Copyright © 2014 by Happyeolyoo
All rights reserved
.
.
If I Can't Hold You Back
Genre : Romance , Hurt
Rate : T+
Pairing : HunHan
Part : Threeshoot
Chapter : 1/3
Warning : GENDERSWITCH, Miss Typo
Disclaimer : Saya hanya meminjam nama dari mereka. Ini hanya sebuah fanfiction dari fans untuk fans dengan kemampuan menulis yang standar-standar saja. Jadi saya membuatnya berdasarkan imajinasi. Not alowed to bashing the cast or other, please! UNLIKE DON'T READ!
Summary : Oh Sehun adalah seorang photografer yang super sibuk, dia keras kepala dan tidak bisa dikalahkan. Bahkan dia tidak punya cukup banyak waktu untuk pacarnya sendiri, Xi Luhan. Mereka berpacaran seperti pasangan lainnya. Namun seiring waktu berjalan, Luhan merasa jika Sehun mulai mengabaikannya karena wanita lain yang disangkut-pautkan dengan pekerjaan. Dan kecurigaan Luhan yang membakar habis kesabarannya, berujung pada kata putus yang memisahkan jalinan tali kasih mereka.
Music : Farewell by Taeyeon
I want to capture the image of you walking to me, hundreds of times a day
"Sehun! Hentikan! Jangan memotretku!"
"Lihat saja sisi baiknya, Sayang," laki-laki berpipi tirus dengan wajah setampan dewa meledek sambil berusaha memfokuskan lensa kamera DSLR yang dipegangnya. Sedangkan gadis yang menjadi titik fokusnya merengek sambil berusaha menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Gadis cantik bertubuh mungil menepuk-nepuk rambutnya yang penuh dengan butiran tepung terigu, terbatuk ringan saat merasakan partikelnya masuk dan tersangkut di kerongkongan. Kelopak matanya yang seindah mawar mengerjap-ngerjap, mengantisipasi bahwa tidak akan ada materi terkecil yang masuk ke mata. Bibirnya yang tipis mengerucut imut, membentuk m-shape dengan warna merah muda menarik. Dan laki-laki yang dideklarasikannya sebagai kekasihnya, sedang mencoba mengejeknya dengan mengambil beberapa foto.
Itu keterlaluan!
Padahal, awalnya Luhan hanya ingin mengambil kantung terigu yang kebetulan terletak di laci paling atas. Tapi karena laki-laki yang dipanggilnya Sehun itu datang secara tiba-tiba dan mengagetkannya, kantung terigu itu jatuh tepat di atas pucuk kepalanya; membuat isinya berhamburan keluar dan menyelimuti kulit putihnya dengan gumpalan terigu ini. Sehun sama sekali tidak punya niat untuk menolong. Laki-laki itu malah melongo sebentar lantas mengarahkan kamera DSRL yang sialnya ada di genggamannya ke arah Luhan.
Lalu, lampu blits itu berjaya selama satu detik penuh.
"Aku hanya perlu menambahkan mentega, telur, dan susu untuk membuat adonan pancake," laki-laki itu terkekeh dan meletakkan kameranya. Gadisnya merengek habis-habisan, membawa kemungkinan besar bahwa seharian penuh ia akan ngambek seperti bocah umur lima tahun. Sehun memutuskan untuk berhenti bercanda lantas menghampiri kekasihnya yang sibuk membersihkan diri dari tumpahan terigu. "Kau 'kan bisa minta tolong kalau ingin mengambil sesuatu dari tempat tinggi," katanya, sementara dua telapaknya jatuh dengan gerakan lembut di pucuk kepala Luhan, berusaha menyingkirkan butir yang tersangkut di helai rambut itu.
Luhan semakin memberengut mendengar kata-kata kekasihnya walau ia sendiri membiarkan telapak tangan Sehun tetap ada di kepalanya. Pandangannya merendah dan jatuh pada kerah kaus Sehun, pelupuknya mengerjap-ngerjap. "Kalau kau tidak datang tiba-tiba, aku tidak akan menjatuhkan kantung tepungnya," sahutnya sambil memukul dada bidang kekasihnya dan kembali merengek.
"Mau kubantu membersihkan ini semua di kamar mandi?"
Luhan merona dan seketika itu pula dia mendorong tubuh Sehun. Matanya melotot tidak terima. "Dalam mimpimu!"
Bunyi gelak tawa main-main terdengar dari Sehun. Dua telapaknya kembali terangkat, kali ini jatuh tepat di dua permukaan pipi Luhan yang selembut marshmallow. Ibu jarinya bergerak-gerak mengusapnya dengan lembut, menyebarkan getaran tidak langsung yang membuat Luhan merona diam-diam. "Kenapa? Kau malu?"
Titik-titik rona merah kembali merambat cepat ke pipi Luhan dan mendominasi di sana akibat kalimat frontal dari Sehun. Dia mencengkeram pergelangan tangan Sehun, sedikit meremasnya pelan. "Kau yang kenapa. Jangan menggodaku seperti itu, Byeontae."
"Oh, Sayang," Sehun mengecup sekilas bibir Luhan hingga menciptakan bunyi kecupan vulgar. Tatapannya yang sehangat sinar mentari di musim semi jatuh tepat di wajah Luhan, membuat gadis itu semakin merona dan merona lagi. "Aku paling tidak suka panggilan itu."
"Lalu berhentilah menggodaku seperti itu," cicit Luhan malu-malu.
"Oke-oke, aku menyerah," Sehun menurunkan telapak tangannya dan membiarkan Luhan mundur dari jangkauannya. "Cepat pergi ke kamar mandi dan bereskan semua noda yang menutupi kecantikanmu. Aku akan menunggumu di sini."
Luhan buru-buru berbalik dan melangkah menuju pintu kamar mandi. "Maaf, tidak ada sacherlote atau apa pun untuk kudapanmu kali ini, Hun. Tapi aku janji akan membuat sesuatu yang lezat sehabis mandi agar bisa menemani waktu bekerjamu."
"Ya, Sayang," Sehun ikut berbalik dan meraih kamera DSLR-nya yang semula tergeletak tak berdaya di atas meja. Dia mengamati gambar-gambar hasil jepretannya yang ada di layar mungil di sana. "Aku berharap kau bisa cepat sedikit. Aku harus kembali sejam lagi untuk memotret Michell dan bikini-bikininya."
Pintu kamar mandi yang akan ditutup oleh Luhan berhenti bergerak. Kepala gadis itu menyembul dari selanya yang belum tertutup sempurna, wajahnya yang belepotan tepung terigu tampak lebih murung. "Secepat itu?"
"Maafkan aku, Sayang. Tapi aku memang harus kembali secepat itu," sekarang Sehun tampak sibuk dengan layar laptopnya yang menampilkan foto-foto seksi dari seorang model wanita asal luar negeri. "Setelah mandi, bisa buatkan aku kopi?"
Luhan menghela napas, merasa kecewa namun dia tidak bisa marah begitu saja. Sehun bukan pengangguran, karena itu dia selalu sibuk. Pekerjaannya sebagai photografer dan dua ribu foto baru selalu masuk ke memori eksternal laptopnya untuk diproses. Semalaman, Sehun akan memilih sekitar delapan ratus foto dari semuanya lantas menyetorkan hasilnya kepada Tuan Kimatausiapapunitu.
Luhan selalu tahu kenapa Sehun lebih sering memerhatikan layar laptop dari pada dirinya. Sedikit-banyak ia ingin protes, tapi dia tidak berhak.
Selama air hangat mengguyur tubuhnya yang menggigil karena ditelangkup kesedihan akan fakta menyakitkan dari kisah cintanya, Luhan tidak bisa berhenti menangis. Sekiranya, perasaannya yang berlandaskan cinta sudah sampai di ujung kesabaran. Dia benar-benar tidak ingin bertahan, dia ingin berlari keluar dari kungkungan Sehun demi mendecap kebahagiaan lain. Tapi, sisi lain dalam hatinya selalu berteriak memperingatkan, mengatakan sesuatu bahwa dia masih mencintai Sehun.
Luhan membungkus tubuhnya dengan robe lembutnya, selembar handuk berwarna merah jambu yang lembut menggulung rambutnya yang ditarik ke atas. Begitu dia keluar dari kamar mandi, pandangannya menemukan Sehun yang masih sibuk dengan laptopnya. Setengah mendesah, dia berjalan ke arah konter.
"Amerikano, Sayang. Jangan yang terlalu manis," Suara Sehun terdengar mengingatkan saat Luhan baru akan mengambil cangkir dari rak.
Gadis itu menoleh dan menatap kekasihnya sebentar. "Bagaimana jika kutambahkan susu?"
"Kau bercanda?" Sehun menggerak-gerakkan jemari telunjuknya di salah satu tombol keyboard. "Amerikano itu beda dengan moka yang bisa kautambahkan susu seenaknya. Apakah otakmu sedikit konslet karena tertimpa kantung tepung barusan?"
"Tidak, maaf," suara Luhan mencicit di antara suara denting sendok dan cangkir yang berbenturan. Dia menyeduh kopinya dengan telaten lalu mengantarkannya ke Sehun. "Kuharap kau bisa mencicipi moka. Amerikano benar-benar pahit," katanya sambil melirik sebentar ke arah laptop.
Dan denyutan absurd mengetuk dinding perasaannya saat menemukan ribuan pixels yang membentuk sebuah gambar seorang gadis cantik yang nyaris telanjang (karena hanya menggunakan bikini two pieces) sedang berpose menarik di sebuah kursi pantai. Luhan meringis dan menatap wajah serius kekasihnya. "Masih ada pemotretan dengan bikini?"
"Ya. Musim panas memang selalu penuh dengan bikini," jawab Sehun asal. Dia meraih pegangan cangkir kopi dan menyesapnya. "Oh, Sayang. Sudah kutekankan berapa kali mengenai berapa sendok gula yang harus kaumasukkan dalam kopiku? Kalau tidak terlalu manis, terlalu hambar, atau apa pun," semburnya.
Pandangan Luhan merendah, binar matanya sekonyong-konyong meredup. "Maaf. Aku selalu lupa takarannya," katanya mencoba membela diri.
"Kalau begitu, kau bisa bertanya."
"Maafkan aku." Bola mata Luhan bergulir ke atas dan menemukan wajah Sehun yang mulai diselipi amarah tidak terkontrol. "Mau kubuatkan lagi?"
Sehun mendengus kasar dan memutuskan untuk meneleng ke arah Luhan. "Tidak perlu," ucapnya. Lantas dia menutup slip laptopnya dan menyimpannya dalam tas. "Aku akan beli di kafe," dia mengecek jarum jam di jam tangannya. Tubuhnya bangkit dengan cepat dan segera menyeret kaki-kakinya menuju pintu.
"Tunggu, aku akan memasak sesuatu untukmu," Luhan mencengkeram pergelangan tangan Sehun, berniat menahan langkah kaki pemuda itu agar tetap tinggal di sisinya untuk beberapa menit ke depan. "Kau tidak boleh pergi sebelum makan sesuatu di sini."
"Tidak ada waktu, Lu Han," kata Sehun saat dia berhasil meraih knop pintu—dan menyeret tubuh mungil kekasihnya. Tubuhnya berbalik sebentar dan mengecup bibir ranum milik Luhan lantas menarik daun pintu itu. "Aku harus pergi. Michell meneleponku untuk membicarakan sesuatu yang akan membantunya untuk pemotretan selanjutnya setengah jam lagi."
"Tapi, Hun .."
"Aku pergi, Sayang."
Dan pintu itu ditutup dengan bunyi brak pelan yang menimbulkan getaran sakit di dada Luhan.
Michell. Gadis itu lagi!
Batinnya menjerit di antara keheningan ruangan apartemennya. Pandangannya mengabur dan dia tidak sanggup menahan luapan kecemburuannya. Luhan mengangkat dua telapaknya dan menelangkup wajahnya dengan jemarinya yang bergetar. Liquid yang semula hanya menggantung di pelupuknya, perlahan luruh dan menelusuri ujung-ujung jemarinya.
Tubuhnya yang sedikit limbung bersandar pada dinding dingin yang selalu menjadi sandarannya ketika sedih. Dia terisak-isak memilukan, memikirkan segala perasaan tidak masuk akal yang disebutnya sebagai cinta. Dia mengutuk Sehun, tapi dia mencintai Sehun.
Semua serasa salah. Salah.
Tiba-tiba, bunyi denting bel terdengar dua kali. Luhan tersentak karenanya. Pikirannya langsung melesat ke wajah Sehun, memikirkan sesuatu mengenai hal apa yang membuat Sehun kembali ke apartemennya. Sebelah tangannya terangkat menghapus jejak air mata di wajahnya, memastikan jika dia sudah tampak baik-baik saja dan tangannya yang lain memutar handel pintu.
"Apa ada sesuatu yang .., Johny?"
OoOoO
Pukul dua dini hari. Dan Sehun baru pulang dari perjalananya yang melelahkan. Tiga hari dua malam dia pergi ke Gangneung untuk urusan pemotretan, tidak bertemu kekasihnya, dan pulang dengan keadaan yang luar biasa lelah. Dia butuh tidur karena selama ada di Gangneung, dia menukar waktu tidurnya dengan memandang laptop dan menemani Michell ke sana-ke mari untuk mengurusi beberapa hal yang berhubungan dengan pemotretan.
Sekarang ketika dia sudah ada di Seoul, dia merindukan Luhan. Saat mobil McLarren-nya berhenti sejenak di persimpangan karena lampu lalu lintas, pikirannya melayang-layang menampilkan wajah Luhan yang menjadi tiran dalam sisi paling istimewa di hatinya.
Senyuman indah yang menghiasi kedua belah bibir Luhan menjadi candu manis baginya, membuatnya tergila-gila ketika memikirkannya. Wajahnya yang selalu dipenuhi binar kebahagiaan selalu berhasil membuat perasaannya menjadi lebih ringan, beban-beban senantiasa terangkat sedikit demi sedikit jika dia mendapati binar kebahagiaan dari Luhan. Sapaan lembut dengan sedikit bubuhan nada manja dirindukan mutlak oleh pendengarannya. Rengekan khas seperti gadis kecil yang manis rasa-rasanya terus terngiang, menunjukkan jika dia benar-benar merindukan wanita cantik itu.
O-oh. Sehun tidak tahan memikirkan itu semua. Tanpa pertimbangan lebih lanjut, telapak kakinya menekan pedal gas dan memasang sein ke kiri. Mobilnya berbelok ke tikungan gang yang sedikit sempit, melaju dengan kecepatan rendah di tengah keheningan jalan. Dia memarkir mobilnya di pinggir jalan yang kosong lantas berjalan terhuyung-huyung menuju gedung apartemen kekasihnya.
Sehun tidak perlu memencet tombol bel agar bisa masuk ke dalam. Dia punya kunci cadangan dan benda perak itu selalu ada di dalam saku celananya. Saat pintu terbuka setelah bunyi klik ganda terdengar halus, dia membukanya lebar-lebar dan masuk ke dalam sebelum menutupnya kembali.
Ruangan apartemen ini sepi, dipenuhi bau lavender di mana-mana karena pengharum ruangan. Lampu depan sudah mati dan kemungkinan besar semua lampu di ruangan petak ini juga sudah mati. Sehun melangkah mengendap-ngendap ke arah pintu di arah kiri sambil merayap di dinding. Telapaknya menemukan handel pintu dan segera memutarnya.
Seketika itu pula, pandangannya disambut oleh sinar lampu nakas yang redup; yang menerangi wajah lelap kekasihnya. Dia tersenyum tipis, merasa lega karena selama tiga hari ini kekasihnya masih bisa hidup walau dia berada jauh dari Seoul.
Sehun melepas jaket dan celana panjangnya, menyisakan celana pendek selutut yang longgar dan kausnya yang cukup tipis di badannya. Dia membaringkan dirinya di depan punggung Luhan, memeluk kekasihnya dari belakang dan menyelipkan kepalanya di perpotongan leher Luhan. Penciumannya yang tajam menangkap bau harum stroberi bercampur vanilla yang manis; bau kekasihnya yang khas dan selalu berhasil membuatnya nyaris sinting.
Luhan menggeliat pelan ketika merasakan kehadiran dua lengan asing yang melingar di sekitar pinggulnya. Kelopak matanya yang berat bergerak-gerak lantas terbuka. Kepalanya menoleh ke samping kiri dan pandangannya yang agak kabur menangkap siluet Sehun. Sebelah tangannya bergerak meraba-raba nakas demi mencari tombol lampu.
Lalu bunyi klik keras terdengar bersamaan dengan berpendarnya cahaya yang lebih terang dari lampu nakas itu.
"Hun?" Luhan yang masih disorientasi memanggil sambil mengerjap-ngerjapkan kelopaknya.
"Selamat malam, Sayang. Apakah aku mengganggu mimpimu?" tanya Sehun dengan nada santai. Kecupan-kecupan ringan dijatuhkan oleh bibirnya tepat di perpotongan leher Luhan.
Luhan berusaha melepaskan diri dari kungkungan Sehun. Sebelah lengannya tertekuk dan dia berhasil berhadap-hadapan dengan kekasihnya. Matanya menyipit dan raut tidak senang tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang kaulakukan di sini?" kepalanya sambil meneleng cepat mencoba menemukan angka di jam digitalnya. "Ini .., pukul setengah tiga pagi. Kau gila?"
Sehun menyambar pergelangan tangan Luhan, menyentak tubuh mungil itu agar kembali berbaring dalam kungkungannya. Lengan kekarnya yang dilapisi otot bisep terlatih mengungkung Luhan, memeluknya seotoriter mungkin demi menyalurkan segenap kerinduannya. "Aku baru pulang dari Gangneung dan kau mengataiku gila di saat seperti ini? Kau tega, Xi Luhan."
Luhan mendongakkan kepala dan mengerjap saat menemukan raut tampan kekasihnya. "Maksudku, kenapa kau malah kemari? Kau harus pulang ke apartemenmu sendiri," jemarinya bergerak-gerak menggapai lengan atas Sehun lantas mencengkeramnya erat.
"Aku merindukanmu, Sayang," Sehun mengecup kelopak mata Luhan dengan gerakan sensual selama beberapa kali. "Dan aku tidak bisa menahan perasaan sialan itu. Aku benar-benar merindukanmu." Dia mulai menangkap bibir ranum Luhan dan melumatnya dengan amat rakus.
Perasaan panik membumbung tinggi dalam diri Luhan saat mendapat ciuman seperti ini dari kekasihnya. Dia berusaha mundur, menghindari segala tindakan Sehun yang pasti akan berujung pada hal-hal panas di atas ranjang. Dengan sedikit terengah, dia menarik kepalanya ke belakang dan melempar tatapan penuh tuntutan ke arah Sehun. "Jangan mulai!"
"Kenapa?" Sehun menyelipkan jemarinya di tengkuk Luhan dan ujung-ujungnya mulai bermanuver di sana. Dia kembali mengikis jarak di antara wajah mereka, mencoba meraih bibir seranum ceri favoritnya. Namun sayangnya, kecupan dari bibirnya hanya berhasil menampar udara. Luhan benar-benar menghindarinya, menimbulkan rasa tidak terima yang memercik api kemarahannya. "Kenapa?" tanyanya dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
"Aku ingin tidur," Luhan beralasan. Kalimatnya terlontar dengan nada sarat permohonan bercampur kelelahan luar biasa. "Aku tidak akan marah jika kau hanya tidur di ranjangku untuk malam ini."
Sehun memutar bola matanya dengan gerakan tidak terima. Dia berdesis dengan suara ringan. "Oh, oke, Lu Han. Aku hanya akan tidur di sini, sekarang," lengannya kembali melingkar di sekitar punggung Luhan, lalu kelopaknya benar-benar terpejam.
Luhan tahu jika Sehun pasti sedang marah. Karena setiap kali Sehun memanggil namanya seperti itu, maka secara tidak langsung laki-laki itu menunjukkan amarahnya. Dan Luhan sudah hafal dengan tabiatnya yang seperti itu.
"Tidurlah dengan nyenyak. Kau pasti lelah," kata Luhan penuh perhatian. Dua tangannya menarik ujung selimut dan membenarkan posisinya hingga bisa menelangkup tubuh Sehun.
"Berhentilah bicara, Luhan. Kau mengganggu tidurku."
How did I become like this?
OoOoO
Hari ini Luhan berkunjung ke apartemen Sehun setelah berbelanja kebutuhan untuk minggu depan di super market. Sebenarnya dia tidak ada niatan untuk berkunjung—karena dia tahu betul jika Sehun pasti tidak ada di sana. Namun saat memerhatikan gedung besar itu selama beberapa saat, sisi dalam hatinya membimbing langkah kakinya untuk pergi ke sana.
Apartemen Sehun jelas berbeda jauh dengan apartemennya; lebih luas, lebih nyaman, lebih mewah, dan segalanya. Ruangannya selalu bersih karena setiap dua hari sekali ada dua orang bibi paruh baya yang datang untuk bersih-bersih. Sehun punya cukup uang untuk menyewa beberapa orang agar mengurus kebersihan ruangannya. Jadi tidak heran jika ruangan ini selalu tampak luar biasa nyaman.
Ini apartemen minimalis. Apartemen satu kamar yang dibangun untuk orang-orang lajang berduit seperti Sehun. Di sini hanya ada satu ruangan besar, ruangan luas yang memuat satu ranjang king size Sehun, meja kerja, dan satu almari susun. Sofa berukuran tanggung ada di tengah-tengah ruangan, saling berhadapan dengan dibatasi oleh meja mungil; fungsinya untuk formalitas saja—menyambut tamu yang mungkin berkunjung. Ada dapur di samping kanannya, rak empat pintu menggantung di atas wastafel dan kompor elektriknya. Sedangkan kamar mandi ada di ujung sebelah kanan, dekat dengan sisi almarinya. Dindingnya dicat warna biru laut, dengan aksen goresan-goresan lembut yang entah apa maksudnya. Dan bingkai-bingkai foto yang memuat wajahnya dan Sehun menggantung di sisi-sisi ruangan, memamerkan kebahagiaan mereka yang mungkin mulai kedaluwarsa.
Luhan meletakkan kantung belanjaannya di samping sofa dan melangkah menghampiri meja kerja Sehun.
Sehun punya dua laptop; yang satu milik perusahaan dan yang satu miliknya pribadi. Kemana-mana, dia selalu membawa laptop perusahaan dan meninggalkan laptop pribadinya di apartemen. Mungkin karena dia tidak punya banyak waktu untuk mengurusi hal-hal sepele, jadi laptop pribadi yang berisi lusinan game tergeletak begitu saja.
Luhan memandang slip layarnya yang agak berdebu. Tangannya terulur untuk menekan tombol powernya dan lampu-lampu di sisi kiri laptop itu berkedip-kedip. Layarnya menampilkan tulisan welcome selama beberapa detik, lalu wallpaper laptop itu muncul (nyaris membuat Luhan merona malu karena di sana ada fotonya yang diambil diam-diam saat mereka liburan di pantai dua tahun lalu). Dia semakin tergiur untuk menjelajahi apa pun yang ada di sana, folder-folder pekerjaan, game, dan foto-foto mereka.
O-oh, ternyata tidak hanya foto mereka berdua.
Michell.
Ada perasaan sedih yang menyergap udara di sekitarnya, membuatnya kesulitan bernapas ketika pandangannya menemukan deretan foto-foto yang memuat wajah Sehun dan Michell. Jemarinya yang bergetar mencoba menekan kursor dengan tanda panah ke kanan, membuat ribuan foto dengan wajah yang sama namun berbeda pose terus bergulir.
Terus bergulir; memamerkan betapa serasi kebersamaan mereka, kemesraan nyata, senyuman hangat, binar kebahagiaan dan ..
Suara ping-pong terdengar menyentak, membuat Luhan tersentak hebat. Ada satu pesan percakapan yang masuk ke komputer Sehun yang tersambung pada internet. Nama Michell tertera sebagai kontak pengirim, dan hal itu berhasil membuat pikiran negatif di tempurung kepalanya berputar tidak keruan.
Luhan terlampau bingung sampai-sampai kesulitan menggerakkan jemari-jemarinya. Salah satu jari kelingkingnya bergerak tanpa perintah menekan tombol enter, lantas pesan percakapan itu terbuka.
Oppa, kau sudah sampai?
Oppa~ Oppa~
Kenapa lama sekali? Aku benar-benar merindukanmu (emoticon menangis)
Oppa, bagaimana kalau ..
"Luhan? Apa yang kau lakukan di sana?"
Suara berat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong, menghardik jiwa Luhan hingga dia terserang disorientasi singkat. Gadis cantik itu menoleh singkat ke sumber suara dan menemukan kekasihnya yang melangkah tergesa-gesa menghampirinya. Secara naluriah, dia bangkit dan berjalan mundur, menjatuhkan pandangan terluka penuh keseriusan ke arah Sehun.
"Apa yang sudah kau lakukan, huh?" Sehun mendekati laptopnya lalu menutup slipnya cepat. "Atas dasar apa kau membuka privasiku?"
Luhan mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha menyembunyikan ketakutan mendalam yang dirasakannya. Dua telapaknya yang nyaris beku melingkar di antara pinggulnya, tersembunyi dengan baik di balik punggungnya dengan getaran hebat di sana. Gadis itu merunduk, menatap lantai sambil berusaha menahan segenap kesabarannya.
Sehun marah karena Luhan membuka laptopnya.
Sehun marah karena Luhan tidak sengaja membuka pesan percakapan itu.
Sehun marah karena Luhan mengetahui semuanya.
Sehun ..
"Atas dasar apa, Xi Luhan?!"
Xi Luhan.
Satu bulir kesedihan jatuh dari sudut mata Luhan, membuatnya tampak menyedihkan sebab gurat keterkejutan tampak jelas terlukis pada wajahnya. Pelupuk matanya bergerak-gerak tanpa tempo, berkedut menahan pergerakannya yang ingin mengatup demi menyingkirkan genangan air mata sialan yang menggantung rendah di sana. Tenggorokannya terasa perih luar biasa, membuatnya kesulitan untuk mengatakan sepatah kata demi membela diri. Sepuluh jemarinya yang bergetar saling mengatup, tergulung kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih pucat.
Luhan mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding. Perasaan terpojok memenuhi dirinya yang diliputi ketakutan manakala Sehun masih merecokinya dengan pandangan kejam.
"H-Hun .. A-aku .."
"Aku tidak suka kalau kau mencampuri urusan pribadiku. Bukankah sudah kubilang beberapa kali untuk tidak mengacak-acak privasiku?!"
"M-maaf ..," Luhan meringkuk dan mencicit seperti seorang bocah yang ketahuan mencuri.
"Luhan, kau .." Sehun tampak limbung sebentar. Tangannya mencengkeram pegangan kursi dan tangan yang lain memijit pelipisnya yang berkedut— sedikit menyadari bahwa tindakannya pasti membuat kekasihnya takut setengah mati. Dia menghela napas, berusaha menekan amarahnya yang benar-benar akan meledak. "Bukankah sudah kuperingatkan beberapa kali, huh?" Nada suaranya terdengar lebih melembut.
"A-aku .., tidak sengaja," menemukan semua fakta kedekatanmu dengan Michell.
"Tidak sengaja?" Sehun menekan nada suaranya, seolah kalimat tersebut adalah kebohongan paling bodoh yang sudah dilontarkan oleh gadis berumur 26 tahun seperti Luhan. "Bagaimana bisa—"
"Aku mau kita putus."
Kedua mata Sehun membeliak lebar-lebar. "Apa?" tanyanya dengan hati-hati.
"Aku mau kita .., putus," Luhan mengulang dengan nada yang lebih tegas.
Tanpa diduga, Sehun mendecih lantas tertawa meremehkan. Dia berkacak pinggang dan mengedarkan pandangan sebentar. Manik mata yang setajam elang kembali jatuh menatap wajah pias Luhan, melempar tatapan kejam yang memualkan. "Putus?" ulangnya ringan. "Kau mau kita putus?"
Luhan merendahkan pandangan dan mengangguk, tanpa menjawab dengan sepatah kata.
Sehun tergelak lagi. "Terserah," katanya. "Terserahmu saja, Tuan Putri."
TBC
Hello, guuuys. Akhirnya aku memutuskan untuk meremake (lagi) salah satu ff KyuMinku dan publish ini di sini. hmm sebenernya sih nggak punya niat buat publish apa-apa, tapi kayaknya aku kangen kalian deh
Di pertengahan liburan semester awal kayaknya bakal terlewati dengan begitu sulit /alah/ bcause aku lagi kena writerblock huhu :''( jadi mau nulis kok kayaknya berasa nyampah. Jadi, please kasih support ya, gaes.
Untuk chap dua dan tiga, mohon ditunggu dengan sabar. Okay?
See ya~
Xoxo.
