Title: I'm Sorry

Disclaimed : Naruto (c) Masashi Kishimoto

Genre: Angst, Family, Romance

Rating: T

Pairing: SasuNaru

Warning : Deathchara, MPreg

.

Inspirated by Let Me Leave Three Word Behind (c) Citrus Sunscreen

.

Badai—

Saat itu, yang terdengar ditelinganya adalah badai yang mengguncang Jepang—mengguncang tempatnya berada. Saat ini, berada didalam dekapan pria berambut kuning yang mendekap tubuh kecilnya itu. Berlari diantara jalanan yang seakan tanpa ujung itu, anak laki-laki itu tidak bisa melihat apapun selain tubuh pria yang mendekapnya itu.

"Otou-san, kenapa kita harus tetap berlari," matanya yang tampak tertutup setengah menampakkan salah satu kemiripan yang terlihat dari anak itu dengan ayahnya. Bukannya menjawab, ayahnya terus membawanya berlari hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang membuat ayahnya berhenti berlari.

Jalan buntu—

Dan langkah beberapa orang yang tampak berada dibelakang mereka, semakin mendekat dan mendekat. Hingga ia bisa mendengar langkah mereka terhenti. Nafas pria yang mendekapnya semakin memburu, dan anak itu memberanikan diri untuk menatap kearah orang-orang itu.

"Uzumaki Naruto, apakah kau sudah siap untuk hukumanmu, yang sudah ditetapkan langsung oleh Hokage dan juga para petinggi..."

Ia tidak bisa melihat apapun—wajah mereka tertutupi oleh topeng yang dengan sempurna menutupi seluruh sisi wajah mereka. Tetapi itu percuma, ia tahu, mereka adalah seorang ninja, memiliki kedudukan yang sama dengan ayahnya yang kini mendekapnya. Mata Biru lautnya kini tertuju pada mata biru ayahnya, mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, yang ia lihat bukanlah wajah ceria ayahnya yang selalu mengatakan "Tenang saja semua akan baik-baik saja..." tetapi, hanyalah wajah pucat yang menampakkan kelelahan, sebelum akhirnya senyuman itu terlihat samar di wajahnya.

"Hanya aku bukan?"

Satu kalimat, dan jeda cukup panjang tercipta di ruangan itu, sebelum ayahnya melanjutkan perkataannya dengan tatapan dan senyuman pahit di wajahnya.

"Anak ini—ia akan tetap hidup?"

...

"Ya—karena Hokage dan semua petinggi memberikan perintah hukuman hanya untukmu," anak itu tidak bisa menatap mata dan wajah ayahnya lagi. Tubuh mungilnya diturunkan dari dekapan ayahnya, dan pria itu mencoba untuk melindunginya dengan menghalangi dari semua yang ada di hadapannya saat itu.

"Biarkan aku mengucapkan perpisahan padanya," beberapa orang itu tampak saling bertatapan sebelum akhirnya mengangguk, menyetujui apa yang menjadi permintaan terakhir bagi pria itu. Dan kali ini anak itu bisa menatap mata biru ayahnya dan juga tiga guratan di pipi ayahnya yang masing-masing berada di sebelah kiri dan kanan pipi ayahnya.

"Apa yang akan mereka lakukan pada otou-san?"

"Rei, apapun yang terjadi jangan sampai menyalahkan siapapun atas ini—" terdapat jeda lagi dan juga suara desahan nafas yang tampak menyesakkan di telinga anak itu, "—terutama dia...ayahmu..."

"Otou-san..."

"Terhadap Konoha—dan semuanya," tampak derap langkah yang semakin dekat dari beberapa pria yang memakai topeng itu. Ia dapat melihat kilau senjata yang dibawa oleh mereka, dan siap menghunuskannya di tubuh ayahnya. Walaupun usianya saat itu beranjak 5 tahun, tetapi ia sudah bisa mencernanya. Semua yang terjadi, dan yang akan terjadi, "dan jika bertemu dengannya, katakan padanya..."

Sebuah kristal bening tampak jatuh dari mata biru laut ayahnya itu. Sebelum suara yang cukup untuk membuatnya trauma kelak terdengar, beriringan dengan cairan hangat yang meluncur dari tubuh ayahnya dan juga benda yang menembus tubuh ayahnya itu.

Merah—

Semua yang ada disekitarnya berubah menjadi merah, bahkan jubah putih yang ayahnya kenakan terkena bercak merah itu. Ia bisa melihat cahaya kehidupan di mata ayahnya semakin meredup, tetapi senyumannya tetap tidak menghilang dari wajah pucat ayahnya itu. Tubuhnya terjatuh perlahan, hingga kepala ayahnya tampak terjatuh tepat diatas bahu anak itu. Dan hanya 4 kata yang terdengar dari mulutnya kala itu, sebelum bahkan suara nafas ayahnya tidak bisa ia dengar lagi.

'Maafkan akuuntuk semuanya...'

Mata biru lautnya tampak terbuka untuk menatap langit-langit rumahnya yang ada disana. Ia segera bangkit dan mengacak sedikit rambut hitamnya yang berwarna sepekat malam itu. Nafasnya tampak memburu, dan wajahnya tampak pucat ketika ia harus melihat mimpi yang sama sekali lagi setelah 10 tahun lamanya.

Melihat kearah langit yang kala itu sudah disinari oleh cahaya mentari, ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa terbangun lebih pagi lagi. Dan ia segera bergegas menggunakan jaketnya yang sama seperti milik ayahnya yang sudah tidak ada itu. Membawa tas yang ada di atas meja kecil rumahnya, dan segera berlari keluar dari rumah itu menuju ke sebuah sekolah Akademi Ninja yang ada di dekat rumahnya itu.

Ia tampak memulai hari itu dengan tatapan kosong dan penuh kebencian. Ia memang selalu seperti itu-selalu saja menatap desa itu dengan penuh rasa benci. Ia benci desa ini, ia benci semua yang ada disini-yang sudah merenggut ayahnya dari sisinya. Ia benci semua orang yang sudah menanamkan semua masa lalu itu, meskipun ia tidak tahu siapa mereka.

Konoha—Hokage, anbu, serta ayahnya...

Bukan—bukan Uzumaki Naruto yang merupakan 'otou-san'nya, tetapi seseorang lagi, yang mewarisi warna rambut sehitam malam miliknya yang selalu membuat ayahnya tersenyum ketika melihatnya.

Ia membenci semuanya...

Hanya satu yang membuatnya tetap berada di kota yang penuh dengan sumber kebenciannya itu—hanyalah janjinya pada ayahnya, untuk tidak membenci kota itu dan tetap berada disana hingga 'orang itu' kembali ke kota itu.

Melompat dengan lincah dari satu atap ke atap yang lainnya, sebelum ia berhenti di sebuah bangunan tinggi tempatnya bersekolah. Nafasnya tampak memburu, sebelum masuk kedalam ruangan kelas.

"Uzumaki Rei, kau terlambat lagi!"

Menatap sang guru yang sedang mengajar didepan, dengan sebuah bekas luka yang ada di hidungnya. Rei tampak menutup matanya sejenak dan menatapnya dengan sebelah mata.

"Gomenne Iruka-sensei, aku kesiangan lagi!" tertawa lepas sambil menggaruk kepala belakangnya, menunjukkan senyuman lebar yang mirip dengan ayahnya itu. Hanya menghela nafas, pada akhirnya Iruka hanya bisa tersenyum tipis melihat anak itu.

"Baiklah, duduk ditempatmu sekarang..."

"Hai, Iruka-sensei!" masih dengan senyuman yang mirip dengan ayahnya itu, yang tidak bertahan lama sebelum raut wajahnya kembali datar dan tanpa senyuman yang beberapa detik yang lalu ia tampakkan didepan kelas.

Palsu—

Ia tidak pernah mau tersenyum seperti itu. Ia tidak ingin tersenyum pada orang-orang Konoha yang sudah merengkuh ayahnya dari sisinya. Merengkuh semuanya yang menjadi sumber kebahagiaannya. Dan ia hanya menatap kearah jendela kelas itu tampak ada minat untuk mendengarkan lebih jauh tentang semua pelajaran yang diberikan sang guru saat itu.

Sementara itu di salah satu bangunan tertinggi di kota itu, tampak seorang lelaki berambut hitam yang mengenakan jubah dengan corak api di bagian bawahnya. Menggunakan penutup mulut yang menutupi hampir sebagian wajahnya—duduk dikursi yang ada disana dan memangku dagunya dengan kedua tangannya yang terkait satu sama lain diatas meja.

"Jadi—sudah saatnya?"

Menatap seseorang yang mengenakan topeng putih, yang sendirian disana tanpa ada seseorangpun. Sosok itu mengangguk dan melepaskan topeng putih itu, menampakkan mata onyxnya yang sama dengan warna rambut hitamnya. Ia menatap pria berambut putih itu dengan tatapan kosong.

"Biarkan—kali ini aku yang mendampinginya..."

"Kau tahu—anak itu, melihat Naruto tewas didepan matanya sendiri—" sang Hokage ke-7—Hatake Kakashi tampak hanya menghela nafas berat dan menatap sang Anbu didepannya yang sangat ia kenal—mantan muridnya sendiri, "—melihat orang tuanya tewas didepan matanya sendiri..."

"Aku mengerti..."

"Sasuke, kau bahkan tidak pernah melihatnya sejak—"

"Aku mengerti karena ia adalah anaknya—" jeda pendek sebelum sang anbu melanjutkan lagi perkataannya, "—dan juga anakku..."

Rei bisa merasakan sesuatu yang tampak memasuki fikirannya. Sebuah firasat yang entah terasa menyesakkan dadanya. Ia hanya bisa meremas dadanya, mencoba untuk menghilangkan semua yang ada di fikirannya itu. Tanpa berfikir pelajaran masih berlangsung kala itu, ia berdiri—berlari keluar dari tempat itu dan berhenti ketika nafasnya terengah-engah.

Entahlah—ia mendengar seakan seseorang berbicara didalam kepalanya. Membuatnya terngiang-ngiang akan suara itu, suara yang seakan memanggil-manggil namanya.

'Biarkan aku—melihatnya, seumur hidupku…melihatnya berbahagia…'

To Be Continue