Sasuke berjalan dengan kedua kakinya di atas aspal yang basah akbat hujan germis yang tak turun sejak berbulan-bulan lalu. Bau tanah basah menyeruak masuk ke saraf pembau di hidungnya meski sebagian besar jalan telah dilapisi aspal atau paving. Bagian dari polesan yang tidak rata menyebabkan genangan air.

Tetesan air jatuh mengenai rambut Sasuke, turun ke bahunya yang berlapis mantel kulit berwarna coklat tua. Hujan pertama di bulan Juni membuat pipi telanjangnya beku. Gigi dan tulangnya ngilu. Ketika tetesan gerimis telah menjadi hujan, Sasuke meraih sebuah tangan milik seseorang yang sedari tadi berjalan di sampingnya. Menariknya untuk berlari.

Hujan semakin deras sementara mereka belum menemukan tempat berteduh.

Ia mendengar air berkecipak ketika sepatunya menghantam aspal. Air hujan memasuki matanya hingga berubah warna menjadi merah dan terasa perih, tidak ada waktu untuk memakai pelindung untuk saat ini. Sekujur tubuhnya telah basah, mulai ujung rambut sampai kaus kaki yang ia kenakan di dalam sepatu. Sasuke pun menggenggam tangan itu lebih erat dan mempercepat larinya.

"Kita hampir sampai."

Sampai. Ke mana? Sasuke sendiri tak yakin ia sedang berbicara dengan siapa.

Kemudian hal itu terjadi. Sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya, ke area pejalan kaki. Orang-orang di sekitarnya menjerit ketakutan, beberapa dari mereka mencoba berlari, menghindar, akan tetapi hal itu terjadi dalam waktu yang lebih singkat dari kedipan mata. Sasuke membeku, bersiap-siap akan kemungkinan terburuk yang terjadi apabila truk itu menabraknya. Dalam waktu kurang dari satu atau dua detik sebelum terdengar bunyi tulang beradu dengan besi, Sasuke sempat melirik wajah pemilik tangan yang sedari tadi digandengnya.

Dia mengenali wajah itu, tentu saja.

Satu-satunya orang yang ia cintai di dunia ini.

Rambutnya yang halus, pipi yang memerah saat Sasuke membisikkan kata-kata cinta, bibirnya yang diciumnya di tengah-tengah mereka bercinta. Lalu tangannya… tangannya yang selalu digenggam dan takpernah di lepas seperti saat ini.

Sebelum ia sanggup mengatakan satu nama yang telah menggantung di ujung lidahnya.

Ia melihat pemandangan yang terlalu familiar, sudut tidak biasa yang mampu dilakukan manusia apabila leher mereka berputar, darah yang keluar dari telinga mengalir keluar menodai pipi. Mata yang memandangnya kosong, tidak bernyawa. Lalu terdengar suara retakan seperti cabang pohon yang patah, tulang-tulangnya yang remuk terhimpit aspal dan badan truk. Di tengah-tengah keributan― teriakan orang-orang, ledakan, gesekan, dan detak jantung terakhirnya―Sasuke mendengar lonceng berbunyi dari kejauhan.


.

Another Universe

By Pearl

Happy SasuNaru day!

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: mention SasuSaku & SasuHina, tapi tenang saja main pairingnya SasuNaru.

.


Maybe in another universe, I deserve you.


.


Sasuke membawa tangan yang bergetar menekan dadanya. Menahan jantung yang sewaktu-waktu bisa melompat keluar kapan saja karena berdebar terlalu kencang.

Ia tersentak, matanya terbuka dengan kasar. Langit-langit putih kamarnya terlihat berwarna abu-abu akibat penerangan yang minim. Ia terbangun di tengah kegelapan tapi matanya seperti terbakar.

Apakah Mimpi?

Akan tetapi, bagaimana bisa mimpi terasa bengitu nyata. Bahkan hingga saat ini Sasuke masih merasakan sakitnya terhimpit dua benda keras, ia masih bisa merasakan hangat darah di tangannya.

Ia terdiam beberapa saat sebelum jiwanya kembali sepenuhnya.

Sasuke mencoba mengingat siapa dirinya… Ia Sasuke Uchiha, 23 tahun. Bekerja sebagai manager sejak tiga bulan lalu, hobinya pergi makan di café setiap hari. Yang paling penting… dia single: tidak sedang berhubungan dengan siapapun baik laki-laki maupun perempuan.

Sasuke beringsut turun dari ranjang, sedikit mengigil ketika telapak kakinya menyentuh lantai kamar yang dingin, tapi ia tidak peduli. Dengan memegangi kepalanya yang berat Sasuke menyeret tubuhnya ke dapur dan memutar kran, kedua tangannya menangkup air yang mengalir keluar kemudian meminumnya seolah kehausan dan sepenuhnya melupakan fungsi benda bernama gelas di dunia ini.

Pukul 7.55, Sasuke sampai di kantornya dan terpaksa mengerutkan dahinya ketika melihat tumpukan proposal menggunung di mejanya. Dengan setengah menyeret kaki, pria lulusan sarjana ekonomi itu duduk di kursi empuknya yang lebih terasa seperti kursi penyiksaan karena ia harus duduk selama 8 jam―belum termasuk lembur―untuk bekerja. Proposal marketing, ini, itu, pasar a, b,―persetan. Menjadimanager ternyata tidak senikmat gajinya yang besar di awal bulan, pekerjaannya juga seimbang. Sama-sama besar.

Jam kerja baru di mulai beberapa saat lalu, akan tetapi Sasuke sudah ingin jam istirahat tiba. Ia jarang makan di kantin yang terletak di lantai bawah, Sasuke lebih suka makan siang sambil minum kopi di café tak jauh dari gedung kantornya, hitung-hitung refresing setelah berhadapan dengan kertas menyebalkan dan manusia-manusia yang membosankan.

Sudah rutinitas sejak Sasuke masih menjadi pegawai biasa, setiap istirahat makan siang ia akan selalu pergi ke café itu, kadang sendirian, kadang ditemani Sai―teman yang dulu masuk bersamaan dengan Sasuke, dan kini menjadi anak buahnya. Sasuke kenal baik dengan pemiliknya, seorang pria yang sepertinya memiliki penyakit insomnia berat hingga daerah di sekitar matanya menjadi hitam, Gaara. Gaara sering memberinya kue gratis setiap hari Selasa dan Jumat, dia berkata bahwa Shikamaru selalu membuat kue 'kelebihan' dari jumlah yang telah ditentukannya untuk dijual. Terkadang Sasuke merasa sungkan, namun kue buatan Shikamaru tidak layak untuk ditolak.

Belum separuh Sasuke membaca proposal―yang ketiga―pintu ruang kerjanya diketuk pelan, lalu suara yang familiar di telinganya terdengar.

"Selamat siang, Sasuke-san, saya Haruno, boleh saya masuk?" seperti lupa dengan kebiasaan sang manager, tanpa menunggu persetujuan ia masuk ke dalam dan menyerahkan selembar amplop berwarna silver di atas mejanya yang penuh tumpukan kertas.

"Hari yang berat, Sasuke-san?" Ia tersenyum.

"Ada apa?" Sasuke berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari proposal yang dibacanya, ia tidak terlalu suka seseorang menginterupsi pekerjaannya, harusnya Sakura Haruno tahu itu. Jika memang hal tersebut terjadi, Sakura tidak akan berani masuk kecuali berita itu benar-benar penting.

"Saya diutus Namikaze-sama untuk membagikan undangan itu, Sasuke-san. Maaf saya terburu-buru jadi saya masuk tanpa―"

"Undangan apa?" Sasuke menginterupsi sembari membalik lembar proposalnya.

"Undangan pesta selamat datang dan ulang tahun, Sasuke-san." Ujar Sakura dengan nada sopan, Sasuke langsung kehilangan konsentrasi.

"Ulang tahun?"

"Benar," Sakura mengangguk, "pesta selamat datang dan ulang tahun putra dari Namikaze-sama yang baru saja pulang dari Jerman, Sasuke-san."

Sasuke mendesis. Jadi hanya karena menyampaikan udangan pesta anak boss-nya, Sakura sampai harus masuk ke dalam ruangan tanpa persetujuannya?

"Kapan pestanya digelar?" Sasuke mencoba mengkonsentrasikan diri melanjutkan membaca proposal.

"Malam ini, Sasuke-san."

Kali ini Sasuke meletakkan proposal itu di atas meja dan menatap Sakura. Ditahan mulutnya agar tidak meledak dan berkata'yang benar saja' pada Sakura. Setelah bisa menguasai diri dan yakin sewaktu-waktu mulutnya tidak kelepasan, Sasuke bertanya "hadiah apa yang harus kuberikan padanya?"

Sekertaris direktur itupun tersenyum, "ah itu… Saya tidak terlalu mengenal putra Namikaze-sama, akan tetapi saya dengar dia tidak terlalu menyukai sesuatu yang berhubungan dengan kantor. Jadi apabila Sasuke-san memberinya jam atau barang-barang lain yang biasa diberikan untuk klien atau partner kerja, dia tidak terlalu menyukainya…"

Sasuke terdiam, mata obsidiannya memandang lurus pada Sakura.

"Ba-bagaimana, Sasuke-san?" Tanya Sakura gelagapan, pipinya memanas karena malu terlalu lama dipandang manager muda yang selalu menjadi perbincangan gadis dan wanita satu perusahaan.

"S-Sasuke-san?" ujar Sakura lagi, ia tak mampu menyembulkan wajahnya yang kini berwarna merah muda.

"Kau boleh pergi, Sakura."

Mendengar perkataan sang manager Sakura langsung tersenyum, ia segera menghidup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskan napas lega.

"Maaf atas kelancangan saya tadi Sasuke-san, permisi." Gadis itu menunduk memberi hormat sebelum keluar dengan setengah berlari.

Sasuke menatap amplop silver dan proposal di mejanya secara bergantian, berharap kedua benda itu terbakar habis sehingga dua hal yang membuat kepalanya pening bisa lenyap. Ia terus mengamati kedua beda itu sampai akhirnya memutuskan untuk meraih gagang telepon, dan menekan dial number yang setiap hari ia hubungi, terutama pada saat-saat seperti ini.

Tidak perlu menunggu lama, telepon itu diangkat oleh seseorang di seberang sana.

"Sai―"


.

"Kau berhutang padaku, Sasuke." Ujar Sai sambil menyeruput kopi yang dibelinya dari café Gaara saat istirahat makan siang. "Kau benar-benar berhutang padaku, Sasuke."

Setelah makan siang―yang hanya berlangsung kurang dari dua puluh menit―Sasuke menarik Sai masuk ke dalam mobilnya dan membawa mereka masuk ke parkiran mall terdekat. Kini mereka berdua berjalan di tengah keramaian mall dengan menggunakan pakaian kerja―kemeja, dasi, jas―dan sepatu pantofel mengkilap sebagai alas kaki.

"Kau membuat hidupku kacau di hari Selasa pagi dengan menyuruhku membacakan satu-persatu proposal yang harusnya kau baca sendiri!" Sai menggerutu sambil terus menyeruput kopinya melalui sedotan.

"Sakura bilang dia tidak suka jam."

"Lalu kau mengacaukan makan siangku!" Sai melotot pada Sasuke, "kau menyeretku kemari dan melewatkan kue hari Selasa buatan Shikamaru…"

"Tidak juga kemeja…"

"Lalu kau menyuruhku untuk menemanimu belanja hadiah untuk anak Pak Boss―"

"Sai."

"Ya!"

Sasuke dan Sai berhadapan dan bertatap-tatapan. Bibir Sasuke terkunci rapat, ekspresinya dingin dan pandangan matanya menusuk. Sai meneguk kopinya lebih banyak lagi, dan tanpa sadar menghabiskannya dalam satu hisapan. Ia sedikit menyesali apa yang ia katakan tadi hingga membuat Sasuke marah seperti ini dan―

"Aku tidak mungkin membelikannya dasi." Ujar Sasuke dengan wajah datar.

"Demi tuhan, Sasuke!" rasanya Sai ingin menangis.

"Lalu apa yang harus kita beli?"

Jika Sasuke bukan orang yang sering menolongnya saat dalam kesusahan dan bukan sahabatnya, gelas kopi yang telah menjadi bola karena diremas di tangannya pasti sudah dilemparkan ke kepala Sasuke. Jika saja…. Jika saja…

"Teddy bear!"

"Kurasa dia sudah tidak berumur 10 tahun."

"Grrrr, Sasuke…"


.

Pesta digelar dengan sangat megah, penuh lampu-lampu yang menyilaukan mata. Tamu-tamu dengan pakaian berkelas, bercanda dan berbicara dengan cara berkelas bersama orang-orang berkelas dengan segelas champagne terselip di jari-jari berhiaskan berlian mahal. Suara gesekan biola dan cello serta petikan gitar mengalun lembut ke seluruh penjuru area, membuat pesta ini semakin terlihat mewah. Meski telah berputar-putar mencari dengan kedok menyapa beberapa klien yang dikenalnya, Sasuke tak menemukan wajah yang seharusnya menjadi sorotan―putra dari Namikaze-sama. Wajah orang yang telah mengacaukan Selasa paginya yang berharga, tidak ada wajah-wajah itu di dekat panggung maupun pintu masuk. Sasuke pun tidak repot-repot meletakkan hadiah di meja yang telah disediakan sebelum mengetahui seperti apa 'anak boss' yang undangan ulang tahunnya mampu menghilangkan konsentrasi penuh Sasuke hari ini.

Setelah berputar dua kali, Sasuke tidak menemukannya. Akhirnya ia memutuskan menjauh dari keramaian setelah mengambil segelaswine. Membawa serta hadiah yang dibelinya bersama Sai di mall tadi siang, Sasuke berjalan hingga menemukan spot di tepi kolam yang tidak ramai oleh orang-orang yang sibuk berpesta. Ia baru saja akan menyandarkan punggungnya di mulut jembatan ketika mendengar suara kaki melangkah ke arahnya.

"Yo…" Sapa pemuda itu.

Sasuke hanya meliriknya sekilas, lalu memakukan pandangannya pada refleksi bulan yang dipantulkan oleh air kolam.

"Tidak berpesta di dalam, Mister?" tanyanya lagi.

"Kau sendiri?" Sasuke mengembalikan pertanyaan pemuda itu sembari meliriknya. Warna rambutnya dicat pirang, sedikit berkilau ketika terkena cahaya bulan. Lalu warna matanya, Sasuke yakin sekali ia melihat iris biru mewarnai matanya, hanya saja sekarang sedikit lebih gelap karena kondisi yang minim cahaya.

"Ahaha…" Pemuda itu tertawa sampai kedua matanya menyipit menjadi seperti garis, "aku tidak terlalu suka pesta formal seperti ini. Bukannya aku tidak suka pesta, di Jerman aku sering di undang pesta teman-temanku, yah... Tentu saja pesta khusus anak muda, bukan yang seperti ini…."

Sasuke mengangkat alis mengiyakan. Pemuda itu tertawa lagi sambil menggosok daerah di belakang kepalanya.

Tidak seperti tamu-tamu pesta yang lainnya, Pemuda ini tampak sederhana, dari rambut yang hanya disisir rapi tanpa embel-embel gel atau hair spray, kemeja putih, celana jeans, dan sepatu kulit biasa. Cara berbicara dan tertawanya tulus, tidak dibuat-buat. Ia terlihat enjoydengan keadaannya, tidak seperti Sasuke yang datang ke pesta dengan setengah kesal dan mengemban misi ingin-melihat-wajah-anak-pak-direktur yang telah menghancurkan hari Selasanya. Mungkin Sasuke harus segera melupakan misi bodoh itu dan menikmati pesta sebisa mungkin daripada pulang ke rumah dengan kecewa.

"Apa kau mengenalnya?" Tanya Sasuke pada pemuda pirang di sampingnya, ia tampak tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh Sasuke, maka Sasuke pun menjelaskan. "Anak dari Namikaze-sama, orang yang sedang berulang tahun."

"Tidak…" ujar pemuda itu, "kau juga tidak kenal?"

Gelengan kepala Sasuke membuatnya mengangguk paham.

"Apa yang kau pikirkan tentangnya?" tanya pemuda itu tiba-tiba.

Sasuke terdiam sejenak, memikirkan kata yang tepat untuk mendiskripsikan putra Namikaze-sama. "Dia… troublemaker."

"Eh?" si pirang mengerjapkan matanya dua kali.

"Orang itu telah mengacaukan semua jadwalku hari ini padahal kami belum pernah bertemu." Sasuke menjelaskan, si pirang langsung tertawa.

Sasuke hanya terdiam ketika melihat pemuda di sampingnya tertawa hingga kehabisan napas sambil memegangi perutnya kesakitan. Bahunya yang bidang bergetar hebat. Ia tertawa hingga tangisan keluar dari sudut matanya. Tapi Sasuke tidak menemukan dimana letak kelucuan dari pernyataannya, ia hanya tidak paham mengapa pemuda pirang ini bisa tertawa seolah tak ada hari esok.

"Entahlah, kurasa orang itu memang benar-benar brengsek―hmf…" lalu ia tertawa lagi.

"Yeah, brengsek."

Pemuda itu terkekeh, "Egois?"

"Egois." Sasuke mengiyakan.

"Dan…" ia tersenyum di sela ucapannya, "menyebalkan?"

"Sangat menyebalkan…"

"Dan manja?"

"Dan…." Sasuke berpikir selama beberapa saat sebelum menjawab. "Kurasa tidak."

"Eh?"

Ia menatap pria pirang di sampingnya, "aku mendengar dari sekertaris Haruno kalau dia tidak mau bekerja kantoran, oleh karena itu ia kabur dari ayahnya ke luar negeri." Sasuke mengangkat sebuah bingkisan yang sedaritadi digenggam di tangan kirinya dan meletakkannya di pagar jembatan. "Kurasa ia hanya egois, tidak memikirkan perasaan ayahnya yang begitu sayang padanya. Buktinya Namikaze-samamembuatkannya pesta semegah ini hanya untuk kepulangan seseorang yang telah kabur darinya."

Tidak ada suara dari pria pirang di samping Sasuke, mulutnya terkunci rapat. Ketika Sasuke membalik badan hingga berhadapan dengannya, bibirnya tak terangkat membentuk senyuman sesentipun.

"Kurasa…" Sasuke mengulurkan kotak berisi hadiah untuk putra Namikaze-sama ke tangan pemuda pirang di hadapannya. "kurasa ia kurang menghargai orang lain." Ketika kotak itu telah digenggam oleh kedua tangan pemuda itu, Sasuke beranjak dari tempatnya menuju pintu keluar.

"Aku harus pulang…."

"Ah-tunggu!" pemuda itu berkata―setengah berteriak―dengan volume yang cukup untuk menghentikan langkah Sasuke. "Aku… aku Naruto…. Kau?"

"Sasuke,"

Kemudian Sasuke melangkah pergi.


.

Esok harinya pukul 7.55, Sasuke sampai di kantornya dan terpaksa mengerutkan dahinya ketika melihat seseorang telah terlebih dulu duduk di kursi penyiksaannya. Pemuda berambut pirang cerah bermata biru langit sedang tersenyum sangat lebar padanya.

Sasuke menatapnya dengan wajah horror.

Sebelum ia memanggil security untuk mengusir siapapun yang telah berani duduk di kursi yang hanya pernah diduduki oleh Uchiha Sasuke seorang, sekertaris Haruno datang dengan tergesa-gesa―terbukti dari napasnya yang naik turun seperti baru saja lari marathon―gadis itu membungkuk pada Sasuke… dan Naruto―yang membuat tatapan Sasuke menjadi lebih horror lagi. Namun dengan segera gadis itu menjelaskan…

"Selamat pagi, Uchiha-san, hari ini direktur baru saja dilantik dan beliau adalah―"

"Hey Sasuke!" Ujar Naruto menginterupsi, "ayo nanti makan siang bersama. Biasanya kau makan di mana?"

Persetan pada orang yang telah menghancurkan Rabu paginya.


.

Sasuke istirahat 5 menit lebih awal dari jadwal dengan alasan ingin membeli obat ke apotek, bukan karena ia benar-benar sakit kepala tapi untuk menghindari Naruto. Dengan langkah besar-besar dan cepat ia berjalan menuju, turun ke lantai satu menggunakan lift dan segera pergi ke café milik Gaara tanpa mengindahkan suara Sai yang berteriak kepadanya minta ditunggu. Ia hanya tidak ingin makan siang bersama putra direktur yang kini telah menjadi direktur itu. Tidak ada alsan mendasar yang membuatnya enggan, Sasuke hanya tidak mau saja.

Atau ia hanya bingung harus memasang wajah seperti apa setelah menghina putra direktur secara langsung.

Pintu kaca café dibukanya dengan kekuatan lebih hingga lonceng yang berdenting saat pelanggan masuk berbunyi dengan sangat kencang. Gaara terkejut sampai berdiri dari tempat duduknya. Shikamaru yang sepertinya sedang membuat kue di dapur langsung berlari ke depan sambil membawa baskom besar berisi adonan tepung.

"Kau seperti berlindung dari kejaran penjahat," cibir sang patissier sambil terus mengaduk adonannya. "Merepotkan…" ia masuk kembali ke dapur sambil memutar bola matanya.

Gaara hanya tersenyum maklum pada Shikamaru, ia beranjak menghampiri Sasuke dan menuntunnya ke meja di samping jendela yang selalu mejadi tempat duduknya.

"Mau pesan apa?" tanyanya basa-basi, padahal selama beberapa tahun ini Sasuke selalu memesan menu yang sama setiap harinya.

Sasuke lalu menyandarkan diri di sofa, membuat dirinya duduk senyaman mungkin. Agaknya lega karena akhirnya terbebas dari Naruto dan bisa menikmati satu jam istirahatnya yang berharga.

Setelah membalas ucapan formal Gaara dengan 'seperti biasa' beserta secangkir kopi susu, Sasuke menunggu sambil memandangi mobil berlalu-lalang di jalan raya lewat jendela di sampingnya. Perasaan rileks dan nyaman selalu ia dapatkan setiap hari selama satu jam ketika ia makan siang seperti ini―walau Sai sering mengacaukannya―perasaan yang membuat harinya tenang. Sayangnya rasa itu langsung hilang ketika bahunya ditepuk pelan oleh seseorang … diperparah dengan munculnya wajah yang sedari tadi ia hindari.

Naruto berdiri di hadapannya.

Sang Manager lalu sadar bahwa… Naruto membuntutinya.

.

.


Berhenti memandangku seperti itu, brengsek, kata Sasuke dalam hatinya.

"Jadi, sudah berapa lama kau menjadi manager?" Naruto coba memulai pembicaraan dengan topik klise sembari memotong cake stroberi di piring kecil menjadi dua dengan garpu. "Apa jadi manager cukup menyenangkan?"

"Hm." Sasuke mengunyah gateau di mulutnya dan menelannya terlebih dahulu sebelum membalas dengan wajah datar, "suka tak suka aku tetap menjalaninya."

Bibir pemuda pirang itu maju beberapa senti, "so lame..." separuh dari potongan cake stroberi miliknya ditusuk dan dilahap hingga mulutnya penuh.

"Kau pernah ke luar negeri?" tanya Naruto lagi, "atau berpikir ke luar negeri? Kau tahu, hidup di sana menyenangkan sekali," ia memotong separuh cakenya menjadi dua lagi.

Sasuke hanya melirik Naruto, tidak membalas.

"Padahal aku di Jerman hanya dua tahun," ia memasukkan potongan kue lagi ke dalam mulutnya. "tapi aku sudah kerasan dan… nggakmau pulang." Naruto melanjutkan tanpa peduli menelan makanannya terlebih dahulu.

"Lalu apa yang membawamu pulang?" Tanya Sasuke pada akhirnya. Penampilanmu dengan rambut pirang dan mata biru seperti itu, tidak ada yang akan tahu kalau sebenarnya kau orang Asia, gumamnya dalam hati.

Naruto tidak memberinya jawaban, ia malah tertawa. Sasuke pun tidak berusaha mengejar alasan Naruto untuk keingintahuannya.

"Kali ini aku yang bayar, oke?" ujar Naruto sambil melahap potongan kue terakhirnya dan mengunyahnya dengan cepat.

Kali ini? Berarti ada lain kali?

Sasuke belum sempat melihat Naruto berdiri dari tempat duduknya ketika ia mendengar suara jendela di sampingnya ditabrak oleh sesuatu yang besar―sebuah truk dengan muatan penuh―hingga kusennya rusak, kacanya lepas dan pecah menjadi kepingan kecil menghambur ke seluruh sudut dalam café. Beberapa serpihan menusuk kulit putih Sasuke.

Sasuke mematung ketika hal itu terjadi, truk yang menabrak jendela tak lekas berhenti, mesinnya masih menyala hingga kendaraan besar tersebut menubruk dan menggilas segala sesuatu yang ada di depannya tanpa ampun. Ia masih terduduk di sofanya ketika badan Naruto terbawa oleh moncong truk dan menghilang di bawahnya.

Sasuke hendak berdiri untuk menyelamatkan―apapun yang tersisa untuk bisa diselamatkan―akan tetapi kakinya terjepit oleh meja dan badan truk. Ia hendak berteriak minta tolong tetapi napas dan suaranya tercekat di tenggorokan. Ketika Sasuke menolehkan kepalanya ke bawah, darah telah menggenang seperti kolam di sekitar kakinya.

"Naru―"


.

.

"Agen Sasuke!?"

Sasuke terbangun ketika merasakan tamparan keras di pipinya, seketika ia membuka matanya dan berhadapan langsung dengan kegelapan. Hanya cahaya bulan yang menerangi sebuah ruangan tempatnya terduduk sekarang. Di hadapannya, berlutut seorang gadis berambut indigo yang ia kenal sedang menarik kerah jaket kulitnya dengan kencang hingga sedikit menghambat jalannya udara ke paru-paru.

"Sasuke, bagaimana kau bisa tertidur di saat genting seperti ini?" Gadis itu mencekik kerah Sasuke lebih kuat hingga empunya terbatuk kekurangan oksigen.

"H-Hyuuga-san…." Rontanya memninta dilepaskan.

Lalu cengkraman itu melonggar, mata gadis itu sedikit melembut, "walaupun kau orang baru, setidaknya tunjukkan profesionalitasmu sebagai agen. Kita memang dibayar, tapi buktikan bahwa kita bukan seseorang yang bergerak jika hanya ada uang saja."

Sasuke mengedipkan kelopak matanya, cengkraman itu telah sepenuhnya terlepas dari jaket Sasuke.

"Harga diri sebagai agen, Sasuke-kun." Tambahnya sambil tersenyum.


To Be Continued


Nggak saya kasih summary, soalnya spoiler banget(dan saya bukan orang yang suka memberi spoiler, hehe). Yah, silahkan menebak-nebak apa yang terjadi.

Daaan... ketika saya buka archive, dua tahun lalu saya mempersembahkan fanfiction SasuNaru day untuk teman virtual saya tercinta, Ijah/Ritsu-ken, maka tahun ini saya juga memberi kado fanfic mentah ini padanya (lagi). Happy Birthday, baby.

Terima kasih sudah membaca,chapter 2 akan dipublish besok. Review dan kritik sangat diharapkan.