Osomatsu-san © Akatsuki Fujio
Story (c) Raawrrr
Warning! Standard applied.
Saya tak mendapatkan keutungan material apapun terkait pembuatan fiksi ini.
"Jyushimatsu itu apa?"
Pertanyaan yang diberi oleh sang adik pertama kembali terngiang. Ichimatsu ingat, pada saat itu ia begitu malas menjawab sehingga ia menjawab dengan begitu asal. Tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar.
Helaan napas ia keluarkan sembari menatap langit yang terlihat sendu— begitu gelap, layaknya akan meneteskan air.
"Hei ..." Pandangannya beralih, menatap ke-empat saudaranya yang sedang menangis pilu. Melihat hal itu membuat Ichimatsu heran sendiri. Kenapa? Kenapa ia tidak bisa bebas mengekspresikan perasaannya seperti yang lain? Kenapa ia tidak bisa menangis meski hatinya sekarang terasa sangat tertekan?
"Sebentar lagi akan hujan, lebih baik kita pulang." Kembali ia melanjutkan perkataannya yang sempat terhenti, "jangan sampai kaa-san dan tou-san khawatir karena kita tidak pulang saat yang lain sudah pulang duluan."
Tidak ada jawaban. Semua masih tetap sama; berjongkok di dekat sebuah nisan.
Nisan yang bertuliskan nama seseorang; Jyushimatsu Matsuno.
Ah, ya. Jyushimatsu meninggal, tepat beberapa jam setelah mereka beradu cakap di atap— berakhir dengan ditinggalkannya Jyushimatsu sendirian di atas atap.
Alasannya... bukan karena ia jatuh dari atap, bukan. Karena setelah itu, Jyushimatsu pergi jalan-jalan sendirian ke luar rumah, pada saat itulah ... nyawanya terenggut akibat kelalaian seorang polisi. Polisi tersebut hendak menembak seorang pencuri yang kabur, namun tembakannya meleset karena tersenggol oleh rekan kerjanya dan ... mengenai Jyushimatsu yang sialnya sedang berpapasan dengan pencuri yang kabur.
Tembakan di kepala, Jyushimatsu kehilangan nyawa ditempat dengan darah yang banyak bercucuran.
"Hei." Kembali Ichimatsu mengeluarkan suara.
"Heh, Ichimatsu benar, kita harus pulang dan berhenti menangisi kepergian our buraaza. Biarkan dia tenang." Karamatsu dengan kata-kata menyakitkannya, mencoba untuk menjadi kuat padahal kalau kacamatanya dilepas, dapat diyakini bahwa ia juga banyak menangis . Membuat Ichimatsu mendengus kesal.
"Ah, benar. Kita tak boleh terus bersedih." Osomatsu bangkit berdiri sembari menggaruk bagian bawah hidungnya yang memerah.
"Uh-umh." Diikuti oleh Choromatsu dan Todomatsu yang matanya sembab.
"Mata ne, Jyushimatsu." Yang lain pamit dan mulai melangkah menjauhi tempat terakhir Jyushimatsu.
Ichimatsu sempat berhenti sejenak dan membalikkan badan, menatap kembali nisan milik sang adik. Membiarkan dirinya tertinggal beberapa langkah dari ke-empat saudaranya yang lain.
"Hei, biarkan aku menjawab pertanyaanmu waktu itu dengan jujur. Jyushimasu adalah—"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"— Orang yang paling aku sayang. Orang yang paling aku inginkan untuk terus berada di sisiku."
.
.
.
.
.
END
