rumah kaca nomor tiga," ucap Higgs tidak senang, mata hijau Higgs yang mengilat tajam menyiratkan kekecewaan mendalam yang tak bisa digambarkan.

Tanpa diminta, Hannah langsung memberi keterangan sedetail mungkin. Sepertinya gadis berwajah kemerahan dengan pipi sewarna beri itu bertekad memanfaatkan peluang untuk membalas dendam pada kolega merangkap saingannya itu. Selama Higgs mendengarkan dan mencatat kronologis peristiwa yang dibocorkan Hannah, aku tak bisa berkonsentrasi penuh.

Pikiranku yang sudah pecah gara-gara membayangkan kemesraan antara Blaise dan Padma makin silang selimpat karena sentuhan lembut jari Malfoy di lengkung punggung. Menyusurkan tangan putih pucat dengan gerakan selembut angin sepoi-sepoi, Malfoy mengusap-usap pundak yang menegang, mengirimkan gelombang kejut dan sensasi cairan listrik ke aliran darah.

"Malfoy," aku mendesis memperingatkan seraya mengerutkan kening dengan berang. "Jangan umbar sihir mistis padaku."

Jemari Malfoy yang bergerak ritmis di belakang leher berhenti seketika. Mata indah Malfoy yang berkilau seperti samudra perak cair mengawasi cermat. Selama beberapa saat, kemilau mata metalik Malfoy tak berkedip memandangiku yang mendelik kesal. Bertepatan dengan berakhirnya kesaksian Hannah, sudut bibir Malfoy melengkung ke bawah, membentuk garis muram.

Mendesah kalah, Malfoy menurunkan tangan dan memaku perhatian ke tengah ruangan. Ke sosok Higgs yang sedang mengumandangkan vonis terakhir untuk Padma.

"Untuk sementara waktu Padma akan diskors. Ia juga segera diberi surat peringatan dari Kepala Sekolah esok pagi," Higgs mengultimatum tegas. Melambaikan tangan dengan kesopanan mematikan, putra tunggal Wakil Menteri Sihir Bertie Higgs itu menutup sesi diskusi malam.

Disertai gumaman setuju dan kuapan lebar Ron, Prefek-prefek lain mulai bangkit dan bersiap-siap kembali ke bilik asrama masing-masing. Malfoy yang sejak aku tegur tak sudi lagi menatapku melenggang pongah di samping Prefek perempuan Slytherin, Pansy Parkinson yang setia menempel bagai bayangan, membuntuti tanpa henti layaknya anjing penjaga.

"Hermione, ayo kita balik ke asrama. Aku letih sekali malam ini," Ron menyeringai mengantuk, mengacak-acak rambut semerah api unggun dengan satu tangan.

Mengangguk sekali, aku menyempatkan diri berpamitan pada Prefek asrama lain yang masih membenahi tas mereka, termasuk Prefek laki-laki Ravenclaw, Anthony Goldstein yang terlihat geregetan. Dari roman muka kecut dan amburadul, tampak jelas kalau remaja pirang itu sudah tak sabar menyemprot Padma karena berani mempermalukan nama baik asrama mereka.

Sesampainya di kamar, yang sudah disemarakkan dengan dengkur halus saudara kembar Padma, Parvati Patil dan igauan mesum Lavender, aku menghempaskan diri ke dipan beludru, membangunkan Crookshanks yang tidur bergelung di tengah bantal.

Berbaring telentang, mataku menatap nanar langit-langit kamar yang gelap, memutar ulang seluruh kejadian malam ini. Mulai dari tertangkap basahnya kencan buta Padma, ekspresi mata sarat rasa lapar untuk memangsa yang terpancar dari mata Blaise hingga roman terluka di wajah Malfoy yang pucat sempurna. Menghela napas panjang hingga menggelitik bulu-bulu jingga Crookshanks yang sudah kembali tertidur pulas, aku menutup mata rapat-rapat.

Sakit hati yang dirasakan Malfoy karena lagi-lagi gagal total memperdaya dengan pesona Veela tak sebanding dengan sukma yang terluka karena Blaise dan Padma.

Luka berdarah yang tetap tak mampu mengubur rasa cintaku padanya...


Keesokan harinya, aku baru tahu kalau yang terluka bukan hanya aku dan Malfoy seorang. Padma, si sumber kericuhan tadi malam juga terluka.

Tapi, jika aku dan Malfoy terluka secara psikis, Padma secara fisik. Berdasarkan informasi Lavender yang menemani Parvati membesuk saudari kembarnya itu di ruang kesehatan, Padma dirawat karena kehilangan banyak darah.

Kasak-kusuk dan spekulasi yang menyertai sakitnya Padma bahkan jauh lebih heboh dibandingkan berita tewasnya Lord Voldemort di tangan Harry yang masih balita, empat belas tahun lalu.

Katanya, guru Herbologi, Profesor Pomona Sprout yang menemukan Padma menggelosor pingsan di rumah kaca yang berantakan berani bersumpah bahwa tak ada luka maupun genangan darah di sekitar tubuh Padma. Hal itulah yang membuat seluruh warga Hogwarts gencar menebak-nebak penyebab hilangnya darah Padma yang misterius.

Setelah meminum ramuan dan suplemen penambah darah, Padma yang masih lemah dan sama sekali tak mengingat kejadian apapun malam sebelumnya diwajibkan meringkuk di bangsal Ruang Kesehatan selama empat pekan ke depan.

Blaise, sebagai orang yang terakhir kali bersama Padma tentu menjadi sasaran tembak. Dari celetukan hantu kurang kerjaan, Peeves yang berceloteh habis-habisan, berkoar-koar seribut burung gagak kawin, Blaise telah dipanggil menghadap Kepala Sekolah Profesor Albus Dumbledore.

Peeves bahkan meramalkan Blaise segera dikeluarkan dari sekolah. Ramalan sinting yang membuat kepala gilanya pening disambit satu panci sup buntut sapi panas yang meluncur dari meja Slytherin.

Terus terang, meski agak jengkel dengan perilaku Blaise, aku tak bisa menutupi keresahan. Prediksi gila Peeves makin membuatku tak tenang menyantap suguhan menyenangkan yang terhidang.

"Mungkin Zabini itu vampir yang menghisap darah Padma," ungkap Ron dengan mimik serius, mengerkah dan menusuk-nusuk sosis goreng mentega dengan ujung garpu.

"Mana mungkin, Ron," sergah Seamus Finnigan refleks. Mengunyah perkedel kentang cepat-cepat, penyihir berdarah campuran asal Irlandia itu kembali melanjutkan bantahan.

"Zabini itu penyihir berdarah murni dan para vampir biasanya tak punya kemampuan sihir. Mereka itu pada umumnya berasal dari kalangan Muggle yang bertransformasi tubuh karena digigit drakula."

"Bisa jadi Zabini digigit drakula gila dan berubah jadi momok penghisap darah," timpal Harry gesit, memutar-mutar gagang gelas yang berisi lelehan cokelat panas.

"Kalau benar begitu, Kementerian Sihir Inggris pasti mengetahui dengan pasti. Mereka punya Departemen khusus untuk menangani hewan dan makhluk gaib. Selain itu, tak ditemukan luka bekas gigitan di leher maupun tubuh Padma," Seamus menggeleng penuh semangat, nyaris menjungkirkan botol sirup jagung dan mangkuk saus cocolan dengan kibasan tangan.

"Lalu, apa dong penyebab hilangnya seliter darah Padma?" Ron menghunjamkan gigi dalam-dalam ke bongkahan daging kepiting asap, jengkel sekali karena gagal menancapkan cap kambing hitam ke Blaise yang selalu sukses mempecundangi dirinya setiap kali pertandingan Quidditch digelar.

"Mungkin lintah jumbo tak kasat mata," Luna Lovegood, siswi Ravenclaw yang identik dengan suara melamun sayup-sayup menimbrung dalam obrolan. Mengecap-ngecap jari telunjuk yang dipenuhi selai pisang, mata besar aneh Luna yang menonjol menerawang memandangi langit-langit Aula Besar yang dihiasi bintang-bintang yang gemerlapan dalam langit gelap.

"Kau tahu, seperti Nargle atau Wrackspurt tak kelihatan."

Ron, Harry dan Seamus hanya bertukar pandang bingung dan berdeham salah tingkah. Tak tahu harus menyikapi semua omongan melantur Luna yang rutin mendatangi meja Gryffindor setiap makan malam.

Tanganku yang siap memasukkan sepotong donat krim susu terhenti di udara. Pundakku beku mendengar asumsi Ron tentang drakula yang di dunia kami dikenal sebagai gerombolan manusia yang berubah gila karena menyembah iblis neraka.

Jangan-jangan Ron benar menduga Blaise seorang vampir penghisap darah. Tapi, jika demikian adanya, kenapa Kementerian Sihir Inggris tak memasukkan Blaise ke dalam pengawasan?

Vampir memang terbilang asing bagi dunia sihir karena biasanya hanya menjangkiti Muggle alias manusia biasa yang tak memiliki talenta sihir dalam aliran darah. Tapi, tak menutup kemungkinan sindrom itu menyerang Blaise bukan?

Seandainya Blaise seorang drakula, kenapa ia tak menghisap habis darah Padma? Bukankah jika tak disedot tuntas, si korban yang dalam hal ini adalah Padma berpotensi menjadi vampir baru? Tapi, Lavender mengatakan bahwa Madam Poppy Pomfrey, si matron Ruang Kesehatan tak menemukan gejala aneh maupun kelainan genetika asing di tubuh Padma.

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Sejuta macam pertanyaan yang berseliweran di otak memudar seiring dengan kehadiran Blaise di Aula Besar. Wajah aristokrat dan kulit lembut sewarna madu miliknya tampak tenang dan bercahaya kendati sudah berjam-jam menjalani interogasi di ruang Kepala Sekolah.

Melihat kedatangan Blaise, sejumlah sobat kentalnya, termasuk Malfoy langsung menyambut dan mengajak bergabung untuk makan malam. Perlakuan itu tak urung mengejutkanku hingga ke tulang sum-sum.

Tak kusangka Slytherin yang oportunis dan egois mengenal prinsip setia kawan. Tak kuduga siswa-siswa Slytherin yang beken dengan prasangka busuk mereka masih mau berakrab-akrab ria dengan Blaise yang beberapa jam belakangan ini menjadi kriminal nomor satu di Hogwarts.

Profesor Dumbledore yang menyusul belakangan usai Blaise duduk tenang di meja mengumumkan pemberitahuan penting yang secara otomatis membersihkan nama Blaise. Menurut Profesor Dumbledore, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan insiden tumbangnya Padma. Gadis ramping dan singset itu hanya menderita radang dingin akut karena terlalu lelah berpatroli dan berjaga-jaga di rumah kaca nomor tiga.

Jika anak-anak lain berpuas diri mendengar pengumuman itu, tak demikian halnya denganku. Insting dasarku mengatakan bahwa Ron tak sepenuhnya keliru. Blaise telah menyembunyikan sesuatu dariku.

Rahasia kelam yang telah dijaga keamanannya oleh Profesor Dumbledore...


Hal paling kuingat dari Hermione Jean Granger adalah perilaku yang tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan di balik semua tindak-tanduk yang aku kerjakan. Dari pandangan sengit menusuk, aku tahu kalau siswi paling brilian yang pernah menuntut ilmu di sekolah itu memandangku tak ubahnya bajingan hidung belang yang gemar mengobrak-abrik perasaan perempuan.

Yah, sebenarnya aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan Hermione atas kekeliruan persepsi itu. Aku juga punya kontribusi dalam kesalahpahaman sudut pandang ini. Tingkahku yang berganti-ganti teman dekat perempuan setiap musim berganti pastilah dipandang sebagai aksi buaya darat kelaparan.

Padahal, tak sekalipun aku menyentuh atau melakukan hal di luar batas norma dengan semua siswi perempuan yang akrab denganku. Aku tak pernah menganggap gadis-gadis itu sebagai pacar atau teman kencan. Bagiku, mereka cuma bank darah sukarelawan yang membantuku untuk tetap bertahan hidup.

Sebenarnya sih tak bisa dibilang donor sukarela juga sebab seusai mengambil segelas darah mereka, aku memodifikasi memori mereka dengan jampi-jampi Obliviate sehingga mereka tak mengingat ulahku yang menyedot sedikit cairan merah kehidupan itu.

Untuk mendapatkan darah, aku juga tak menancapkan taring. Aku memakai jarum suntik, peralatan medis Muggle yang aku curi dari ruang praktik pelajaran Telaah Muggle. Banyaknya stok jarum di ruangan itu tak membuat Profesor Charity Burbage menyadari sejumput koleksinya raib menghilang.

Berbeda dengan vampir tradisional lain yang memakai taring untuk menghisap darah, vampir sepertiku hanya memakai teknik tersebut jika ingin berpasangan. Ritual berpasangan kuno yang haram aku lakukan dengan sembarang gadis. Ritual gigitan erotis yang pasti akan aku lakukan di masa depan nanti, saat mengikat Hermione sebagai pasangan abadi.

Kaget karena aku ternyata seorang vampir?

Ya, aku juga tak kalah terguncang ketika mengetahui kenyataan itu. Fakta yang terungkap dari racauan ibuku yang depresi berat pasca kematian suami ketiga. Kata ibuku, sebelum ambruk karena mabuk, ia dikutuk Tuhan dan harus menyaksikan banyak kematian tragis karena tak mampu mencegah percobaan gila yang dilakukan ayahku.

Setelah ibuku siuman dari mabuk, aku mendesak untuk diberi penjelasan lebih lanjut mengenai tudingan eksperimen di balik proses kelahiranku. Tuduhan yang seringkali kudengar setiap kali orangtuaku terlibat bentrokan.

Ibuku yang mati-matian menyegel mulut akhirnya takluk juga. Di tengah isak tangis penyesalan, ibuku membeberkan proses kelahiranku yang berujung pada bersemayamnya jiwa seorang vampir di dalam diriku.

Kata ibuku, saat dirinya mengandung, ayahku tengah melakukan riset di sebuah kastil batu kuno di Transylvania, Rumania. Selama berbulan-bulan ayahku tak pernah mudik ke Italia meski cuma untuk beberapa menit saja.

Meradang karena diabaikan, ibuku yang hamil tua nekat menyusul ayahku ke Rumania. Mengingat proses Apparition bisa membahayakan kandungan, ibuku dengan terpaksa memakai sistem transportasi Muggle.

Setelah tiba di Rumania, ibuku menyambangi kastil tempat ayahku menetap dengan memakai kereta kuda. Badai buruk dan hujan deras yang terjadi tiba-tiba membuat jarak pandang kusir terbatas. Tak bisa mengendalikan kuda-kuda yang gelisah karena badai yang semakin mengamuk, sais kereta kehilangan keseimbangan. Kereta kuda yang dinaiki ibuku pun tergelincir dan masuk ke jurang.

Berbeda dengan si kusir Muggle yang langsung tewas di tempat, ibuku sebagai seorang penyihir masih mampu bertahan berkat Mantra Arresto Momentum yang dilafalkan sebelum terpuruk jatuh.

Sayangnya, guncangan dahsyat dan terkaman syok memaksa ibuku untuk melahirkan saat itu juga. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ibuku mengirim Patronus ke istana batu tempat ayahku berada. Berjuang melawan badai yang makin menggila, ayahku dengan panik berlari mendatangi jurang tempat ibuku tersangkut.

Saat itu, semua hampir terlambat. Aku yang membiru kedinginan tersengal-sengal mendekati ajal. Mengutuki dirinya karena kecerobohan yang hampir merenggut nyawaku, ibuku memohon-mohon agar ayahku melakukan keajaiban untuk menyelamatkan hidupku.

Dibekap kepanikan, ayahku tanpa pikir panjang meminta bantuan pada pemilik kastil sekaligus rekan penelitiannya, seorang Count berparas pucat dan tampan. Bersama-sama ayahku, pemimpin utama sekte drakula yang biasa disapa Count Drac itu rupanya tengah mengembangkan proyek menciptakan vampir hibrida, vampir cangkokan yang ditujukan untuk memperbanyak dan menstabilkan populasi klan vampir.

Selama berabad-abad, klan drakula memang bisa memperbanyak keturunan mereka dengan cara kuno, menggigit dan mereguk sedikit darah korban yang dijadikan incaran.

Tapi, sistem primitif itu tak berlangsung efektif sebab banyak menghasilkan vampir predator yang haus darah dan tak bisa dikekang. Predator maniak dan brutal yang membuat koloni makhluk kuno penghisap darah itu diburu dan dijadikan target pembantaian oleh para pemburu vampir yang disewa sejumlah kelompok agama fanatik Rumania.

Tak ingin rakyat dan pengikut setia punah, Count Drac yang telah kehilangan putra tunggalnya karena dibantai pemburu vampir di pertempuran mistis yang berlangsung ratusan tahun lalu menggandeng ayahku untuk menciptakan spesimen baru. Ayahku yang terkenal gila pengetahuan dan hobi bereksperimen tanpa ragu menyambar peluang langka tersebut.

Count Drac yang melihatku tergeletak tak bergerak, berjuang terengah-engah di batas hidup dan mati menantang ayahku untuk merealisasikan testamen dan skema penelitian. Mencangkokkan konsentrat dan esensi vampir ke dalam tubuhku.

Disulut tekad menyelamatkan jiwaku dengan cara apapun, ayahku menyuntikkan darah putra Count Drac yang terbunuh di usia belia. Untungnya, sebelum tewas di tangan pemburu, Count Drac sempat menyimpan dan mengawetkan darah murni anaknya tersebut.

Sesaat setelah darah putra Count Drac tersebut meresap dan menyatu di esensi tubuh, reaksi dan tanda-tanda kehidupan tampak di tubuhku. Napasku yang semula ngos-ngosan berubah teratur, suhu tubuh kembali normal dan detak jantung yang melemah mulai berdenyut secara ritmis.

Di balik kegembiraan karena kematian yang tercetak di wajahku memudar menghilang, ayahku masih dihantui kekhawatiran akan efek penyatuan darah vampir dengan penyihir. Bisa dibilang aku merupakan kelinci percobaan pertama. Sebab selama ini, di eksperimen awal mereka, ayahku hanya memproduksi spesies vampir baru dari kalangan manusia biasa alias Muggle.

Merahasiakan dampak yang belum terdeteksi pada ibuku yang terbalut kebahagiaan karena bisa menimangku dengan selamat, ayahku dari tahun ke tahun dengan tekun dan diam-diam mencatat perkembangan fisik dan jiwaku.

Dari segi raga, aku memang menunjukkan sinyal-sinyal berbeda dari bocah-bocah penyihir seumuran. Pertumbuhan jasmaniku lebih pesat dan cepat. Dari segi aspek jiwa, ayahku tak menemukan kelainan berarti. Selama bertahun-tahun aku tumbuh polos dan lugu seperti kanak-kanak lain.

Sejak aku melihat Hermione untuk pertama kalinya, selubung kepolosan itu mulai berganti kulit. Berganti dengan keintiman kegelapan dan kebutuhan dasar pria yang harus dipuaskan dan dituntaskan.

Ayahku yang menyadari gelagat perubahan segera berkonsultasi dengan Count Drac yang menjelaskan bahwa perubahan sikap dan gairah berbahaya seorang pria itu merupakan tanda-tanda bahwa sosok vampir yang menumpang di tubuhku telah menemukan sang belahan jiwa.

Jatuh cintanya si predator klasik yang notabene sudah berumur ratusan tahun itulah yang membuat diriku yang masih bocah ingusan bisa berpikir dan berimajinasi seperti remaja puber dan pria dewasa lainnya.

Berdasarkan informasi dari Count Drac, satu-satunya problem yang harus dicari pemecahan adalah jika terjadi pertentangan antara jiwa si vampir dengan hati asliku sebagai seorang Blaise Zabini.

Jika aku sebagai Blaise Zabini tak mencintai Hermione, pertentangan itu berpotensi membahayakan eksistensi kedua belah pihak.

Melihat ulahku selama ini yang dingin dan kasar pada Hermione, ayahku dengan seenak jidat mengambil kesimpulan bahwa aku membenci anak perempuan berambut semak yang feminin dan manis itu.

Asumsi keliru yang membuat ayahku merancang skenario Sumpah Tak Terlanggar palsu. Janji imitasi yang diharapkan bisa memaksaku untuk berdekatan dan mengenal Hermione lebih dalam lagi.

Ketika ibuku sampai di penjelasan tentang Sumpah Tak Terlanggar palsu itu, aku merutuk dalam hati. Seharusnya ayahku tak perlu berbuat sejauh itu. Pada dasarnya, aku sudah menyukai Hermione sejak pertama kali aku melihatnya.

Meski hati telah terkunci, aku bersikap galak dan mengingkari perasaan karena tak ingin mengecewakan ibuku yang sedari dulu sangat membenci penyihir keturunan Muggle. Pandangan kejam masyarakat darah murni tentang golongan kelahiran Muggle sebagai perampok harta karun ilmu pengetahuan sihir yang sudah ditanamkan di otak sejak kecil juga menjadi faktor di balik keangkuhan sikapku pada Hermione.

Setelah selesai mencurahkan semua informasi, dengan mata sembap ibuku meminta maaf karena merahasiakan jati diriku yang sebenarnya selama ini. Mengusap pipi ibuku yang basah, aku tersenyum menenangkan. Seburuk apapun ibuku, ia tetaplah wanita yang melahirkanku. Wanita cantik lembut yang rela melakukan apapun untuk mempertahankan keberadaanku di dunia.

Meninggalkan ibuku untuk beristirahat dan menenangkan diri di kamar besar yang seharum mawar, aku beranjak ke ruang kerja ayahku. Mendudukkan diri di bangku kulit beroda yang sering kunaiki dan kuputar-putar saat ayahku sibuk bekerja, aku memejamkan mata rapat-rapat.

Prinsip kebencian terhadap Muggle yang dicekoki ibuku memang membuatku banyak membuang waktu sia-sia. Jika pedoman itu tak tergores jelas di hati, sudah sejak bertahun-tahun yang lalu aku berani mendekati Hermione. Jika saja ibuku tak kebablasan mencuci otak, mungkin sekarang Hermione sudah menjadi pasangan abadi.

Meledakkan napas tak tenang, aku membuka mata dan menatap foto yang bergerak-gerak di samping pemberat kertas dan buku doa bersampul renda. Di foto hitam putih yang diambil saat aku balita, ibuku dengan lembut menciumiku yang duduk di pangkuan. Dengan melihat foto bukti cinta kasih seperti itu, aku tak mungkin tega membenci ibuku sendiri.

Seperti yang aku katakan padanya tadi, seburuk apapun perbuatannya padaku, ia tetap ibuku. Wanita anggun, tenang dan berkelas yang rela melakukan apapun untuk mempertahankan keberadaanku di dunia...

Di masa-masa rekonsiliasi hubungan dengan ibuku, deraan masalah seolah tak henti menyapa. Ibuku yang tengah berduka karena kematian sang suami ketiga, dipanggil paksa ke Pengadilan Sihir Wizengamot atas tuduhan pembunuhan berencana.

Limbung karena dituding membantai suami sendiri serta harus mondar-mandir menjalani pemeriksaan dan prosesi peradilan membuat ibuku lalai menunaikan tugas pentingnya, mengirim pasokan darah segar untuk kelangsungan hidupku.

Aku yang selama bersekolah di Hogwarts sangat tergantung pada kiriman nutrisi esensial yang disamarkan sebagai minuman anggur merah itu tentu kelabakan. Tak ada satu guru pun yang tahu jati diriku yang sebenarnya sehingga sangat mustahil meminta izin keluar untuk berburu darah. Lagipula, selain tak tahu di mana mendiang ayah dan ibuku biasa mendapatkan suplai darah yang berisi kebutuhan gizi spesifik, aku juga tak mau sembarangan berburu donor darah.

Satu-satunya orang yang mengetahui kesulitanku adalah Draco Malfoy, penyihir Veela dan makhluk penyedot perhatian yang tak pernah mengalami kesusahan seumur hidupnya. Maklum saja, berbeda denganku, status Veela Draco tak pernah dipermasalahkan sebab sudah sejak lama etnis Veela yang pada dasarnya memiliki talenta magis alami diterima publik dunia sihir.

Iba melihat tubuhku makin melemah, Draco mengajukan saran agar aku mengambil darah dari gadis-gadis yang memujaku selama ini. Kata Draco, menurut sejumlah ensiklopedia dan literatur kuno, darah seseorang yang sedang jatuh cinta jauh lebih kuat dan menggiurkan. Dengan menyedot darah barisan pengagum, Draco yakin aku bisa bertahan hidup dan tak mesti meminum darah setiap sebulan sekali.

Semula aku bergidik jijik mendengar usul tersebut. Bagaimana mungkin aku memanfaatkan fans-fans yang tak berdosa? Namun, waktu yang kian sempit membuatku tak bisa memilih. Mengubur ego dalam-dalam, aku merendahkan diri dengan mendekati dan mengencani gadis-gadis penyihir ras murni yang sejak dulu rutin membuntuti.

Gagasan prematur yang tak dipikir masak-masak itu mulai menjerat leherku sendiri. Hermione yang melihatku selalu bergonta-ganti teman dekat perempuan setiap empat bulan sekali menstempelku dengan label mata keranjang kecentilan.

Padahal, bukan niatku bergaya seperti Casanova yang doyan bongkar pasang pasangan. Aku memutuskan tak menjalin hubungan tanpa ikatan lebih dari empat bulan sebab aku tak mau terikat dengan gerombolan donor darah. Selain itu, aku khawatir jika berdekatan terlalu lama, rahasia gelapku akan terbongkar.

Melihat ekspresi nyeri yang terlintas di paras Hermione saat melihatku bersama gadis lain, aku selalu berniat untuk membeberkan alasan yang sebenarnya. Aku tak pernah mengkhianatinya sebab selama bersama donorku, aku tak pernah melakukan perbuatan maksiat yang menjurus.

Tapi, setiap kali aku berencana membuka rahasia, Draco selalu menyarankan untuk undur diri. Menurutnya, tak semua penyihir bisa menerima keberadaan vampir yang dianggap haus darah dan serakah.

Sedikit banyak aku terpengaruh dengan nasihat Draco. Aku tak sanggup menanggung kesedihan jika Hermione berpandangan sama seperti penyihir lain. Menganggap golongan vampir sebagai makhluk brutal dan lintah pengisap darah yang tak berperikemanusiaan.

Berpatokan pada hal itulah, aku terpaksa meneruskan skenario mendapatkan darah dari gerombolan pengagum. Didukung kemampuan menyembunyikan perasaan, aku terlihat seperti perayu ulung tak tahu malu.

Untungnya, aku hanya perlu melakoni praktik menjijikkan ini selama di Hogwarts saja. Selepas aku lulus nanti, aku bisa leluasa mendapatkan atau membeli darah dengan cara yang lebih bermartabat.

Begitulah, selama berbulan-bulan aku berhasil menyimpan rahasia sisi gelap. Rahasia paling dalam yang sialnya hampir terkuak gara-gara si genit Padma Patil, donor berjalan yang terakhir.

Dibandingkan mangsa-mangsa yang lain, Padma memang luar biasa keras kepala. Jika gadis-gadis lain menerima status mereka yang dekat tapi tanpa ikatan resmi, Padma bereaksi berbeda.

Prefek Ravenclaw itu selalu menggembar-gemborkan bahwa hanya dirinya-lah pacar asliku. Bahwa hanya pesona tak terbatas dan kecantikan luar biasa setara harem di istana para pasha yang membalut tubuh indahnya-lah yang membuat Blaise Zabini terikat dan bertekuk lutut.

Kadang-kadang aku menyesal telah menjatuhkan pilihan pada Padma. Tapi, pilihanku terbatas sebab sesuai dengan prediksi Draco, darah gadis penyihir ras murni bisa bertahan lama dan membuatku tak didera kehausan hingga empat bulan ke depan. Berbeda dengan darah biasa yang diberikan ibuku selama ini yang hanya mencukupi dahaga selama sebulan penuh.

Prasangka kalau Padma hanya membuat repot terbukti ketika aku berniat memetik darah jalang brengsek itu di akhir musim gugur ini. Tanpa mengetahui jadwal tugas Padma, dengan bodohnya aku mengajak dara berwajah kota itu untuk bertemu di rumah kaca sesaat sebelum tengah malam.

Belum sempat aku melontarkan Mantra Bius Stupefy untuk membungkam Padma, Hermione dan si Prefek Hufflepuff, Hannah Abbot yang tengah mencari Padma yang bolos tugas malam memergoki kami. Terpaksa, niat mengambil segelas darah Padma aku tunda sampai kondisi aman terkendali.

Celakanya, situasi makin tak menguntungkan sebab Padma dan Abbot terlibat bentrokan. Aku yang lapar dan dahaga karena sudah saatnya mengonsumsi darah makin naik pitam karena Draco menebar jaring perangkap ke Hermione.

Di depan mataku, Draco berani menyentuh Hermione. Padahal badut buduk yang selalu menganggap dirinya lebih berkuasa dari Tuhan itu tahu betul kalau Hermione sangat berarti bagiku. Gelora kecemburuan, amarah mutlak yang mencabik-cabik serta perasaan terkhianati dengan tikaman dari belakang yang dilakukan Draco membuatku bertindak di luar batas.

Dalam pertikaian yang dihiasi jeritan bayi Mandrake, aku membentak Draco untuk menjauhi Hermione. Ultimatum dalam bahasa Slavia itu rupanya dianggap remeh oleh si Veela pirang yang selama ini aku anggap sebagai teman.

Tak cukup mentertawakan, pemuda penuh fenomena yang suka merayu gadis muda manapun yang masih bernapas itu berani menantangku untuk bersaing memperebutkan Hermione. Tantangan purba dan primitif yang langsung aku sanggupi detik itu juga.

Kekesalanku yang sudah membukit gara-gara perilaku Draco makin menggunung ketika Padma Patil menyinggung Hermione dengan hinaan murahan. Ancamanku untuk menutup mulutnya secara paksa malah dianggap sebagai undangan terselubung.

Tanpa bisa dielakkan, kilatan pemangsa dan hasrat membunuh berkobar di iris hitam keemasan yang menyala-nyala. Sepeninggal Hermione dan Abbot, Padma dengan menggebu-gebu merayu, memintaku untuk segera mencium dan mencumbu dalam-dalam.

Kemauan Padma itu tanpa basa-basi segera kuturuti. Didorong amarah yang berbuih di dalam darah, aku membuat gadis sinting sialan itu mencium tanah dengan hantaman Mantra Stupefy. Emosi gelap dan bara kemarahan yang bergelora itulah yang membuatku hampir kebablasan mengambil darah Padma dengan jarum suntik koleksi guru Telaah Muggle, Profesor Charity Burbage.

Untunglah, sebelum darah Padma tersedot habis, kewarasan mengambil alih kendali. Menyumpahi diri sendiri karena nyaris membunuh seseorang, aku menyadarkan dan menghilangkan ingatan Padma dengan jampi-jampi memori.

Kekesalan yang masih membekas membuatku tak sudi membawa Padma kembali ke lorong asrama Ravenclaw. Keputusan sesat yang kusesali sebab penemuan tubuh pingsan Padma di rumah kaca membuat rahasiaku sebagai vampir hampir terbongkar.

Rahasia yang akhirnya harus aku bagi dengan Kepala Sekolah Profesor Albus Dumbledore...

Selama aku membeberkan identitas diri, Profesor Dumbledore tak mengucapkan sepotong kata pun. Penyihir hebat, berpengaruh dan paling brilian sepanjang zaman itu hanya memandang cermat dengan sepasang manik biru muda cemerlang.

Setelah aku tuntas menumpahkan semua pengakuan segan yang selama ini dirahasiakan, Profesor Dumbledore tetap bungkam seribu bahasa, memperhatikan dalam-dalam tanpa bersuara. Sorot matanya yang seperti sinar laser terus menghunjam, membuat jiwa dan pikiranku serasa ditelanjangi.

Kebisuan Profesor Dumbledore membuat lidah terasa kelu. Praduga buruk berkibar di relung otak. Rupanya, inilah akhir riwayatku di Hogwarts. Profesor Dumbledore pasti segera mendepakku dari sekolah dan melaporkan diriku pada juri Pengadilan Sihir Wizengamot.

Melihat wajah gelapku memucat, Profesor Dumbledore tersenyum kebapakan. Menawarkan permen jeruk segar, pemilik tongkat sihir Elder itu menenangkan kegelisahan yang melata di ruang sukma. Dengan tulus dan sukarela, penyihir berjiwa besar berjenggot panjang itu bersedia menyimpan rahasiaku.

"Tak usah cemas, Mr Zabini. Kau masih punya hak untuk terus bersekolah di Hogwarts," ujar Profesor Dumbledore tenang, menyesap satu bungkus permen jeruk asam manis. Membelai kepala Fawkes, burung Phoenix merah yang baru terlahir dari gundukan abu, ahli sihir paling berkuasa sepanjang masa itu tersenyum tipis penuh pengertian.

"Ini bukan kesalahanmu sepenuhnya. Kau tak memilih untuk dilahirkan kembali sebagai setengah vampir. Selain itu, kau telah membuktikan kualitas hati yang murni. Kau membatalkan niat untuk membunuh Miss Patil di menit-menit terakhir."

Aku hampir jatuh bersujud dan menangis lega mendengar garansi Profesor Dumbledore. Apalagi dengan janjinya untuk membantuku jika nanti Dewan Hukum Sihir Pengadilan Wizengamot memanggil untuk konfirmasi status darah.

Kelegaan membuncah efektif menghancurkan beban berat yang menggelayuti pundak selama ini. Rasa girang yang meluap-luap karena akhirnya ada seseorang yang mau mengerti diriku membuatku bisa bernapas dengan bebas dan tak ambil pusing dengan semua ejekan yang disenandungkan hantu jahil sedunia, Peeves yang sejak semula melihatku dipanggil berteriak-teriak seperti setan kesurupan.

Dengan ketenangan maksimum, aku berhasil menghindari Bubuk Bersin yang dilesakkan Peeves dan tiba dengan selamat di Aula Besar. Malfoy yang melihatku datang langsung mengajakku untuk duduk di sampingnya, bersikap seolah-olah tak ada perselisihan besar di antara kami.

Aku tak terlalu memikirkan rencana ganjil apa yang tengah dirancang Malfoy sebab Profesor Dumbledore datang sejurus kemudian, membantu membersihkan namaku yang sempat tercemar. Ketenangan yang aku rasakan karena rahasia masih tersimpan rapat goyah ketika mataku bersirobok dengan pandangan diam-diam Hermione.

Lirikan tajam penuh ekspresi sarat kecurigaan yang membuatku tersengat sadar bahwa cepat atau lambat aku harus membuka sisi diri pada Hermione.

Sisi gelap dan kelam yang mungkin saja tak bisa diterima dengan baik olehnya...

BERSAMBUNG