Cerita ini untuk Rise Star, Michi Aozora, VanVin dan para reviewer.


Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Theodore Nott.

Rating: T


Terkadang manusia tak bisa memilih dengan siapa ia jatuh cinta...

Hermione Jean Granger contohnya.

Dari sekian banyak pemuda baik-baik dan populer di Sekolah Sihir Hogwarts, Hermione malah melabuhkan hati pada pria berbahaya seperti Theodore Nott.

Berbahaya? Ya, berbahaya, mengingat ada banyak alasan mengapa mencintai Nott sama saja dengan mencemplungkan diri ke dalam mulut buaya.

Alasan yang pertama, Nott merupakan putra tunggal Pelahap Maut ternama, Mister Nott. Residivis berdarah dingin yang di masa lalu terlibat dalam pembunuhan ratusan Muggle tak berdosa. Bajingan kejam yang saat ini meringkuk di Penjara Sihir Azkaban karena terlibat dalam konspirasi pembobolan Departemen Misteri Kementerian Sihir Inggris.

Yang kedua, Nott berstatus penghuni asrama Slytherin. Asrama yang sejak awal didirikan hingga sekarang terkenal sebagai markas penyihir licik penggemar ilmu hitam. Asrama penjunjung paham supremasi darah murni yang sedari ratusan tahun lalu terlibat persaingan tak sehat dengan Gryffindor, rumah asrama bentukan penyihir bersahaja, Godric Gryffindor.

Yang ketiga, yang terakhir sekaligus paling berbahaya, Nott sudah bertunangan dengan Daphne Greengrass. Ningrat terhormat yang sudah dikencaninya sejak tahun pertama mereka bersekolah. Gadis berkulit seputih gading yang tercatat sebagai salah satu penyihir tercantik se-Eropa. Bangsawan berambut cokelat sepinggang yang disebut-sebut akan dinikahi Nott selepas mereka lulus dari Hogwarts.

Menilik pada tiga aspek mengerikan tersebut, sudah seharusnya Hermione mengambil langkah seribu dan menyerahkan hati pada pria lain yang lebih layak menerimanya.

Sayangnya, seperti pemeo cinta itu buta, Hermione tak bisa berpaling dan membuka mata. Kendatipun setiap hari tembok batin berdarah-darah menyaksikan kemesraan Nott dan Daphne Greengrass, Hermione tak bisa menutup pintu hati.

Terkadang, manusia tak butuh alasan untuk mencintai seseorang...

Hermione sendiri tak mengetahui dengan pasti mengapa dirinya begitu tergila-gila pada Nott. Begitu terobsesi pada pemuda yang berbeda jauh dengan dirinya. Begitu mencintai lelaki yang memiliki jurang perbedaan selebar langit dan bumi dengan dirinya.

Satu yang pasti, sejak bertemu pertama kali di toko jubah Madam Malkin, jelang tahun ajaran pertama, Hermione sudah menaruh perhatian pada anak laki-laki bermata hijau gelap tersebut. Perasaan istimewa yang terus terasah dan mengembang seiring dengan perputaran waktu.

Tak ada hal yang paling menyakitkan bagi manusia selain cinta bertepuk sebelah tangan...

Meski api cinta semakin menyala seperti bara, sebisa mungkin Hermione merahasiakan dan menyembunyikan perasaan. Biar bagaimanapun juga, gadis bergigi besar-besar itu tak mau membuat teman dekatnya, Harry James Potter dan Ronald Bilius Weasley curiga. Belum lagi dengan efek kemarahan yang bakal diterima jika dua sobat terbaiknya mengetahui isi hati yang sebenarnya.

Mengandalkan kekolotan watak, Hermione bertindak senatural mungkin saat menonton parade kemesraan antara Nott dengan tunangannya. Keintiman tak senonoh yang terjadi di Aula Besar maupun di lorong sekolah.

Selama bertahun-tahun, Hermione bersikap seakan-akan dirinya tak menaruh minat pada pemuda berambut cokelat kehitaman yang diam-diam sering diamat-amati dari balkon Menara Astronomi. Pengintaian mendalam yang dilakukan setiap kali dirinya selesai melaksanakan tugas patroli sekolah sebagai Prefek Gryffindor.

Terkadang, demi mendapatkan keinginan, manusia bisa melakukan berbagai kemungkinan...

"Betul, Hermione. Jika kau ingin meraih mimpi dan ambisi, berdoalah saat melihat bintang jatuh."

Menatap wajah ayu Luna Lovegood yang balik memandang dengan sorot hangat, Hermione mengulas senyum samar. Menelusuri lembaran buku Seribu Satu Tanaman Obat dan Jamur Gaib dengan jemari, Hermione terdiam membisu. Tak tahu harus berkata atau bersikap apa untuk menanggapi saran yang diberikan si gadis pirang panjang yang masih menatap lekat-lekat.

"Apa maksudmu, Luna?" Hermione akhirnya membuka penyumpal mulut, meremas-remas lembaran perkamen tugas yang hampir selesai. Esai sepanjang lima ratus sentimeter, lebih panjang dua ratus sentimeter dari batas minimum yang diisyaratkan guru Herbologi, Profesor Pomona Sprout.

Tersenyum lembut, Luna mendudukkan pinggul ramping di bangku kayu samping kiri Hermione. Mengusap-usap bahu Hermione yang tegang karena terlalu banyak belajar, siswi Ravenclaw bermata ungu menonjol itu melanjutkan penjelasan dengan nada sabar. Sesabar seorang ibu yang menenangkan putri mungilnya yang merajuk.

Sepertinya, pentingnya saran yang diajukan membuat gadis berkulit putih pucat itu melupakan intonasi melamun yang sering dipakainya setiap kali bercakap-cakap. Kali ini, tak ada suara melamun yang sayup-sayup, hanya nada pasti yang merebak dari setiap susunan suku kata yang diucapkan.

"Maksudku, jika kau ingin menggapai hasratmu, kau bisa memohon saat melihat bintang jatuh," saran Luna pelan, terus menggosok pundak Hermione dengan penuh kasih sayang.

"Apalagi jika kau meminta di bawah hujan bintang jatuh Hogwarts. Semua permohonanmu pasti terkabul," Luna mengakhiri keterangan dengan seulas senyum simpatik sarat pesona sugestif.

Hermione tertegun mendengar penuturan mantap adik kelasnya itu. Sejak tahun pertama, sejak membuka helai demi helai buku Sejarah Hogwarts, ia memang sudah mengetahui dongeng legendaris tentang hujan bintang jatuh di Hogwarts.

Menurut mitos tersebut, kekuatan bintang jatuh di kastil Hogwarts jauh lebih tinggi sebab hujan ekor cahaya indah itu terjadi di kawasan sarat magis.

Meski sudah mengetahui fenomena kedahsyatan hujan bintang jatuh di Hogwarts, Hermione tak pernah berniat mencoba peruntungan melalui jalur tersebut. Sebagai gadis realistis dan logis, Hermione cenderung berpegang teguh pada logika dan fakta, bukannya legenda yang belum bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Di mata Hermione, bintang jatuh cuma peristiwa alam yang terjadi ketika meteor masuk ke bumi dan bergesekan dengan atmosfer. Bukan sebuah momen mistis di mana semua permintaan anak manusia dikabulkan tanpa terkecuali.

Ekspresi tak percaya yang kental tercetak di paras Hermione tidak menyurutkan minat Luna untuk menjejali otak seniornya dengan keyakinan yang dipercayainya. Hikayat yang setidaknya bisa menghapus kegundahan hati kakak kelasnya. Keresahan yang terpancar jelas dari kedalaman manik cokelat Hermione yang berkaca-kaca.

"Tak ada salahnya mencoba, bukan? Siapa tahu dengan meminta di bawah bintang jatuh Hogwarts, kau bisa mendapatkan perhatian Theodore Nott."

Pernyataan yang diucapkan dengan perlahan itu menghentak benak Hermione. Menengok cepat seakan-akan batang lehernya disenggol palu godam, Hermione menatap Luna dengan mata membelalak. Bertanya-tanya mengapa penyihir berdarah murni yang bersimpuh tenang di sampingnya mengetahui rahasia terbesarnya. Rahasia paling dalam yang mati-matian disimpan selama bertahun-tahun.

"Matamu tak bisa berbohong, Hermione. Matamu seperti buku yang mudah dibaca," urai Luna tanpa diminta, menjelaskan dengan akurat mengapa dirinya bisa menyadari isi hati Hermione yang hakiki.

Isi hati yang mati-matian disembunyikan Hermione dari pandangan teman-teman terdekatnya. Sahabat yang pastilah tak memiliki kekuatan insting maupun indra keenam sedalam Luna.

Mengangkat tubuh, Luna berdiri dan menatap Hermione dengan sorot bersahabat. Kasih sayang tulus terpancar dari manik ungu perak yang bersinar diterpa cahaya obor perpustakaan. Pancaran rasa yang membuktikan kalau siswi Ravenclaw tahun kelima itu benar-benar menganggap Hermione sebagai teman terbaik meskipun gadis berambut belukar itu sering menyepelekan pendapat tentang alam di luar logika.

"Tak ada salahnya mencoba, Hermione. Aku hanya berharap semoga kau mendapatkan keinginan terbesarmu," tutur Luna halus, menepuk pelan bahu Hermione dengan telapak tangan.

Mengangguk singkat sebelum membalikkan tubuh langsing yang terbalut jubah kedodoran, Luna beranjak pergi. Meninggalkan Hermione yang masih terpekur membisu sembari memandangi diagram jamur hitam bertanduk...


"Sampai kepala gepeng Crookshanks bertanduk pun kau tak akan bisa memprediksi kapan hujan bintang jatuh di Hogwarts terjadi, Hermione."

Melotot garang, Hermione merapatkan belitan mantel sekolah sekencang mungkin. Menjentikkan tongkat sihir, menambah dosis Mantra Penghangat yang membungkus tubuh, Hermione menatap sebal wajah Ron yang merengut kecut.

"Kalau kau sudah tak tahan, sana pergi ke Ruang Rekreasi," usir Hermione judes, melambaikan kelima jari keras-keras. Di seberang Ron, Harry mengusap wajah dan menguap lebar untuk keseribu lima ratus kalinya malam itu.

"Bukannya aku tak mau menemanimu, Hermione. Tapi, Blimey! Sudah sebulan kita nongkrong malam-malam di puncak bukit hanya untuk menanti bintang jatuh yang tak ketahuan juntrungannya," seru Ron panas, dengan beringas menyikat daun dan rumput kering yang melekat di celana hitam sekolah.

Menghela napas berat, Hermione menatap langit malam yang kosong tak berbintang. Ron benar, ini sudah hari ketiga puluh dirinya membuang-buang waktu berharga hanya untuk memelototi selimut kelam yang membungkus angkasa. Langit sehitam ampas kopi yang sampai detik ini tak menawarkan apa-apa selain potensi terkena serangan masuk angin karena begadang semalaman.

"Memangnya untuk apa sih kau ngotot menyaksikan bintang jatuh, Hermione?" Harry bertanya lambat-lambat, mengucek-ucek mata hijau menyenangkan dengan punggung tangan.

"Aku hanya penasaran, Harry. Bukankah keren kita bisa menonton bintang jatuh di kastil Hogwarts yang fenomenal? Profesor Aurora Sinistra saja bilang kalau malam bintang jatuh di Hogwarts sangat jarang terjadi," jawab Hermione bertubi-tubi, sengaja menutupi fakta dan alasan yang sebenarnya.

Menggaruk-garuk kulit kepala, Ron mencak-mencak tak karuan. Menyalahkan naluri haus ilmu pengetahuan Hermione maupun kisikan guru Astronomi mereka tentang keistimewaan bintang jatuh Hogwarts. Fenomena alam yang membuat mereka harus berindap-indap menyusup ke atas bukit setiap malam dengan memakai Jubah Gaib milik Harry.

"Sebenarnya, kalau cuma ingin menonton bintang jatuh, kita bisa pergi ke Menara Astronomi," Ron kembali bersungut-sungut, berharap bisa membuat Hermione membatalkan niat mendekam semalaman di atas bukit dekat pondok Hagrid.

"Oh Ron, kalau dari Menara Astronomi pemandangannya biasa-biasa saja. Tak seheboh jika kita melihatnya dari atas bukit," tangkis Hermione cepat, sengaja tak memberitahu sobat laki-lakinya bahwa meminta di atas bukit jauh lebih manjur ketimbang memohon dari atas balkon Menara Astronomi.

Terdiam sesaat, Ron tercenung menekuri langit malam yang tak bersahabat. Ringkik binatang malam dan sapuan angin dingin yang menusuk tulang membuat remaja berambut semerah inti api itu bergerak-gerak tak nyaman.

Melipat lengan di dada, mata biru Ron menatap hampa. Bayangan melingkar di balik selimut tebal maupun bergelung di depan perapian sambil menikmati secangkir susu panas kian deras menari-nari di cepuk benak. Membuat pemuda berhidung panjang itu kembali membuka suara, menyuarakan semua keberatan yang bersarang di batok kepala.

"Eh, Hermione. Sepertinya malam ini si bintang belum mau jatuh ke bumi. Bagaimana kalau kita-"

Belum selesai mengatakan suara hati, bentakan Hermione mematahkan perkataan Ron. Berdiri berkacak pinggang, Hermione mendelikkan manik cokelat lebar-lebar, nyaris menyaingi mata bulat Trevor, kodok betung kesayangan teman sekamar Ron, Neville Longbottom.

"Kalau kau sudah tak tahan lagi, sana pergi! Aku juga tak butuh ditemani oleh kalian," hardik Hermione tajam, uap kemarahannya berkepul di udara, membentuk gulungan asap tipis.

"Bukan begitu, Hermione. Kami hanya sedikit lelah," Harry melerai, berupaya menjinakkan kemarahan teman perempuannya.

Sayangnya, usaha Harry berbuah percuma sebab Ron yang sudah penat dan tersulut emosi langsung melangkah panjang-panjang. Tanpa banyak kata, pemuda pemarah berambut semerah gelombang api itu beringsut menjauh, meninggalkan kedua temannya yang berdiri terpana.

Melihat punggung Ron menghilang tenggelam ditelan bayang-bayang kegelapan malam, Hermione menarik napas dalam-dalam. Ujung mata sedihnya melirik siluet Harry yang tercenung muram, menatap tak sabar ke langit kelam.

"Harry, sebaiknya kau pergi menyusul Ron," bujuk Hermione, tak tahan lagi menyaksikan roman keruh yang mewarnai air muka salah satu sahabat pertamanya di Hogwarts itu.

"Aku tak mungkin meninggalkanmu sendirian di sini Hermione," tolak Harry segera, menggosok-gosokkan kedua telapak tangan sampai berasap. Bergerak maju mundur, Harry berupaya menghangatkan sendi-sendi tubuh yang membeku terkena hantaman angin malam.

Meskipun keletihan luar biasa mendera tubuh, mengingat seharian ini ia disibukkan dengan aktivitas sekolah dan latihan Quidditch, Harry tak mau meninggalkan Hermione. Tak mau meninggalkan seorang gadis yang sudah dianggap sebagai adik perempuan yang paling disayangi.

Membenahi posisi duduk, Harry berusaha bersikap tegar. Sayangnya, kebulatan tekad tersebut dinodai dengan kuap samar yang tak bisa ditahan. Kuap lebar yang menandakan kalau pemuda berambut sehitam bulu gagak itu mulai mengantuk dan butuh beristirahat di tempat tidur secepatnya.

Melihat kondisi lunglai Harry, perasaan bersalah menerkam Hermione. Menggenggam tangan Harry yang sedingin balok es, Hermione mempersilahkan teman terbaiknya itu untuk kembali ke Ruang Rekreasi.

"Sebaiknya kau kembali ke asrama, Harry. Kau bisa meninggalkan Jubah Gaib di sini sehingga aku bisa leluasa kembali ke Menara Gryffindor tanpa ketahuan," pinta Hermione, menunjuk selimut transparan yang tergeletak rapi di dekat tungkai kurus Harry.

Menimbang jawaban selama beberapa saat, Harry akhirnya mengalah. Sebenarnya, ia amat enggan meninggalkan Hermione sendirian di atas bukit, namun kelopak matanya mulai terasa berat seperti diganduli sekarung batu kali. Tak cuma itu, tulang belulangnya juga menjerit nyaring dan menuntut untuk segera dibaringkan di ranjang empuk.

Mencium pipi Hermione dengan penuh kasih sayang, Harry mengucapkan selamat malam seraya mendoakan agar teman dekatnya bisa segera melihat bintang jatuh malam ini juga.

Membalas lambaian tangan Harry dengan senyuman hangat, Hermione berbisik meminta maaf dalam hati. Memohon pengampunan karena tak mengatakan alasan sejujurnya mengapa dirinya berniat menyaksikan hujan bintang jatuh di Hogwarts.

Sepeninggal Harry, Hermione kembali mengawasi langit malam dengan saksama. Mengucapkan doa sekhusyuk dan sekhidmat mungkin, Hermione berharap Tuhan bermurah hati padanya. Berkenan mengirimkan barisan ekor cahaya yang amat didambakannya.

Kesabaran Hermione dalam menunggu akhirnya berbuah manis. Tak lama setelah memanjatkan doa, seekor bintang jatuh melesat di atas langit. Bangkit secepat kilat, dengan jantung berdebar-debar Hermione menyaksikan satu persatu cahaya putih kemerahan berpijar di angkasa.

Panorama megah penuh cahaya yang terhampar membuat Hermione ternganga. Iris cokelat jernih Hermione yang bersih dan bersinar berbinar-binar menatap ratusan bintang jatuh yang berlarian memenuhi langit malam. Suasana mistis terasa lekat memayungi area bukit, aura magis yang membuat seluruh bulu di tubuh tegak berdiri.

Tak membuang banyak waktu, Hermione berteriak lantang. Berpijak di bawah siraman bintang jatuh yang menyinari, Hermione mengatupkan kedua bilah tangan. Dengan penuh konsentrasi memanjatkan permintaan terbesarnya. Keinginan yang selama ini selalu diutarakan di setiap tarikan napasnya.

"Aku ingin menikah dengan Theodore Nott!"


"Menikah denganku? Apa Father sudah gila?"

Membanting gelas brendi dengan hentakan keras, membuat cairan beralkohol itu tumpah ruah ke sekeliling meja, Theodore Nott memandang galak ayahnya yang duduk layu di sofa. Mata hijau daun Nott menyipit segaris, mencermati profil sayu ayahnya yang baru saja mendapat pembebasan bersyarat dari hotel prodeo paling sadis sedunia, Azkaban.

"Ini memang gila, Theo. Tapi hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa lepas selamanya dari neraka Azkaban," suara lirih Mister Nott terdengar menyayat hati. Manik hijau pekatnya yang serupa dengan putranya menyorot hampa, menampakkan aura putus asa yang menggila. Aura kesengsaraan yang pastilah timbul akibat siksaan penjaga Azkaban yang tak mengenal belas kasih. Kawanan Dementor yang mendapat kesenangan dengan menghisap habis jiwa dan semangat hidup para tawanan.

"Aku tak mungkin bersatu dengan Darah Lumpur! Itu sama saja mencemari pohon keluarga kita yang suci!" Nott kembali berteriak, mengepalkan tinju di meja marmer. Kuatnya hantaman membuat permukaan kaca meja retak sebelum hancur berkeping-keping tak bersisa.

Menautkan jemari dengan gelisah, Mister Nott meringis mencermati kemurkaan putra semata wayangnya. Sebenarnya, ia juga tak mau menodai silsilah keluarganya yang terpandang. Keluarga terhormat yang sejak berabad-abad lalu terkenal selalu berdarah murni.

Tapi apa daya, demi membebaskan diri seutuhnya dari jeruji bui, ia terpaksa menempuh jalan nista yang pasti membuat kakek moyangnya mengamuk di dalam kubur.

Menikahkan putra tunggalnya dengan Darah Lumpur Hermione Jean Granger...

"Selain itu, Father tahu kalau aku sudah bertunangan dengan Daphne! Apa Father sudah lupa dengan fakta tersebut?" Nott membanting botol brendi ke jendela kaca hias. Pecahan beling botol dan kaca jendela pecah berhamburan, mengotori lantai keramik yang terbalut permadani beludru Turki.

Mengeluh singkat, Mister Nott menundukkan wajah dalam-dalam. Tentu saja ia mengetahui dan tak melupakan fakta pertunangan tersebut. Rencana pernikahan yang digagas semenjak putra tunggalnya terlahir ke dunia, dua puluh tiga tahun silam. Perjodohan antar klan darah murni yang saling menguntungkan, tak ubahnya simbiosis mutualisma di dalam ekosistem.

"Apa boleh buat, Theo. Pertunanganmu dengan Daphne tampaknya harus dibatalkan," bisik Mister Nott lemah, memijat-mijat pelipis cekung yang berdenyut-denyut.

Reaksi Nott persis seperti prediksi yang diramalkan ayahnya. Mengambil tongkat sihir dari balik jubah dengan kecepatan gila-gilaan, Nott mengayunkan tongkat andalannya. Membuat seisi ruang keluarga rusak berantakan dengan sekali jentikan.

"Aku tak mungkin memutuskan Daphne, Father! Aku mencintainya!"

Jeritan kemarahan Nott bergaung di ruang keluarga yang kini terlihat seperti habis dilindas sepasukan artileri. Mencengkeram tepi meja dengan kekuatan yang bisa meremukkan benteng Romawi, Nott memandang ayahnya dengan pandangan menantang.

"Cinta," Mister Nott mendengus keras, warna mata hijau tajam dan khas-nya yang tampak lelah menyorot skeptis. Menyenderkan punggung kaku ke bantalan sofa yang untungnya tak dihancurkan anaknya, Mister Nott menyilangkan kaki, berharap dengan mengubah posisi duduk bisa melunturkan keletihan yang menyelimuti tubuh.

"Sepertinya Daphne tak mencintaimu, Theo. Lihat saja, ia terus-menerus menunda rencana pernikahan kalian. Pernikahan yang seharusnya sudah terjadi sejak enam tahun lalu," ulas Mister Nott, sengaja tak menyebutkan poin minor dan kekurangan Daphne yang lain seperti sering meminta dibelikan beraneka ragam barang mahal yang tak jelas kegunaannya.

Melotot tak terima, Nott menggebrak meja marmer dengan satu terjangan, membuat mebel sekeras baja itu berubah menjadi seonggok debu. Menjulang memandang ayahnya dengan sorot mengancam, Nott meneriakkan penyangkalan dengan membabi-buta.

"Itu semua karena kau, Father! Kalau kau tak menjadi narapidana Azkaban, aku pasti sudah menikah dengan Daphne!"

Melambaikan sebelah tangan, meminta tanpa suara agar anaknya menurunkan acungan kurang ajarnya, Mister Nott menatap balik putranya yang berkeriut marah. Menaikkan alis dengan susah payah, Mister Nott berusaha meruntuhkan kekerasan hati anaknya. Kekerasan tekad yang bisa membuatnya terkurung selamanya di dasar neraka Azkaban.

"Jika Daphne benar-benar mencintaimu, ia tak akan peduli dengan semua itu. Nyatanya, ia lebih mempedulikan status dan reputasi ketimbang mengikatkan diri denganmu."

Menggeram seperti banteng rodeo terluka, Nott meludah ke lantai. Mengepalkan tangan erat-erat di kedua sisi tubuh, Nott menggerundel berang karena tak mampu membalas komentar menyengat ayahnya.

Sedikit banyak Nott mengakui kalau ayahnya memang benar. Sejak lulus dari Hogwarts, enam tahun lalu, sudah puluhan kali ia mengajak Daphne untuk naik ke pelaminan. Namun, dengan berbagai alasan, gadis seksi alami berpostur tinggi ramping itu bersikukuh mengulur-ulur waktu pernikahan. Penundaan yang malah menggiringnya ke perangkap keputusan sulit seperti sekarang ini.

"Memangnya ada jaminan kalau kau benar-benar dibebaskan jika aku menikahi Darah Lumpur kotor itu?" Nott bertanya kasar, mengalihkan pembicaraan dari topik sikap plin-plan Daphne yang sering membuatnya sakit kepala.

Mengawasi anaknya dengan cermat, sedikit sinar harapan terbersit di iris hijau Mister Nott. Sepertinya, pembahasan tentang keengganan Daphne untuk menikah membuat keteguhan tekad putranya sedikit mengendur. Sebelum akal sehat dan kewarasan anaknya kembali, salah satu personel lingkaran dalam mendiang Lord Voldemort itu buru-buru buka suara.

"Menteri Sihir Kingsley Shacklebolt sendiri yang menggaransi kalau aku akan dibebaskan sepenuhnya. Katanya, pernikahan ini berguna untuk menjembatani jurang perbedaan antara darah murni dengan penyihir kelahiran Muggle."

"Menjembatani apanya?" Nott membentak lancang. Mengacak-acak rambut cokelat kehitaman hingga sekusut baju para peri rumah, Nott kembali berceloteh brutal.

"Sampai neraka membeku atau matahari terbelah pun dinasti darah murni tak bisa disamakan dengan kaum darah sampah!"

"Untuk hal itu, aku sepakat denganmu, Theo," ujar Mister Nott kalem, berharap bisa memadamkan api amarah yang membakar saraf putranya. Berdeham serak, melepaskan ludah yang menyumpal tenggorokan, penyihir paruh baya itu menatap putranya dengan sorot memelas.

"Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan untuk melepaskan diri dari neraka dunia ini? Hanya ini satu-satunya kesempatan kita, Theo."

Mendengus gusar, Nott memalingkan wajah, menghindari tatapan nestapa ayahnya. Tatapan mengiba yang mengirimkan ribuan tusukan rasa bersalah di sanubari.

Biar bagaimanapun juga, Nott tak bisa membiarkan ayahnya mendekam seumur hidup di Penjara Sihir Azkaban. Biar bagaimanapun juga, ia bisa tumbuh sebesar ini berkat kontribusi dan pola asuh ayahnya. Seorang ayah yang mendedikasikan hidup untuk buah hati semata wayangnya.

"Tolonglah, Theo. Jangan biarkan ayahmu yang sudah tua ini mati tersiksa di sana," suara Mister Nott terdengar pecah, menggantung samar-samar di udara.

Jika tak mengingat norma, Mister Nott mungkin sudah bersujud dan menciumi telapak kaki anaknya. Menyembah-nyembah dan berharap pewaris utamanya bersedia berkorban demi kebebasan dirinya.

Permintaan tolong yang diucapkan terbata-bata itu menghancurkan tanggul harga diri Nott. Beranjak mendekati postur ringkih ayahnya, senyum terpaksa terulas di bibir menawan Nott yang tajam mematikan. Menepuk lembut pundak kurus ayahnya, dengan ogah-ogahan Nott mengeluarkan persetujuan.

Persetujuan yang akan mengubah jalur kehidupan keluarga besar Nott untuk selama-lamanya...

"Baiklah, Father. Demi dirimu aku akan menikah dengan si Darah Lumpur Granger..."


"Menikah dengan Theodore Nott? Demi kolor Merlin yang paling dekil, apa kau gila, Hermione?"

Tanpa mengangkat muka dari lembaran berkas kerja yang menumpuk berantakan di atas meja, Hermione menghela napas pendek. Tak menghiraukan gerutuan panjang pendek yang bergema di lubang kuping, Hermione menelusuri gulungan perkamen yang menentukan kelangsungan masa depannya.

Gulungan panjang perkamen yang memuat syarat dan hal penting lain terkait rencana pernikahannya. Rencana pernikahan yang membuat dua teman laki-lakinya mencak-mencak seperti habis menelan sekarung Manisan Meriang.

"Aku tidak gila, Ron. Pernikahan ini merupakan langkah pertama untuk menyatukan dua kubu yang berbeda. Jika pernikahan ini sukses, maka tak ada alasan bagi ningrat darah murni lainnya untuk menolak pembauran," jawab Hermione sepintas lalu, terus memelototi deretan huruf kecil-kecil yang tersusun rapi.

Mondar-mandir dengan berisik, persis seperti jembalang yang terkurung di kandang, Ron berkomat-kamit tak karuan. Mengomeli keputusan impulsif Hermione untuk mengikatkan diri dengan keturunan Pelahap Maut bengis yang di masa lalu terlibat dalam pembantaian umat manusia.

"Pasti ada cara lain, Hermione. Tak semestinya kau mengorbankan diri seperti ini. Sialan si Kingsley Shacklebolt itu!" gerung Ron murka, mengibas-ngibas udara dengan tikaman tinju, membayangkan menggilas kepala botak tak berambut si Menteri Sihir dengan hantaman buku-buku jari.

Memejamkan mata sejenak, Hermione menghirup udara dalam-dalam, berupaya menguraikan rasa kalut yang menghampiri. Perasaan cemas yang muncul setelah menyaksikan kemarahan Ron yang tak terkendali.

"Ron benar, Hermione," Harry yang sedari tadi merenung di bangku dekat jendela mendadak membuka mulut. Mata hijau cerah Harry yang berbentuk buah badam menatap lurus, membuat gadis berhidung penuh bintik itu terduduk rikuh.

"Pasti masih ada jalan lain untuk menyatukan darah murni bangsawan dengan penyihir kelahiran Muggle. Pernikahan di dunia sihir itu untuk selamanya, Hermione. Hanya kematian yang bisa memisahkan ikatan suci itu," Harry berbicara panjang lebar, terus mengebor Hermione dengan tatapan menyelidik.

"Nanti aku akan bicara empat mata dengan Kingsley. Siapa tahu ia mau membatalkan skenario tak masuk di akal ini," janji Harry, disambut anggukan kompak Ron yang masih sibuk memeragakan gerakan tinju.

Iktikad Harry membuat Hermione menghentikan tarian mata di lembaran perkamen. Menggulung tumpukan jurnal penting serapi mungkin, Hermione memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sejujurnya.

"Sebenarnya, pernikahan campuran ini bukan ide Kingsley," beber Hermione, meringis tajam ketika umpatan nyaring terlontar dari sela bibir Ron.

"Aku yang mengusulkan gagasan ini. Aku yang mengajukan diri untuk menjadi calon pendamping Theodore Nott."

Keheningan sesaat melanda ruang kerja Hermione yang berbau aroma vanila. Hanya dengkur manja Crookshanks dan detak jantung tiga insan sajalah yang mengisi atmosfer ruangan berperabot kayu walnut itu.

Setelah terdiam beberapa saat, kebekuan pecah dengan rentetan dampratan tak percaya yang melesat dari kerongkongan Ron. Tampaknya, pria darah murni yang tengah merintis karier di Departemen Auror itu sudah tersadar dari sindrom mati rasa sesaat yang melanda.

"Pantat Monyet! Hermione, kau sudah sinting ya? Menawarkan diri untuk menikahi begundal tengik seperti Nott?" Ron menjerit lantang, volume suara histerisnya bahkan tak kalah tinggi dari ratapan melengking gerombolan ikan duyung di Danau Hitam Hogwarts.

Merebahkan bahu di bantalan kursi kerja yang empuk, Hermione menutup kelopak mata. Mencoba menenangkan diri dengan teknik pernapasan dan gerakan yoga sederhana yang dipelajarinya.

Sebenarnya, kemarahan Ron merupakan reaksi wajar yang sudah diprediksi. Namun, tatapan jijik yang mengalir dari manik biru Ron-lah yang membuat Hermione dicekam keresahan. Belum lagi dengan sorot terluka yang merebak dari paras Harry yang kini sudah bangkit dari posisi duduk.

"Untuk apa kau lakukan itu, Hermione? Bukankah kau tahu kalau Nott sudah bertunangan?" Harry bertanya gamang, beranjak mendekati Hermione yang membungkukkan wajah dalam-dalam.

"Betul sekali, Hermione! Seluruh penduduk planet bumi tahu kalau Nott akan menikah dengan Daphne Greengrass! Nona jelita berdarah murni yang jelas-jelas sepadan dengannya!" Ron membentak marah, rasa tersakiti dan terkhianati tercetak jelas dari setiap kalimat pedas yang melompat keluar.

Menengadah, Hermione menatap wajah Ron yang memerah marah. Sesungguhnya, hati Hermione seperti tertusuk sembilu ketika mendengar kata-kata Ron yang sarat nada melecehkan.

Tanpa Ron jelaskan pun, Hermione sudah tahu kalau dari segi fisik Daphne Greengrass sangat layak untuk Nott. Selain berdarah murni dan terlahir dari garis darah biru, alumnus rumah asrama Slytherin itu juga memiliki daya tarik seksual yang tak bisa ditolak.

Namun, dari aspek rohani, Hermione yakin kakak kandung tunangan Draco Malfoy, Astoria Greengrass itu tak sesuai untuk Nott.

Sejak kanak-kanak, Daphne terkenal egois, boros, materialistis dan gila popularitas. Tabiat busuk yang terlihat dengan keputusan Daphne untuk menunda-nunda tanggal pernikahan hanya karena status baru ayah Nott sebagai tahanan Azkaban.

"Daphne Greengrass tidak serius dengan Nott. Yang diinginkan Greengrass hanya popularitas serta ketampanan Nott," timpal Hermione sengit, menyilangkan lengan di dada dengan gerakan defensif.

Dengusan merendahkan Ron berdengung di bangsal luas tersebut. Ruangan megah yang diperoleh Hermione sejak setahun lalu. Atau tepatnya sejak Hermione diangkat sebagai Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Salah satu Departemen paling elit dan mentereng di Kementerian Sihir Inggris.

"Tahu apa kau tentang perasaan Greengrass, Hermione?" sungut Ron mencela, menatap Hermione seakan-akan teman perempuannya itu tak ubahnya upil naga panas besar-besar yang nekat menempel di sol sepatu.

"Tentu saja aku tahu, Ron! Aku mencintai Nott!" tanpa sadar Hermione berteriak, membongkar tuntas semua rahasia terdalam. Tak pelak, pengungkapan rahasia tersebut membuat kesunyian mencekam kembali tercipta untuk kedua kalinya.

"Cinta? Kau mencintainya, Hermione?" Ron dan Harry bertanya serempak. Kilat ketidakpercayaan melesat jelas di manik bola mata mereka. Melihat anggukan mantap Hermione, kedua pria dewasa itu kembali mendesah tak berdaya, tanpa sadar bergerak bersamaan ke sofa berlapis beledu nila yang terletak di pinggir ruangan.

Menghenyakkan pinggul di sofa empuk, Ron dan Harry bergumam tak tentu arah. Merapikan anak rambut yang bergelantungan di dahi, mata cokelat Hermione menatap cemas. Bersiap-siap menanti respon lanjutan dari dua teman terbaiknya.

"Sejak kapan kau mencintainya, Hermione? Kenapa selama ini kau tak pernah mengatakan hal itu pada kami?" Harry memecah kesenyapan dengan pertanyaan yang pastilah juga ingin diajukan Ron.

Mengawasi Hermione yang bangkit perlahan-lahan dari kursi, Harry melenguh lelah, merutuki dirinya yang lengah dan tak mau melihat jauh ke dasar hati Hermione.

"Sejak tahun pertama di Hogwarts, Harry," aku Hermione, berjengit ketika Ron kembali memprotes liar dan emosional, mempertanyakan mengapa Hermione tega merahasiakan hal sepenting itu darinya.

Berjalan gemetar seakan menuju tiang gantungan, Hermione memanjatkan doa di setiap ayunan langkah. Berharap Harry dan Ron mau memahami keinginan terbesarnya. Harapan yang akhirnya bisa terkabul setelah dirinya mengucapkan doa di bawah hujan bintang jatuh di Hogwarts, tujuh tahun lalu.

"Aku sangat mencintainya, Harry. Aku yakin bisa membahagiakan Nott seumur hidupnya," ucap Hermione lirih. Manik Hermione berkaca-kaca, air bening mulai menggantung di sudut mata saat kenangan tentang kehampaan masa remaja Nott terekam ulang di benak. Kenyataan suram yang diketahui berkat pengintaian mendalamnya. Pengawasan setiap malam yang dilakukan melalui balkon dan birai jendela Menara Astronomi.

"Mungkin kau bisa membahagiakan Nott, Hermione. Tapi, bajingan brengsek itu tak bisa membahagiakanmu," Harry mengertakkan gigi tak sabar, menyadarkan Hermione dari nostalgia masa remaja Nott yang menyedihkan.

Memandang Hermione yang berdiri gugup, bola mata hijau zamrud Harry menyorot waspada, bersiap-siap menggoyahkan kebebalan otak sobat perempuannya dengan seabrek fakta yang ditelaah.

"Nott tidak mencintaimu, Hermione. Dia mencintai Greengrass. Kau akan menderita jika hidup bersamanya."

Mengangguk cepat-cepat, persis seperti ayunan rusak, Ron mendukung penuh fakta-fakta yang dijabarkan Harry. Melanjutkan omongan Harry, Ron dengan berapi-api membeberkan kelebihan Daphne Greengrass.

Menurut Ron, secara kasat mata, siapapun bisa melihat kalau Nott lebih memuja Daphne yang secantik peri embun ketimbang gadis jelata bergigi kelinci seperti Hermione. Selain itu, prinsip superioritas darah murni yang diusung Nott membuat Ron yakin kalau Hermione akan tersiksa selama menetap di Nott Manor.

Setelah Ron selesai mengaduk bara kemarahan, Hermione memberanikan diri mengambil posisi di antara dua sahabat baiknya. Meringkuk kikuk di tengah-tengah, Hermione bersusah-payah memandang langsung ke iris gemerlap Harry yang dipenuhi kabut penyesalan.

"Mungkin saat ini Nott tak mencintaiku. Tapi, aku yakin jika dirawat dengan baik, cinta akan tumbuh. Aku optimis bisa hidup bahagia bersama Nott," tutur Hermione lugas, meraih jemari Harry yang sekaku linggis.

"Tumbuh? Memangnya cinta seperti tanaman yang bisa tumbuh seenaknya, Hermione?" Ron mendesis ketus penuh kejengkelan, terus membantah semua argumentasi yang diajukan gadis yang pernah disukainya. Penyihir kelahiran Muggle yang dua tahun lalu menolak lamaran pernikahan yang diajukannya.

"Ya, Ron! Cinta tak ubahnya tanaman. Akan tumbuh mekar dan berbunga jika dipupuk dan disirami. Cinta juga bisa layu dan musnah jika tak dirawat semestinya," balas Hermione keras, mati-matian menahan keinginan melotot dan membelalakkan mata lebar-lebar. Di kondisi seperti ini, Hermione merasa dirinya tak punya hak untuk menggurui maupun bersikap sok ngebos seperti biasanya.

Membanting punggung ke sandaran sofa, Ron menutupi wajah dengan kedua tangan. Di samping kanan Hermione, Harry menyisiri rambut kusut masai dengan gerakan frustrasi, bingung harus mengambil langkah apa di tengah keputusan bak memakan buah simalakama ini.

Jika ia bersikeras menolak, itu sama saja mematahkan semangat Hermione. Tekad kuat yang membuat wajah sahabat karibnya bersinar seperti bunga matahari di musim panas.

Sebaliknya, jika menerima kondisi ini, Harry khawatir Hermione yang naif dan polos bakal mati menderita di Nott Manor. Merana tak kerasan di kastil megah berdinding batu yang terkenal dingin dan suram.

"Apa kau tak bisa mengubah keputusanmu, Hermione? Kau bisa dicemooh dan menjadi buah ejekan banyak orang. Kau bisa digunjingkan sebagai perebut tunangan orang," Ron terus mencecar Hermione. Warna mata Ron yang bagaikan langit mengirimkan pandangan menusuk yang menggerus ketenangan batin Hermione.

Menggenggam tangan Harry dan Ron, yang untungnya tak menampik uluran jemarinya, Hermione menarik dan menghembuskan napas pelan-pelan. Sejujurnya, semua kekhawatiran yang tadi dilontarkan Ron sudah dipikirkan Hermione masak-masak.

Hermione tahu, stigma buruk dan prediksi miring pasti menerpa. Tapi, itu semua tak sebanding dengan manfaat yang bisa dibawanya untuk memperbaiki keluarga Nott. Keluarga yang sejak dulu sudah ingin diboyongnya ke gerbang kebahagiaan.

Selain itu, penjelasan Nott tentang kondisi terakhir hubungannya dengan Daphne kian meneguhkan tekad Hermione untuk terus melanjutkan rencana pernikahan.

"Tolong mengertilah, Ron. Aku tak bisa mundur lagi. Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya aku bisa meraih impianku," bisik Hermione lirih, mengawasi jari kecilnya yang terjalin rapat dengan jemari kekar dua teman terdekatnya.

Saling melempar pandang getir, Ron dan Harry akhirnya mengalah. Merangkulkan kedua lengan mereka di bahu Hermione, dua Auror muda yang dielu-elukan kaum wanita di dunia itu membisikkan doa restu mereka. Persetujuan yang membuat hati Hermione kembali berbunga-bunga.

"Kau teman kami, Hermione dan kami akan selalu mendukungmu dalam suka dan duka. Ingat, jika ada masalah, jangan ragu untuk berbicara pada kami," Harry mencium pipi kanan Hermione dengan kelembutan seorang kakak laki-laki.

Di sisi kiri Hermione, Ron memberengut masam sebelum mengecup halus pipi Hermione. Pipi seorang gadis yang dulu pernah mengisi tempat istimewa di hati.

"Benar, Hermione. Jika pria brengsek sombong itu membuatmu menderita, segera melapor pada kami. Biar kami ledakkan testis dan kandung kemih bajingan sialan itu hingga tak bersisa," ancam Ron beringas, menepuk-nepuk lembut pipi Hermione dengan telunjuk.

Merebahkan diri di dekapan dua sahabat baiknya, Hermione mendesah lega. Akhirnya, setelah menunggu bertahun-tahun, permintaan utamanya dikabulkan juga. Akhirnya, setelah sekian lama menanti, ia bisa merealisasikan mimpi terbesarnya.

Menikah dengan pria yang sudah dicintai sejak masa kanak-kanak...


"Jangan bersikap kekanak-kanakan, Nott!"

Memuntir tongkat sihir di udara, Draco Malfoy merapalkan mantra non-verbal, mantra yang diperlukan untuk memperbaiki kekacauan yang terserak di sekitarnya. Melambaikan tongkat ke pecahan beling, Malfoy mengembalikan serpihan kaca ke wujud asli. Dalam sekejap, cermin besar dan kandil kristal yang tadi rusak tak beraturan dihantam kutukan membabi-buta kembali ke bentuk semula.

"Hidupku hancur, Malfoy! Hancur! Dan itu semua gara-gara rencana pernikahan menjijikkan dengan si Darah Lumpur Granger!" Nott membuat suara kasar, menggosok-gosokkan tangan dengan frustrasi di leher belakang. Mata hijau rumput gelapnya sedikit memerah, efek dari bergalon-galon Wiski Api yang ditenggak sejak pagi tadi.

Memicingkan mata sombong yang berkilat keperakan, Malfoy mencermati siluet bekas teman sekamarnya di Sekolah Sihir Hogwarts. Sudut bibir tipis Malfoy menukik ke bawah, membentuk seulas senyum muram ketika melihat bahu Nott yang merosot. Sepertinya, rencana pernikahan dengan Hermione membuat motivasi salah satu idola Slytherin tersebut anjlok ke titik nol.

"Mau bagaimana lagi, Nott. Kalau kau tak menikahi Granger, ayahmu akan diseret kembali ke Azkaban. Saat ini dia cuma bebas sementara karena Menteri Sihir kita yang terhormat, si gundul Kingsley Shacklebolt itu yang menjaminnya," tutur Malfoy jemu, nada bosan tersirat dari irama kalimat yang sengaja diulur-ulur.

"Ya! Dan jika aku menolak si Kingsley bakal mencabut garansi pembebasan! Hah, aku yakin dia pasti berkolaborasi bersama Granger untuk menjebakku!" Nott menggeram sebal, merobek-robek koran Evening Prophet yang menampilkan foto Kingsley yang tengah berpidato penuh wibawa di konferensi meja bundar.

"Menurut informan rahasia yang aku sewa, si jalang Granger itulah yang mengajukan usulan pernikahan campuran menjijikkan ini," Malfoy memiringkan wajah, dengan serius mengawasi serpihan foto Kingsley yang tersebar di atas karpet. Mengacungkan koran Daily Prophet yang memajang foto Hermione, Malfoy bersiul menyebalkan.

"Tak kusangka kalau Granger seculas itu. Memanfaatkan jabatan penting sebagai Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir untuk mendapatkanmu," Malfoy melemparkan kening berkerut sebelum membakar koran yang memuat gambar Hermione dengan sekali ayun tongkat sihir.

Mendesis melalui gigi yang mengertak, Nott menghentakkan tubuh di ranjang emas berhias kelambu sutra. Kelembutan kasur bulu angsa kualitas utama yang melingkupi raga tetap tak mampu membuyarkan bara yang melanda. Menatap kanopi ranjang dengan pandangan kejam, Nott mendengus muram.

"Granger memang benar-benar memuakkan. Setelah mengawasi dan membuntuti diam-diam setiap malam, sekarang dia berani menancapkan cakar sampahnya di hidupku," sungut Nott keras, mengingat kembali masa-masa di Hogwarts. Era di mana ia sering memergoki Hermione menatap diam penuh pengharapan dari balik balkon Menara Astronomi.

'Ugh, seandainya saja aku bukan anak tunggal ataupun anak piatu tanpa ibu," Nott menggebuk kasur bulu kuat-kuat, nyaris membuat bulu angsa yang tersimpan di dalam matras melesak keluar. Menelengkan kepala, mengawasi Malfoy yang bersandar malas di dekat perapian, Nott kembali berkeluh kesah.

"Kalau aku punya saudara laki-laki, aku bisa mengalihkan beban memuakkan ini padanya. Begitu juga kalau aku punya ibu yang culas dan panjang akal seperti ibumu," Nott mengeras kesal, menunjuk muka runcing pucat Malfoy yang mendecak tertawa dengan acungan jari telunjuk.

Tergelak pelan, Malfoy mengangkat botol Wiski Api yang tergeletak di dekat rak perapian. Menuangkan cairan pekat kemerahan ke piala emas berbordir lambang keluarga Nott, Malfoy mengacungkan gelas dalam posisi bersulang.

"Aku memang beruntung karena memiliki ibu yang cerdik dan pandai memanipulasi situasi," Malfoy mereguk Wiski Api dengan penuh gaya.

Merapikan rambut sewarna bulan purnama hingga licin klimis, Malfoy tanpa segan memugar ingatan, menggembar-gemborkan tindakan heroik yang dilakukan ibunya, Narcissa Malfoy di Perang Besar Hogwarts, enam tahun lalu.

Aksi spontan yang berujung pada pulihnya nama baik dan masa depan keluarga Malfoy.

Kala itu, di pertempuran akbar melawan Lord Voldemort, Narcissa Malfoy mengambil keputusan final yang memastikan kemenangan Harry Potter dan Orde Phoenix.

Saat dituntut menginspeksi kondisi Harry yang tumbang pasca terkena kutukan Avada Kedavra di Hutan Terlarang, Narcissa Malfoy menyatakan bahwa Harry telah kehilangan nyawa. Dusta yang membuat Lord Voldemort terlena sehingga mudah untuk ditundukkan.

Usai jatuhnya rezim jahanam sang Pangeran Kegelapan, sidang untuk mendakwa dan mengadili pasukan Pelahap Maut segera dilangsungkan. Di pengadilan sihir itu, Narcissa Malfoy mendapat hasil manis dari kebohongan yang diucapkannya di Hutan Terlarang.

Harry yang merasa berhutang budi meminta hakim Pengadilan Sihir Wizengamot untuk membebaskan klan Malfoy dari tudingan penggulingan takhta Kementerian Sihir. Berkat koneksi Harry itulah, Draco Malfoy dan ayahnya, Lucius Malfoy lolos dari jerat sel sempit Azkaban.

"Tak usah memikirkan hal yang tak kau miliki, Nott," umbar Malfoy sok arif cendekia. Ucapan sok bijak yang disambut Nott dengan lirikan berapi-api.

"Lebih baik kau memfokuskan diri pada masalah pelik paling penting yakni bagaimana caranya menyampaikan hal memalukan ini pada Daphne," seru Malfoy, memainkan jemari di ujung cawan emas yang berisi cairan Wiski Api.

"Aku yakin, api neraka jauh lebih teduh ketimbang bara kemarahan yang akan diumbar Daphne begitu ia mengetahui kau memutuskan pertunangan hanya untuk menikahi Granger," timpal Malfoy provokatif.

Bibir Nott menipis segaris mendengar komentar bekas teman seasramanya. Malfoy benar, Daphne yang emosional dan temperamental pasti tak akan terima jika mengetahui pembatalan pertunangan ini. Skema perjodohan yang sudah diabadikan semenjak mereka terlahir ke dunia dua puluh tiga tahun lalu.

"Sial! Sial! Sial!" Nott merutuk, merenggut ujung rambut cokelat kehitaman dengan tangan. Bayangan kehilangan Daphne, makhluk seksual berdaya pikat kuat yang sudah bertahun-tahun dikencani dan ditiduri membuat perut Nott bergejolak. Rasa mual yang semakin menggila ketika bayangan wajah berbintik-bintik Hermione berkelebat di iris hijau gelapnya.

"Ini semua karena pelacur Darah Lumpur kotor itu! Ini semua karena rencana busuknya untuk memanfaatkan posisi ayahku yang terjepit di Azkaban," Nott mengerang kasar. Menutup mata erat-erat, bekas Chaser tim Quidditch Slytherin itu membayangkan dalam-dalam, memvisualisasikan proses membantai Hermione dengan kutukan sihir hitam yang pernah dipelajari semasa remaja.

Gelak tawa menjemukan Malfoy mengalun di udara. Membuka kelopak mata, Nott mengirimkan tatapan menusuk ke arah teman sejak kecilnya. Tatapan menakutkan yang pasti membuat Lord Voldemort ngompol di celana saking ngerinya.

"Jangan ketawa, Malfoy! Ini tidak lucu, tahu!"

Tersenyum tanpa humor, Malfoy meletakkan piala Wiski Api yang sedari tadi dimainkan ke atas rak perapian pualam yang menyala hangat. Memasung Nott dengan pandangan spekulatif, pangeran tampan berambut pirang platina yang selalu bertingkah seakan-akan dirinya raja penguasa alam semesta itu mendengus mengejek.

"Aku tertawa karena kau sangat bodoh, Nott," Malfoy mengatupkan bibir dan bersiul, tetap maju pantang mundur kendati Nott yang mengambil sikap siap perang menambah intensitas sorot membunuh.

"Seingatku, dulu kau selalu bisa memutarbalikkan keadaan rumit dengan aneka permainan kreasimu," tuntut Malfoy menggurui, mengingatkan kembali masa remaja mereka yang penuh hura-hura. Masa berfoya-foya yang lekat dengan aneka kegembiraan licik mematikan, termasuk permainan adu perasaan yang sempat membuat perawan-perawan Ravenclaw dan Hufflepuff berendam dalam kubangan air mata penderitaan.

Ingatan tentang kejahilan zaman muda mereka membuat Nott tersenyum mengerikan. Ya, dari sekian banyak intrik keji yang dilakoni murid Slytherin untuk mengadu domba dan memecah belah hati, mayoritas di antaranya berasal dari pemikiran kreatif dan inovatifnya.

Bangkit dari ranjang, Nott berjalan mendekati Malfoy yang menyilangkan kaki di dekat marmer perapian. Senyuman sangat tipis, senyuman yang membuat bibir seolah tak bergerak terpatri sekilas di wajah Nott yang tampan menawan. Wajah bangsawan yang kini dihiasi semburat ekspresi sarat perhitungan.

"Kau benar, Malfoy. Aku memang benar-benar idiot," Nott pelan-pelan menyeringai, menampakkan barisan gigi putih yang terawat baik. Memandangi paras Malfoy yang mengeras, Nott kembali membuka mulut.

"Sebagai seorang pria alfa dominan dan kreator permainan, seharusnya aku tak boleh berpangku tangan. Si Darah Lumpur Granger sudah membuat hidupku menderita dan aku bersumpah akan menyeretnya ke neraka dunia."

Sepasang kolam perak Malfoy berkilat melihat seringai jahat yang tersungging di wajah Nott. Menepuk bahu Nott, Malfoy menyuarakan persetujuan. Persetujuan untuk mendukung konspirasi biadab yang akan mereka terapkan pada Hermione Jean Granger.

Pada singa betina Gryffindor yang nekat mengguncang kandang ular Slytherin...


"Sekalinya ular, pasti akan tetap ular. Mereka punya lidah bercabang dua, Hermione. Jadi, jangan lekas memercayai semua omongan ular berjas rapi itu."

Menelan habis teh kayu manis dengan sekali regukan, Hermione menahan keinginan menyumpal mulut besar Ron dengan tumpukan piring kotor yang menggunuk di atas meja.

Rupanya, meskipun empat pekan lalu Ron sudah menyetujui keinginan Hermione untuk menikah dengan Nott, lelaki tinggi berwajah penuh bintik itu belum ikhlas sepenuhnya. Terbukti sampai di resepsi pernikahan hari ini, Ron terus menerus memanas-manasi Hermione dengan prasangka busuk dan prediksi buruk mengenai watak dan perilaku Nott.

"Terima kasih atas petuah hebatnya, Ron. Aku akan selalu mengingat baik-baik semua nasihat super yang kau berikan," balas Hermione sarkastik, tak luput menyertakan pandangan yang bermakna Ronald-Bilius-Weasley-kau-ada-dalam-masalah-besar-jika-tak-menutup-mulut-secepatnya.

Berkumur-kumur tak jelas, Ron merayap mendekati meja perabot kayu pinus di tengah ruangan, tanpa sungkan-sungkan mengambil dan mengganyang seloyang kerang mentega. Menghembuskan napas letih, Hermione menatap punggung kaku Ron sebelum mengalihkan perhatian ke sepenjuru arena, mengamati dengan penuh minat kesemarakan pesta resepsi yang digelar di ruang serbaguna Nott Corporation.

"Sedang mencariku, Sayang?"

Sapaan lembut itu membuat Hermione tersentak. Menengok pelan-pelan ke samping, Hermione disambut oleh senyuman memesona. Senyuman melelehkan hati yang berasal dari wajah menawan Theodore Nott. Penyihir berdarah murni yang baru saja dinikahinya beberapa saat lalu.

Merona, Hermione mengambil sekeping kue wijen yang disodorkan suaminya. Menggigit perlahan, pipi Hermione kian menghangat ketika Nott menyesap minuman sembari menatap dengan tatapan penuh arti.

"Pestanya meriah sekali, Nott. Padahal, aku sudah cukup senang dengan pesta kecil dan sederhana," ujar Hermione, memecah kebekuan dengan pertanyaan remeh-temeh yang melintas pertama kali di benak.

Merangkulkan lengan di pundak Hermione, membuat beberapa tamu undangan menyeringai penuh arti, Nott menundukkan wajah. Mengecup halus kepala Hermione yang dihiasi untaian mahkota mawar putih, Nott bergumam lembut.

"Aku sengaja menggelar pesta meriah ini untuk menyenangkanmu, Mrs Nott," Nott berbisik halus dengan suara selembut krim, tanpa ampun menggoda Hermione dengan hembusan napas harum yang berdesir memabukkan.

"Mulai hari ini kita sudah resmi menjadi suami-istri. Jadi, jangan memanggilku dengan cara formal seperti dulu. Kau harus membiasakan diri menyapaku dengan panggilan Theo."

Penuturan Nott yang diucapkan dalam nada mesra dan sarat keintiman membuat rona merah indah di wajah Hermione kian jelas tercetak. Merapatkan diri ke dalam dekapan kokoh suaminya, Hermione menatap bola mata Nott yang bercahaya.

Sinar kebahagiaan yang bertakhta di mata Nott membuat Hermione tak bisa menahan senyum lega. Dulu, semasa bersekolah di Hogwarts, ia selalu melihat bayangan duka setiap kali menyelam ke dalam samudra hijau Nott. Kini, lautan duka itu seolah luruh tak bersisa, hanya meninggalkan telaga hijau cerah yang tak berawan.

"Setelah resepsi selesai, kita akan menetap di Nott Manor," ujar Nott pelan, menenggelamkan Hermione ke dalam pelukan maskulin yang hangat mendebarkan.

Selama beberapa menit, Nott menciumi dan menyusuri puncak kepala Hermione yang seharum bunga limau dengan sapuan mulut. Tindakan romantis yang membuat dengkuran senang terlepas dari bibir mungil Hermione.

Menyelipkan satu jari ke dagu Hermione, Nott mendongakkan wajah Hermione yang merona. Mengecup puncak hidung Hermione yang memanas, Nott berujar lamat-lamat. Jejak penyesalan tercetak jelas di intonasi suara yang mengalir sendu.

"Maaf karena kita tak bisa pergi berbulan madu. Sebenarnya, aku ingin pergi bersamamu tapi aku tak punya waktu lebih."

Menggeleng samar, Hermione menjulurkan tangan, mengelus-elus garis rahang jantan dan tulang pipi Nott dengan jemari. Bagi Hermione, tak bisa berbulan madu ke tempat idamannya bukan masalah besar.

Pun begitu halnya dengan kewajiban tinggal di Nott Manor yang dingin dan muram. Kastil suram yang tak sebanding dengan pondok sederhana yang diidam-idamkannya. Rumah mungil penuh bunga yang menyajikan kehangatan ala keluarga.

"Tak apa-apa, Theo. Aku tahu, beban pekerjaanmu masih menumpuk sehingga kau tak punya waktu luang untuk berbulan madu," kata Hermione menenangkan, mengusir jauh-jauh bayangan liburan romantis di gugusan pulau Samudra Hindia, Maladewa.

Mengeluarkan tawa dalam yang merdu, Nott mengencangkan pelukan. Tak memedulikan siulan panjang yang menguar dari barisan tamu undangan, Nott mengisi Hermione dengan kenikmatan ciuman yang membakar. Ciuman lapar dan ganas yang meninggalkan jejak membara dan mendamba di sekujur tubuh Hermione.

"Aku benar-benar beruntung karena bisa menikahi penyihir pengertian sepertimu," bisik Nott, mengakhiri ciuman liar, agresif dan berapi-api dengan gigitan kecil di bibir bawah Hermione. Menyeringai puas melihat muka merona istrinya yang merah matang, Nott membenamkan kepala Hermione di dada yang sekokoh batu karang.

Dasar betina dungu, Nott merutuk dalam hati. Tepat sesuai dugaan, Hermione langsung terbang ke langit ketujuh begitu mengetahui ia setuju untuk menikah dengannya.

Padahal, ketika bertemu di kantor Hermione untuk menyampaikan kesanggupan dirinya, ia hampir meledakkan ruangan penuh bulu kucing jingga itu dengan kutukan Avada Kedavra. Hanya obsesi membalas dendam sajalah yang membuatnya bisa melalui pertemuan yang terjadi empat pekan lalu dengan selamat dan sejahtera.

Mengerling sejenak, mata Nott tertumbuk pada sosok ayahnya yang tengah berbincang empat mata dengan pejabat nomor satu Kementerian Sihir Inggris, Kingsley Shacklebolt.

Realita bahwa dirinya sudah bebas merdeka dari sekapan Dementor Azkaban membuat Mister Nott tak bisa menahan kegembiraan. Gelak tawa membahana seringkali terdengar dari pembicaraan dua penyihir berbeda prinsip ideologis itu.

Seolah sadar diintai, Mister Nott yang malam ini tampak agung dalam balutan pakaian resmi lengkap mengangguk panjang dan lambat ke arah putranya. Mengacungkan gelas berisi bir dingin dengan gerakan bersulang, Mister Nott menyunggingkan senyum tipis. Tatapan berterima kasih merebak jelas dari iris hijau hutan yang berkilau bahagia.

Melengos cepat, Nott menggemeretakkan gigi, bersusah-payah menyembunyikan kemarahan yang mulai menggerigiti jiwa.

Jika bukan karena ulah ayahnya, pria super alfa seperti dirinya pasti tak akan kena getahnya, berdiri di posisi hina dina seperti ini. Jika bukan karena status ayahnya yang narapidana, ia pasti sudah menikahi si seksi Daphne Greengrass. Bukannya Hermione Granger, penyihir sampah kelahiran Muggle yang terpaksa dipeluknya dengan kehangatan palsu.

Ketegangan di tubuh Nott rupanya dirasakan oleh Hermione. Mengangkat wajah, Hermione meneliti paras tampan Nott yang enak dilihat, mencari-cari sumber kekalutan yang dirasakannya barusan.

"Ada apa, Theo? Apa yang mengganggumu?"

Melempar jauh-jauh kebencian terselubung yang bisa membuat kedok terbongkar, Nott memasang tampang pura-pura sedih. Memainkan ikal lembut rambut Hermione yang terjatuh di pipi, Nott berbisik lirih. Suaranya terdengar getas dan miris, membuat batin Hermione teriris-iris.

"Aku hanya sedih karena tak ada satu temanku yang menghadiri hari bahagiaku," Nott berkata parau, memindai ruangan dengan pandangan buram.

Perasaan Hermione tumpang tindih mendengar kegetiran suara suaminya. Hermione paham, sebagai keturunan darah murni bangsawan, pada dasarnya Nott diharamkan menikah dengan penyihir kelahiran Muggle seperti dirinya.

Pembangkangan terhadap aturan main itu sudah pasti berujung pada pengucilan dan pengasingan.

Dengan kata lain, secara harfiah Nott sudah tersingkir dari pergaulan kasta darah murni. Titik tolak yang menjadikan pesta pernikahan mereka sepi dari kehadiran alumnus Slytherin maupun penyihir darah murni ortodoks lainnya. Kecuali klan Weasley tentunya, yang memang terkenal sebagai antek asimilasi.

"Maaf, Theo. Gara-gara menikah denganku kau harus terasing seperti ini," Hermione menggeleng menyesal, menghela napas dengan sedih sembari mengusap-usapkan pipi ke tuksedo putih Nott yang harum memesona. Menutup pelupuk, mata Hermione terpejam menikmati aroma jantan dan debar jantung suaminya yang berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya.

Melihat aksi empati terang-terangan itu, Nott mengulas senyum dengan bibir terkatup. Berjuang mengubur seringai puas yang mendesak untuk dipertontonkan, Nott menyoraki ketepatan prediksi mengenai kelembekan hati istrinya. Jiwa halus pemalu dan keluguan sepolos malaikat yang membuat misi balas dendam semakin mudah untuk dijalankan.

Balas dendam...

Ya, jika bukan untuk tujuan maha penting itu, mana mau Nott memeluk penyihir berpembuluh lumpur seperti Hermione. Jalang murahan yang menghancurkan masa depan indahnya. Masa depan bahagia yang sudah dirancangnya bersama Daphne Greengrass.

Daphne Greengrass...

Memikirkan Daphne, si gadis sintal yang cantik menggairahkan membuat api kemarahan menggelora di dada Nott. Menutup kelopak mata lekat-lekat, Nott mengingat kembali momen di mana dirinya harus menghadapi konfrontasi tajam dengan bekas calon istrinya itu.

Jika bukan karena Malfoy yang berbaik hati menemani, Daphne mungkin sudah mencincang habis tubuh tegap macho-nya dengan hantaman kutukan mematikan. Untungnya, berkat pengaruh permainan silat lidah Malfoy, Daphne berbaik hati menunda eksekusi mati dan meluangkan waktu untuk mendengar penjelasan di balik pembatalan pertunangan mereka.

"Theo, Theo..."

Panggilan samar-samar itu menyentakkan Nott dari serpihan kenangan mengenaskan yang terjadi empat minggu lalu. Menundukkan muka, Nott menatap wajah cemas Hermione. Sorot bertanya-tanya merebak dari kedua bola mata Hermione yang sebening kaca.

"Apa yang kau lamunkan? Kenapa wajahmu membatu seperti itu?"

Memaki dalam hati karena mengendurkan kendali diri, Nott mengumbar senyum imitasi. Senyum topeng yang tak berasal dari kedalaman hati.

"Aku sedang sibuk memikirkan masa depan kita. Masa depan kita yang penuh dengan kemesraan dan kehangatan," ucap Nott manis, terus menyunggingkan senyuman hangat dan maskulin, seringai menggiurkan yang selalu sukses membuat kaum wanita jatuh berlutut.

Melihat tatapan Nott yang sarat makna, Hermione menelan ludah, berusaha membasahi kerongkongan yang terasa sekering sungai di musim kemarau.

Oh Merlin, Hermione memuji di dalam hati, memonitor profil menawan suaminya dari atas ke bawah secara menyeluruh. Secara garis besar, suaminya memang benar-benar makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

Menelusuri ke atas, Hermione menatap rambut cokelat kehitaman Nott yang mengangguk-angguk lembut tertimpa angin pendingin ruangan. Bergerak ke bawah, mata Hermione menangkap lengkungan alis cokelat tebal Nott yang memayungi sepasang mata yang luar biasa. Mata yang melengkapi wajah menawan yang layak distempeli logo Kualitas Paling Super.

Mengeluarkan deham pelan, Hermione mengarahkan inspeksi ke tubuh atletis Nott yang menggugah selera. Raga bagaikan besi yang ditempa, minus otot kendur maupun lemak bergelambir. Tubuh pualam maskulin dan jantan yang sudah pasti diciptakan untuk memuaskan dan menyenangkan hati perempuan.

Pipi Hermione menghangat begitu pemikiran terakhir bergentayangan di otak. Tak mau terus menerus berpikiran jorok maupun memasang tampang mesum, Hermione mengeluarkan pertanyaan basa-basi. Pertanyaan yang diharapkan bisa mengembalikan kelogisan akal sehat yang sempat berceceran ke sembarang arah.

"Cincin pernikahan kita ini indah sekali, Theo. Ukurannya benar-benar sesuai di jari manisku," ucap Hermione, mengangkat tangan kiri, memperlihatkan cincin perak murni berukir yang berkilat-kilat diterpa lampu kristal.

Menyambar tangan Hermione, Nott menciumi jari manis istrinya dengan penuh kelembutan. Menahan seringai geli saat merasakan denyut nadi Hermione yang menggila, Nott memasang tampang suami budiman sebaik mungkin sewaktu memberi penjelasan seputar cincin pusaka keluarganya.

Menurut Nott, cincin magis berdesain kuno dan rumit itu hanya bisa dipakai oleh Nyonya penguasa Nott Manor. Seperti pernikahan kaum darah murni lainnya, di mana perceraian merupakan hal tabu, cincin itu merupakan bukti penyegel. Dengan kata lain, sekali terpakai cincin keramat itu tak akan bisa dilepaskan selamanya kecuali oleh kematian.

"Jadi, sampai kapanpun cincin ini akan melekat di jariku?" tanya Hermione takjub, berseri-seri memandangi cincin antik bermotif lambang keluarga Nott yang melingkar apik di jemari.

"Betul sekali, Sayang. Perceraian tak dikenal di kalangan darah murni. Perceraian di kalangan kami hanya terjadi jika kematian salah satu pihak terjadi," Nott menatap Hermione dalam-dalam, dalam diam menyumpahi peraturan tentang investigasi kematian yang dikeluarkan Kementerian Sihir seusai Perang Besar melawan Lord Voldemort, enam tahun lalu.

Jika saja undang-undang tentang penyelidikan kematian mencurigakan itu tak ada, Nott pasti langsung meracuni Hermione dengan cairan kimia asam sulfur, racun arsenik atau bisa ular paling mematikan detik ini juga.

"Perceraian hanya bisa terjadi jika kematian salah satu pihak terjadi," ulang Hermione lambat-lambat. Menurunkan jemari, Hermione menengadah, menyerap detail wajah suaminya yang memesona.

Memainkan dasi kupu-kupu putih yang dikenakan Nott, Hermione mengingat kembali lafadz baru yang ditambahkan ke dalam sumpah pernikahan mereka. Ikrar sihir yang dimasukkan secara diam-diam tanpa sepengetahuan suami tercintanya.

Suami tercintanya...

Melepas permainan jari di kepak tuksedo Nott, Hermione mendesah bahagia, mensyukuri berkah tak terhingga yang diterima. Kesempatan bersatu dengan pria yang membuat keseluruhan hidupnya terasa begitu sempurna.

Menatap penuh kasih profil tegap suaminya, Hermione berjanji di dalam hati. Mulai detik ini, ia akan melakukan apapun untuk membahagiakan Nott dan ayahnya.

Kebahagiaan yang pastilah tak akan didapatkan jika Nott bersanding dengan wanita lain selain dirinya...


"Tak ada wanita lain yang bisa menandingimu, Daph. Jadi, kau tak perlu khawatir."

Menyilangkan kaki seanggun mungkin, bibir ranum Daphne Greengrass mencebik getir. Kuku tangannya yang dicat warna hijau magenta memutari bibir gelas dengan malas-malasan.

Di hadapannya, Theodore Nott; Presiden Direktur Nott Corporation sekaligus mantan tunangannya berdiri gamang di depan jendela. Mengunci tangan di balik punggung, Nott memandangi panorama dari balik kaca gedung pencakar langit. Bangunan megah bertingkat tinggi yang menjadi simbol kekayaan keluarga besar Nott sejak dulu kala.

"Wajar saja kalau aku cemas, Theo. Siapa tahu kau berubah pikiran dan membatalkan kesepakatan kita," nada suara manis Daphne kembali mengalun. Intonasi kalimat merayunya pekat dengan irama merajuk dan manja. Gita menjijikkan yang selalu didendangkan setiap kali gadis berkulit semulus porselen itu menginginkan dan mendambakan sesuatu.

Berbalik cepat, Nott mengawasi Daphne yang duduk bosan di kursi ruang kerja. Bibir merah delima Daphne yang biasanya tersungging sensual kini menekuk suram. Berdiri kaku seolah-olah ada tombak baja tertanam di tulang punggung, Nott berdeham pelan, membuat Daphne mengangkat wajah yang tertunduk diam.

"Kau tak perlu takut, Daph. Rencana akan tetap berjalan seperti semula," Nott berjanji kering, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana Armani yang terjahit rapi. Mata hijau kelam Nott menyipit ketika Daphne bangkit dari kursi dan berlenggak-lenggok seperti kucing penggoda.

"Maafkan kerisauanku yang berlebihan ini, Theo," Daphne berbisik manja dalam suara yang berirama. Melempar rambut cokelat panjang yang halus sensual ke belakang, Daphne menempelkan tubuh lentur, panas dan mengundang di badan tegap Nott yang menegang. Mata cokelat keji miliknya meletik, menatap dalam-dalam paras pria menawan yang pernah menjadi calon suaminya.

"Aku cemas melihat keakraban dan kemesraanmu dengan Granger. Aku bisa mati jika kau benar-benar mencintai penyihir penuh kotoran seperti dia," Daphne mendecapkan bibir, mengulas segurat senyum memabukkan yang mampu membuat pria waras manapun mati terpesona.

"Keintiman itu cuma kamuflase, Daph. Kau seharusnya tahu kalau itu bagian dari rencana akbar kita," Nott mengedutkan otot-otot rahang seraya mengangkat dua alis cokelat kehitaman setinggi mungkin. Kentara sekali tauke kaya-raya itu merasa terhina karena dianggap sebagai pria gampangan dan plin-plan.

Tersenyum legit, menampilkan raut wajah menggoda yang paripurna, Daphne melingkarkan tangan langsing berhiaskan gelang gading di leher kekar Nott. Memijat-mijat otot lelah dan simpul kaku di belakang leher Nott, Daphne mengulas seringai berbahaya. Secercah ekspresi kejam tak berbelas kasihan mewarnai senyum berbisa yang mematikan.

"Aku senang kau tak berubah pikiran, Theo. Aku sudah tak sabar untuk melihat roman muka Granger ketika saat penentuan tiba," gumam Daphne serak, mencondongkan muka nakal yang berbinar ke wajah Nott. Sebelum Daphne sempat mencium lapar dan penuh dahaga, suara interkom di meja kayu gelap mengusik aktivitas terlarang mereka.

"Maaf Mister Nott. Ada Mrs Nott di luar ruangan."

Melemparkan umpatan vulgar yang tak sesuai dengan budi pekerti dan pendidikan darah murni yang agung, Nott melepaskan pelukan Daphne yang merengut sebal. Mendesak Daphne untuk segera ber-Disapparate menghilang dari ruang kantor, Nott melambaikan tongkat sihir di udara, menghapus aroma seksual dan wangi parfum Daphne yang membumbui seisi ruangan.

Melenggang luwes menjauhi Nott, Daphne terus mengobral senyum binal. Di setiap ayunan pinggul yang bergerak seperti bandul, rambut cokelat panjang Daphne mengayun lembut seperti hamparan tirai satin. Melempar ciuman jarak jauh, lady setinggi peragawati itu berkelebat menghilang dalam hitungan detik, bersamaan dengan munculnya sosok Hermione dari balik pintu tinggi bergaya mewah.

"Hai Sayang," sapa Nott dengan suara menggugah seraya meletakkan kembali tongkat sihir di atas meja yang dipenuhi bundelan dokumen penting.

Melangkahkan kaki dengan gerakan mengalir, Nott menghampiri Hermione yang tersenyum manis, semanis baju kantor warna terakota yang dipakainya hari ini. Warna perpaduan jingga dan cokelat yang membuat mata gemintang Hermione semakin gemerlap.

Pipi Hermione bersemu merah beri memandangi postur suaminya yang menggiurkan. Meski sudah tiga bulan berumah tangga dan tidur seranjang, Hermione masih belum terbiasa menghadapi aura memesona yang meruyak dari pori-pori suaminya. Belum lagi dengan senyuman memikat yang menghanyutkan. Senyuman menakjubkan yang membuat sekujur Hermione dipenuhi gelora kehangatan.

Tersenyum lebar sampai mencapai telinga, Nott menatap rona merah nyata yang memapar wajah mungil Hermione. Terkekeh ringan, Nott mereguk dalam-dalam keluguan yang terlihat jelas dari raut muka serta dari binar mata yang polos seperti kaca tembus pandang.

Oh ya, Nott tahu bahwa istrinya tak kebal dengan kekuatan erotis dan pesona maskulin yang jantan. Di malam pertama mereka saja, mulut Hermione berair dan berliur saat melihat dada telanjang yang bidang.

Ketika menyaksikan perut kokohnya yang rata dan belah enam, Nott merasa wajah Hermione lebih panas ketimbang surya di khatulistiwa. Untung saja, Hermione tak pingsan atau mimisan sampai kekurangan darah saat ia membuka celana dalam.

"Maaf mengganggu, Theo. Aku hanya ingin mengantarkan bekal makan siang ini."

Kalimat Hermione membangunkan Nott dari kenangan tentang peristiwa menggelikan di malam pengantin mereka. Mengalihkan konsentrasi ke tubuh berlekuk cantik istrinya, Nott menatap dengan sorot hangat. Tatapan palsu terlatih yang muncul berkat kelihaian memanipulasi bahasa tubuh dan air muka.

Pura-pura memperhatikan Hermione yang sibuk membuka kotak bekal, Nott mengubur gerutuan dalam-dalam. Mengutuki sikap sok memanjakan yang rutin dilakukan Hermione setiap hari.

Memang, sejak awal pernikahan mereka, di sela-sela aktivitas sebagai pimpinan Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, Hermione tak pernah alpa membuat aneka hidangan untuk dirinya. Ragam masakan yang mau tak mau disantapnya demi memuluskan langkah balas dendam.

Padahal, jika mau jujur, Nott lebih memilih memakan beling atau mati kelaparan seperti yang dialami penduduk Sudan dan Republik Demokratik Kongo ketimbang memakan kuliner menjijikkan buatan Hermione.

Selain tak selezat sajian mewah kreasi para peri rumah, mengingat bakat memasak Hermione jauh dari kata memadai, status Darah Lumpur Hermione turut menyumbang rasa mual yang melanda perut setiap kali dirinya selesai menyantap makanan.

Seakan tak cukup meracuni pencernaan dengan masakan buatan tangan, Hermione juga sering membuat badannya rontok dengan pijatan yang dilakukannya. Tiap kali ia mendekam di ruang kerja Nott Manor, Hermione pasti selalu menunjukkan batang hidung dan gigi besar yang aneh itu. Tanpa diminta memijat punggung letihnya sembari membisikkan kata-kata cinta yang membuat perut ratanya kian bergejolak muak.

"Hari ini aku sengaja membuat salmon panggang saus lemon kesukaanmu, Theo," Hermione merapikan bekal yang terdiri dari salmon lezat, telur gulung dan panekuk buah segar secermat mungkin. Tak menyadari gerutuan samar Nott, Hermione dengan antusias menyendokkan potongan besar salmon ke mulut suaminya.

Membendung keinginan menjulurkan tangan untuk mencekik leher Hermione, Nott dengan malas-malasan membuka mulut, membiarkan istri mungilnya menyuapinya seperti bayi baru lahir. Terkadang, sikap Hermione yang mengesankan seolah-olah dirinya seorang pria invalid membuatnya geregetan.

Belum lagi dengan hobi lain yang dilakoni Hermione selama seratus dua puluh hari usia pernikahan mereka. Di antaranya, memeluk dan menciuminya sebelum dan sesudah tidur. Tindakan sok mesra yang membuatnya harus melipatgandakan dosis sabun wangi kapulaga anti bakteri setiap kali mandi pagi.

Dari semua aktivitas rumah tangga yang dilakukan Hermione, gerakan yang paling dibenci Nott adalah momen di mana Hermione membebaskan ratusan peri rumah yang mengabdi di Nott Manor. Setelah melepaskan semua peri rumah, Hermione hanya menggaji serta mempekerjakan empat peri rumah untuk mengurus estat yang luasnya tak terhingga.

Apesnya lagi, tindakan memerdekakan peri rumah didukung sepenuhnya oleh ayah Nott yang penjilat. Sadar tali hidupnya bergantung pada sang menantu yang punya kedudukan penting di Kementerian Sihir Inggris, Mister Nott merestui semua keinginan menantunya.

Kebebasan berekspresi yang membuat Nott dan sejumlah lukisan hidup para pendahulu merutuk frustrasi. Depresi yang kian mendalam ketika Hermione tanpa izin merenovasi beberapa sudut suram Nott Manor. Menambahkan sistem penerangan yang membuat relung kelam di kastil batu itu menghilang sepenuhnya.

Mengunyah telur isi berbumbu dengan perlahan, Nott mencermati wajah Hermione yang berpijar-pijar. Di dalam hati, Nott mengakui kalau secara keseluruhan, tampang Hermione tak terbilang buruk. Dengan mata ekspresif, hidung kecil, lurus dan anggun serta pipi yang selalu merona merah apel setiap kali ia menciuminya, Hermione layak mendapatkan nilai di atas rata-rata.

Belum lagi dengan wangi tubuh Hermione yang khas. Terkadang, di malam hari, di saat mereka tidur bersama, Nott sering terlena dengan aroma hangat dan lembut istrinya. Wangi vanila yang manis seperti lelehan karamel. Cairan gula-gula pekat yang sering dinikmatinya di masa kanak-kanak.

"Aku bisa mati jika kau benar-benar mencintai penyihir penuh kotoran seperti dia..."

Kalimat mengancam Daphne menghentak konsentrasi Nott. Memalingkan wajah, berpura-pura meminum seteguk jus jambu biji, Nott merehabilitasi kembali tekad yang sempat goyah.

Mengingatkan dirinya sendiri kalau Hermione tak layak mendapatkan sanjungan maupun belas kasih, Nott menghembuskan napas dalam-dalam, menegapkan diri untuk terus memintal jaring jebakan mematikan.

Perangkap mengerikan yang sepadan dengan penderitaan yang dibawa Hermione untuknya...


"Yah, baguslah kalau hidupmu tak menderita, Hermione."

Memasukkan sesuap pasta brokoli ke mulut, Hermione meringis merasakan nada mencibir dari untaian kalimat yang diucapkan Ginny. Menghela napas panjang dan dalam untuk melepaskan ketegangan, Hermione tersenyum mengiyakan. Senyum persetujuan yang membuat bibir Ginny semakin terkatup kencang seperti terkena lem perekat.

"Saat ini aku benar-benar bahagia, Gin. Sejak hari pertama pernikahan sampai sekarang, Theo selalu memperlakukanku dengan penuh kasih sayang," jawab Hermione, mengaduk-aduk pasta brokoli yang tinggal separuh.

Di seberang Hermione, Luna Lovegood menatap dengan pandangan mengerti dan sorot menyemangati. Tatapan kompak dan sepakat yang membuat Hermione semakin mantap untuk menguatkan posisi Nott di puri hati.

"Makanya aku bilang bagus," potong Ginny segera, mendelikkan mata cokelat kekuningan lebar-lebar, mengingatkan Hermione akan mata garang Crookshanks saat sedang kelaparan.

"Tadinya aku pikir Nott sama saja dengan ular Slytherin lainnya, yang langsung menelanmu habis-habisan. Menyembelih tubuhmu seperti babi dan domba korban," Ginny mengeluarkan dengusan menjijikkan, melahap brutal sesendok sup kacang polong hangat.

Menggeleng tajam, Hermione menyibakkan helai-helai rambut berkilau ke balik bahu. Meski perkataan Ginny terbilang menohok, Hermione bisa memaklumi dan mengerti. Hermione paham, ketakutan Ginny berakar dari kepedulian sejati seorang sahabat.

Tersenyum tenang, berusaha tak terpancing sama sekali dengan pandangan Ginny yang penuh prasangka, Hermione meminggirkan piring pasta brokoli ke samping kanan meja. Menjulurkan tangan, Hermione menggenggam jemari kiri Ginny yang dihiasi sebutir cincin berlian berpotongan batu zamrud. Cincin pertunangan bermata hijau yang diberikan Harry, Auror muda berbakat yang kini tengah bertugas temporer di kawasan sarat konflik, Palestina.

"Jangan cemas, Gin. Seperti yang kubilang tadi, Theo sangat baik padaku. Dia tak pernah bersikap kurang ajar maupun berkata kasar. Dia juga maju membela saat lukisan leluhurnya mengejekku habis-habisan," Hermione menjawab sabar, mengenang kembali hari di mana dirinya pertama kali menginjakkan kaki di Nott Manor.

Kala itu, ketika Hermione melangkah melewati ambang pintu, malam seusai resepsi pernikahan, teriakan dan umpatan kotor langsung menyambut kuping. Lukisan hidup nenek moyang Nott yang berderet di koridor depan tak henti-hentinya mengamuk getir, meludahi dirinya dengan sebutan Darah Lumpur hina dan manusia keturunan sampah yang harus dibinasakan. Hanya gertakan tegas Nott yang mengancam bakal membakar semua lukisan potret mosaik-lah yang membuat hujan caci-maki itu berhenti.

Pembelaan konstan Nott membuat Hermione terharu. Tadinya, Hermione memang sedikit dihantui ketakutan jikalau Nott tak menginginkan keberadaannya. Namun, seiring bertambahnya rentang waktu, kegelisahan beralasan itu tak menjadi kenyataan.

"Bagaimana aku tak risau, Hermione. Sejak dulu warga Slytherin terkenal pandai bersilat lidah. Ucapan dan perbuatan mereka terkadang tak selaras dengan isi hati terdalam," tukas Ginny cemberut, menghabiskan suapan terakhir sup kacang polong dengan kekuatan getir.

"Aku tak mengada-ada maupun menjelek-jelekkan Slytherin tanpa fakta. Lihat saja semua perbuatan Nott dan kawan-kawan tengiknya semasa kita bersekolah dulu. Lihat saja apa yang terjadi padaku di tahun pertamaku bersekolah. Tragedi yang terjadi karena aku terlalu memercayai ucapan semanis madu," suara Ginny terdengar pecah, mata cokelat emasnya berkaca-kaca karena kenangan menyakitkan yang pernah mendera.

Menepuk-nepuk punggung tangan Ginny yang bergetar, Hermione tersenyum lemah. Stereotip miring Ginny tentang kelakuan murid Slytherin yang terkenal berandalan dan bajingan memang didasari fondasi kuat.

Dulu, sewaktu baru masuk sekolah, Ginny memang pernah menjadi korban kata-kata manis Horcrux Voldemort yang tersimpan di buku harian Prefek Slytherin, Tom Marvolo Riddle.

Kala itu, Ginny yang pemalu menganggap Tom sebagai sobat terbaiknya di dunia. Tak dinyana, kata-kata penghiburan Tom cuma topeng semata. Kedok racun dusta manis yang dipasang untuk merasuki dan merebut jiwa suci Ginny. Jika Harry tak datang tepat pada waktunya, kerangka Ginny mungkin sudah terkubur selamanya di dalam Kamar Rahasia.

Sedangkan untuk kebandelan masa muda Nott yang ekstrem, Ginny mungkin benar tapi Hermione tak bisa menyalahkan kenakalan suaminya sepenuhnya.

Bagi Hermione, tindak-tanduk Nott yang kerap mempermainkan perasaan siswi Hogwarts cuma reaksi impulsif yang didorong oleh hormon dan libido remaja. Lagipula, di minggu-minggu awal pernikahan mereka, Nott sudah meminta maaf atas semua ejekan vulgar dan perbuatan kasar yang pernah dilakukan di masa sekolah.

"Daphne Greengrass juga membuatku curiga. Masak monster temperamental yang arogan dan suka merendahkan orang lain seperti dia hanya berdiam diri saja saat kau menikahi bekas tunangannya," cecar Ginny bertubi-tubi, menyedot teh putih susu dengan ganas.

Merebahkan tubuh di kursi rotan, Hermione menghembuskan napas perlahan. Mengamati lingkaran jingga matahari sore yang menggantung rendah di langit, Hermione memikirkan kembali penuturan Nott tentang hubungan asmaranya dengan Daphne Greengrass yang sudah lama berakhir.

Menurut Nott, cintanya pada Daphne cuma cinta platonis yang sudah kedaluwarsa. Romansa masa remaja dan percintaan tanggung yang didasari pada kekaguman biasa, bukan perasaan asli semata.

Terkadang demi cinta, manusia rela menepis bisikan nuraninya...

Mengusir insting yang menyatakan kalau alasan Nott kurang logis dan cenderung dibuat-buat, Hermione menegapkan tulang punggung. Menatap langsung ke manik mata keemasan Ginny yang dicemari kabut keresahan, Hermione membuka buku agenda yang teronggok di samping kanan.

"Aku mengerti, Gin dan aku juga menghargai kebimbanganmu. Tapi, ketimbang memikirkanku yang baik-baik saja, lebih baik kau fokus pada rencana pernikahanmu dengan Harry bulan depan," sergah Hermione buru-buru, berusaha mengalihkan topik pembicaraan ke jalur yang lebih aman dan menarik.

"Betul, Ginny," Luna yang sejak tadi diam mematung mengeluarkan suara melamun bernada mistis. Mencermati tangan Hermione yang sibuk mencatat aneka keperluan untuk mensukseskan pesta pernikahan Ginny, Luna kembali berceloteh sayup-sayup.

"Aku dan Daddy akan menyiapkan paket bulan madu eksotis untukmu. Kau bisa pilih, mau pergi ke Persepolis atau Petra," tutur Luna antusias, seantusias saat dirinya menjual sup dirigible plum di pekan bazar garasi. Sup lobak jingga berbau menyengat yang sempat membuat Departemen Keracunan Rumah Saint Mungo geger sepanjang tahun.

"Kalau kau tak mau pergi ke Petra atau Persepolis, aku dan Daddy punya tiket tambahan ke Laut Setan Jepang," ujar Luna bersinar-sinar, mata lavender keperakannya tampak menonjol disorot sinar mentari senja yang menggelayut di tepian cakrawala.

Tergelak pendek setengah hati, Ginny memikirkan kembali destinasi bulan madu yang ditawarkan Luna. Ketimbang Laut Setan Jepang, Segitiga Bermuda Asia yang sering menelan banyak kapal, ia lebih suka berlumuran debu menyusuri Petra maupun Persepolis, bekas ibukota Kerajaan Persia yang runtuh karena dihancurkan Raja Kekaisaran Makedonia, Alexander Agung, ratusan tahun lalu.

"Aku lebih suka ke Petra saja, Luna," Ginny menjawab penuh pertimbangan, mengingat kembali pemaparan abangnya, Charlie Weasley tentang Petra, situs arkeologikal di Yordania. Kelihatannya, menikmati bangunan yang terpahat di bebatuan jauh lebih aman ketimbang menyelam di Laut Setan Jepang, perairan mematikan yang terletak di antara Pulau Ivojima dan Pulau Miyake.

"Oke, baguslah kalau begitu," seru Hermione menggebu-gebu, menorehkan nama Petra ke dalam lembaran agenda. Setidaknya, dengan membicarakan tentang resepsi dan bulan madu Ginny, ia bisa menghindari pembicaraan panas terkait rumah tangganya.

Rumah tangga yang bagi sebagian orang dicap timpang dan tak layak dipertahankan...


"Ya ampun, sampai kapan kau mempertahankan rumah tanggamu dengan si idiot Granger?"

Mencibirkan bibir, Nott membereskan tumpukan dokumen kerja seefisien mungkin. Melemparkan pandangan memperingatkan ke arah Malfoy yang bersemayam arogan di sofa bulu angsa yang dikelilingi bantalan-bantalan lembut, Nott memerintahkan sekretaris pribadinya untuk segera keluar ruangan.

Mata Nott menyipit ketika Malfoy bersiul, mengamati tanpa malu-malu pinggul montok si sekretaris yang melenggang melewati pintu tinggi. Menggeleng-gelengkan kepala, Nott menutup bundelan berkas terakhir. Setelah memastikan semua arsip tersusun dan tersegel sistematis, Nott bersandar di kursi kerja sembari menautkan jemari.

"Kau sinting apa Malfoy? Membicarakan Hermione saat sekretarisku masih ada di sini," geram Nott, menuangkan Diva Vodka ke piala perak yang kosong. Diva Vodka sendiri merupakan vodka termahal sedunia. Terbungkus botol kristal swarovsky dan berlian, vodka yang mengalami tiga kali penyulingan itu hanya dijual pada penyihir konglomerat yang kehabisan cara untuk membelanjakan uang.

"Hermione, eh? Biasanya kau memanggilnya si Darah Lumpur Granger tapi kenapa sekarang berbeda?" sindir Malfoy lancang. Menegakkan tubuh dengan sombong, pangeran darah biru itu beranjak mendekat untuk mencicipi Diva Vodka yang disodorkan teman baiknya.

Menatap wajah kukuh Malfoy dengan mata disipitkan, Nott menghirup cairan memabukkan dengan perlahan-lahan. Meresapi setiap tetes berharga jutaan Galleon yang mengaliri kerongkongan, Nott merenungkan kembali teguran Malfoy tersebut.

Ya, biasanya, setiap kali berbicara dengan kolega Slytherin, ia memang selalu menyebut Hermione dengan sebutan Granger atau Darah Lumpur. Tapi, entah kenapa malam ini ia keceplosan memanggil istrinya dengan nama Hermione.

"Itu supaya aku terbiasa dan tak salah memanggilnya, Malfoy, Jadi, mulai sekarang kau harus terbiasa mendengarku menyebut nama Hermione," Nott menarik bibir ke satu sisi, dengan kaku menepis bisikan yang menyatakan bahwa panggilan Hermione jauh lebih manis ketimbang Darah Lumpur.

"Terserah apa maumu, Nott. Yang jelas, kau belum menjawab pertanyaanku. Sampai kapan kau mau mempertahankan rumah tanggamu? Tori sampai tuli karena tiap jam mendengar repetan Daphne," kejar Malfoy cepat, mengetuk-ngetukkan jari yang dihiasi cincin stempel keluarga Malfoy di pinggiran meja.

"Tumben kau peduli pada kesehatan kuping Tori," Nott balas menyindir, mengutuki dirinya yang selama beberapa pekan ini melupakan Daphne. Selama dua minggu sebelumnya, ia memang tak sempat bertemu Daphne sebab Hermione benar-benar menyita waktunya.

Jangan bohong, Theodore Nott. Kau berhenti bercinta hebat, intim dan liar dengan Daphne bukan karena tak punya waktu melainkan karena kau terlena dengan perhatian Hermione yang tanpa batas. Kau mengabaikan Daphne sebab pikiranmu sudah dipenuhi dengan cara Hermione memuja dan memanjakanmu...

"Hei, bagaimanapun juga, Tori akan menjadi calon Madam Malfoy," sela Malfoy, berbicara seenak udelnya yang tak bodong. Mereguk habis minuman beralkohol berharga selangit yang bisa melepaskan seluruh warga negara dunia ketiga dari bencana kelaparan, Malfoy kembali berseloroh.

"Sejujurnya, kalau bukan karena perjodohan orangtua, mana mau aku menikahi Tori. Dia itu seperti sapi tua yang banyak maunya."

"Enak saja mengatai adikku sapi tua. Dasar musang albino tak tahu malu."

Suara bernada tinggi yang muncul bersamaan dengan bunyi pintu dibuka mengejutkan Malfoy dan Nott. Memasang senyum kecut karena ledekan isengnya ketahuan, Malfoy merangkulkan lengan ke pundak calon kakak iparnya.

"Whups, itu cuma lelucon, Daph. Jangan diambil hati," ujar Malfoy, memajang wajah imut-imut yang bisa membuat Lord Voldemort batal merapalkan Mantra Avada Kedavra sekalipun.

Merengutkan bibir cantik yang disemarakkan lipstik merah sempurna, Daphne menyingkirkan tangan Malfoy yang membelit sendi bahu. Berjalan luwes menuju Nott yang berdiri mematung, Daphne meminta Malfoy untuk segera enyah dari pandangan.

"Cepat pergi, Draco. Aku tak mau aktivitas panasku bersama Theo jadi tontonan gratisan," Daphne menempel manja dan menggoda, sengaja menekankan nada erotis di kalimat 'aktivitas panasku.'

Merenggangkan kedua tungkai panjang yang terbungkus setelan mahal berpotongan bagus, Malfoy hampir tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan ekspresi horor di wajah Nott. Dari roman kaget yang tercetak jelas, sepertinya penyihir jangkung itu tak menyusun skenario untuk menggelar temu janji dan bermesraan dengan Daphne malam ini.

Melambaikan tangan seraya mengatakan kalimat selamat bersenang-senang, Malfoy mengayun pintu hingga terbuka. Di saat pintu tinggi berbentuk persegi menutup sempurna, Malfoy baru mengetahui mengapa wajah Nott memucat tatkala melihat kemunculan mendadak Daphne.

"Maaf Mrs Nott, Mr Nott sedang ada rapat yang sangat penting malam ini."

Bergegas mendatangi Hermione yang tengah dihadang sekretaris pribadi Nott, yang sepertinya sudah diperingatkan Daphne untuk memblokir siapapun yang berniat masuk ke ruang kerja Nott, Malfoy sibuk menyusun rencana cadangan.

Mensyukuri keinginan menggoda sekretaris Nott, hasrat biologis yang membuatnya memilih keluar memakai kaki ketimbang menghilang ber-Disapparate, Malfoy mengamati profil Hermione di setiap ayunan langkah.

Malam ini, Hermione tak tampil kaku dan formal seperti biasanya. Memakai gaun malam warna hitam keunguan, aura feminin Hermione terpancar jelas. Rambut cokelat melar yang biasa mengembang tak beraturan kini menghilang. Digantikan sanggul kecil yang dihiasi untaian berlian putih gemerlap yang cantik mengilap.

"Tak mungkin Theo ada rapat malam ini. Dia sudah janji untuk mengajakku makan malam di El Amparo," cerocos Hermione cepat, berusaha berkelit dari jemari lentik si sekretaris yang menahan lengan kanan.

Malfoy bersiul pelan mendengar pengakuan Hermione. Tak heran jika si Nyonya-Sok-Tahu-Segala-yang-Sangat-Suka-Memberi-Aneka-Perintah berdandan habis-habisan malam ini. Rupanya, Nott berencana mengajak sampah masyarakat sihir itu untuk menikmati malam romantis di Restoran El Amparo, salah satu restoran termahal di dunia yang terletak di Madrid, Spanyol.

Ajakan menggoda yang jelas-jelas bertolak belakang dengan rencana balas dendam Nott selama ini. Ajakan tak terduga yang langsung menyalakan alarm bahaya di otak Malfoy. Alarm yang memperingatkannya untuk bergerak selincah ular piton berburu mangsa.

Setibanya di dekat Hermione dan si sekretaris pribadi yang pucat pasi seperti mayat, Malfoy berdeham kecil. Dehaman rendah penuh kepalsuan yang membuat Hermione membalikkan tubuh cepat-cepat.

"Nott memang ada rapat mendadak malam ini, Granger," ujar Malfoy, memberi isyarat pada sekretaris pribadi Nott untuk kembali ke posisi semula. Mengucapkan terima kasih melalui pancaran mata, sekretaris direksi bertubuh seksi yang gemar memakai busana kerja formal berpotongan mini itu buru-buru menyingkir, bergegas duduk di meja berlaci besar yang terbuat dari kayu mahogani mengilat.

"Benarkah itu, Malfoy?" Hermione bertanya ragu-ragu, mencoba mengendus-endus aroma kebohongan yang disemburkan Malfoy. Menyeringai tipis melihat kecerdasan tajam dan ketidakpercayaan di paras Hermione, Malfoy mempraktikkan semua jurus tipu daya yang dipelajarinya sejak kecil.

"Aku tidak bohong, Granger. Setengah jam sebelum kau datang, delegasi dari Jepang meminta untuk bertemu. Tadinya Nott tak mau, tapi kau tahu sendiri bukan kalau misi yang dibawa delegasi itu sangat penting," beber Malfoy panjang lebar, sukses memoles dan memalsukan semua keterangan palsu dengan sempurna.

Mengangguk-angguk singkat, Hermione mencoba membuang keraguan yang membekas di benak. Sejujurnya, Hermione tak begitu memahami seluk-beluk pekerjaan Nott sebagai pakar dunia investasi sebab suaminya tak pernah bercerita sedikitpun tentang kesibukan hariannya di Nott Corporation.

Setiap kali berbincang-bincang, dengan alasan jenuh memikirkan kerjaan, Nott hanya mau membahas masalah ringan dan tak penting. Pembahasan remeh dan tak bermutu yang tak sesuai dengan naluri haus ilmu yang merasuki Hermione.

"Oh, kalau begitu aku pamit dulu, Malfoy," ucap Hermione sedih, merenungkan kegagalan rencana malam ini. Malam di mana dirinya berharap bisa mempererat ikatan cinta sekaligus menggoyahkan keinginan Nott untuk menunda memiliki anak.

Memang, sewaktu memberitahu Hermione kalau ia bersedia menikah, Nott meminta Hermione untuk menunda kehamilan. Sebenarnya, kemauan Nott membuatnya sedikit sedih namun demi hidup bersama pria yang paling dicintainya, ia memilih mengubur mimpi kecil untuk segera mengandung dan melahirkan keturunan.

Mengelus perut ratanya dengan lembut, Hermione bersiap menghilang ke rumah keluarga Weasley di The Burrow. Ketimbang menghabiskan malam yang sepi di Nott Manor, Hermione lebih suka menghadiri perjamuan makan malam di rumah Ron yang sempit tapi penuh kehangatan.

Mungkin, selain menyantap masakan ibu Ron, Molly Weasley yang terkenal lezat, ia juga bisa bertemu dengan kakak nomor dua Ron, Charlie Weasley yang baru pulang dari penangkaran naga di Ukraina.

Niat Hermione untuk ber-Disapparate ke The Burrow terhalang ketika Malfoy menggamit lengan kirinya. Membelalakkan mata, Hermione memberontak, berjuang melepaskan diri dari belitan lengan Malfoy yang menempel selekat cakar elang.

"Duh, jangan galak-galak begitu, Granger. Aku hanya mau bilang kalau Nott sudah memintaku untuk menggantikan dirinya. Kau bisa tetap menikmati sampanye bersoda dan menu salmon dingin sorbet tomat di El Amparo bersamaku," celoteh Malfoy, mengencangkan cakar erat yang digaruk-garuk kuku Hermione.

"Yang benar saja, Malfoy. Mana mungkin aku berduaan saja denganmu. Bajingan penggoda yang terkenal sebagai dewa berahi Hogwarts," sembur Hermione, mengernyit tajam ketika Malfoy mengeluarkan derai tawa menyebalkan.

"Jangan takut begitu, Granger. Aku magnet seks yang pantang menggigit kok," kekeh Malfoy geli, menjawil pelan pipi lembut Hermione yang memerah jengah.

"Aku tak takut padamu, Malfoy. Aku cuma tak mau makan malam dengan pria lain selain suamiku," hardik Hermione galak, menepis jari Malfoy yang masih menempel di pangkal pipi.

"Granger, Granger, Granger," Malfoy berkata dengan nada dipanjang-panjangkan yang membosankan. Terus berbicara dengan intonasi diulur-ulur, telaga perak Malfoy berkilau mencermati sepasang mata cokelat Hermione yang membelalak.

"Kau kolot sekali sih. Zaman sekarang, makan malam berduaan dengan pria lain bukan hal tabu. Lagipula, suamimu sudah memberi izin," celetuk Malfoy, menunjuk pintu ruang kerja Nott yang tertutup.

"Baiklah. Kalau begitu, aku tanya Theo dulu," Hermione beranjak maju, langsung melotot lebar-lebar begitu langkah gesitnya dibendung Malfoy.

"Nott tak ada di ruangan, Granger. Delegasi Jepang membawanya ke Restoran Aragawa di Tokyo," Malfoy berbohong dingin dengan mulus, bernapas lega samar-samar ketika Hermione menurunkan pandangan tajam menyelidik.

Mengutuki Daphne yang muncul tanpa diundang, Malfoy mengepalkan tangan kuat-kuat. Setengah berharap Hermione yang terkenal kepala batu mau mendengarkan semua dusta tentang keberadaan Nott di Restoran Aragawa. Salah satu restoran paling mahal di dunia yang terletak di jantung kawasan bisnis Tokyo, Jepang.

Menatap lekat-lekat pintu ruang kerja Nott, seakan-akan berharap bisa melumerkan panel berat penuh ornamen itu dengan kekuatan tatapan, Hermione akhirnya membuang muka. Mengubur jeritan hati kecilnya yang memintanya untuk mengabaikan Malfoy dan menghambur masuk.

Terkadang, cinta buta bisa membuat manusia melupakan bisikan jiwanya...

Mendongakkan muka, Hermione memandang wajah Malfoy yang masih tersenyum simpul. Menyambut uluran tangan Malfoy, Hermione memutuskan untuk makan malam bersama musuh bebuyutannya semasa remaja.

Melesat menghilang dalam satu putaran pelan, Hermione sama sekali tak menyadari kalau dirinya telah masuk perlahan-lahan ke dalam jebakan mematikan. Jebakan mengerikan yang dirancang dan dirintis oleh Theodore Nott.

Pria sekaligus suami yang paling dicintai dan dipercayai...


"Jenggot Merlin! Aku tak bisa memercayai hal ini! Ini pasti cuma berita sampah yang dibuat-buat, bukan?"

Termenung-menung memandangi koran Daily Gossip yang memuat gambar sepasang insan, Hermione menggosok-gosok dahi yang berkerut-kerut. Sakit kepala yang menimpanya semakin melengkapi rasa asam yang merajai perut. Kegelisahan yang timbul akibat hantaman kabar miring yang bisa merusak reputasi dan citra diri.

Berdiri setengah meter dari meja kerja, Ginny Weasley Potter berkacak pinggang sembari mencak-mencak tak tentu arah. Bibir indah Ginny yang terpulas lipstik warna merah muda pucat dengan fasih mengutuki si penulis artikel, Rita Skeeter dengan kalimat kasar yang pasti membuat Nyonya penguasa The Burrow, Molly Weasley pingsan di tempat.

"Itu memang fotoku dan Malfoy, Gin. Sewaktu kami makan malam berdua di Restoran El Amparo," jelas Hermione, mencermati susunan kalimat provokatif yang tersaji di bawah foto bergerak-gerak itu. Rangkaian kata hiperbola tak sesuai fakta yang semakin menambah panas suasana.

"Setelah merampas Theodore Nott dari tangan si cantik Daphne Greengrass, Hermione Granger Nott rupanya belum puas jua. Kali ini, kami berhasil mengintip agenda tersembunyi Little Miss Perfect untuk menggoda jutawan muda Draco Malfoy. Pria kaya-raya yang ironisnya merupakan tunangan resmi Astoria Greengrass, adik kandung dari si malang Daphne Greengrass," Luna membaca artikel tersebut dengan nada melamun yang biasa.

"Dasar kumbang busuk si Skeeter itu," Ginny kembali mengomel. Menggigiti ujung kuku, penyihir berambut semerah delima yang baru pulang dari acara bulan madu di Petra membanting pantat di sofa berbantalan lembut.

"Dia pasti berniat balas dendam karena dulu kau pernah merusak kariernya di Daily Prophet, Hermione," prediksi Ginny, mengingatkan kembali masa-masa di mana Hermione menangkap basah rahasia Animagus ilegal yang dilakukan Rita Skeeter.

"Jadi, sekarang inilah bentuk pembalasan kesumatnya. Memampang fotomu dan membumbuinya dengan kalimat bombastis," sungut Ginny, memicingkan mata mencermati rangkaian gambar yang memuat interaksi Malfoy dengan Hermione.

Foto-foto bergerak di mana Malfoy si pria penakluk dengan lembut mengelus sudut bibir Hermione sebelum berbisik intim di kupingnya. Aktivitas yang terbilang standar jika tak diwarnai dengan rentetan kalimat berbisa yang tercetak di bagian bawah gambar.

"Ugh, seharusnya aku menolak bujukan Malfoy untuk keluar bersamanya malam itu," sesal Hermione, menggaruk-garuk surai gelombang megar yang terbungkus jaring rambut.

"Ini bukan salahmu, Hermione. Rita Skeeter saja yang keterlaluan. Melebih-lebihkan aksi menyingkirkan serpihan makanan di tepian mulut sebagai tindakan pembuka untuk ciuman panas bergelora," damprat Ginny, meremas-remas lembaran koran gosip sampai cuil tak berbentuk.

"Ya, tapi aku-"

Ucapan Hermione tak bisa terselesaikan sebab pintu ruang kerja menguak lebar, menampakkan sosok garang Astoria Greengrass yang bersimbah air mata.

Menyeruduk maju dalam satu langkah, setelah sebelumnya melempar sekretaris pribadi Hermione yang menghalangi jalan, Astoria menampar keras pipi Hermione. Hantaman telak sepenuh tenaga yang membuat cetakan lima jari berwarna merah tertoreh nyata di pipi kanan Hermione.

"Dasar sundal! Pelacur murahan! Berani-beraninya kau merebut tunangan orang!" Astoria menjerit dengan suara yang pantas diacungi dua jempol kaki. Lengkingan buas yang pastilah membuat manusia serigala jadi-jadian merasa tersaingi.

Melabrak membabi-buta, Astoria dengan kesetanan membombardir Hermione dengan rapalan kutukan. Kutukan-kutukan murka yang untungnya bisa ditepis Hermione dengan Mantra Protego Maxima yang dilesakkan sedetik sebelum tongkat sihir Astoria teracung.

Raungan kemurkaan Astoria plus bunyi deru kutukan berpadu tak urung membuat lantai dua, tempat di mana Hermione bermarkas gempar. Seluruh pegawai yang bekerja di lantai dua, termasuk Harry dan Ron yang kebetulan tengah berdiam di Markas Besar Auror buru-buru mendatangi lokasi keributan.

Tak sampai lima detik, puluhan penyihir berebutan memasuki kantor Hermione. Berusaha melihat dengan mata kepala sendiri adegan pertempuran antara dua penyihir wanita yang dikabarkan memperebutkan satu pria yang sama.

"Harry, hentikan psikopat maniak ini sekarang juga atau akan aku basmi dia dengan Kutukan Kepak Kelelawar!" teriakan Ginny membelah udara, memecah konsentrasi Astoria yang kalap menyerang Hermione.

Memanfaatkan kelengahan Astoria, Harry dan Ron dengan sigap menangkap penyihir berambut cokelat panjang yang dirasuki hawa membunuh itu. Tak butuh waktu lama, Harry dan Ron yang sudah lihai menangkap barisan penyihir hitam bisa melumpuhkan Astoria yang masih memaki-maki Hermione dengan untaian kalimat kotor tak bermoral.

"Dasar perempuan jalang! Pencuri gila! Setelah merampas Theo dari kakakku, sekarang kau ingin menyambar Draco dari pangkuanku," Astoria menggeram berang, menggeliat melepaskan diri dari borgol tangan Harry dan Ron.

"Kau yang gila, Greengrass. Hermione mana mungkin berbuat serendah itu!" Ginny menghardik balik. Mengacungkan tongkat sihir kayu mapel ke wajah pucat Astoria yang mengilap karena air mata, Ginny yang marah bukan kepalang memerintahkan suaminya untuk menyeret keluar pengacau sinting yang nekat menyerang petinggi Kementerian Sihir.

"Kenapa? Kenapa Granger? Kenapa kau sangat membenci keluarga kami? Setelah Daphne, sekarang aku yang kau sakiti," Astoria meratap pilu, menangis sesenggukan di antara racauan tak beraturan.

Menundukkan wajah, salah satu gadis tercantik di Hogwarts itu berbalik memutar tumit, beranjak pergi di bawah tatapan lekat pegawai Kementerian Sihir yang menyemut di sekitar arena pertempuran.

"Astoria Greengrass, aku tak pernah bermaksud merebut Malfoy darimu! Tanya saja padanya! Saat itu kami hanya makan malam bersama!" Hermione berteriak bersungguh-sungguh, tak menggubris bisikan miring yang berhembus dari mulut-mulut usil di sekitarnya.

Menengok dari balik pundak, Astoria mengirimkan tatapan terluka yang mengiba. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, penyihir yang lebih muda dua tahun dari Hermione menghilang disertai desisan plop pelan.

Sepeninggal Astoria, keadaan tak berubah tenang. Para karyawan Kementerian Sihir yang masih bergerombol di sekitar kantor Hermione sibuk bergosip dan memanas-manasi situasi. Untungnya, pembicaraan yang membuat telinga Hermione bertalu-talu segera terhenti setelah Menteri Sihir, Kingsley Shacklebolt datang dan membubarkan kerumunan.

Setelah punggung terakhir menghilang di balik pintu dan koridor, Kingsley mengarahkan tatapan mata gelapnya ke sosok Hermione yang membeku. Menghela napas berat, Kingsley dengan enggan meminta Hermione untuk pergi ke kantor pribadinya di lantai satu. Sesegera mungkin memberi penjelasan terperinci tentang insiden penyerbuan Astoria Greengrass serta rumor miring yang berpotensi merusak kredibilitas Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir yang dipimpin Hermione.

"Tapi Sir, Anda tak semestinya percaya begitu saja pada bualan Rita Skeeter. Kita semua tahu kalau Rita Skeeter itu penyihir bermasalah yang gemar mengembangbiakkan kutu busuk pemicu cacat otak," Luna mengangguk-angguk seru, memandang Kingsley yang terbatuk-batuk mendengar pembelaan yang luar biasa nyeleneh dan tak masuk di nalar.

"Tenanglah, Miss Lovegood. Kami hanya ingin mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya," Kingsley kembali memperoleh gaya wibawa dan ketenangan yang biasa setelah berdeham beberapa kali. Mengeluarkan suara berat yang dalam dan menenangkan, salah satu pucuk pimpinan Orde Phoenix itu meminta Hermione untuk segera mengikuti langkahnya.

Merangkul sekilas bahu Ginny yang bergetar hebat karena amarah tertahan, Hermione membisikkan kata-kata penghiburan sekaligus ucapan terima kasih karena dua sobat dekatnya bersedia membelanya di saat-saat sulit seperti ini.

Di masa-masa genting menjelang kehancuran pernikahan kudusnya dengan Theodore Nott...


"Di saat genting seperti ini kau malah nekat menghancurkan kantor aparatur negara! Untung saja pengacara kita sudah membereskan semuanya sehingga kau tak dipidana karena menyerang salah satu pegawai top Kementerian Sihir!"

Mengawasi bibir tipis ibunya yang terus mengoceh keji tanpa henti, Daphne Greengrass tersenyum puas. Tadi, sewaktu mengetahui adik kandungnya merangsek masuk ke ruang kantor Hermione, Daphne hampir tak bisa menahan keinginan untuk bersorak gembira sembari menari samba, mensyukuri keberhasilan taktik adu domba yang dilakukannya.

Ya, berkat kejelian Malfoy dalam memanfaatkan situasi, termasuk menyuap Rita Skeeter untuk menulis berita palsu, ia bisa mengubah keadaan yang mulai tak menguntungkan.

Semalam, saat dirinya bertandang tiba-tiba ke ruang kerja Nott, Daphne mulai menyadari kalau pikiran bekas tunangannya mulai terpecah-belah. Setelah mencederai harga diri dengan menolak godaan bercinta seperti kuda liar di atas meja kerja, Nott malah menghabiskan banyak waktu untuk berbicara tentang Hermione.

Di sela-sela obrolan tak penting yang nyaris berlangsung semalam suntuk, Daphne menyadari kalau ekspresi wajah Nott melembut setiap kali menyebut nama Hermione.

Perubahan roman muka yang membuat Daphne tersadar kalau Nott tak lagi memendam kebencian menahun pada Hermione. Kondisi yang sudah pasti bisa merintangi tujuan utama mereka yang sesungguhnya. Kondisi riskan yang untungnya bisa ditambal berkat taktik Malfoy dan aksi impulsif Astoria pagi tadi.

Merapikan rok span ketat yang membungkus sepasang paha mulus, Daphne menyeringai saat adiknya merengek manja, meminta maaf atas kecerobohan yang dilakukan tadi pagi. Mengawasi ibunya yang melenggang pergi dengan kemarahan tinggi, Daphne melempar koran Daily Gossip yang memuat berita rekayasa tentang Malfoy dan Hermione ke sembarang arah.

"Bravo! Selamat, Tori. Kau berhasil membuktikan keberanianmu hari ini," Daphne bertepuk tangan sinis. Menepuk tempat kosong di sisi kiri, Daphne meminta adik perempuan satu-satunya yang masih menangis terisak-isak untuk duduk di kursi besar bersandaran lebar.

"Saat itu aku tak bisa berpikir, Daph. Aku benar-benar gelap mata sewaktu membaca berita tersebut," ujar Astoria lirih, menunjuk gambar yang termuat di sampul depan koran kuning itu. Harian bertiras besar yang mayoritas beritanya dibuat tanpa mengindahkan kaidah jurnalistik yang berlaku.

"Bagus bukan? Mungkin sebaiknya Draco jadi aktor panggung ketimbang jadi Presiden Direktur. Draco benar-benar punya bakat akting yang alami," puji Daphne murah hati, mengagetkan Astoria yang terduduk pilu.

"Apa maksudmu, Daph?"

"Tori, Tori, Tori," Daphne mengulang nama adiknya dengan nada sok manis yang dibuat-buat. Mengangkat koran bermasalah yang jadi sumber keresahan hati adiknya, Daphne menatap mata cokelat Astoria dengan sorot penuh kemenangan.

"Kau benar-benar gadis naif yang berpikiran dangkal dan sempit. Hanya karena dikipasi berita pura-pura kau langsung bertindak membabi-buta."

"Berita pura-pura?" Astoria terkesiap protes, melebarkan dua bola mata dengan polos. Balik menatap wajah Daphne yang menebar senyum lebar, gadis bangsawan yang menguasai seni berbicara halus itu berharap perkataan kejam yang didengarnya barusan cuma lelucon konyol dan hambar atau setidaknya hanya kesalahan penafsiran semata.

"Iya, pura-pura. Rita Skeeter menulis berita seperti ini karena diminta dan dibayar oleh Draco," tambah Daphne lancar, menyeringai miring menyaksikan jemari adiknya yang mengencang.

"Dibayar? Oh Tuhan, buat apa Draco menyogok Rita Skeeter untuk memuat berita kacangan seperti ini," Astoria memprotes liar, dengan lunglai memegangi kepala cokelat yang mendadak berputar-putar.

"Untuk menjatuhkan karier Granger tentunya," Daphne membalas tajam, netra cokelat miliknya membara dengan cahaya berbahaya. Tak mempedulikan mata sendu saudari kandungnya yang berkilauan digenangi air mata, Daphne tanpa sungkan mengumbar semua kebusukan hati.

"Aku yakin, karier Granger akan merosot gara-gara skandal ini. Apalagi saat kabar tentang penyerbuanmu tadi pagi dimuat di koran Daily Prophet esok hari," Daphne mengakhiri penjelasan seraya menguntai gelak tawa melengking. Tawa meninggi tak terkendali yang membuat tulang punggung Astoria membeku.

"Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan? Aku... aku telah salah mengambil kesimpulan," Astoria meracau tanpa henti, menyaingi gelak tawa dingin Daphne yang menjijikkan.

Mengusap air mata panas yang menuruni bilah pipi, Astoria mengingat kembali kepedihan yang membayang di wajah Hermione. Kegetiran yang ditimbulkan oleh tuduhan-tuduhan marah dan tudingan salah kaprah.

"Aku harus segera minta maaf ke Granger," Astoria meloncat berdiri secepat kilat, hanya untuk kembali terduduk saat lengannya disambar paksa oleh kakaknya.

"Jangan coba-coba kau meminta maaf pada Darah Lumpur itu!" Daphne memekik di kuping Astoria, membuat adik cantiknya nyaris terkena gangguan pendengaran.

"Pakai otakmu, Tori. Meminta maaf pada Granger sama saja merusak rencana yang telah disusun olehku, Theo dan Draco! Kau tentu tak mau Draco jadi membencimu kan?"

Terisak lemah, Astoria menggigiti bibir bawah, terombang-ambing di antara dua pilihan yang sama sulitnya. Jika ia meminta maaf pada Hermione, Draco Malfoy pasti menganggapnya sebagai pengkhianat dan mungkin akan membatalkan pertunangan mereka. Tapi, jika ia tetap berdiam diri, nuraninya terus dihantui rasa bersalah karena telah mengata-ngatai Hermione dengan kalimat kotor yang tak bisa ditoleransi.

"Kau tak mau Draco meninggalkanmu bukan?" Daphne kembali mengeluarkan jurus bujukan. Mengelus-elus rambut halus adiknya yang selalu dibersihkan dengan air pegunungan nomor satu, Daphne menyunggingkan senyum manipulatif. Senyum iblis penggoda yang sejak dulu sukses meruntuhkan iman penyihir manapun yang diinginkannya.

Mengangguk lemah, Astoria membenamkan wajah dengan kedua telapak tangan. Di sela-sela sedu sedan penyesalan, Astoria tak bisa menghindari kebenaran fakta yang diajukan kakaknya.

Sejak kecil, ia sudah berangan-angan menikah dan membentuk keluarga bersama Draco Malfoy. Ia pasti tak akan bisa bertahan hidup jika Malfoy memutuskan ikatan pertunangan mereka. Perjodohan sejak kecil yang menjadi sumber utama kebahagiaannya.

Melihat aura kalah adiknya, Daphne mendesah penuh kepuasan. Mata cokelat tajam Daphne yang dialiri kebencian tak terlampiaskan terpancang pada tanggal yang dilingkari di kalender duduk yang berdiam apik di atas meja kayu ukiran tangan.

Tanggal keramat yang akan menjadi pusat kiamat bagi Hermione Jean Granger. Darah Lumpur jalang yang berani mengguncang ketenangan teritori sihir warga ular Slytherin...


Untungnya, kiamat karier dan perintah penskorsan yang ditakutkan Hermione tak terjadi. Kingsley Shacklebolt yang sudah mengenal Hermione luar dalam tak serta-merta memercayai semua keterangan yang ditulis koran sinting sekaliber Daily Gossip.

Di sesi interogasi dan tanya jawab yang digeber di kantornya pun, Kingsley banyak membantu Hermione untuk menjernihkan situasi sekaligus mengubah opini para petinggi Departemen lain yang terusik dengan kabar tak sedap tersebut. Setidaknya, dengan bantuan Kingsley yang mendukung terang-terangan serta reputasi sebagai salah satu pahlawan perang, Hermione bisa menyegel posisi berpengaruh di institusi tertinggi dunia sihir Inggris tersebut.

Sayangnya, kegembiraan Hermione karena berhasil mengubah pandangan miring rekan sekerjanya tak berjalan sempurna. Sewaktu pulang ke Nott Manor, Hermione yang berharap bisa bertemu suaminya untuk berkisah panjang lebar terpaksa gigit jari.

Menurut ayah mertuanya, Nott mendadak pergi ke Arab Saudi untuk membahas kontrak ladang minyak di kerajaan Jazirah Arab beriklim gurun itu. Kendati demikian, Mister Nott menggaransi kalau putranya akan kembali sebelum pesta ulang tahunnya yang ke dua puluh empat tahun, esok lusa.

Menyusuri koridor dengan langkah gontai, mengabaikan lukisan hidup nenek moyang Nott yang mengacungkan jari tengah ke arahnya, Hermione membuka pintu kamar. Menyalakan lampu kristal dengan jentikan tongkat sihir, Hermione mencermati suasana kamar yang muram tanpa kehadiran suaminya.

Merebahkan tubuh pegal di ranjang besar, tepat di samping kucing kaki bengkok, Crookshanks yang mendengkur pulas, Hermione menatap permukaan daun jendela. Terbaring nyalang memandangi bulan yang tergantung separuh di langit, Hermione memikirkan kembali kehidupan perkawinannya yang sudah berlangsung selama enam bulan.

Dalam rentang waktu setengah tahun, Nott memang belum sepenuhnya menjadi sosok suami yang diinginkan Hermione. Oh ya, Nott memang tak pernah bersikap maupun berkata kasar, tapi penyihir berpostur tegap itu masih enggan berhubungan dengan lingkaran dalamnya.

Sejak menikah, Nott memang tak pernah mau berkomunikasi maupun bertemu dengan Harry, Ron maupun orangtua Hermione yang notabene merupakan mertuanya. Untuk yang pertama, Hermione masih bisa menolerir mengingat di masa remaja, Harry dan Ron sering berselisih paham dengan Nott. Namun, keengganan Nott untuk berdekatan dengan ayah dan ibunya sempat menumbuhkan jutaan tanda tanya.

Terkadang, cinta membuat manusia mengabaikan logika...

Membuang prasangka yang menyatakan Nott belum bisa menerima status darah orangtuanya, Hermione mengalihkan konsentrasi ke pesta ulang tahun suaminya. Sebenarnya, ia ingin turun tangan langsung menyiapkan pesta tersebut. Namun, obsesi tersebut kandas sebab Nott sudah terlanjur menyewa penyelenggara acara terkenal untuk mengurusi tetek bengek pesta akbarnya.

Memikirkan pesta membuat ingatan Hermione melayang ke gaun hijau keperakan yang diminatinya. Tiga minggu lalu, saat berjalan bersama-sama Nott di pusat perbelanjaan sihir Diagon Alley, ia langsung jatuh cinta pada busana pesta yang dipajang di etalase toko Madam Malkin.

Waktu itu, Nott hanya mendengus melihat ketertarikannya pada gaun berbahan halus melayang itu. Satu-satunya kalimat yang diucapkan Nott hanyalah usulan untuk membeli jubah pesta berharga selangit itu dengan uangnya sendiri. Gagasan yang langsung ditepis Hermione sebab tak sesuai dengan prinsip hidup hemat yang dianutnya.

Terkadang, jika dipikir ulang, selama menikah Nott memang tak pernah memberi hadiah atau kejutan kecil untuknya. Sejauh ini, Hermione tak menganggap hal tersebut sebagai masalah besar sebab tujuannya menikahi Nott bukanlah mengeruk kekayaan melainkan untuk bersatu dengan orang yang dicintainya.

Menguburkan wajah di bantal dan menghirup aroma eksotis maskulin yang menggoda hidung, Hermione menguap lebar. Selang beberapa jenak kemudian, Hermione jatuh tertidur sambil membawa impian membahagiakan suaminya.

Impian yang hancur tak bersisa kurang dari empat puluh delapan jam kemudian...


"Tak percuma kau merias diri berjam-jam, Hermione. Kau tampak memukau malam ini."

Tergelak pelan mendengar sanjungan ayah mertuanya, Hermione berputar-putar di atas tumit, memamerkan gaun pesta warna kecubung yang dipakainya. Dipadukan cepol kecil yang menghiasi mahkota kepala, wajah Hermione yang dipoles kosmetik natural tampak berkilau seperti kunang-kunang di malam hari.

Menyeringai melihat senyum cerah menantunya, Mister Nott menjulurkan lengan. Mengajak menantu kesayangannya untuk segera pergi ke Hotel The Langham, London; tempat di mana pesta ulang tahun Nott akan diselenggarakan.

"Aneh sekali Theo itu, menyuruh kita segera pergi tanpa dirinya. Padahal, seharusnya dia datang ke pesta bersamamu," Mister Nott menggerutu kecil, mengenang kembali instruksi putranya yang agak ganjil dan di luar nalar.

"Kata Theo, itu merupakan salah satu kejutan spesial," Hermione menjawab kalem, tersenyum tipis melihat kerut-merut melingkar di dahi bapak mertuanya.

"Nah, justru itu letak keanehannya. Theo yang berulang tahun, lalu kenapa dia yang harus menyiapkan kejutan?" Mister Nott kembali bertanya-tanya curiga. Manik hijau pekat sewarna kilau batu zamrud-nya menerawang jauh, mencerna tingkah polah sang putra tunggal yang di luar kebiasaan.

"Sudahlah, Dad. Daripada kita bingung dan bertanya-tanya, lebih baik kita segera pergi ke tempat pesta," saran Hermione, menepuk pelan lengan ayah mertuanya yang terbungkus jas hitam legam.

Memberi anggukan tunggal, Mister Nott memandang Hermione dengan sorot terharu. Meski sudah enam bulan disapa dengan sebutan Dad, julukan hangat itu masih membuatnya berkaca-kaca bahagia.

Dulu, sewaktu menyetujui syarat yang diajukan Kingsley Shacklebolt, ia hanya memandang Hermione sebagai jembatan menuju kebebasan. Namun, seiring dengan bergantinya hari, ia tak bisa menutup mata melihat kepedulian tinggi Hermione pada keluarganya.

Semenjak kedatangan Hermione banyak perubahan positif terjadi di Nott Manor. Kastil bergaya Palladian yang selama berabad-abad terkenal angker dan suram menjelma menjadi rumah hangat yang bermandikan cahaya. Selain mengganti dekor rumah ke arah yang lebih baik, Hermione juga berhasil mengubah gaya hidup putranya. Dulu, sebelum menikah, anak tunggalnya itu selalu begadang dan mabuk-mabukan semalaman.

Kini, semenjak menikah, putra kesayangannya tak pernah lagi terserang penyakit insomnia yang sudah menyerang semenjak kanak-kanak. Atau tepatnya semenjak pewaris satu-satunya itu ditinggal mati ibunya yang wafat puluhan tahun silam.

Melirik menantunya yang masih mengumbar senyum secerah senyum anak-anak yang bermain di taman, Mister Nott bersyukur telah menjodohkan putranya dengan Hermione. Dengan penyihir berintelegensi tinggi yang mampu membawa seleret kegembiraan bagi keluarganya.

"Apa yang kau pikirkan, Dad? Ayo, kita segera pergi ke pesta. Theo pasti sudah menunggu kita di sana," bujuk Hermione, menepuk pelan lengan ayah mertuanya yang berdiri setengah melamun.

Menyeringai setuju, Mister Nott bergegas membawa menantu favoritnya ber-Disapparate ke Hotel The Langham, salah satu hotel termewah di Inggris. Tempat penuh cahaya yang tak diduga justru membawa kilat duka bagi keduanya...

Sebelum ber-Disapparate menghilang, sekelebat firasat kelam sempat menghantam Hermione. Pikiran tak enak yang saat itu dianggap Hermione sebagai akibat dari kesedihan hati karena tak bisa mengajak orangtuanya maupun teman-teman terbaiknya ke pesta.

Sesuai dengan ultimatum Nott, suaminya itu tak mau ada satu penyihir lain selain Slytherin yang datang ke pesta. Sebagai istri yang baik, mau tak mau Hermione menuruti kemauan suaminya meski hatinya sedikit memekik memprotes.

Setibanya di tempat pesta, napas Hermione tertahan di tenggorokan ketika melihat dekorasi mewah yang menghiasi ruangan. Interior megah yang sudah tentu membutuhkan banyak biaya dan dana. Bukti shahih kecintaan suaminya pada gaya hidup hedonis dan harta benda keduniawian.

Melihat kehadiran Hermione dan Mister Nott, barisan tamu undangan berkostum gemerlap langsung menghentikan aktivitas mereka. Menelan ludah, Hermione mengusir rasa tak nyaman yang membungkus kalbu. Bisikan bahaya yang timbul akibat pandangan menusuk dan senyum mematikan yang tertuju padanya.

Pikiran Hermione semakin silang selimpat ketika melihat Nott berdiri di tengah ruangan, di dekat meja besar yang berisi kue ulang tahun berwarna putih keemasan. Di samping Nott, Daphne Greengrass bersandar anggun, seanggun gaun hijau keperakan yang dikenakannya. Gaun berkelas yang tiga pekan lalu dipajang cantik di displai toko Madam Malkin.

Seolah menyadari dirinya diamati, Daphne menolehkan wajah. Meliukkan bibir ke atas, Daphne menepuk bahu Nott yang sedang asyik berbincang dengan Draco Malfoy.

Menengok lewat pundak, mata Nott sedikit tersentak ketika matanya terkunci dengan iris cokelat Hermione. Saat mata mereka beradu pandang, Hermione nyaris bersumpah dirinya melihat binar kekaguman melintas di pupil hijau suaminya. Sinar menyenangkan yang langsung tersaput menghilang dalam hitungan detik.

Mengerucutkan bibir melihat gelagat Nott yang sedikit mencurigakan, tanpa membuang waktu Daphne menggamit lengan Nott. Di bawah tatapan konspirasi para tamu undangan, Daphne tanpa malu-malu berjalan bersisian menuju Hermione dan ayah mertuanya.

Napas Hermione terhenti dan memadat di dalam dada melihat perilaku Daphne yang bersikap seakan-akan dirinya merupakan nyonya rumah. Melempar rambut panjang yang sehalus gula kapas ke belakang, mata tanpa perasaan Daphne menyipit penuh kemenangan. Tampak puas mengamati ekspresi khawatir yang mengalir di paras saingan abadinya.

"Lihat, Theo. Darah Lumpur akhirnya datang juga. Ini berarti acara puncak segera dimulai," Daphne berkata nyaring, sengaja mengeraskan suara dengan Mantra Sonorus sehingga bisa menjangkau seisi ruangan.

"Jaga mulutmu, Daphne!" bentak Mister Nott, mengepalkan kedua tangan lekat-lekat. Di masa lalu, sebelum tersangkut di terali Azkaban, Mister Nott mungkin tak akan sungkan mengucapkan kalimat rasis tersebut.

Namun, sekarang berbeda. Penderitaan hidup di penjara serta kasih sayang tulus Hermione padanya membuat mantan tokoh golongan hitam itu tak bisa menerima hinaan yang ditujukan pada anggota keluarga barunya.

"Jangan membentak Daphne, Father! Daphne hanya mengatakan yang sebenarnya. Sekalinya Darah Lumpur ya tetap Darah Lumpur," Nott berbicara dengan suara datar berbahaya. Melengkungkan senyum tak lucu melihat ekspresi kacau Hermione, Nott merangkulkan lengan di pinggang ramping Daphne yang menyeringai girang.

"Sekalinya Darah Lumpur ya tetap Darah Lumpur!"

Otot-otot tubuh Hermione membeku mendengar pembelaan kejam tersebut. Manik matanya mengembun menatap Nott yang menjulang berang. Hilang sudah kehangatan yang biasanya terpancar keluar dari raga Nott. Malam ini, suami yang amat dikasihinya seolah berubah menjadi dewa pencabut nyawa.

"Jangan... jangan main-main, Theo. Kalau bercanda jangan keterlaluan seperti ini," Hermione terbata, melambaikan sebelah tangan dalam gerakan tak beraturan. Melayangkan tatapan merana, Hermione berharap semua tutur kata sadis yang dilontarkan suaminya hanya kejutan ekstra yang tak bermakna apa-apa.

"Ini bukan April Mop, Idiot. Jadi, semua yang kukatakan tentu saja merupakan kenyataan, Granger!" bentak Nott, menyeringai sinis saat wajah Hermione memucat mendengar marga lawasnya diucapkan dalam nada sedingin es.

Tertawa tak merdu melihat Hermione yang tersedak dan tak mampu berkata-kata, Daphne melepaskan kuku bermanikur dari lengan Nott. Menatap Hermione dari balik bulu mata tebal yang disaput maskara, Daphne menepuk-nepuk lembut gaun hijau keperakan yang membungkus tubuh molek yang panas menggiurkan.

"Bagus bukan, Granger? Theo yang membelikannya khusus untukku. Katanya, gaun ini lebih cocok dipakai olehku. Satu-satunya perempuan yang dicintainya," Daphne berputar-putar congkak di tempat, persis seperti ular berbisa berbuntut merak. Bibir merah sempurna Daphne melengkung berbahaya, melebar hingga ke telinga saat gemuruh tawa dan acungan jempol menggetarkan ruangan.

Tengkuk Hermione menegang mendengar pengakuan sumbang tersebut. Menyipitkan mata segaris, Hermione menerjang Daphne yang masih tertawa melengking.

"Bohong! Kau pasti berdusta, Greengrass," Hermione menggeram tanpa ampun, tak tahan lagi menonton kebohongan yang dipersembahkan bekas teman sekolahnya.

"Dia tidak bohong, Granger!" suara Nott menghentikan pergerakan kaki Hermione. Menengok cepat, Hermione berhadapan dengan wajah Nott yang mengeras. Kekejaman yang tergores membuat wajah tampan Nott seolah berubah jadi batu berbahaya.

"Apa maksudmu, Theo?" Hermione dan Mister Nott bertanya serempak. Menyipitkan pandangan sekejam mungkin, Mister Nott menghardik tamu undangan untuk berhenti bersorak mencemooh Hermione. Permintaan yang hanya ditanggapi setengah hati oleh penyihir tak berbudi yang memadati ruang pesta.

"Maksudnya, aku tak mencintaimu, Granger," Nott menghela napas seolah bosan. Tersenyum tenang, tatapan mematikan Nott terfokus pada iris cokelat Hermione yang berkilat seperti guntur di musim panas.

Melihat muka Hermione pucat pasi total seakan tak berdarah, Nott menyeringai arogan, tanpa ampun melanjutkan untaian kata-kata menyakitkan. Tak memedulikan raungan kemarahan ayahnya maupun isak kering Hermione, Nott menegaskan bahwa dirinya sangat membenci Hermione karena menyeretnya ke dalam neraka pernikahan tak diinginkan.

"Kau telah merusak hidupku, Granger. Dan untuk itu, aku bersumpah untuk menghancurkan hatimu dan kariermu. Hatimu, dengan berpura-pura mencintaimu. Kariermu, dengan menciptakan skandal palsu antara kau dan Malfoy," Nott mengangguk ketus, anggukan kejam yang disambut tepukan gegap gempita dari kroni-kroni Slytherin yang memadati ruangan. Kamerad-kamerad culas yang sengaja diundang untuk menyaksikan panggung penuh baluran duka air mata.

Hermione tak bisa menerjemahkan luka yang dikecap saat pengakuan tersebut bergaung di telinga. Setiap partikel di tubuhnya menjerit terguncang, tersayat-sayat pisau pengkhianatan. Iris cokelatnya terasa panas dan terbakar, lengket dan sembab karena guliran air mata duka.

Hermione sama sekali tak mengira kasih sayang murninya akan dibalas tuba seperti ini. Ia sama sekali tak menyangka semua kenikmatan total yang manis dan perlakuan mesra Nott padanya cuma akting drama semata. Ia sama sekali tak menduga Nott tega mengkhianati cinta tulusnya dengan berselingkuh di belakang punggungnya.

Berselingkuh diam-diam dengan seorang wanita licik yang dulu diaku-aku sudah tak lagi dicintainya...

Bisik-bisik menghina menghentakkan Hermione dari kegetiran pikiran. Menengadahkan wajah tinggi-tinggi, Hermione memandang Nott dengan bola mata yang menyimpan kepedihan tak tergalang. Seiring dengan setiap tarikan napas yang mengalir lirih, pupil bening Hermione menggelap. Membentuk selubung pekat yang selama sepersekian detik membuat Nott terkesiap.

"Lalu, apa yang sebenarnya kau inginkan, Theodore Nott?" tanya Hermione kelam, menyisipkan nada dingin di nama lengkap suaminya. Intonasi suara yang membuat mulut-mulut usil di sekelilingnya terdiam kaget.

Termenung sejenak, seakan menimbang-nimbang jawaban, Nott menatap Hermione yang balas mengawasi dengan pandangan tak tertembus. Kesenyapan ganjil menghiasi ruangan, hanya deru napas, detak jantung dan geraman tertahan Mister Nott-lah yang membuat lokasi pesta itu tak sesepi kuburan tua.

Cubitan pelan Daphne menyentak kesadaran Nott. Menggemeretakkan geligi, Nott menarik napas dalam-dalam. Menepis keinginan kasar untuk mundur ke belakang dan mengakhiri permainan, Nott menguatkan diri untuk menjawab pertanyaan Hermione. Menjawab dengan susunan kalimat yang sudah dirancang masak-masak bersama Daphne dan Malfoy.

"Aku hanya ingin berpisah darimu, Granger. Tapi apa daya, itu semua tak bisa terjadi sebab pernikahan di dunia sihir tak bisa dipisahkan kecuali oleh kematian," Nott menghela napas dramatis. Mencermati senyuman pedih yang terulas di sudut bibir Hermione, Nott melanjutkan celotehan.

"Jadi, apa boleh buat. Selama cincin keluargaku masih terpasang di jarimu, aku terpaksa harus terus hidup bersamamu meski batinku tersiksa," tuding Nott, menunjuk jari manis Hermione yang berkilau. Lokasi di mana cincin keramat keluarganya terpahat.

"Brengsek, Theo! Hentikan kegilaanmu itu! Ayo minta maaf pada Hermione!" Mister Nott menggebrak keras, menginterupsi omongan melantur yang diucapkan pewaris tunggalnya. Putra semata wayang yang tak bisa menghargai berkah kehidupan yang direngkuhnya.

"Jadi, itu keinginanmu, Theodore Nott? Berpisah dariku?" Hermione berbisik penuh emosi, suara pecahnya terdengar lirih, seperti sedang menyanyikan lagu sedih dalam nada minor.

Melihat Nott mengangguk ragu lamat-lamat, Hermione melarungkan rasa langut yang menerpa. Pelan tapi pasti membiarkan bunga cintanya meranggas dan mati tanpa tersisa.

"Kau beruntung, Theodore Nott. Karena ini hari ulang tahunmu, aku akan menganugerahimu hal yang paling kau inginkan itu," Hermione mengangkat tangan kiri, memperlihatkan cincin berukiran rumit yang berpijar terang terkena cahaya lampu.

"Jangan beri harapan palsu, Granger. Mana mungkin kau bisa melepaskan diri dari Nott. Sebagai penyihir yang menganggap dirinya genius, bukankah kau tahu kalau sekali terpasang, cincin pernikahan pusaka tak bisa dilepas kecuali jika si pemakainya mati?" Draco Malfoy mencemooh pedas, disambut gumaman setuju para pengunjung.

Bersandar pucat di sebelah Malfoy, tampak jelita seperti biasa dalam balutan gaun sutra brokat warna emas, Astoria Greengrass menundukkan wajah dalam-dalam. Sesekali di tengah isak tangis pelan, tangan langsing Astoria yang dihiasi untaian gelang logam platinum terulur untuk mengusap sudut mata bening yang berair.

"Betul, Nak. Sampai akhir hayat kau adalah istri Theo, menantu kesayanganku," Mister Nott berujar serak, nyaris seperti gumaman. Menancapkan tatapan membunuh ke arah Daphne yang dipandang sebagai sumber prahara, pria paruh baya yang masih terlihat kekar di usia senja itu berbicara tanpa kata, mendesak putra satu-satunya untuk meralat semua perkataan brutal yang diucapkan.

Ketika Nott tetap bergeming, Mister Nott beranjak mendekati Hermione yang masih mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dengan lembut dan perlahan, lelaki matang dengan rambut bergaris-garis putih itu mengingatkan menantunya kalau cincin sakti tersebut merupakan penyegel pernikahan abadi. Pernikahan suci dan kudus yang hanya bisa dipisahkan oleh kematian.

Bujukan bekas Pelahap Maut profesional itu terhenti ketika Hermione mencopot cincin pusaka di jari manis semudah membalikkan telapak tangan. Di bawah suara kesiap dan tatapan terkejut, Hermione menyorongkan cincin berharga tersebut ke tangan Daphne Greengrass yang tercengang-cengang.

"Cincin pusaka ini hanya bisa terlepas jika kematian menimpa salah satu pihak. Hermione Jean Granger yang mencintaimu sudah mati, Theodore Nott. Itulah yang membuat cincin ini bisa terlepas," Hermione berseru gemetar, menahan isak tangis yang menggumpal di tenggorokan. Ratapan kesedihan tak berujung karena ditikam dari belakang oleh belahan jiwanya. Belahan jiwa yang tengah menatap terkesima dengan sorot menganga tak percaya.

"Tidak mungkin. Seharusnya cincin itu tak pernah bisa terlepas dari jarimu," tanpa sadar Nott meracau, wajah tampannya memucat seputih kertas. Di sampingnya, Daphne menyeringai tamak, mengamat-amati cincin keramat perak murni yang berharga jual tinggi.

"Kematian bukan cuma kematian fisik, Theodore Nott. Tapi juga kematian hati," Hermione menjawab getir, mengerjapkan bulu mata untuk membendung buliran bening yang menggenang di ujung mata.

Meskipun hatinya hancur berantakan seperti abu, sebagai lulusan Gryffindor, pantang bagi Hermione untuk menujukkan kelemahan diri. Apalagi di hadapan penonton alumni Slytherin yang menyoraki dengan kata-kata keji.

"Jika kau mengajukan syarat agar aku menunda kehamilan, aku mengusulkan syarat perceraian terlegalkan jika aku tak lagi mencintaimu," bisik Hermione miris, mengawasi bibir Nott yang berkedut.

"Tadinya, aku kira hal itu mustahil terjadi. Nyatanya, sekarang-" Hermione menggantung kalimatnya, membiarkan makna kata-katanya teresap dalam di angkasa.

Memeluk singkat bekas ayah mertuanya yang hampir semaput terkejut, Hermione bergumam serak, mengucapkan terima kasih karena sudah menjadi ayah kedua yang baik padanya. Karena sudah menerimanya sebagai salah satu anggota keluarga Nott selama enam bulan terakhir ini.

Melepaskan tubuh dari rengkuhan Mister Nott yang mulai menangis tanpa suara, Hermione mengangkat hidung tinggi-tinggi. Mata cokelatnya yang dulu tampak jernih seperti kaca tembus pandang kini menggelap, menatap Nott dan Daphne dengan sorot sekelam awan di kala badai.

"Dokumen perceraian kita akan segera kulayangkan secepatnya, Theodore Nott. Begitu juga dengan pengumuman perceraian kita yang akan kukirimkan untuk dimuat di seluruh koran nasional esok pagi."

Mengakhiri keterangan tegas yang diucapkan dengan nada datar, Hermione memutar tubuh. Diiringi gemuruh sorakan dan gelak tawa, Hermione ber-Disapparate menghilang. Sama sekali tak melihat secercah kehampaan yang menyala di sepasang manik hijau gelap Nott.

"Dasar bodoh! Kejar dia, Theo! Jangan biarkan pelacur jalang ini merusak hidupmu!" Mister Nott menghardik berang, menuding wajah sombong Daphne yang merengut tak terima karena disebut sebagai kupu-kupu malam murahan.

Di sela-sela guruh tawa dan tepuk tangan membahana, Nott masih berdiri tegak. Kesedihan penuh amarah ayahnya maupun ringkik kemenangan Daphne tak mampu melepaskan Nott dari perasaan bimbang yang menggelayuti.

"Hermione Jean Granger yang mencintaimu sudah mati, Theodore Nott..."

Seharusnya ia bersuka cita karena hal yang diinginkannya tergapai. Seharusnya ia bergembira karena harapan utama telah menjadi kenyataan. Namun entah kenapa, hanya kehampaan tak bermakna yang dirasakan saat ini. Kekosongan batin yang melanda tatkala ingatan tentang perasaan terakhir Hermione kembali terngiang di telinga.

"Hermione Jean Granger yang mencintaimu sudah mati, Theodore Nott..."

BERSAMBUNG