Fajar menyingsing dari ufuk timur, menyebarkan sinar keemasan hangatnya ke seluruh penjuru desa. Pagi ini, SMA Tanabataki riuh seperti biasanya. Daun-daun pepohonan yang tumbuh di setiap sudut halaman bergemerisik pelan ditiup angin. Benar-benar suasana yang khas pedesaan di Jepang.
Seorang gadis berseragam putih abu tampak berjalan di sepanjang lorong kelas satu. Di sampingnya berdiri seorang wanita paruh baya yang membawa beberapa map dan buku tebal di tangannya. Gadis itu sesekali menoleh ke si wanita di sebelahnya. Rasa canggungnya saat ini lebih besar dari pada rasa takutnya tinggal di Negeri orang.
"Uh, Takatsuki-sensei?" tanyanya hati-hati.
"Ada apa, Ana-san?" balas si wanita paruh baya--Takatsuki--ke gadis remaja di sebelahnya.
"Apa kelasku masih jauh?" tanya si gadis berseragam putih abu, Ana. Dia menatap Takatsuki dengan tatapan harap-harap cemas.
Ditatap seperti itu oleh muridnya, Takatsuki pun langsung tersenyum. Hatinya berusaha memaklumi sosok Ana yang memang baru pertama kali tiba di Jepang. Tapi siapa sangka, gadis remaja bertubuh mungil itu langsung berkomunikasi dalam bahasa Jepang saat pertama kali bertemu dengannya.
"Ah, tidak juga," jawab Takatsuki tenang, "nah, ini dia pintu kelasmu."
Ana mengigit bibir bawahnya begitu Takatsuki menggeser pintu putih di hadapannya. Gadis itu sekarang canggung, tidak lebih tepatnya dia sangat canggung. Ana tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk berbicara dengan orang-orang Jepang meskipun dia sudah mempelajari bahasa itu sejak duduk di bangku kelas dua SMP.
Cahaya dari jendela kelas menyilaukan pandangan Ana untuk sesaat. Gadis itu berjalan ke tengah-tengah papan tulis sembari agak menyipitkan matanya. Kemudian dia menghentikan langkahnya dan mulai menatap barisan orang-orang bermata sipit asing yang akan menjadi teman sekelasnya selama tiga tahun ke depan.
"Nah, minna-san, hari ini kita kedatangan murid pindahan dari Indonesia," ujar Takatsuki sembari menepuk-nepuk puncak kepala Ana. Saat ini wanita paruh baya itu tahu betul isi hati Ana. Dia sendiri pernah merantau ke Negeri orang dan mengalami sindrom canggung yang sama.
"P-perkenalkan, na-amaku Ana! Aku datang dari Indonesia. Mohon bantuannya, ya!" ujar Ana. Dia membungkukan setengah badannya ke depan.
"Nah, kalau begitu, um ... silakan duduk di sebelah Taki-san, ya!" ujar Takatsuki. Tangannya mendorong pelan punggung kecil milik Ana agar gadis itu melangkah ke depan.
"Taki-san, tolong acungkan tanganmu!"
Seorang gadis bersurai coklat sebahu mengacungkan tangannya ke udara. Dia tersenyum lebar menatap Ana. Pertanda bahwa Taki menerima kehadiran Ana sebagai temannya.
Sepulang sekolah, Taki membawa Ana berjalan-jalan keliling sekolah. Gadis bermanik lavender gelap itu terus berceloteh tentang kesehariannya juga teman-temannya yang menurutnya agak menyebalkan. Sedangkan Ana hanya mendengarkan sambil sesekali memberi respon pada bahasan yang menurutnya menarik.
Krssk! Krssk!
Indra pendengaran Ana, tiba-tiba mendengar daun semak yang bergemirisik. Refleks, gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara.
Seekor kucing gemuk.
Wajah Ana merona ketika melihat betapa lucunya kucing itu. Tampaknya kucing gemuk tersebut tersangkut di semak. Terbukti, saat ini hanya sebagian kepalanya saja yang muncul. Raut wajah kucing itu memelas menatap Ana, membuat permukaan hati Ana terasa tercubit kecil.
"Oh, kawaii na neko!" gumam Ana sembari meraba-raba tubuh gemuk kucing itu yang berada di bagian dalam semak. Dengan satu tarikan, pada akhirnya kucing gemuk tersebut berhasil terlepas dari semak berkat bantuan Ana.
"Apa yang kau lakukan, Ana-san?" tanya Taki. Kini gadis itu tengah berdiri di sebelah tubuh Ana.
"Taki-san, kucing ini lucu, ya! Kira-kira ada pemiliknya atau tidak, ya?" tanya Ana sembari memperlihatkan si kucing gemuk yang tengah ia simpan di dalam gendongan tangannya.
"Kucing?" tanya Taki pelan. Ekspresi wajah Taki jelas-jelas menunjukkan perasaan bingung. Tapi Ana tidak terlalu memperhatikan ekspresi Taki tersebut.
"Iya, aku mau memeliharanya, ah!" jawab Ana semangat. Setelah selesai mengatakan hal tersebut, tiba-tiba saja si kucing gemuk melompat turun dan berlari ke belakang bangunan sekolah.
"E-eh?! Tunggu aku, neko-chan!" seru Ana. Dia ikut berlari mengikuti si kucing gemuk.
"A-Ana-san!! Jangan ke sana!!" teriak Taki. Suaranya terdengar agak gemetar, seakan saat ini Taki benar-benar takut dengan apa yang ada dibalik gedung sekolah.
Ngomong-ngomong kucing yang Ana-san maksud itu ... kucing apa, ya? batin Taki frustasi.
Ana sampai di belakang gedung sekolah lalu dia mendapati si kucing gemuk tengah berlari ke dalam pangkuan seorang pemuda bersurai coklat kopi. Pemuda tersebut menatap Ana dengan tatapan kosong. Membuat Ana tersekat untuk beberapa saat.
"Oh, jadi itu kucingmu, ya?" tanya Ana canggung.
"Um," jawab pemuda itu. Dia mengalihkan pandangannya ke arah si kucing gemuk. Tatapannya menyiratkan suatu rasa kebingungan yang tidak dapat Ana pahami.
Rasa canggung pun menyelimuti tubuh Ana seperti sebuah selimut tebal yang menggulung tubuhnya di atas ranjang. Suasana hening yang terjadi antara dirinya dan si pemuda asing membuat tubuh Ana membeku di tempat.
"K-kenapa ...?" tanya pemuda itu tiba-tiba. Suaranya yang terdengar lembut membuat Ana berpikir bahwa yang mengeluarkan suara adalah salah satu youkai yang akhir-akhir ini penasaran dengan kehadirannya.
Yah, memang selalu seperti itu. Setiap kali gadis itu datang ke tempat baru, para penunggu yang mendiami tempat tersebut akan mengikuti gadis itu seharian penuh. Ana tidak mengerti dengan alasan mereka tapi yang jelas sepertinya tubuh Ana mengeluarkan semacam energi spesial yang menarik perhatian para makhluk tak kasat mata itu.
"Kenapa?" ulang Ana.
Si pemuda menarik napas lalu mengembuskannya kembali sebelum pada akhirnya dia melanjutkan, "Kenapa kau bisa melihat Nyanko-sensei?"
"E-eh, yah, aku tidak buta, kau tahu?" balas Ana.
"Maksudku ... err ...," gumam si pemuda tidak jelas. Dia memang tidak pandai mengungkapkan apa pun yang dia pikirkan kepada orang lain. Baik kepada sesama manusia maupun ...
kepada makhluk gaib.
"Sudahlah, lupakan saja!" Si pemuda buru-buru berbalik pergi. Dia melompati pagar besi sekolah dengan satu kali hentakan. Meninggalkan Ana sendirian dengan berjuta pertanyaan di benaknya.
"Anaaaa!!" Taki berlari menghambur ke arah Ana. Manik lavender gelapnya tampak berkaca-kaca menatap teman barunya itu. "Kau baik-baik saja, kan?"
"Err, iya. Aku baik," jawab Ana sekenanya. Pikirannya sibuk melayang kepada sosok pemuda misterius yang baru saja ditemuinya.
"Lain kali kau tidak boleh pergi ke tempat ini, Ana-san!" ujar Taki dengan intonasi suara yang agak meninggi. Jelas-jelas ada rasa cemas yang terselip dalam nada suaranya.
"Kenapa?" tanya Ana singkat.
"Kau tidak bertemu dengan anak iblis itu, kan?" Taki malah bertanya balik. Matanya menelusuri daerah sekitar dengan was-was.
"I-iblis? Benarkah?!" gumam Ana terkejut. Sebenarnya dia tidak terlalu yakin bahwa di tempat ini ada iblis. Pasalnya Ana masih merasa baik-baik saja. Jika ada aura negatif kuat yang menyelubungi tempat ini, sudah pasti sekarang tubuh Ana tumbang tak bergerak.
Sejak usianya menginjak tiga belas tahun, gadis itu memang jadi lebih sensitif dengan keberadaan makhluk tak kasat mata. Kemampuan itu diturunkan dari mendiang neneknya lalu ibu dan ayahnya dan, terakhir sampai pada dirinya.
"Sudahlah, lebih baik kita cepat pergi dari sini!" ujar Taki sembari menarik lengan Ana menjauhi area belakang gedung sekolah. "Aku khawatir sekali, tahu! Tadi kau bilang, ada kucing yang lucu tapi aku tidak melihat ada kucing di mana pun."
DEG!
"Bagaimana kalau yang tadi itu peliharaan si anak iblis yang mencoba membunuhmu?"
Jadi begitu rupanya. Ana akhirnya tersadar, bahwa kucing gemuk yang barusan dilihatnya bukanlah seekor kucing sungguhan. Lalu bagaimana dengan si pemuda bersurai coklat kopi barusan?
Apa dia juga bukan manusia sungguhan?
