Naruto belongs to Masashi Kishimoto
.
Blue Rain by Sir Locked
.
Warning : Just don't like don't read. if you read this, hope you enjoy it :)
Usianya sudah menginjak dua puluh dua tahun saat pertama kali ia datang ke tempat ini. Tepatnya satu tahun yang lalu. Membawa gitar usang dan berjalan menyusuri blok demi blok. Penolakan sempat ia dapati empat kali sebelum tempat ini menjadi satu-satunya mata pencaharian tetapnya sampai sekarang.
Hanya bermodal gitar dan anugerah suara merdu, ia berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang yang cukup untuk menghidupinya seorang diri.
Ia biasa dipanggil Hinata. Hyuuga Hinata. Tinggal di sebuah flat dengan fasilitas terbatas, atau setidaknya ia punya tempat untuk berlindung dari dunia luar. Sebelum ini ia besar di sebuah panti di salah satu daerah di Manchester. Yang pada akhirnya ia meminta izin agar Shizune mau mengizinkannya untuk hidup sendiri. Mengarungi kelanjutan hidupnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain.
Di salah satu café ternama di pusat kota London, ia unjuk kebolehannya bernyanyi dan bermain gitar. Lalu ia mendapat apresiasi yang cukup besar karena bos pemilik café menjadikannya bagian dari staff disana.
Well, satu tahun sudah berlalu. Tidak ada yang berarti dari apa yang dikerjakannya selama ini. Hinata sudah cukup bersyukur. Dan ketika semuanya mulai terasa hambar, laki-laki pirang itu datang. Sebagai pelanggan baru di cafenya.
Perawakannya tinggi, wajahnya rupawan namun daya tariknya berada di kedua mata yang mirip dengan air di lautan biru. Hinata terpesona. Ia baru mengetahui nama laki-laki itu sekitar tiga hari yang lalu.
Uzumaki Naruto.
…
Hinata memainkan lagu terakhirnya untuk malam ini. Cuaca sedang tidak bersahabat, Ino mengatakan akan ada hujan badai yang melanda, dua jam dari sekarang. Akhirnya Hinata memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya.
"Kau bisa pulang bersamaku jika kau mau," tawar Ino, si pelayan cantik. "Aku akan di jemput Sai pukul sepuluh nanti,"
Hinata menyesap lattenya pelan-pelan. Membiarkan kepulan asap itu mengenai wajahnya. "Tidak perlu. Flatku tidak jauh dari sini. Bisa ku katakan jika badai akan datang setelah aku sampai."
"Dengar, yang ku katakan bahwa dua jam lagi badai akan menyerang, itu hanya prediksi yang aku baca di berita. Bagaimana jika badai datang lebih awal?" sangkal Ino. Lagipula gadis penyuka bunga itu tahu bahwa flat Hinata dengan café ini tidak sedekat itu.
"I will be fine, Ino. Kau tidak perlu repot-repot."
Ino menghela napas. Ia tidak bisa memaksa Hinata begitu saja. "Oke, aku percaya padamu. Kau bisa menghubungiku jika berubah pikiran,"
"Tentu." Hinata tersenyum. Menghargai kebaikan hati yang Ino tawarkan. Tapi, sungguh, ia tidak ingin merepotkan, lagipula flatnya hanya beberapa blok dari café dan dibutuhkan sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki.
Kling!
Bel pintu café berbunyi dan tak disangka-sangka Uzumaki Naruto datang, dengan setelan catchy lengkap dengan sepatu kets merah.
"Hei, Ino. Boleh buatkan aku secangkir kopi panas?"
Ino mengernyitkan alisnya tidak suka. Tiba-tiba datang tanpa permisi lalu menyuruhnya begitu saja. "Sopanlah sedikit! Kau berada di tempat umum, bukan dapur rumahmu,"
Naruto meringis, menyamankan duduknya pada bartender. Tak menyadari sepasang mata Hinata memperhatikannya sejak tadi. Bagaimana kedua orang ini bisa begitu akrab?
"Ino.."
Gadis itu menoleh. Hinata mendekat kemudian berbisik, sebisa mungkin Naruto tidak melihat. "Kau kenal dengannya?"
Ino secapat kilat mengangguk. "Dia teman sekolahku dulu. Kenapa?" Hinata menggeleng lalu mengatakan kalau ia hanya bertanya. Ia kembali menyesap lattenya yang tinggal setengah.
"Kupikir hujan akan turun sebentar lagi. Diluar anginnya sangat kencang,"
Baik Hinata maupun Ino saling pandang mendengar penuturan Naruto barusan. "Kau yakin, Naruto?" laki-laki itu mengangguk.
Hinata buru-buru memasukan gitarnya pada tas lalu menyampirkannya ke bahu. "Ino, aku duluan." Kemudian beranjak dari sana. Tak memperdulikan lagi teriakan Ino yang memintanya untuk berhati-hati.
Bukannya tidak peduli, tetapi Naruto tidak begitu kenal dengan gadis berponi tadi. Ia hanya tahu kalau gadis itu merupakan penyanyi di café ini. Beberapa kali ia mendengar suara merdu itu berpadu dengan gitar.
"Dia terburu-buru sekali." Ungkap Naruto setelah Ino mengatarkan kopi pesanannya.
"Sudah ku tawarkan agar pulang bersama, tapi dia menolak," Ino mengangkat bahu acuh. "Ada perlu apa kau malam-malam begini?"
"Tidak ada. Hanya kebetulan lewat sini."
Tidak ada respon yang berarti dari Ino, hanya sebuah anggukan kepala sebelum pergi untuk melayani pelanggan baru. Naruto menyesap kopinya lamat-lamat. Café ini adalah favoritnya. Setidaknya untuk satu minggu belakangan ini. Kesibukannya di kantor membuatnya jarang memanjakan diri. Terkadang ia hanya sempat makan siang di kantin dengan porsi yang kurang dari seharusnya. Pekerjaannya terlalu padat akhir-akhir ini.
Tak sengaja matanya menangkap sebuah benda kotak kecil berwarna hitam tak jauh dari meja. Ia mengamatinya baik-baik. "Hei, Ino!"
Ino yang sedang sibuk menuang kopi pada cangkir melirik dari balik kaca transparan. "What?"
Naruto meninggikan benda itu agar terlihat oleh Ino. "Kau tahu ponsel ini milik siapa? Ini.. merk keluaran cukup lama. Milikmu?"
Ino mendekat sebelum tertegun. "Astaga! Itu milik Hinata!"
"Siapa?"
"Hinata, gadis yang tadi bersamaku," Ino setengah panik. "Boleh aku minta tolong padamu,berikan ponsel itu padanya?"
Naruto terdiam sejenak. Mengamati ponsel tersebut dan Ino secara bergantian. Berfikir untuk mengabulkan permintaan Ino atau tidak. Ia menghela napas. "Baiklah, berikan alamat rumah gadis itu padaku—"
"Tidak, tidak. Kau tau flat Avenue? Dua blok dari sini ke arah utara,"
"Oh, ya. Aku tahu,"
"Dia tinggal disana. Lantai dua kamar 204." Setelah mengangguk mengerti, Naruto meraih jaketnya dan memasukan ponsel hitam itu ke dalam saku jaket terdalam. Tanpa pamit, laki-laki itu segera beranjak sebelum hujan turun.
Jalanan terlihat lebih lengang dari biasanya. Ia meninggalkan mobilnya di parkiran café. Hanya dua blok, tidak akan memakan waktu lebih dari satu jam. Orang berlalu lalang dengan cepat. Menghindari badai hujan yang menurut prediksi akan datang malam ini. Beberapa pertokoan bahkan tutup lebih awal.
Tanpa sempat menghindar, seseorang menabraknya dengan cukup kencang, nyatanya orang itu berlari. Ia hanya terhuyung sedangkan penabrak terjatuh.
"I'm sorry, aku terburu-buru. Permisi,"
"Tunggu!" Naruto menahan tangan itu. Semoga daya ingatnya tidak salah kali ini. "Kau Hinata?"
Gadis itu berbalik lalu kedua matanya melebar. Ia terkejut. "Y-ya?"
Naruto segera mengeluarkan ponsel hitam itu. "Kau meninggalkan ini di café."
Wajah panik itu berubah cerah saat melihat ponselnya berada di genggaman Naruto. Ia mengambilnya. "Oh Tuhan. Terima kasih, kupikir sudah hilang." Katanya. Naruto menarik kesimpulan kalau gadis inipun sedang mencari ponselnya.
"Terima kasih banyak,"
Naruto mengangguk kemudian tersenyum simpul. "Kalau begitu aku—"
JRAASSS
Hujan.
Keduanya gelagapan. Begitu pun orang-orang yang langsung berlari mencari perlindungan. Naruto berfikir, flat Hinata berada sekitar lima ratus meter di depan sana sedangkan café berada satu atau dua blok dari tempatnya sekarang. Akan lebih bijak jika ia memilih berteduh di pelataran flat Hinata.
"Kuantar kau pulang."
Laki-laki itu menjadikan jaketnya sebagai pelindung dari kepalanya dan Hinata. Berlari secepat mungkin sebelum mereka benar-benar basah.
Hujan datang benar-benar besar, tanpa peringatan berupa gerimis kecil. Keduanya berlari menerjang meski jaket Naruto tidak berpengaruh apapun atas perlindungan tubuh mereka dari hujan. Nyatanya baju mereka tetap basah dan rambut keduanya lepek.
Hinata membersihkan celananya dari cipratan lumpur. Sedangkan Naruto menggerutu di sampingnya. "Sial."
Gadis itu jadi tidak enak hati. Laki-laki ini sudah mengembalikan ponselnya dan kini tubuhnya basah oleh hujan. "M-maafkan aku,"
Naruto menoleh setelah mengacak rambut pirangnya yang lepek oleh air. "Maaf?"
"Kau basah hanya karena mengembalikan sebuah ponsel." Jujur Hinata. Wajahnya nampak meringis selagi tangannya menggosok-gosok lengan agar kering.
Naruto tertawa ringan. Mungkin dia kesal, tapi bukan karena gadis ini. Ia tidak terlalu suka jika pakaiannya basah oleh hujan, membuat kesan lembab dan kulitnya menjadi gatal. Bisa saja ia berfikir jika permintaan Ino tidak diturutinya, mungkin ia tidak akan kehujanan seperti ini.
"It's okay. Kau tidak perlu merasa bersalah." Ia tersenyum ramah.
Keduanya kini diam. Hinata memperhatikan hujan sedangkan Naruto masih sibuk mengeringkan rambutnya. Tidak ada yang membuka suara kecuali cipratan air hujan yang jatuh berbenturan dengan aspal dan atap rumah. Hinata jadi canggung.
"Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan." Naruto membuka percakapan. Ia menoleh ke samping, menawarkan Hinata sebuah jabatan tangan. Mungkin baik Hinata maupun Naruto sama-sama tidak menyadari bahwa keduanya telah mengetahui nama masing-masing.
Hinata menatap uluran tangan itu kemudian menyambutnya dengan senyuman kecil. "Hyuuga Hinata. Kau bisa memanggilku Hinata." tuturnya.
Sedangkan Naruto tersenyum lebar saat memperkenalkan dirinya dengan bangga. "Aku Uzumaki Naruto. Naruto terdengar keren daripada Uzumaki." Katanya jenaka sambil terkekeh.
Hinata tertegun sejenak sebelum Naruto mengalihkan perhatiannya pada hujan dan menggumam kapan kiranya akan berhenti.
Mata itu. ia sungguh mengagumi mata safir itu
…
Hinata membuka gorden abu itu lebar-lebar. Ini baru pukul enam pagi tetapi jendela kamarnya sudah berembun oleh gerimis. Tidak ada matahari, membuat aktifitasnya pagi ini sedikit terhambat oleh malas. Padahal ia harus membeli beberapa bahan makanan di supermarket hari ini.
Perempuan itu berfikir, tidak ada salahnya menunda sejenak pekerjaan pagi ini sampai jam sepuluh nanti dengan berleha-leha. Toh, ia mendapat jadwal bernyanyi di café pukul empat sore nanti.
Dengan membiarkan gorden itu terbuka lebar, Hinata kembali merangkak ke atas kasur. Meraih ponsel dan mengeceknya. Hanya beberapa pesan yang berasal dari operator dan satu pesan singkat dari Ino perihal jadwal bernyanyinya yang diundur hingga pukul empat tiga puluh.
Ia menarik selimut dan kembali terlelap.
…
Bagi seorang Hyuuga Hinata, kopi bukanlah minuman favoritnya. Menyesap teh hangat dengan wangi vanilla kesukaannya lebih berhasil membuat moodnya meningkat drastis ketimbang cairan pekat yang identik dengan pahit itu. Namun untuk musim hujan seperti saat ini hal itu menjadi pertimbangan baginya, mungkin latte bisa menjadi pilihan yang bagus.
Setelah memasukan satu kotak latte, ia melangkah menuju barisan makanan instan.
"Oh, no."
Perempuan itu menatap nanar barisan mie instan tepat di rak kedua dari atas. Terlalu tinggi. Kepalanya menoleh kesana kemari, barangkali ia menemukan sesuatu yang berguna. Tetapi nihil.
"Well, akan ku coba."
Hinata berjinjit, meraih-raih bahkan hampir terjatuh dan menubruk seorang wanita tua di belakangnya. Ia tidak menyerah. Mie instan itu tidak akan di dapatkannya di lain supermarket. Maka dengan sekuat tenaga ia kembali berjinjit, kini memanfaatkan ponselnya agar menyentuh permukaan kemasan.
Tunggu.
Kenapa tiba-tiba tubuhnya semakin merapat dengan rak?
Perempuan itu berjengit kaget saat seseorang menghimpitnya dari belakang sedangkan tangan—yang Hinata yakini milik seorang laki-laki itu berusaha meraih kemasan mie instan yang menjadi incarannya.
Merasa diperlakukan dengan tidak sopan, Hinata berbalik lalu mendorong keras tubuh tinggi yang menghimpitnya. "Apa yang kau lakukan Tuan…"
Suara yang hendak melayangkan protes itu kian menghilang saat sepasang mata sebiru samudera menatapnya cukup kaget. "Naruto?"
"Eh, Hinata? rupanya kau." Laki-laki itu menebarkan cengiran khas.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku sedang mencari beberapa bahan makanan dan tak sengaja melihat seseorang yang tampak kesulitan. Aku berniat membantu. Tapi kupikir salah jika tidak memberitahu terlebih dahulu, karena kau mendorongku terlalu keras, hahaha."
"Oh, M-maaf. Aku.. refleks." Hinata meringis dalam hati. Ia tak sepenuhnya salah. Laki-laki itu yang tidak memberi tawaran untuk membantu terlebih dahulu.
"No, no, It's oke. That's my fault." Naruto tersenyum ramah. Ia menyerahkan kemasan mie instan itu pada Hinata.
Karena sudah terlanjur bertemu, keduanya lalu masuk dalam perbincangan yang cukup panjang. Mulai dari bertukar kabar hingga membahas hal-hal yang tidak terlalu penting. Saling mendorong troli masing-masing, mengitari supermarket yang hari ini cukup padat.
Sudah ketiga kalinya mereka bertemu sejak malam dimana Naruto mengantar ponsel Hinata yang tertinggal. Semua terjadi secara kebetulan di café karena pemuda itu rutin bertandang dan berbincang akrab dengan Ino, yang mana bertepatan dengan jadwalnya menyanyi.
Baru diketahui pun jika seorang Naruto lebih tua dua tahun darinya. Kini sedang berada pada masa uji coba menjadi direktur utama di perusahaan milik ayahnya. Membuat Hinata terkagum-kagum dalam beberapa menit. Tentu saja, di usianya yang terbilang masih muda, ia sudah dipersiapkan untuk mengemban peran yang menurut Hinata sangat keren. Naruto hanya tertawa rendah.
Setelah selesai dengan keperluan masing-masing, Hinata adalah orang pertama yang mengucap kata pamit.
"Kupikir aku harus pamit lebih dulu. Senang bertemu denganmu, Naruto."
Laki-laki itu mengusap tengkuknya sambil tersenyum ramah. "Me too. Yap, hati-hati.."
Hinata meraih belanjaannya dan bersiap untuk pergi.
JRAASSS
Baik Hinata maupun Naruto sama-sama terpaku. Hujan lagi-lagi turun meski jalanan belum sepenuhnya kering dari gerimis pagi tadi. Bahu Hinata melemas menyadari ia tidak membawa payung. Kecerobohan yang sering dilakukannya.
Sedangkan Naruto meringis kecil sambil menatap langit mendung. "Kurasa kepulanganmu tertunda."
Tidak ada sahutan. Naruto menoleh lalu tertawa renyah. "Jangan sedih begitu, Nona." Ledeknya menyadari pandangan Hinata yang tampak menyedihkan. Laki-laki itu menatap arlogi. "Bagaimana jika kita makan siang? Aku tahu restoran terdekat."
Kali ini Hinata menoleh dengan pandangan bingung.
"Kau tidak mungkin menunggu hujan tanpa melakukan hal yang berarti kan? Lagipula sudah masuk jam makan siang. Ayo?" Tanpa izin laki-laki itu segera mengamit lengan kurus Hinata dan memaksanya ikut.
Restoran yang Naruto maksud bukan bentuk dari restoran mewah yang biasa Hinata lihat di beberapa film. Restoran yang kini ia sambangi terlihat lebih simpel. Setidaknya Hinata meyakini dompetnya tidak akan terkuras habis.
"Kau teman yang menyenangkan, Hinata." Jujur Naruto setelah pelayan pergi membawa pesanan mereka. Rona merah menghiasi pipi perempuan muda itu lalu mengucapkan terima kasih.
"Sungguh. Awalnya kupikir kau gadis pendiam yang tampak membosankan,"
Hinata tersenyum malu. "Aku tidak tahu bagaimana caranya bersosialisasi. Ino adalah teman pertamaku sejak aku keluar dari panti."
Naruto terperanjat. "Maaf. Maksudmu panti?"
"Sebelum ini aku besar di sebuah panti asuhan. Kedua orang tuaku meninggal saat aku masih bayi," terangnya.
"Oh, I'm so sorry." Naruto menjadi gelisah. Merasa ia tidak seharusnya menanyakan hal tersebut. Namun saat Hinata tersenyum dan mengatakan dia baik-baik saja, Naruto kemudian berfikir perempuan ini tak lagi mempersalahkan masa lalunya.
"Well, kau hobi bernyanyi?" Naruto berusaha mengalihkan topik.
"Tidak juga."
Alis tegas milik laki-laki itu mengerut samar. "Lalu bagaimana kau melakukan pekerjaannmu dengan sangat baik?"
"Saat kecil kakak dipanti mengajariku bermain gitar. Untuk bernyanyi.. aku hanya melakukannya semampuku."
"Semampumu? suaramu itu sangat bagus, Hinata. Sungguh!"
Melihat cara Naruto mengekspresikan pujiannya membuat Hinata tersipu. Pipinya kembali merona. "Terima kasih,"
Seorang pelayan datang membawa apa yang mereka pesan. Satu salad sayur milik Hinata dan satu daging sapi panggang milik Naruto. Namun saat pelayan hendak meletakan makanan penutup, seseorang menabraknya dari belakang. Menyebabkan minuman di atas nampan tumpah ruah mengotori topi rajut dan mantel Hinata.
"Ah, maaf Nona. Saya tidak bermaksud." Pelayan itu panik.
"Kau membuatnya kotor, Bung!" sela Naruto kesal. "Tidakkah kau berhati-hati?"
"Saya tidak sengaja, Tuan.."
"Tapi kau sudah membuat topi dan mentel milik temanku basah. Kau ini bagaimana?"
Hinata berusaha melerai. Mengingat kini banyak pasang mata yang melihat mereka."S-sudahlah, Naruto. Dia sudah mengatakan kalau dia tidak sengaja,"
"Akan ku buatkan yang baru, Nona. Sebentar.." pelayan itu melesat pergi ke arah dapur.
Hinata berusaha mengeringkan mantelnya dengan tisu meja. Setelah pulang mungkin ia akan segera mencuci mantel dan topinya. Belum lagi beberapa bagian helai rambut terasa lengket. Oh, hari yang indah.
"Kau bisa menggunakan topi milikku,"
Perempuan itu mendongak ketika merasakan topi rajutnya tak lagi berada di kepala. Naruto berdiri menjulang dengan tangan yang mengusap rambut Hinata menggunakan sapu tangan. Perempuan itu tertegun. Tangannya berhenti mengeringkan mantel yang basah karena kini atensinya berfokus pada biru samudera dan sentuhan di kepalanya.
Dan sesaat setelah topi laki-laki itu menutupi kepalanya, Naruto tersenyum.
Senyum yang berhasil membuat Hinata meyakinkan hatinya bahwa ia sudah jatuh cinta.
…
Ada rasa menggelitik seperti ribuan kupu-kupu terbang di dasar perut. Atau tiba-tiba rasa kantuknya menghilang meski malam membisiknya untuk segera terlelap, lalu saat mentari tiba wajah itu tidak berhenti merona memikirkan pertemuan yang entah keberapa kali akan dilaluinya.
Seperti itulah penggambaran jatuh cinta bagi Hinata.
Rasa pertama yang pernah singgah di benaknya selama dua puluh tiga tahun ia hidup. Dan tak pernah perempuan itu bayangkan akan semenyenangkan ini.
Biru safir itu tidak lagi membuatnya kagum, tetapi memikatnya.
Hinata memilih diam. Tidak mengumbar sisi cintanya pada orang terdekat seperti Ino sekalipun. Cukup ia yang merasakan. Takut jika lelaki itu pergi menghindar dan tak lagi dapat digapainya, meski hanya sebatas teman.
"Hinata."
Perempuan itu tersentak dari lamunan. Naruto sudah siap dengan gitar saat tatapan itu memandangnya bingung. "M-maaf," Hinata menyibukan diri pada senar gitar. Menyembunyikan rona merah yang kini merambati pipinya.
Laki-laki itu baru saja kalah permainan game dengan Ino. Dan kini ia menjalani hukumannya dengan bernyanyi di depan umum. Tentu saja mengiming-imingi Hinata dengan berbagai cara agar mau menemani. Sudah bukan rahasia umum jika seorang Uzumaki Naruto tidak dapat bernyanyi.
"Ready?" Hinata berbisik. Dan laki-laki itu menyahutnya dengan anggukan.
Setelah Hinata memperkenalkan Naruto sebagai teman duetnya kali ini, perempuan dengan setelan celana jeans dan kaos putih bercorak emoji itu memulai petikan gitarnya sebagai intro lagu.
All I knew this morning when I woke
Is I know something now, know something now I didn't before
And all I've seen since eighteen hours ago
Is green eyes and freckles and your smile
In the back of my mind making me feel like
Hinata mengalunkan suara khasnya yang lembut dan merdu. Berpadu dengan gitar yang ia dan Naruto mainkan. Sesekali ia tampak melirik, menikmati bagaimana biru safir milik laki-laki di sampingnya serius menyeimbangkan antara kunci dan petikan gitar. Dalam hati Hinata tersenyum. Tangan Hinata sendiri yang ramping begitu lihai memetik gitar acoustic baru yang ia beli dua bulan lalu dari hasil tabungannya.
Lagi-lagi ia melirik Naruto, isyarat untuk ikut bernyanyi bersamanya.
I just wanna know you better know you better know you better now
I just wanna know you better know you better know you better now
Hinata menatapnya geli ketika suara Naruto mengalun dengan sedikit sumbang. Belum lagi suara tawa Ino yang terdengar samar dari balik bar. Tentu saja Naruto membalasnya dengan tatapan sengit yang berarti, terima kasih sudah mempermalukanku.
Hingga lagu berjalan sampai reff, gitar milik keduanya saling bersahutan dan seirama. Naruto adalah pemetik gitar yang cukup handal, berbanding terbalik dengan suaranya yang bisa dibilang tidak cukup bagus. Bahkan beberapa kali Hinata harus membubuhi improvisasi untuk menutupi suara Naruto.
Lalu kemudian tawa Ino benar-benar lepas—yang kini dibekap oleh Sasori karena beberapa orang disana tampak terganggu, saat dimana beberapa bait lagu dinyanyikan oleh Naruto seorang diri. Bahkan Hinata sendiri menahan tawanya. Kemudian gadis itu menimpali dengan bait selanjutnya hingga kembali pada reff lagu.
'Cause all I know is we said hello
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name, everything has changed
Hinata benar-benar menikmati bagaimana petikan gitarnya berpadu padan dengan gitar yang dimainkan oleh Naruto. Tak saling mendahului atau bahkan merusak lagu. Lalu bagaimana ketika biru samudera itu terlihat gugup dalam seriusnya membuat rona wajah tak henti-hentinya menghiasi pipi tembam milik Hinata.
All I know is we said "Hello"
So dust off your highest hopes
All I know is pouring rain and everything has changed
Hinata kembali melirik Naruto, yang kini juga sedang memandangnya. Cepatlah akhiri ini, Hinata, batin laki-laki itu.
Dan bait terakhir dinyanyikan keduanya dengan kompak, sekaligus mengakhiri lagu yang keduanya bawakan. Mengundang tepuk tangan dari beberapa pengunjung dan teriakan heboh dari Ino. Jarang-jarang café yang lebih mirip dengan kedai kopi ini ramai oleh tepuk tangan.
Tidak lupa Hinata meminta pada para pengunjung untuk memberikan apresiasinya pada Naruto. Laki-laki itu tampak pucat, malu dipendamnya demi gengsi sebagai kaum adam. Setelah senyum paksa yang terkesan aneh, Naruto segera turun dari panggung lalu menerjang Ino dengan jitakan berkali-kali. Meninggalkan Hinata yang kembali melanjutkan performencenya dengan tertawa kecil.
Tidak dapat ia pungkiri, dibalik suara merdu itu terdapat detakan jantung yang bertalu kencang.
…
Hinata duduk dengan gelisah. Kali ini teh vanilla kesukaannya sudah tandas hampir setengah dan tatapan Ino benar-benar membuatnya salah tingkah. Ada apa dengan gadis itu hari ini? Hujan belum turun dan bahkan matahari tidak menampakkan wujudnya. Jika sesuatu terjadi pada Ino, Hinata harus tahu itu.
"A-ada sesuatu yang salah, Ino?"
Ino tidak mengubah posisinya dimana kedua tangan itu menyangga kepalanya di atas meja dapur. Senyumnya tampak jahil dan mesterius. Membuat Hinata merinding. "Sesuatu yang salah? Ah, tidak. Sesuatu yang benar sudah terjadi."
Gadis dengan topi bowler hitam sedikit lusuh itu mengerutkan alisnya tidak mengerti. "Aku tidak mengerti maksudmu."
Lagi-lagi Ino tersenyum lebar. "Kemarin aku baru menyadarinya. Jadi? Tiga minggu sudah membuatmu terbiasa, hm?"
Demi Tuhan, Hinata sama sekali tidak mengerti apa yang sedari tadi Ino katakan. Ia bukan cenayang. "Ino, langsunglah pada poin hal yang ingin kau bicarakan. Aku sungguh tidak mengerti."
"Aa, tapi aku mengerti perasaanmu, sobat. Kau menyukainya kan?"
"Uhuk!" Dan Hinata berhasil tersedak. Wajahnya memerah, antara sulit bernafas atau karena malu. Yang jelas ia tidak bisa mengontrol detak jantungnya.
"Aku bisa melihat dari caramu memandangnya. Itu.. berbeda. Lalu bagaimana ketika kau salah tingkah jika berhadapan dengannya, atau ketika wajahmu memerah saat ia menatapmu dengan cengirannya.. oh! Kau sangat mudah ditebak, Hinata."
"A-aku…" Hinata yang baru saja menetralkan nafasnya akibat tersedak, kini jadi tergagap. Wajahnya panik. Sejelas itukah? Lalu jika Ino menyadarinya, apa mungkin hal serupa juga dirasakan oleh Naruto? Hinata benar-benar resah. Ia takut Naruto mengetahui itu dan menghindar darinya.
Ia merasakan tangan lembut milik Ino menggenggam kepalan tangannya di atas meja. Hinata menoleh. Dengan sebuah senyum lembut penuh perhatian Ino berujar. "Jangan menyangkalnya, sayang. Ku pastikan ini hanya menjadi rahasia kita berdua, sampai waktu yang akan mengubahnya."
Dan Hinata menghembuskan nafasnya seraya tersenyum serta membalas genggaman tangan Ino.
…
Hujan belum berhenti di luar sana. Bahkan intensitasnya semakin deras. Tentu saja hal itu menghambat Hinata pulang meski jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Besok ia tidak memiliki jadwal di café karena band Stars—teman-teman sesama penyanyi di café—yang akan menggantikan.
Berulang kali Hinata mengintip tetesan hujan dari balik jendela dapur. Lalu ia menghela nafasnya, membuat kaca itu berembun.
"Jadi, kau lupa bawa payung lagi, Nona manis? Hahaha.."
Hinata hanya mengerutkan wajahnya lucu mendengar ledekan Chouji yang sedang memasak pasta. Laki-laki gempal itu tertawa hingga lemak di perutnya bergetar. Selalu. Kecerobohannya selalu sama. Lupa membawa payung.
Ngomong-ngomong sudah hampir seminggu Naruto tidak datang ke café. Yang berarti Hinata pun belum bertemu dengannya lagi. Apa mungkin laki-laki itu sibuk dengan pekerjaan? Bisa jadi. Atau bahkan mungkin masa uji cobanya di percepat.
Samar-samar Hinata mendengar suara lonceng pintu berbunyi, menandakan seorang pelanggan baru saja masuk.
"Oh, hei.. Naruto. Lama tak berjumpa," Ino berseru cukup heboh. Membuat senyum Hinata merekah ceria. Ia segera beranjak dari duduknya untuk menghampiri laki-laki itu.
"Ow,ow. Kali ini siapa yang kau bawa?"
Tepat ketika Hinata akan menyapa, senyumnya pudar berganti dengan wajah bingung dan penuh tanya. Kali ini Naruto tidak sendiri. Disampingnya berdiri seorang gadis jelita yang sedang tersenyum ramah. Tubuhnya semampai dan tampak manis dengan sweater coklat susu dan rok hitam sebatas lutut. Tubuh rampingnya tertutupi mantel tebal sedangkan kaki jenjangnya tersembunyi dibalik sepatu boots seperempat betis.
Siapa dia?
"Hei, Ino…" kemudian mata safirnya yang kini tengah berbinar itu menatap Hinata lalu melambai. "Hinata!"
Perempuan itu mendekat. Menuruti rasa penasaran yang membumbung pikirannya dan rasa gelisah yang mulai merambati hatinya. Ia merasa takut akan sesuatu. Bibirnya tersungging senyum ramah seperti biasa. "Hai, Naruto. Bagaimana kabarmu?"
"Kabar baik!"
Ino mendelik. "Hm, you looks so exited." Ucapnya menyelidik sebelum pandangannya beralih pada gadis di samping Naruto. "Kau tidak ingin memperkenalkan dia pada kami?"
"Yeah, tentu saja. Jadi, kawan-kawan, perkenalkan ini Haruno Sakura, kekasihku. Dan Sakura, ini sahabat-sahabatku. Yamanaka Ino dan Hyuuga Hinata." ucapnya penuh bangga. Mengabaikan tatapan Ino yang berubah serta senyum Hinata yang kian pudar.
"Aku Haruno Sakura."
Wajahnya menawan. Itu yang pertama kali melintas di pikiran Hinata saat menjabat tangan halus milik Sakura.
"O-oh.. sejak kapan? Kau tidak pernah cerita padaku," Ino melirik Hinata sedikit khawatir.
Naruto menggeser bangku dan mempersilakan Sakura untuk duduk lalu di ikuti olehnya. "Sejak satu tahun yang lalu. Maaf tidak memberitahumu, hehe.." Naruto menggaruk belakang kepalanya.
Hinata sesak. Jadi selama ini laki-laki yang dicintainya sudah memiliki kekasih? Lalu, kenapa baru sekarang ia mengetahuinya? Setelah perasaan itu tertanam sangat dalam di benaknya.
Diam-diam Hinata memperhatikan Sakura. Perempuan itu nampak sangat cantik. Perilakunya sangat anggun dan feminim. Matanya indah cemerlang seperti permata emerald. Tubuhnya indah dan kulitnya putih mulus terawat. Tidak heran mengapa Naruto bisa jatuh hati.
Jika dibandingkan dengan dirinya, tentu sangat jauh.
Ino meletakan dua cangkir expresso yang dipesan kedua tamunya ini di atas meja. "Jadi?"
Naruto memandang Ino dengan kesal. "Kau sepertinya tidak senang aku datang."
Ino memutar bola matanya. "Yah, yah. Setidaknya kau punya alasan khusus mengapa kau menghilang selama seminggu lalu datang tiba-tiba dan memperkenalkan gadis cantik yang sedang sial ini,"
Naruto mendelik tidak suka sedangkan Sakura menatapnya bingung. "Apa maksudmu dengan sial?" protes si laki-laki.
"Sial karena mendapatkanmu," setelahnya baik Ino maupun Sakura melepas tawa. Sedangkan Naruto menatapnya sinis. Hinata? ia hanya mampu untuk tersenyum.
Setelah berbincang mengenai pekerjaan dan beberapa hal yang tidak begitu penting, atau bernostalgia masa lalu Ino dan Naruto saat satu sekolah dulu. Naruto tiba-tiba merangkul Sakura dengan erat. Tatapannya tampak bahagia dan melembut secara bersamaan. Safir itu sedang dipenuhi oleh luapan cinta. Hinata berharap dalam hati itu adalah untuknya.
"Jadi, Ino, Hinata." Naruto memandang satu-satu perempuan yang ada di hadapannya. "Minggu depan kami akan menikah,"
Ino langsung menoleh kearah Hinata dengan raut penuh kekhawatiran sedangkan Hinata merasa paru-parunya penuh hingga membuatnya sulit untuk bernafas.
…
Jatuh cinta itu berjuta rasanya. Semua menjadi satu padu hingga rasa-rasanya kau ingin meledak. Cinta di asumsikan oleh banyak orang kedalam berbagai macam bentuk. Salah satunya adalah persaingan.
Lalu bagaimana Hinata bisa bersaing jika sebelum angkat senjata pun ia sudah kalah telak?
.
.
.
To be continue
Note :
Helloo... :)
seperti yang pernah gue bilang, cerita ini lahir ketika gue lagi bete. jadi kalo alurnya kecepetan atau ceritanya terkesan maksain, sorry mengecewakan, gue ga sehandal author lain. but this is my own style :D
btw, lagunya Taytay sama Ed numpang eksis ya haha..
.
.
So, see you on Friday :*
