Fated to You
written by. arisukakikomi (on AO3)
translated by. seoltanghobie
.
Jung Hoseok|J-Hope/Min Yoongi|Suga; Kim Namjoon|Rap Monster/Kim Seokjin|Jin
Alternate Universe – Soulmates, Slight!Alternate Universe – Gang
.
Min Yoongi tidak pernah percaya dengan belahan jiwa pun mencari sosok yang memang terlahir untuk menjadi pasangannya. Namun, semuanya berubah ketika ia bertemu dengan sosok pemuda yang membuat dunianya berwarna.
"Hei, bukankah kau bisa melihat warna di sekelilingmu juga?"
"Apa yang kau maksud dengan warna?"
Dan Min Yoongi paham. Mengapa hanya dirinyalah yang bisa melihat tumpahan warna pada dunia ini.
.
.
.
Chapter 1: The Canvas Has Been Painted
.
Mereka selalu berkata, Min Yoongi adalah orang yang sangat tidak bersahabat. Selalu terlihat mengintimidasi dengan seluruh aura dingin yang terpancar dari gerak-gerik tubuhnya. Pemuda ini bahkan dapat membuatmu meneguk ludah dan mundur dengan perlahan hanya dengan tatapan tajam yang ia layangkan tepat di kedua netramu. Tapi saat kau mulai mengenalnya lebih dalam, kau akan tahu bahwa pemuda ini berbeda dengan semua rumor yang melingkupi sosok misteriusnya.
Yoongi adalah sosok yang sangat tertarik dalam bermusik dan selalu memiliki tekad yang keras untuk mencapai segala tujuan yang ia inginkan. Dia akan mengutarakan pendapat apa adanya—tak mau ambil pusing dengan mempermanis atau menutupi kenyataan dengan pendapat tidak penting. Yoongi akan memberikan nasihat yang memang kau butuhkan, bukan kebohongan yang akan membuat perasaanmu membaik tapi tidak memberi solusi atas masalah yang kau punya. Yoongi mungkin memiliki pikiran yang sangat terbuka, tapi ia tahu bahwa dunia tidaklah seindah dan semanis itu. Dunia adalah tempat yang keras. Bukan sebatas alam mimpi yang akan memberikan segala hal yang kau inginkan dengan mudah. Karena itulah, Yoongi tidak pernah menyukai ide dan aturan mengenai belahan jiwa yang mengikat setiap individu yang mengembuskan napasnya di dunia ini.
"Aku tidak pernah menyukai dengan kenyataan bahwa di luar sana, ada seseorang yang telah menantimu menjadi pasangannya—kita bahkan tidak bisa memilih pasangan sendiri? Kau pasti bercanda," tukas Yoongi dengan nada tajam kepada kubu lawan debatnya di seberang ruangan.
"Tapi tidakkah kau pikir bahwa dengan cara ini, kehidupan akan menjadi jauh lebih baik?" Kim Namjoon, salah satu mahasiswa terpintar di kampus mereka mulai mengutarakan pendapatnya dari kubu seberang Yoongi. "Orang-orang akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk hidup bahagia dengan keadaan seperti ini."
"Aku mengerti maksudmu, tapi, bagaimana kalau ternyata kau jatuh cinta dengan orang lain? Atau bagaimana kalau belahan jiwamu sudah tidak ada lagi di dunia ini? Aku yakin kau pasti sudah sangat sering mendengar kasus mengenai bunuh diri yang disebabkan oleh isu ini, bukan?" Yoongi kembali melawan dengan satu fakta lain yang seringkali dipandang sebelah mata oleh semua orang. Berhasil mendapatkan simpati dan dukungan kuat dari mereka yang sedang memperhatikan keduanya.
"Sudah banyak yang membuktikan bahwa rasa sayang yang kau alami dan rasakan pada orang lain akan sangat berbeda dengan rasa sayang yang tertuju untuk belahan jiwamu. Perasaan itu akan berkali-kali lipat lebih kuat dari apa pun di dunia ini." Namjoon membalas dengan penuh percaya diri—sementara Yoongi, mencengkeram kuat-kuat pinggiran meja tempatnya berdiri. Mengembuskan napas perlahan, Mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Kau bisa saja jatuh cinta dengan orang lain, tapi ingatlah bahwa perasaan itu hanyalah ilusi semata. Dalam pikiranmu, kau mungkin akan terus mengingatkan dirimu sendiri bahwa kau mencintai sosok tersebut—tapi, semua itu akan berubah kala kau bertemu dengan belahan jiwamu." Pernyataan Namjoon beberapa saat lalu, bukanlah omong kosong belaka. Banyak orang telah mengalami kejadian tersebut, dan Namjoon bisa memberikan contoh dengan menggunakan berbagai kasus dari teman-teman mereka di kelas ini. "Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan program rehabilitasi dan konsultasi kesehatan untuk mereka yang sudah ditinggalkan oleh belahan jiwa masing-masing. Program ini juga terbukti telah mengurangi kasus bunuh diri yang terjadi pada orang-orang tersebut."
Rasa percaya diri dan profesionalitas yang keluar dari setiap ucapan Namjoon, membuat cengkraman Yoongi pada pinggiran meja mengerat hingga buku-buku jarinya memutih. Pemuda yang lebih tua itu ingin mengumpat dan mengungkapkan segala macam perasaan kesalnya pada Namjoon, tapi semua orang masih memerhatikan mereka dengan antusiasme yang tinggi—termasuk juga dosen yang membuat keduanya harus berdebat seperti ini!
"Aturan mengenai belahan jiwa ini bukanlah suatu hal yang harus dibesar-besarkan. Sebelum Tuhan berkehendak untuk ikut campur dalam kehidupan percintaan seseorang, bukankah manusia tetap dapat bertahan hidup dengan mencari pasangan hidup masing-masing? Semua orang bebas untuk memilih. Belum lagi—"
"Tapi pada saat itu tidak semua orang benar-benar merasa bahagia dengan—"
"Kebahagiaan itu bisa runtuh kapan saja bahkan seseorang dapat berjuta kali lipat merasa lebih sengsara saat belahan jiwa mereka meninggal. Apakah kau ingin tak acuh pada mereka dan berkata bahwa mereka akan pulih dengan segera? Tidakkah kau tahu bahwa mereka tidak akan pulih dengan begitu mudahnya karena belahan jiwa mereka telah tiada begitu saja?" balas Yoongi—sedikit menaikkan nada bicaranya. Tidak peduli apakah dosen mereka sedang ada di dalam ruangan dan menganggukkan kepala penuh perhatian pada argumen yang baru saja dilontarkan.
Namjoon berdeham sejenak. "Kebahagiaan yang pernah mereka rasakan sebelumnya, akan berubah menjadi sebuah memori. Mereka akan dapat bertahan dengan itu semua. Lagipula pasti akan ada sebuah sistem baru yang terbangun bagi mereka yang kehilangan—"
"Maaf, tapi apakah kau sekarang sedang mengajariku dengan ilmu mengenai belahan jiwa? Kau lulus dari universitas yang memiliki jurusan itu sebelum kau berdebat denganku? Bagaimana kau bisa mengetahui perasaan seseorang yang sudah kehilangan belahan jiwa mereka?" tanya Yoongi, mulai merasa kesal karena merasa opininya tidak dianggap serius oleh lawan bicaranya.
Namjoon menghela napasnya. "Kau benar. Aku memang tidak tahu perasaan mereka, dan mungkin berharap untuk tetap seperti itu. Dan lagi—"
"Lalu mengapa kau harus menggantungkan hidup dan kebahagiaanmu pada orang asing yang mungkin saja takkan pernah kau temui sebelumnya? Tidakkah kau pikir itu hal yang konyol?!" Yoongi merasa seseorang menepuk bahunya perlahan, tapi ia mengabaikannya.
"Karena semuanya bukanlah hal yang sia-sia," balas Namjoon dengan tenang tapi Yoongi tahu pemuda itu sedang menahan emosinya.
"Kau berkata seperti itu karena kau sudah bertemu belahan jiwamu."
"Oh, dan kau merasa iri karena kau tidak bertemu dengan belahan jiwamu?" Namjoon kembali membalas dengan nada tajam. Merasa lelah dengan seluruh debat yang selalu terjadi satu minggu sekali ini.
"Aku bahkan tidak ingin bertemu dengan belahan jiwaku!"
Bel sekolah pun berbunyi dan dosen mereka kini tengah berdiri sembari bertepuk tangan ke arah Yoongi juga Namjoon.
"Terima kasih karena sudah mengikuti kelas hari ini. Terutama, kalian berdua—Kim Namjoon dan Min Yoongi, terima kasih atas semua argumen yang mengesankan dari kalian,"—dosen mereka berdiri dan berjalan ke arah meja di ujung kiri depan kelas mereka dan mengambil buku-buku yang ia tinggal di sana—"dan jangan lupa untuk kumpulkan tugas esai kalian sebelum minggu ini berakhir," menambahkan sebuah kalimat peringatan yang membuat seluruh mahasiswanya menggerutu kesal sebelum keluar dari kelas yang dimaksud.
Namjoon menyampirkan tas ranselnya dan berjalan menghampiri Yoongi. "Debat hari ini benar-benar menguras tenaga dan emosi."
Yoongi memutar kedua bola matanya bosan. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeans sebelum berjalan mengikuti Namjoon keluar dari kelas—mereka akan bertemu dengan teman mereka di kafetaria di lantai atas.
Kelas debat adalah salah satu kelas yang diadakan di kelas di bawah tanah, jadi Yoongi dan Namjoon harus kembali ke permukaan untuk bergabung dengan mahasiswa lainnya.
Namjoon menarik ponsel dari saku jeans-nya untuk mengirimkan sebuah pesan pada seseorang, sementara Yoongi menjejalkan earphone ke dalam telinganya. Keduanya berjalan melewati kerumunan mahasiswa yang berada di kafetaria—yang selalu terisi penuh dengan orang di saat jam makan siang seperti ini—dan berjalan langsung ke arah kedai burger tempat teman mereka menunggu.
Sedetik setelah membuka pintu, senyum khas dan lesung pipi milik Namjoon langsung menunjukkan aksi mereka. Memperlihatkan ekspresi bahagia yang begitu kentara—dan Yoongi tentu saja tidak perlu menebak alasan mengapa Namjoon merasa seperti itu pun langsung menghampiri sebuah meja di pojok kedai.
"Hyung!" Pemuda jenius itu berteriak dengan sebuah senyuman yang merekah dengan begitu lebar di wajahnya.
"Astaga, jangan berteriak-teriak tidak jelas seperti itu, Joon-ah," Kim Seokjin—belahan jiwa Namjoon yang mengambil jurusan tata boga—mengomel ke arah Namjoon, walau sebuah senyum kecil dan tatapan lembut tetap saja terpampang dengan jelas di wajah tampannya.
Yoongi menatap kedua temannya dengan dengusan saat Namjoon mengecup sekilas pipi Seokjin sebelum duduk di samping kekasihnya itu. Yoongi bahagia tentu saja, melihat teman baiknya yang tinggi dan super ceroboh itu kini memiliki seorang kekasih yang juga belahan jiwanya—walau selama ini dia tidak pernah menyetujui seluruh konsep mengenai belahan jiwa yang mengikat setiap orang di dunia ini. Tapi melihat teman dekatnya bahagia, merupakan suatu hal lain bagi Yoongi.
Seokjin melemparkan sebuah senyum ke arah Yoongi—yang juga tersenyum balik kepadanya—sementara Namjoon berdiri untuk mengambil pesanan burger dan kentang goreng mereka.
"Dia bermimpi mengenai padang rumput lagi," ujar Yoongi membuka percakapan sembari mengambil makanan yang diulurkan padanya. Mengabaikan tatapan penuh antusias Seokjin tiap kali Yoongi mulai berbicara mengenai mimpi belahan jiwa yang selama ini tidak pernah ia temui.
"Benarkah? Sama seperti sebelumnya? Maksudku, hingga ke detail-detail kejadiannya juga sama seperti sebelumnya?" tanya Seokjin menyatakan ketertarikannya pada topik yang dibawa Yoongi; sambil mengambil beberapa buah kentang goreng milik Namjoon dan memakannya.
"Entahlah. Sepertinya begitu. Aku tidak begitu memperhatikan." Yoongi mengedikkan bahunya tidak peduli dan kembali memakan burger yang kini ada di genggamannya.
Selain melihat warna sesaat setelah kau menatap mata belahan jiwamu, seseorang juga dapat memimpikan apa pun sesuai dengan mimpi belahan jiwa mereka. Kejadian mimpi ini adalah kejadian yang sangat langka, karena hanya beberapa orang sajalah yang bisa mengalaminya. Walau begitu, Yoongi tidak pernah merasa bahwa dirinya beruntung karena bisa mengalami mimpi yang sama seperti belahan jiwanya. Ia merasa tak masalah asalkan mimpi belahan jiwanya ini bisa membuatnya melupakan mimpi buruk yang selama ini menghantui malam-malamnya.
"Yoongi-ah, apakah kau pernah mencintai seseorang dan orang itu meninggalkanmu karena ia bertemu dengan belahan jiwanya, sebelumnya? Aku penasaran kenapa kau sampai tidak menyukai seluruh ide tentang hubungan belahan jiwa ini," tanya Seokjin penasaran.
Yoongi menggelengkan kepalanya dan menggumamkan kata, "Tidak," dengan tegas. Mencoba menghentikan gagasan tidak jelas yang dilontarkan oleh Seokjin padanya. Ia memang tidak pernah jatuh cinta sebelumnya, tapi ia tidak lebih menyukai ide jatuh cinta kepada orang asing walaupun orang itu menyandang gelar sebagai belahan jiwanya sendiri.
"Ia hanya kesal karena ada bagian dalam hidupnya yang berada di luar kendalinya." Seokjin menolehkan kepalanya ke arah Namjoon dengan sebuah kekeh kecil yang lolos begitu saja dari mulutnya.
Yoongi yang mendengar perkataan Namjoon, hanya bisa mendengus kesal. Ia kembali memakan gigitan terakhir pada burger-nya, meminum sisa cola yang daritadi ia pegang, sebelum melemparkan sebuah tatapan kosong pada Namjoon; dan pemuda yang satu tahun lebih muda darinya itu tahu tatapan apa ini.
"Aku hanya tidak suka dengan semua hal ini, Namjoon-ah."
Nada suara Yoongi membuat bulu roma pemuda kelahiran 1994 di depannya meremang. Ia sudah tidak pernah mendengarkan Yoongi menggunakan nada suara itu sejak mereka kuliah. Dan Namjoon tahu, ia lebih baik tidak lagi membalas hal ini sebelum Yoongi kembali menjadi sosok yang tidak pernah mau Namjoon ingat-ingat lagi
"Ada apa dengan kalian berdua? Kenapa kalian bertatapan seakan ingin saling melempar pisau ke satu sama—"
Namjoon menghela napas dan menjejalkan beberapa buah kentang goreng ke dalam mulut Seokjin. Efektif membuat kekasihnya itu menghentikan kalimat yang baru saja meluncur dari mulutnya. "Baiklah. Terserah apa katamu, Hyung."
.
Yoongi tahu Namjoon hanya bercanda, tapi ia sendiri sudah lelah dengan seluruh perdebatan mengenai belahan jiwa ini. Ia sudah mendengar bantahan dan caci maki dari orang-orang yang tak pernah mau mendengarkan pendapatnya—dan Yoongi lelah dengan semua itu. Ia hanya mengutarakan apa yang menurutnya benar dan tiba-tiba semua orang menghakimi dirinya seolah Yoongi telah berbuat tindak kriminal yang tak bisa diampuni. Tentu saja semakin lama mendengar perkataan itu, Yoongi merasa bahwa tingkat kesabarannya pun sudah mencapai puncaknya.
Yoongi bebas berpikiran seperti itu, toh ia juga bukan orang pertama yang merasa bahwa seluruh sistem dunia mengenai belahan jiwa ini tidaklah wajar. Pada awalnya, ia memang merasa bahwa dirinyalah yang aneh. Tidak mau mengakui bahwa ia memiliki belahan jiwa yang tengah menunggunya. Namun, setelah ia mencari tahu lebih dalam lagi, ia bukanlah satu-satunya. Semua mahasiswa yang berdiri di belakangnya selama kelas debat adalah buktinya; dan pemuda berambut oranye yang tengah berbincang dengan seorang senior beberapa meter di depannya adalah salah satunya.
Bukannya Yoongi bisa melihat pun mengetahui seperti apakah warna oranye itu, Namjoonlah yang melihat dan menceritakan segalanya pada Yoongi. Pemuda yang satu tahun lebih muda darinya itu hanya tidak bisa menahan diri untuk bercerita mengenai warna-warna apa saja yang ada di sekitarnya pada Yoongi. Dengan alasan bahwa Yoongi akan membutuhkannya kala pemuda itu dapat melihat warna di sekitarnya kelak.
Yoongi melanjutkan langkahnya menuju ke jurusan musik—tempatnya belajar, melewati jejeran vending machine di beberapa lorong yang dilewatinya. Menimbang-nimbang, apakah ia perlu memberi beberapa makanan kecil atau tidak. Ia bersenandung kecil dan menggeleng. Sepertinya ia belum memerlukan makanan-makanan itu untuk saat ini.
Samar-samar, Yoongi dapat mendengar nyanyian dari kelas paduan suara dan menyadari, mereka pasti lupa menutup pintu kelas. Ia hanya mengedikkan bahunya dan berbelok ke lorong yang menyambungkannya ke ruang studio hingga sesuatu—atau seseorang, menabraknya dengan cukup keras sampai keduanya terjungkal. Untungnya, Yoongi dengan cepat mengulurkan tangan ke belakang untuk menahan agar ia tidak mendarat dengan terlalu keras. Yoongi mengerang dan mendongakkan kepalanya. Menatap kesal ke pemuda yang baru saja bertabrakan dengannya—yang tengah meringis kesakitan akibat luka goresan di lututnya.
Seakan menghindari tatapan Yoongi dan mengabaikannya, pemuda di depan Yoongi terus menolehkan kepala ke lingkungan sekitarnya; dan membuat Yoongi semakin merasa kesal karenanya. Yoongi berharap pemuda di depannya ini tidak akan berkomentar apa pun mengenai tinggi badannya atau Yoongi akan mengeluarkan segala macam umpatan yang tertahan di ujung lidahnya. Tak peduli ia bersikap sopan atau tidak. Ia benar-benar tidak dalam mood yang baik untuk meladeni seseorang yang menjengkelkan.
Namun, pemuda itu mendongak dan menoleh ke arah Yoongi, membuat umpatan-umpatan di ujung lidah Yoongi lenyap seketika. Napas Yoongi tercekat. Pemuda itu memiliki rambut hitam sama seperti orang pada umumnya. Walau ia tidak dapat melihat seperti apakah netra sang pemuda—karena mata sang pemuda menatap ke arah lantai—tapi Yoongi masih dapat melihat bulu matanya dengan sangat jelas. Panjang dan begitu lentik. Hidungnya panjang—sebenarnya bentuk wajah pemuda ini memang lonjong dan cenderung panjang—juga mancung, terukir dengan begitu pas di wajahnya. Kulitnya begitu halus; dan Yoongi hampir saja tidak bisa menahan diri untuk membiarkan tangannya menyentuh setiap inci lekuk wajah di depannya. Lalu bibir itu, mereka terlihat begitu lembut dalam bentuknya yang menyerupai hati, dan tahi lalat kecil di atas bibir itu—oh, juga deretan gigi yang putih itu. Yoongi bersumpah ia tidak pernah melihat deretan gigi yang lebih putih dan rapi dibanding milik pemuda ini sebelumnya. Lalu dua lesung yang muncul saat sang pemuda mulai menggigiti bibir bawahnya. Semuanya terlihat begitu menggemaskan.
"Um," pemuda itu membuka suaranya. Menyadarkan Yoongi dari lamunannya beberapa waktu lalu. Lamunan yang membuat seluruh wajahnya terasa panas karena tindakannya yang lancang. Pemuda itu pasti menyadari bahwa Yoongi sudah terlalu lama memandangi wajahnya; membuat Yoongi sontak langsung membuang wajah. Menatap ke arah lain kecuali wajah sang pemuda.
"Uh," gumam Yoongi terdengar begitu kikuk. Dari ujung matanya Yoongi dapat melihat sang pemuda menoleh ke arah suaranya—netra sang pemuda menatap ke arahnya, dan semuanya pun terjadi. Bagai tetesan warna dari ujung kuas yang dituangkan pada kanvas putih, perlahan warna itu tersebar dan memenuhi sang kanvas. Dunia Yoongi kini berubah. Dunia yang dulunya hanya terdiri dari warna monokrom putih ke hitam; kini telah dipenuhi oleh warna lain yang begitu indah.
Sejenak ia berpikir apa yang harus ia lakukan dengan anugerah yang baru saja diterimanya ini; hingga netranya menangkap cara pandang dua iris coklat yang menawan di depannya. Yoongi tidak tahu apakah ia harus merasa senang atau justru sedih karena anugerah ini—atau lebih baik ia sebut sebagai kutukan ini. Yoongi tertegun, sedikit kecewa dan sedih; tatapan pemuda di depannya itu kosong. Yoongi tidak melihat emosi apa pun yang mempengaruhi belahan jiwanya. Seolah-olah semua ini tak berarti apa-apa bagi sang pemuda.
Yoongi mengerutkan keningnya lebih dalam kala pemuda di depannya ini hanya duduk terdiam dan mengalihkan pandangannya dari kedua mata Yoongi. Menoleh ke berbagai arah, sementara tangannya terus berusaha meraba lantai di sekitar mereka. Terkejut ketika tangannya menyentuh mata kaki Yoongi; dan Yoongi sontak menahan napasnya. Mencoba untuk mengabaikan perasaan hangat dan aneh yang memenuhi dadanya.
Yoongi tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau katakan; dan pemuda yang mestinya adalah belahan jiwanya ini, tidak membantu menghilangkan perasaan bingung dalam hati Yoongi sama sekali. Ia bertingkah seolah-olah ia tak peduli sama sekali. Atau mungkin karena ia memang tidak peduli dan menentang kehadiran seorang belahan jiwa, sama sepertinya. Bukannya merasa kecewa atau apa, tapi Yoongi berpikir mungkin hal ini akan menjadi hal yang terbaik bagi keduanya. Karena Yoongi rasa ia memang tidak benar-benar membutuhkan kehidupan percintaan untuk mengisi hari-harinya.
Walau begitu, Yoongi tetap saja penasaran—dan merasa sedikit marah. Bukankah tidak sopan mengabaikan seseorang yang sudah membantu memberikan warna dalam hidupmu? Oleh karena itu, Yoongi memilih untuk membuka suara, "Hei, bukankah kau bisa melihat warna di sekelilingmu, juga?" menahan napas dan menunggu dengan sabar jawaban sang pemuda.
Karena, kalau memang pemuda di depannya ini dapat melihat warna—sama seperti dirinya, bukankah ia seharusnya bertingkah lain? Entahlah, lebih terkejut atau lebih senang mungkin? Karena dunia yang penuh warna benar-benar berbeda dengan dunia monokrom hitam-putih tempatnya hidup sekarang; dunia monokrom hitam-putih, bukanlah dunia yang menyenangkan, bahkan cenderung membosankan. Mungkin saja membuat pemuda di depannya akan melompat ke arahnya, memberikan sebuah pelukan hangat, bercerita tanpa henti mengenai betapa lamanya ia mencari Yoongi, berkata bahwa mereka memang diciptakan untuk bersama—yang membuat Yoongi merinding akan gagasan bahwa belahan jiwanya ini akan membuat Yoongi sesak napas dan terus mengikutinya. Merinding kala ia memikirkan bahwa dirinya harus menolak segala perlakuan sang pemuda dan memberi penjelasan bagaimana bencinya Yoongi terhadap segala sistem belahan jiwa di dunia ini.
Benar. Yoongi masih bisa memperbaiki ini semua. Ia bisa saja pergi dari sana. Berpura-pura bahwa ia tak pernah bertabrakan dengan seseorang yang menyandang gelar sebagai belahan jiwanya. Meninggalkan segala perasaan yang mungkin akan segera tumbuh di dalam hati Yoongi—sebelum Yoongi menyesali segalanya.
Namun kemudian pemuda itu—belahan jiwa yang sampai sekarang belum Yoongi ketahui namanya—berhenti bergerak. Matanya masih terarah ke lantai dan Yoongi bersumpah—Yoongi bisa melihat tangan sang pemuda bergetar samar. "Apa yang kau maksud dengan warna?" ia bertanya dan anehnya, Yoongi merasa sesak saat ia mendengar suara lirih itu berucap dengan nada yang begitu menyedihkan padanya.
Pikiran Yoongi berkecamuk dengan berbagai macam hal dan gagasan konyol hingga kerutan di keningnya mendalam. Tapi semua lamunannya menghilang kala sebuah suara terdengar menggema memenuhi koridor.
"Hei, kau baik-baik saja?" Yoongi mendongak, menatap sosok yang tidak pernah ia kenal sebelumnya—walau begitu, Yoongi merasa ia pernah melihat sosok itu berjalan di sekitar jurusan musik, sama seperti dirinya—berjalan dari balik punggung sang pemuda. "Di mana tongkatmu? Seseorang mengambilnya darimu lagi?"
Kerutan di kening Yoongi kembali. Kali ini lebih dalam dari sebelumnya; tanda bahwa sebuah gagasan kini merayap memenuhi benak dan kesadarannya. Dan Min Yoongi paham. Mengapa hanya dirinyalah yang bisa melihat tumpahan warna pada dunia ini.
"Tidak, Hyung," jawab belahan jiwa Yoongi. Suaranya serak.
"Siapa yang mengambilnya?" tanya yang lainnya lagi. Membantu belahan jiwanya berdiri dengan hati-hati sementara Yoongi masih tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang belahan jiwa. Tidak peduli akan tatapan tajam yang dilayangkan padanya.
"Tidak ada, Hyung." Belahan jiwa Yoongi melepaskan pegangannya. "Aku hanya ingin melatih diriku agar tidak terlalu bergantung pada tongkat itu."
"Hoseok, katakan padaku siapa yang mengambilnya kali ini," paksa pemuda tadi. Yoongi menelan ludahnya. Ia mendapatkan nama belahan jiwanya.
Mengulang-ulang kembali nama tersebut dalam pikirannya, hingga tanpa sadar, "Hoseok," Yoongi mencoba memanggil nama tersebut dengan suaranya sendiri. Samar dan lirih. Yoongi merasa aneh saat mencobanya—tapi, ia menyukainya.
Yoongi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak sadar bahwa belahan jiwanya cukup tertegun dengan suara lirih yang memanggilnya barusan. Namun, ia tidak diberikan waktu untuk merespon saat sebuah tangan kini menarik pergelangan tangannya perlahan.
"Astaga, Hyung. Sungguh, aku hanya mencoba untuk tidak memakainya."
"Aku tidak percaya."
Kali ini Hoseok—belahan jiwa Yoongi, mengeluarkan protes sementara yang lain masih terus menariknya pergi, "Demi Tuhan, semua orang—dan itu berarti termasuk aku—diperbolehkan untuk membuat langkah pertama mereka untuk melakukan apa pun, Hyung!"
Dan protes-protes lainnya terus terdengar dari mulut Hoseok hingga Yoongi tak lagi bisa mendengar suara apa pun. Keadaan di sekelilingnya—atau bahkan hati Yoongi—mendadak terasa sepi. Kosong. Hingga suara dengusanlah yang pertama kali keluar dan memenuhi pendengarannya.
"Astaga, konyol sekali," Yoongi tertawa sumbang, kedua netranya masih belum bisa meninggalkan tempat di mana Hoseok duduk tadi. Dadanya terasa sesak, "Kali pertama aku bertemu denganmu, kau memberikan warna pada duniaku lalu pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata yang bisa membuat perasaanku membaik saat kau membalikkan punggungmu dan melangkah pergi seperti itu."
.
.
.
[Author Note]
Finally! The first chapter of Fated to You is finished!
Oh my God, I don't know if you saw this or not, BUT, having a chance to write about this story in my own language makes me feel a lot more emotional than before! I know that I already said to you (Risu) that I love this story a lot—because this is the first story I ever read in your account and this story leads me to your other stories—so this is just makes me lot lot lot emotional than before! Thank you for being awesome! I'm going to wait for your other update and make sure to give lots of love to you. Keep being healthy and happy, I love you soul-partner! ❤❤❤
Dan buat yang lainnya, selamat membaca cerita dari temenku ini. Cerita ini emang belum selesai sih di dianya juga, tapi udah ada banyak bab yang dia selesein dan dia masih akan nulis lanjutannya kok! ^▽^
Puji Tuhan, aku dapet izin dari dia buat nge-share cerita dia di akunku. Tapi, kalau kalian: 1) sayang banget sama SOPE/YOONSEOK kaya aku sama dia, 2) nyaman buat baca cerita pakai bahasa inggris, 3) penasaran sama lanjutan ceritanya, 4) penasaran juga sama cerita SOPE/YOONSEOK dia yang lainnya; aku saranin buat langsung cek akun dia aja di AO3. I can assure you that all of her stories are amazing! Make sure to give her lots of kudo and comment. ≧▽≦
Tapi lagi, kalau emang kalian lebih suka buat baca pake bahasa Indonesia, aku bakalan nerjemahin semua babnya kok jadi kalian bisa baca di sini!
Thank you for reading this fiction! ^﹏^
