Naruto milik Masashi Kishimoto-sensei

Revenge on the Way milik Ozellie Ozel

Rate : Teen

Pairing : NaruHina, MinaHina

Genre : Hurt / Comfort, Drama

Warning : Gajeness, OOC, Sinetronisme, Gak Sesuai EYD, Boring, Typos

YOU HAVE BEEN WARNED

JUST FUCK OFF, IF YOU DON'T LIKE THIS STORY, PAIR, AND ANYTHING ABOUT IT

Revenge on the Way

...

Happy Reading

Hujat aku sebagai wanita terbodoh di dunia ini. Memang itulah diriku. Sejak dulu, tak pernah berubah. Siapapun yang mengenalku, selalu menganggap aku bukanlah sesuatu yang teramat penting. Tetapi jika menyangkut dengan gelar pewaris tahta Hyuga yang kusandang, semua orang akan mengelu-elukanku.

Aku menyadari semua kekuranganku. Aku yang lemah. Aku yang penyabar. Aku yang tampil apa adanya. Aku yang tak pernah mengeluh. Aku yang selalu jadi Upik Abu di mata orang lain.

Namun semua pandangan orang terhadapku berubah. Hanya karena kabar kedekatanku dengan seorang pria tampan yang merupakan seniorku di kampus. Aku sendiri pun tak pernah menyangka jika berada di posisi sedekat ini dengan seorang pria. Kalau boleh jujur, aku belum pernah memiliki seorang kekasih. Ini adalah pengalaman pertamaku.

Pria tampan yang kusebut itu adalah Namikaze Naruto. Dia pria baik hati dan ceria. Aku terkesima oleh pancaran dirinya. Rambutnya pirang dan matanya sebiru laut samudra. Aku sendiri tak pernah menyangka sebelumnya jika pria setampan Naruto-kun tertarik padaku.

Naruto-kun bukan berasal dari kalangan kelas atas sepertiku. Dia hanya pria dari keluarga sederhana. Aku bukanlah orang yang memandang seseorang melalui harta kekayaannya. Karakter Hyuga tidak seperti itu. Buktinya saja, Ayahku sendiri menerima Naruto-kun sebagai calon menantu Hyuga. Jelas saja ini mengangkat derajat Naruto.

Sudah tiga tahun kami menjalin hubungan. Ayah sudah mendesak Naruto-kun agar segera menikahiku. Pasalnya kesehatan sang Ayah mulai memburuk. Bahkan untuk berjaga-jaga, beliau telah mengalihkan seluruh aset perusahaan atas namaku, selaku anak semata wayangnya. Setelah nantinya aku dan Naruto-kun menikah, maka harta keluarga akan berpindah ke tangan Naruto-kun.

Tadi pagi penyakit jantung Ayah kambuh. Aku memang tidak sempat melihat detik-detik kepergian Ayah. Namun, kata Naruto-kun, yang kebetulan sedang duduk mengobrol bersama Ayah, tiba-tiba ponsel Ayah berdering dan hanya dalam hitungan detik saja beliau memegang dadanya disertai keringat dingin. Aku sendiri pun penasaran pada seseorang yang menelepon Ayah itu. Nomor terakhir yang menghubungi sudah tidak aktif lagi. Aku benar-benar kalut saat itu. Untung saja ada Naruto-kun yang setia menemaniku sampai kesedihanku mereda.

Dua minggu sejak kepergian Ayah ke rumah Tuhan, aku dan Naruto-kun memutuskan untuk menikah. Hal itu dikarenakan Naruto-kun telah berjanji pada mendiang Ayah sebelum beliau wafat. Namun aku dan dia sempat berselisih paham lantaran Naruto-kun tak kunjung memperkenalkan aku pada keluarganya. Dikatakannya jika hubungan antara keluarganya dan dia tidak baik. Dengan bujukan Naruto-kun, akhirnya aku mengalah. Namun bukan berarti aku diam. Aku tetap mencari tahu perihal keluarga Naruto.

Lama-kelamaan, karakter Naruto berubah perlahan demi perlahan. Dia yang dulunya selalu perhatian, kini sering mengacuhkanku. Bahkan dia sudah jarang pulang ke rumah. Setiap kali kuhubungi, pasti tak pernah diangkat. Jika ditanya perihal itu, dia akan berkilah dan mengatakan bahwa tugas-tugas di kantor sangat banyak.

Di tahun kedua pernikahan kami, Naruto bahkan tidak pulang ke rumah selama sebulan lebih. Sebagai seorang istri, tentu saja aku khawatir berkali-kali aku mencoba menanyakan apa alasannya, namun dia malah marah dan mengatakanku wanita tak tahu diri.

Aku tak percaya mendengar kata-kata itu keluar dengan lancar dari mulut Naruto-kun. Namun aku memilih untuk diam dan tak terlalu mendebatnya. Aku berpikir positif. Mungkin dia lelah dengan semua rutinitas kantor. Maklum saja, setelah kami menikah, segala urusan kantor dialihkan padanya. Dia menjadi pria super sibuk. Tak ada lagi Naruto-kun yang setia menemaniku seperti dulu.

Suatu hari di pasar, aku sempat bertemu dengan Tsunade-baasan. Dia adalah istri dari pengacara Ayah dulu. Kami berdua mengobrol dan dia mengundangku ke rumahnya. Lagipula aku ingin berbicara pada Jiraiya-jisan mengenai aset dan arisan Ayah. Entah kenapa belakangan ini aku mulai curiga pada Naruto-kun. Apalagi suatu malam di akhir Maret ini, dia sering menelepon seseorang di dini hari kala aku sedang terlelap. Aku tak tahu sejak kapan dia berbicara mesra seperti itu. Padaku saja, dia tak pernah pakai kata 'sayang'. Lagi-lagi aku memilih untuk diam dan mendengar tiap untaian kata mesra yang dikatakan Naruto-kun pada seseorang yang kuyakini adalah wanita. Hatiku tak tenang juga. Perasaanku berkata jika itu adalah pertanda buruk.

Fakta lain muncul dari Jiraiya-jisan. Aku sendiri pun tak bisa mempercayai jika selama ini jumlah aset Hyuga telah sepenuhnya jadi milik Naruto-kun. Bahkan dia memecat Jiraiya-jisan sebagai pengacara Hyuga tanpa alasan yang jelas. Sejak aku kecil, beliau sudah menjadi pengacara keluarga kami. Dan pemecatan sepihak yang dilakukan Naruto-kun benar-benar mengejutkanku.

"Tapi di surat keterangan, kau membubuhkan tanda tangan persetujuanmu, Hinata."

Ujaran Jiraiya-jisan lebih mengagetkanku. Seumur hidupku tak pernah melihat surat itu. Bahkan aku tak ingat kapan tanda tanganku tercantum disana. Aku berpikir, bisa saja tanda tangan itu dipalsukan. Tetapi untuk apa Naruto-kun memalsukan tanda tangan itu?

Sekembalinya aku dari rumah Jiraiya-jisan, aku mengunjungi Naruto-kun di kantor. Namun sekretarisnya mengatakan jika sudah tiga hari Naruto-kun tidak masuk kantor. Padahal aku masih ingat jika tadi pagi dia berpamitan ke kantor padaku. Hatiku memanas. Aku yakin ada yang disembunyikan Naruto-kun dariku. Kucoba untuk menghubunginya, namun tak ada respon sama sekali.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Sesampainya di rumah, kulihat Naruto sedang berbicara melalui ponselnya di dalam kamar. Dia tidak menyadari kehadiranku disana. Terus saja kudengar dan kulihat tiap ekspresi dan kata-kata mesranya.

"Aku mencintaimu, sayang. Pastinya kita akan menikah."

Mata perakku melebar. Selama ini dugaanku benar. Naruto menduakanku.

Kesabaranku telah kandas. Kuhempas pintu kamar sesaat setelah dia meletakkan ponselnya di atas meja lampu tidur. Dia tampak terkejut dengan kehadiranku. Bahkan air mukanya memucat.

"Kenapa kau memecat Jiraiya-jisan?" tanyaku ketus.

Sorot mata Naruto-kun berubah menjadi dingin. Aku bisa merasakan ketidaksukaannya atas pertanyaanku barusan. Namun dia memilih untuk tidak menjawab. Dia berlalu melewatiku yang masih menanti jawabannya.

"Jawab aku, Naruto-kun!" Aku tak bisa mempercayai jika diriku baru saja berteriak sekuat ini. Tingkah ini bukan seperti Hinata yang sebenarnya. Aku selalu berbicara lembut dan halus. Namun kemarahanku memuncak saat telingaku mendengar decihan dari bibir Naruto. Dia tidak juga berhenti melangkah. Kulihat dia berjalan menuju sofa dan mengambil map yang tergeletak begitu saja disana. "Kau selingkuh, kan?" Aku tersentak sendiri kala menyadari apa yang baru saja kukatakan. Bagaimana bisa tuduhan itu kualamatkan pada suamiku sendiri?

"Kalau iya, kenapa?" Naruto-kun berbalik. Dia menatap sinis padaku. "Haruskah aku jujur jika selama ini setitik pun perasaanku tak pernah ada untukmu."

Bagaikan disambar petir di siang bolong, aku tersentak. Pelupuk mataku memanas kala Naruto-kun melemparkan surat padaku. Aku menunduk. Kubaca isi surat itu yang berasal dari pengadilan. "Perceraian?" gumamku lirih.

"Kupikir pernikahan palsu ini cukup sampai disini," ujar Naruto-kun datar. "Rumah ini sudah menjadi milikku. Jadi..." Dia menghentikan ucapannya sejenak. Lalu melanjutkan setelah embusan napas kasar. "Silahkan tinggalkan rumah ini!"

Aku Hinata Namikaze.

Kini usiaku sudah menginjam dua puluh sembilan tahun.

Aku bukan lagi Hinata yang dulu.

Kisah lama telah membuatku belajar banyak hal mengenai perasaan. Kini aku lebih percaya diri, lebih kuat, dan tidak pernah melibatkan perasaan dalam hal apapun itu.

Jangan pernah berpikir jika aku masih menjadi sosok Namikaze Hinata yang lama.

Dua bulan yang lalu, aku resmi menjadi Namikaze Hinata yang baru. Seorang pria berusia 50 tahun meminangku. Dia bukan sembarang pria. Dia adalah Namikaze Minato, yang selama ini disembunyikan Naruto dariku.

Dendamku pada Naruto berhasil membangkitkan sifat iblis di hatiku. Aku menjadikan suami baruku sebagai bom untuk menghancurkan mantan suamiku yang merupakan putra kandung Minato sendiri.

"Aku tak sabar kembali ke Jepang," ujarku seraya mendekap tubuh kekar Minato.

Minato tersenyum kecil. Dia mengecup sekilas bibirku. "Akan kuperkenalkan kau dengan putraku. Sudah hampir dua belas tahun aku tak menemuinya."

Senyumku melebar. "Aku juga tak sabar ingin menemuinya," gumamku pelan.

Aku benar-benar tak sabar.

Ingin rasanya berteriak senang.

Aku ingin melihat secara langsung ekspresi Naruto. Bagaimana jika dia melihat mantan istrinya, yang akhirnya menjadi ibunya. Akh... satu lagi yang aku baru tahu jika Minato-kun memiliki seorang istri yang kuyakini adalah ibu kandung Naruto. Sosok wanita yang selalu dilindungi Naruto.

Aku kejam dan tak peduli bagaimana perasaan wanita yang kuketahui bernama Kushina itu saat tahu suaminya menikahi wanita lain.

Sudah kukatakan, bukan, jika Hinata yang baru adalah sosok tanpa perasaan!

...

END

...