Kenapa saya malah bikin AiKou _(:'3
nggak tau kesurupan apa, entah kenapa saya dapet feel banget waktu nonton episode 161. so why not? _(:'3
I don't own Cardfight! Vanguard! :3
Suatu ketika dia terbangun, dengan matahari yang menyusup dari celah jendelanya sebagai penyambutnya, dengan wajah penuh air mata mengingat mimpi yang tidak bisa ia ingat.
.
.
.
Dia hanya seorang murid SMA biasa. Dia memiliki teman yang cukup akrab, dan setiap hari selalu membicarakan tentang sesuatu yang tengah populer di kalangan para wanita. Dia juga bekerja sebagai seorang penyanyi bersama dengan dua orang yang baru ia kenal beberapa bulan yang lalu—walaupun entah mengapa dia merasa mengenal mereka begitu lama—dalam sebuah kelompok bernama Ultra Rare. Dia tidak membenci kehidupannya, justru dia merasa cukup dan tidak memerlukan apapun lagi.
—setiap kali dia berpikir begitu, mimpi yang tidak mampu ia ingat selalu menghantuinya, dan sekian kali, membuatnya merasa ada yang kurang.
.
.
.
Dia bertemu dengan orang itu.
Dia dan anggota Ultra Rare lainnya di haruskan untuk menghadiri dan menjadi sponsor dalam sebuah pertandingan Vanguard; sebuah permainan kartu yang cukup ramai akhir-akhir ini, namun belum cukup menarik hingga dia tertarik untuk ikut bermain. Orang itu berdiri cukup dekat dengannya bersama dengan dua temannya, dan sesekali dia merasa kalau orang itu meliriknya.
Bukannya dia tidak suka. Dia sendiri merasa kebingungan karena tidak bisa menghilangkan perasaan aneh kalau dia pernah bertemu orang itu sebelumnya, jauh di masa lalu.
Saat dia berdiri di depan orang itu untuk menyerahkan piala padanya, dia baru bisa melihat betapa kecilnya orang itu. Sekali lagi dia merasa aneh; dia tidak pernah merasa segugup ini jika bertemu dengan orang yang baru pertama kali ia temui. Dia adalah seorang artis profesional. Dia sering berjabat tangan dengan fans di saat acara tanda tangan. Dia seharusnya tidak merasa begitu, begitu, yah, entahlah. Perasaan ini baru baginya, hingga dia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
(Sesuatu di sudut hatinya meneriakkan kalau dia merindukan orang ini. Dia harus berusaha ekstra keras untuk menolak pikiran aneh itu.)
"Ano..."
Ketika orang itu menggumam, barulah dia sadar kalau dia sudah memandangi orang itu beberapa menit terakhir ini, piala yang seharusnya dia berikan masih digenggamnya.
"Ah, maafkan aku." Dia menggumam, kemudian tersenyum pelan. Barulah dia berbicara lebih keras hingga para penonton bisa mendengarnya, "Selamat atas keberhasilanmu!"
Orang itu tersenyum. Ah, betapa dia ingin melihat senyumnya lebih banyak—tunggu dulu.
"Terima kasih." Orang itu tersenyum, kemudian menerima piala yang ia sodorkan.
Tangan mereka bersentuhan sesaat, dan sekali lagi degup jantungnya kembali tidak beraturan.
"Maafkan aku," Dia memandang orang itu sejenak dengan tatapan curiga, berusaha sebisa mungkin supaya sang kameramen yang tengah meliput mereka tidak menangkap wajahnya. "Apakah... kita pernah bertemu sebelumnya?"
Orang itu terhenyak. Mata birunya memandangnya dengan sesuatu yang bisa di deskripsikan dengan kesedihan hingga dia merutuki dirinya sendiri. Dia tidak bermaksud untuk membuat orang ini sedih—dia hanya bertanya tentang hal kecil, demi tuhan!
Setelah beberapa saat, orang itu menjulurkan tangannya, "Kurasa belum?" kemudian dia tersenyum pelan, "Senang bertemu denganmu. Namaku Aichi."
Dia memandangi tangannya yang terjulur. Dengan ragu dia menyambut juluran tangannya. Tangan orang itu lebih kecil, namun entah mengapa begitu dia merindukan sentuhan dari tangan orang itu. Dan kehangatan dari tangannya juga tidak mengganggunya sama sekali.
"Senang bertemu denganmu, Aichi. Aku Kourin."
.
.
.
Suatu saat nanti, walaupun jauh di masa depan, kita pasti bisa bertemu lagi.
.
.
.
End.
