Jimin mengira, ia akan pulang dengan sambutan omelan dari ibunya, dipeluk dengan hangat oleh ayahnya, mandi bebek karena persediaan air yang terbatas, makan bersama walau hanya dengan nasi dan lauk seadanya, tidur di ranjangnya yang bobrok, dan terbangun lagi untuk memulai kesehariannya yang monoton.
Namun ketika Jimin terbangun di atas ranjang empuk berukuran besar, dengan sebuah kain hitam yang bertengger di mata pemuda itu, serta tali pada pergelangan tangan yang membatasi pergerakannya–ia tahu, bahwa orang tuanya sendiri-lah yang telah mengubah hidupnya.
Happy reading and sorry for typos!
.
.
.
Rasa takut tak mampu lagi Jimin bendung. Suara cekikikan dan derap kaki yang berlalu lalang dari luar kamarnya tak luput dari pendengaran Jimin. Jimin bukan orang bodoh yang tak tahu dimana dia sekarang. Jelas-jelas ia berada disana untuk melayani nafsu pria hidung belang, kemudian dibayar seakan-akan manusia setara dengan benda mati yang layak diperjualbelikan.
Jimin hanya bisa bersandar di kepala ranjang dengan menyebut Tuhan dalam doanya. Ia ingin keluar dari tempat laknat itu. Ia ingin tidur dan kembali tidur di kasur kecilnya. Kembali pada keluarga meski orang tuanya sekalipun tak lagi mencintainya.
"Siapapun, tolong aku."
.
.
.
Aku harap hari ini kesialanku yang terakhir. Gumam Yoongi.
Bergelimang harta sejak lahir ternyata tak menjamin hidupmu sejahtera.
Yoongi tidak benar-benar sial. Namun ia sungguh jengah. Didesak untuk berkeluarga saat jiwamu masih ingin bebas, bukanlah sebuah hal yang diinginkan kaum muda manapun. Ditambah dengan istilah perjodohan hanya karena bisnis yang membuat Yoongi muak. Bahkan dulu orang tuanya terikat karena perjodohan.
Prinsip Yoongi adalah hidup bersama dan mati bersama satu orang yang dicintainya.
Hanya saja karena Yoongi masih ingin bebas dan tak berniat untuk mengikat komitmen dengan siapapun, ia pun mendatangi klub malam milik Hoseok, sahabatnya. Berharap akan melupakan ocehan sang ibu dan masalah keluarganya dengan bersenang-senang.
"Yoon, kau kacau." Ucap Hoseok sedikit keras karena suara DJ dan teriakan pengunjung yang bersatu.
"As usual." Balas Yoongi. "Apa ada obatnya disini?" Sambungnya.
"Bagaimana dengan Jennie? Kau tahu dia pemain yang hebat. Kurasa dia akan ditaklukkan pertama kalinya olehmu." Ucap Hoseok setelah berdiri cukup dekat dengan Yoongi. "Pelangganku yang sebelumnya selalu kewalahan. Kurasa dia benar-benar seorang maniak."
Yoongi mendengus geli. "Menjijikkan. Aku bertaruh lima buah villa milikku. Kau tak memiliki anak perawan untuk menghangatkan ranjangku. Aku sedang menginginkannya."
Mata Hoseok berbinar sebelum kembali meredup. "Yah, aku memang tidak memiliki anak perawan." Cicit Hoseok. "Tapi ada perjaka yang siap membakar ranjangmu, Tuan Min."
Yoongi menaikkan sebelah alisnya, sedikit tertarik dengan tawaran Hoseok. "Huh? Aku kira kau hanya memelihara jalang dengan lubang mereka yang kendur itu?" Tanya Yoongi dengan sedikit tawa di ujung kalimatnya.
"Broken home. Jadi sedikit uangku dapat ditukar dengan anak itu." Jawab Hoseok. "Untungnya dugaanku jarang meleset. Kupastikan dia adalah pemuda yang polos sekaligus liar di atas ranjang. Untuk sekedar info, namanya Park Jimin. Kalian bisa saling meneriakkan nama malam ini juga."
"Tiga villaku untukmu."
"Marvelous! Room 100, there you are." Pekik Hoseok dan menyerahkan kunci kamar pada Yoongi.
.
.
.
Nyatanya, Jimin tidak berani tidur. Jimin takut akan terbangun setelah dilecehkan. Jimin takut terbangun tanpa mengenakan apapun pada tubuhnya. Jimin takut ia akan terbangun kembali di tempat yang sama, bukan rumah kecilnya.
Jimin meneguk salivanya berulang. Waspada dengan siapapun yang akan masuk ke kamar itu. Kakinya siap menendang pria hidung belang yang berusaha menyetubuhinya. Kemudian pria tersebut akan mengadu pada pemilik klub karena adiknya kesakitan, dan Jimin berakhir sedikit disiksa kemudian diusir karena mengecewakan pelanggannya.
Terkadang kau akan mendadak jenius ketika ditempatkan dalam situasi yang menyulitkanmu.
"Jimin."
—skenario yang telah dirancang sedemikian baiknya oleh Jimin, pupus begitu saja dalam hitungan detik.
.
.
.
Yoongi menutup pintu kamar dengan perlahan, tak lupa menguncinya. Sungguh tak lucu saat kau akan mengejar puncakmu, digagalkan karena pintu yang dibuka pada waktu yang salah.
Yoongi menautkan alisnya. Pemuda di depannya jauh dari perkiraannya. Ia mengira bawahan Hoseok akan mendandaninya atau memberinya pakaian terbuka untuk menggoda pelanggan, atau setidaknya membiarkan Jimin berpose seksi untuk menaikkan birahinya. Ah, Jimin sama sepertinya. Seorang pria.
Tidak. Yoongi bahkan merasakan hormonnya bekerja hanya dengan melihat Jimin yang terikat dengan mata yang tertutupi oleh kain. Tidak dengan pose yang menggoda. Hanya dengan tubuh Jimin yang tiba-tiba menegang dan defensif, sukses membuat suga ikut menegang.
"Aku tak menyangka amatiran sepertimu yang akan menghangatkan ranjang ini." Ketus Yoongi. "Tapi aku tak bisa menyia-nyiakanmu setelah menyerahkan villaku pada Hoseok. Aku bukan seseorang yang baik hati."
Rasa takut Jimin entah menguap kemana, "Orang-orang kaya sudah biasa kehilangan akal dan etikanya. Bahkan mata kalian bermasalah untuk membedakan antara benda mati dan manusia." Desisnya.
"Apa yang kau katakan, hm?" Bisik Yoongi yang duduk di sebelah Jimin dengan kaki sebelah masih bersentuhan dengan lantai. "Kau berani bicara seperti itu? Kau bahkan tak tahu setelah ini bisa saja aku mencekikmu hingga mati?"
"Bunuh aku sekarang juga, keparat. Aku lebih rela mati tertusuk pisau daripada disentuh dengan tangan kotormu." Tantang Jimin.
Plak
Jimin merasakan panas pada pipi kirinya dan hanya meringis pelan.
"Kau tahu kalau kau sudah kurang ajar, bukan?"
Andai Jimin bisa melihat, ia pasti sudah mimisan. Yoongi membuka kancing kemejanya perlahan kemudian membuangnya ke lantai.
Yoongi mengelus surai Jimin, kemudian menurunkan tangannya ke wajah pemuda itu. Waktu serasa diperlambat dan sentuhan itu seakan mengirimkan alarm berbahaya ke pusat syaraf Jimin. Jimin gencar menghindari sentuhan yang lebih jauh dengan semakin merapatkan tubuhnya ke kepala ranjang dan meronta-ronta.
Tubuhnya berhenti memberontak setelah Yoongi melayangkan tamparan pada pipi kanannya. Jimin merasakan darahnya mendidih ketika bibir Yoongi menubruk miliknya dan meraupnya kasar. Jimin meliar dengan menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri.
Bukan Min Yoongi jika tidak dapat menguasai lawannya. Kecupan dilayangkan pada belakang telinga Jimin dan Jimin melenguh—terlalu lihai. Jimin menggelinjang karena sensasi yang Yoongi berikan terlalu nikmat dan aneh.
"Keparat yang memainkan manusia layaknya boneka." Jimin melenguh lagi setelah menyelesaikan kata-katanya.
"Dan keparat itu begitu menyukaimu." Balas Yoongi.
Sudah terlambat bagi Jimin meminta Yoongi untuk berhenti ketika kain pada tubuhnya telah dilucuti dan tergeletak begitu saja dalam keadaan koyak.
"He—hentikan."
"Kau yang harus menurut padaku, bukan aku yang menurut padamu, Park Jimin."
.
.
.
Andaikan Jimin bisa memutar ulang waktu, pasti ia akan memohon dan menuruti perintah Yoongi. Setidaknya Yoongi akan bermain dengan lembut, namun tidak. Ia berpikir akan merasakan rileks sebentar saja setelah Yoongi membaringkan tubuhnya, walau dengan tangannya yang masih terikat. Puncak penyesalan dirasakan Jimin ketika tubuhnya bergetar begitu dasyat dan bibir tak sejalan dengan logikanya—Jimin mendesah setengah tersendat karena dengan kurang ajarnya sebuah vibrator mengobrak abrik dan seakan memaksa untuk memasuki dirinya lebih dalam. Sungguh Jimin merasa dirinya tak jauh berbeda dengan jalang.
Jimin tak tahu, klub Hoseok menyediakan apapun demi kepuasan pelanggannya yang rata-rata berkantong tebal. "Pelanggan senang, saya ikut senang." Begitu kira-kira motto Hoseok.
Yoongi harus menahan dirinya ketika menyadari betapa erotisnya pemandangan itu. Setidaknya Jimin harus memohon pada Yoongi untuk menuntaskan hasrat menggebunya. Yoongi sungguh kesal ketika dengan lancangnya Jimin merendahkan orang sepertinya. Yang secara tak langsung merendahkan orang tuanya.
Pada dasarnya Jimin itu teguh akan prinsip beretika miliknya. Di ujung saraf sadarnya, Jimin masih sanggup menyindir Yoongi dengan sinis.
"Seorang player sepertimu bisa mendapat apa dariku?" Jimin mengerang sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Kau hanya bermain dengan mayat. Hanya tubuh ini dengan jiwa yang kosong."
"Park Jimin!" Teriak Yoongi sebelum mencabut kasar vibrator dan meremasnya sebelum dicampakkan.
"Aku akan mendapatkannya." Desis Yoongi.
Yoongi menindih Jimin kemudian menghentakkan penisnya dalam lubang pemuda itu. Sontak Jimin menjerit dan menggigit apapun di dekat bibirnya yang notabenya adalah bahu Yoongi.
"Tubuhmu,"
Yoongi mengerang. Terlalu sempit dan panas. Lubang Jimin begitu pas dan menyelimuti penisnya. Meremas kemudian menyedot miliknya. Lubang itu bahkan kelaparan akan pusat gairah Yoongi.
"Jiwamu yang kosong sekalipun, aku akan mendapatkannya,"
Yoongi mengeluarkan penisnya kemudian menyentak lubang itu sekali lagi.
"Hatimu, aku juga akan mendapatkannya."
Jimin hanya bergumam tak jelas di bahu Yoongi dan menangis.
.
.
.
Jimin takut menyuarakan lirihan akibat kenikmatan yang ia rasakan. Anonymous yang brengsek. Sialan. Maniak. Player ulung. Jimin sesekali mendesah malu-malu ketika afeksi dilancarkan Yoongi pada kulitnya.
Jimin menjamin gigitan kecil yang ditorehkan pada bagian dada hingga perutnya akan menciptakan ruam kemerahan di keesokan harinya.
Pekikan tak sengaja Jimin keluarkan setelah berulang kali Jimin mencapai puncaknya. Sedangkan Yoongi melesakkan kepalanya pada ceruk leher Jimin, menggeram disana setelah menyemprotkan cairannya jauh ke dalam tubuh Jimin, terhitung sudah tiga kali.
Dan sesi panas mereka berakhir setelah tiga jam lamanya.
Begitu Yoongi melepaskan ikatan pada pergelangan tangan Jimin, tangan Jimin terkulai pasrah di kedua sisi tubuhnya dan ia berusaha menenangkan hormonnya yang masih bergejolak.
"Pemberontakku yang seksi, dengarkan," Bisik Yoongi yang masih berada di atas tubuh Jimin, dengan kedua tangan Yoongi bertumpu agar tidak menindih pemuda manis itu, "Aku akan mengeluarkanmu dari sini, besok tepat pukul tiga sore. Aku tahu sulit untuk mendengarkan kata 'terimakasih' darimu. Aku akan menjadi pria paling brengsek karena membelimu."
"Kau benar, aku tak bisa membedakan antara benda mati dan manusia. Tapi aku hanya ingin kau keluar dari sini. Aku tak ingin siapapun selain aku menyentuhmu. Aku sedikit kecanduan padamu, Jimin."
Jimin merona dan berusaha melesakkan kepalanya pada bantal di sampingnya, tentu saja ditahan oleh Yoongi. "Aku sudah jujur dan aku tak perlu kau untuk percaya padaku."
"Uh,"
"Pertemuan pertama kita akan mengesankan," Kekeh Yoongi pada akhirnya. "Hey, kita memang belum bertemu, karena kita tak mengenali keseluruhan wajah satu sama lain. Tapi aku sudah mengenal tubuhmu, begitu menggemaskan namun menggairahkan."
Yoongi berguling ke samping dan meraih pakaiannya dari lantai untuk dikenakan, "Sampai jumpa besok sore, Park Jimin."
.
.
.
Jimin tak melakukan apapun setelah bercinta dengan Yoongi selain tidur. Pengalaman pertamanya sungguh melelahkan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jimin melepaskan kain pada matanya dan beranjak ke kamar mandi.
Dan benar saja, saat bercermin, ruam kemerahan yang kentara tercetak pada tubuh atasnya.
"Min.. Yoon.. Gi?" Eja Jimin setelah berusaha menvisualisasikan pola karya yang diciptakan Yoongi pada tubuhnya.
Huh? Haruskah aku percaya pada orang sepertimu, Tuan Player?
.
.
.
TBC/END(?)
Titiw~ balik lg dengan manchu ehe. Yha, udah bikin ff gaguna malah nambah hutang ff xD tapi ff sebelah yang judulnya intimate tinggal 1 chapter lagi dan kelar deh, yeay~ jangan berharap banyak pada ff nchu, karena nchu ga pandai mendeskripsikan adegan nc, duh, sabodo teuing, yang penting hasrat akan mempublish ff ini uda tersampaikan ehe. Soalnya nchu pengen asupan ff yoonmin naena, ya walopun karya diriku yang seperti kutil kuda, unfaedah sekali, tapi senang-senangin diri sendiri utk sekali-sekali gpp ya ;( maafkan diriku ya readernim, untj. Ily all.
See ya!
Regards, nchu
