The Remedy

By: Bluemaniac

disclaimer: "Naruto" (c) Masashi Kishimoto

.

.

Pukul 14.30, Hyuuga Hospital.

.

.

"DITUTUP?"

"Mengertilah, Hinata, kita tak punya pilihan..." Hiashi memijat kerutan di dahinya. Tentu saja ia sudah memperhitungkan akan seperti apa reaksi putrinya saat mendengar berita buruk yang baru saja dibawanya. Tapi ia tak pernah menyangka akan jadi sehisteris ini.

Berita bahwa Hyuuga Hospital, rumah sakit kecil di pinggiran kota milik keluarganya, terancam tutup dan digusur.

"Tapi kenapa? Ke- kenapa harus rumah sakit ini? Kenapa sekarang?" tanya Hinata, masih tak mau menerima.

"Tanah kita… dibeli oleh sebuah perusahaan besar, kurasa mereka butuh lokasi strategis untuk gedung baru perusahaan mereka."

"Dibeli? Ayah menjualnya?"

Tidak biasa bagi seorang Hiashi untuk gelagapan, tapi untuk yang satu ini dia benar benar tak bisa menjawab. Kehabisan kata-kata untuk menjelaskan lagi kepada putrinya, Hiashi mengeluarkan sebuah map berwarna kuning dari laci meja. Ia meletakkannya di hadapan Hinata.

"Saham…" Hiashi memalingkan wajah dari Hinata, tak berani melihat ekspresi putrinya. "Saham kitalah yang jatuh ketangan mereka-…"

"Ayah, Hyuuga Hospital sudah berdiri lebih lama daripada saat perusahaan itu mendirikan cabangnya di kota. Mereka tak punya hak merenggutnya dari ku, dari kita!" potong Hinata, menolak melihat isi map yang ditunjukkan ayahnya.

"Ayah tahu, dan percayalah, kepercayaan diri ayah akan kepemilikan rumah sakit kita ini sama teguhnya seperti dirimu dua hari yang lalu, sebelum ayah menyadari resiko yang harus kita tanggung jika mereka memutuskan mengambil tanah ini secara paksa. Kita beruntung, nak. Mereka hanya menginginkan negosiasi. Kesepakatan. Bukan perampasan."

"Apapun sebutannya, mereka tetap akan menghancurkan rumah sakit ini, 'kan?"

"Kemungkinan besar, yeah, akan dihancurkan…" Hinata menarik nafas kaget saat mendengar konfirmasi ayahnya, tapi Hiashi langsung melanjutkan, "Jika! Jika mereka hanya menginginkan lahannya. Tapi lain halnya jika mereka berniat meneruskan layanan masyarakat, yang tentu saja atas nama perusahaan mereka, untuk mengurus dan melanjutkan perawatan para pasien. Kurasa itu bisa jadi modus untuk mempromosikan jasa, sekaligus menarik simpati para sponsor jika mereka menginginkannya."

"Dan apa yang membuat ayah yakin mereka tidak menginkan lahannya?"

Hiashi menghembuskan nafas berat, lalu menjawab dengan frustasi, "Tidak… Kurasa tidak ada…" Lalu dengan satu hempasan, ia jatuh terduduk di kursi putar beludru nya. "Satu satunya yang berharga untuk sebuah perusahaan besar seperti mereka hanyalah lahan… Karena lokasi rumah sakit ini yang strategis."

Melihat tanggapan pasrah ayahnya, Hinata tak mampu lagi menahan emosinya. Dorongan kuat untuk berteriak ditekannya dalam dalam. Jangan sampai membuat keributan dan mengganggu kinerja para dokter diluar ruang kerja ayahnya. Sudah cukup masalah yang harus di hadapinya. Akhirnya ia melampiaskannya dengan meraih map kuning yang ada di atas meja, mencengkramnya kuat, dan berjalan keluar dari ruang kerja ayahnya.

"Apa yang kau lakukan? Kemana kau pikir kau akan pergi dengan membawa berkas itu?" Hiashi mau tak mau bangkit dari kursi panasnya karena terkejut dengan tindakan Hinata, dan ia berhasil menahan langkah gadis itu sejenak hanya untuk mendengar jawaban singkat.

"Kita butuh pembatalan sengketa tanah ini. Sesegera mugkin." Jawab Hinata tanpa berbalik, sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu yang tertutup.

.


~xXx~


Pukul 17.15, Kantor Cabang Uchiha Coorporation

.

.

"Uchiha –san, telepon dari ayah anda di line empat."

Suara Karin, sekretaris perusahaan, yang terdengar dari seberang pesawat telepon membuat Sasuke menggeram. Ia lelah, sangat lelah, dan tak butuh ceramah lain dari pak tua cerewet yang mau tak mau harus dia akui sebagai ayahnya.

"Apa aku sudah mengingatkanmu kalau aku sedang sibuk?" jawab Sasuke kesal.

"Maaf Pak, tapi ayah anda bersikeras bahwa anda tidak cukup sibuk untuk bisa mengabaikan panggilannya."

'Dan tentu saja ia benar' gerutu Sasuke dalam hati. Ia menyesal telah menyelesaikan sejumlah dokumen yang ada dihadapannya. Sangat kebetulan, semuanya sudah selesai diperiksa dan ditanda tangani, saat ayahnya menelepon. Yang artinya pekerjaan utamanya pun sudah selesai.

"Uh, baiklah, sambungkan! Terima kasih banyak, Karin."

"Maaf tak bisa membantumu kali ini, Pak."

Suara dengung pelan di ujung gagang telepon berbunyi, menandakan hubungan telepon antara Sasuke dan Karin sudah terputus. Tapi sekarang, dangan satu satunya panggilan yang menunggunya ada di sebuah tombol putih yang menyala nyala di angka empat, Sasuke sudah tak punya alasan lagi untuk menghindari ayahnya.

Dalam hati ia menerka nerka apa yang akan di katakan ayahnya, tapi, seperti ia tak tahu saja, ayahnya itu pasti akan selalu mengungkit topik yang sama membosankannya seperti biasa.

"Halo…" jawab Sasuke setelah menekan tombol yang berkedap kedip tadi ke orang di seberang telepon.

"Heh, anak bodoh, kau pikir sampai kapan kau akan menghindari telepon dari ku, hah?" suara kencang dari seberang sempat membuat Sasuke menjauhkan gagang telepon dari kupingnya untuk sejenak, saat sadar reaksinya terlalu berlebihan, ia kembali menempelkan telinganya.

"Maaf, Papa. Tapi aku memang sangat sibuk akhir akhir ini." Sasuke mencoba menjelaskan, sambil memainkan pulpen di jarinya yang bebas.

"Oke, terserahlah, workahollic! Tapi ingat, jaga kesehatanmu. Mama mu akan sangat marah padaku jika kau sampai sakit karena terlalu banyak bekerja."

Sasuke sedikit mengerutkan dahi saat mendengar pernyataan ayahnya, tapi langsung mengerti apa yang dimaksud sepenuhnya setelah beberapa detik. Ia menyeringai jahil. Sasuke sadar betul, bahwa segalak galaknya seorang Fugaku Uchiha, tetap saja akan luluh dihadapan cinta sejatinya. Wanita selalu bisa memonopoli kelemahan para pria yang jatuh hati pada mereka dengan mudah. Itu yang dipelajarinya selama ini dari hubungan mesra ayah ibunya yang sudah bertahan lebih dari tiga puluh lima tahun.

"Aku mengerti, Pa. Sekarang, apa yang mau kau bicarakan? Aku yakin kau tak akan mau repot repot meneleponku kalau bukan karena-…"

"Kapan aku bisa menimang cucuku, Sasuke?" suara diseberang berganti jadi suara bersemangat sekaligus keibuan seorang wanita. Sasuke kembali tersenyum mendengarnya. Pasti ibunya merebut paksa gagang telepon dari ayahnya setelah menyadari bahwa Sasuke lah lawan bicara Fugaku.

"Apa kabar, Ma? Sehat sehat saja?" tanya Sasuke pelan. Tangannya melonggarkan dasi di lehernya. Merasa lebih rileks setelah mendengar suara ibunya.

"Yeah, yeah, aku baik. Sekarang katakan padaku, sudah ketemu calon yang tepat?" lanjut Mikoto lagi. Sasuke mengerutkan dahi. Pertanyaan ini sudah didengarnya puluhan kali.

"Pacar? Hn, aku sudah ada beberapa calon… Mungkin Mama tertar-…"

"Oh, simpan omong kosongmu itu nak. Aku mau mendengar nama! Sebutkan satu, dan aku akan melepaskanmu kali ini!" potong Mikoto dengan penuh harap.

Mendengar itu, Sasuke terkekeh. "Bagaimana bisa aku menyebutkan satu nama kalau semua wanita yang aku kencani selama ini tak pernah kau restui?"

"Maka dari itu, carilah wanita yang bisa ku restui! Kau tahu betul wanita seperti apa yang aku iginkan untuk diangkat sebagai menantu, kan? Atau, apa perlu aku saja yang mencarikannya untukmu? Perjodohan? Hah?"

"Dan membuat kehidupan pernikahanku jadi monoton dan penuh aturan seperti Madara Jii-san? Tidak, kurasa tidak perlu, Ma. Akan kucari sendiri."

"Hah? Apanya yang penuh aturan? Dia bahagia, tahu!"

"Dengan masa tua kaya raya seperti dia, tentu saja ia bahagia." Sasuke mendengus, "Tapi aku serius. Begitu aku menemukan orang yang tepat, akan langsung kubawa kerumah dan kuperkenalkan ke kalian. Aku janji."

Sasuke nyaris tersenyum ketika mendengar ibunya mendengus, "Huh, kau dan janji manismu… Aku mau cucu, Sasuke! Di usiaku yang sudah renta ini wajar kalau aku menginginkannya."

"Jangan mulai lagi, Ma. Kita berdua tahu kau belum setua itu." Sasuke mencegah pembicaraan ini mengalir melebihi batas yang bisa di tanggungnya. Tapi tentu saja tidak berhasil.

'dan satu lagi ceramah tidak penting.' Pikirnya. Sedangkan di seberang sana Ibunya sudah mulai mengoceh tentang keriput di wajahnya.

.


~xXx~


.

"Dokter Hinata? Sudah lama menunggu?" seseorang menepuk pundak Hinata dari belakang, membuatnya berbalik.

"Oh, Kiba, tak perlu formalitas. Kita tidak sedang berada di rumah sakit sekarang." Jawab Hinata sambil tersenyum lembut.

"Selama kau masih mengenakan jas putih itu, aku harus menyebutmu demikian." Kiba menyinggung jas dokter yang tak sempat di lepaskan Hinata ketika keluar dari rumah sakit. Jas putih itu terlalu banyak menarik perhatian para pengunjung café, tapi mengingat letak café ini yang tepat barada di seberang rumah sakit, banyak juga yang memakluminya. "Yah, tapi terserahlah… Ada apa? Tak biasanya kau mengajak break jam segini?" tanya Kiba, mengambil posisi duduk di kursi kosong di hadapan Hinata. Kiba sendiri masih memakai baju berwarna hijau muda, seragam dokter bedah.

Hinata mencengkram secangkir besar cappuccino panas di tangannya. Sudah dari tadi dia memikirkan hal ini, tapi tetap tak bisa mengurangi beban pikirannya. Ia benar benar harus menceritakannya pada seseorang. Dan pilihan teman curhat yang tepat jatuh ke pundak Kiba, dokter bedah yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Hinata. Lagi pula, mereka sudah berteman sejak masih menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran. Jadi sudah tidak canggung lagi untuk menceritakan berbagai keluhan yang dirasakannya.

"Sudah dengar berita dari Ayah?" tanya Hinata langsung.

Setelah memesan orange juice pada pelayan café, Kiba menanggapi pertanyaan Hinata dengan anggukan pelan. "Masalah sengketa itu? Yeah, Dokter Hiashi tidak terlalu baik dalam menyimpan rahasia, kau tahu…"

Mendengar itu, Hinata jadi tertekan, "Maksudmu? Semua orang sudah tahu? Bahkan para pasien?"

"Hey, hey, belum sampai seekstream itu. Para dokter tahu benar apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan kepada pasien. Bisa bisa ada kematian massal di sana kalau mereka sampai tahu masalah ini. Mati cemas." Canda Kiba, tidak memberikan pengaruh lebih baik terhadap Hinata.

Kiba meringis. Menyadari raut wajah Hinata yang semakin sedih. Ia mengerti betul arti rumah sakit itu bagi Hinata. Bahkan ia sudah merasa sama terikatnya dengan rumah sakit itu seperti Hinata. Nyaris separuh hidupnya ia habiskan bersama. Mengingat persahabatannya dengan Hinata, dan pekerjaannya di bidang medis, membuatnya nyaris menganggap Hyuuga Hospital sebagai rumahnya sendiri.

Hinata, yang merupakan anak dari pemilik Hyuuga Hospital, tentu saja sudah lebih lama menghabiskan masa hidupnya disana. Hampir seluruh kenangan masa kecilnya dihabiskan dirumah sakit. Dikarenakan ibu Hinata yang memang memiliki fisik lemah, dan harus setiap hari mendapatkan perawatan disana. Sebagai anak tertua, Hinata lah yang merawat ibunya setiap hari sepulang sekolah. Dan mungkin karena terbiasa menangani pasien juga lah yang mendorong Hinata menjadi dokter, dan bertekad meneruskan rumah sakit yang saat ini dikelola ayahnya.

"Hanabi sudah tahu?" tanya Kiba.

Hinata menggeleng, "Tidak, aku tak mau mengganggu konsentrasinya, sebentar lagi ujian akhir, dia pasti sangat sibuk."

Hanabi adalah adik perempuan Hinata, yang terpaut lima tahun. Anak yang tegas dan sangat disiplin. Ayahnya yang mengajari hal itu. Dan ketegasan ayahnya juga menurun ke Hinata, hanya tak terlalu banyak. Hingga Hinata cenderung lebih lembut dari pada ayah dan adiknya.

Kiba ingat betul, karena melahirkan Hanabi lah jiwa ibu Hinata tak bisa diselamatkan. Tentu saja tak ada yang menyalahkan anak itu. Tapi Hanabi yang mendengar cerita itu jadi terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Ia sampai sengaja memaksa dirinya berjuang lebih keras agar tak mengecewakan keluarganya. Pengaruh yang positif memang, tapi tak baik untuk seorang remaja tanggung sepertinyanya untuk menjadi terlalu serius.

Sebuah map kuning di atas meja menarik perhatian Kiba. Ia meraihnya dan membuka buka isinya. Sebuah nama perusahaan yang tercantum di kop surat perjanjian itu terasa familier.

"Ah! Perusahaan ini! Aku tahu tempatnya!" seru Kiba spontan.

Hinata mendelik, "Benarkah?"

Kiba mengangguk pasti, "Perusahaan yang besar memang, dan kudengar baru saja mengganti direktur kantor cabangnya. Kantornya di dekat mall, yang ada di kota."

Mendengar itu, adrenalin Hinata terpacu seketika. Ia sudah terlalu putus asa untuk berpikir jernih, tapi apa saja saran yang menurutnya 'lumayan' masuk akal akan langsung diterimanya saat ini juga.

Tiba tiba ia bangkit dari kursinya, dan menarik baju hijau Kiba untuk ikut bangkit dari kursi.

"Bawa aku kesana sekarang juga!"

.


~xXx~


.

"Dengan banyaknya keriput yang bisa kuhitung di wajahku, sudah seharusnya aku cemas dengan ketuaan usiaku, Nak." Lanjut Mikoto. Ceramahnya sudah memakan waktu lebih dari lima belas menit sekarang, dan topiknya hanya seputar ketuaan usianya.

"Tidak peduli sebanyak apapun keriput kulit mu nanti, kau tetap wanita tercantik dalam hidupku. Jangan cemas." Bujuk Sasuke lembut, bersyukur karena akhirnya ia bisa mengakhiri cerama 'masa-tua' ibunya. Ucapannya menghasilkan helaan nafas dari Mikoto. "Sekarang, beritahu aku bagaimana kabarmu? Apakah liburanmu di Hawaii menyenangkan?"

Lagi lagi, Mikoto mendengus, "Kau sangat pandai mengalihkan topik pembicaraan, sayang. Tapi, yeah, tentu saja aku sangat meniatinya, aku sangat ingin menceritakan semuanya yang terjadi disini. Aku dan Fugaku menemukan ritual aneh yang katanya bisa melanggengkan hubungan! Bisa kau bayangkan betapa romantisnya itu?"

"Kalian sudah menikah selama lebih dari tiga puluh tahun sekarang. Dan masih tetap mesra. Aku tak melihat dimana pentingnya ritual itu…"

Sasuke sama sekali tak menyadari bahwa komentarnya yang barusan itu berhasil membuat pipi ibunya memerah. "Ah, bisa saja kau! Selain itu, kau harus melihatnya sendiri, Sayang, pemandangan dan suasana ini… Oh, kau harus membawa pasanganmu kesini suatu hari nanti!"

Sasuke menyeringai, dan memutuskan untuk menggoda ibunya sedikit. "Ya, aku yakin pemandangan disana sangat menarik, apa lagi dengan banyaknya wanita seksi berbikini-,"

"SASUKE! Jaga bicaramu!" seru Mikoto, kaget atas pola pikir anaknya.

Seringaian Sasuke makin lebar, "Papa lah yang harus kau jaga, Ma. Jangan sampai ia berpaling…" Sasuke tertawa kecil lagi saat mendengar samar ibunya bertanya pada ayahnya apakah ia memang sedang memperhatikan gadis gadis berbikini yang berseliweran. Dan akhirnya terdengar ringisan sakit ayahnya karena, sepertinya, sedang dijewer ibunya.

Lalu suara diseberang telepon berganti, "Heh, anak bodoh! Apa yang kau katakan pada ibumu?" geram Fugaku.

"Tidak ada, hanya beberapa nasihat seorang anak…" Sasuke terkekeh lagi.

"Akan kubalas saat kita bertemu nanti! Kau anak kurang ajar!"

"Ya, Papa, aku juga sangat menyayangimu." Sasuke sengaja menjawab dengan suara lembut, karena ia tahu pasti ancaman ayahnya itu hanyalah ungkapan sayang ayahnya. Yaah, semacam itu. "Sudah ya, aku harus bertemu klien lagi sore ini-…"

"Tunggu-tunggu! Aku harus membicarakan sesuatu. Untuk itulah aku menelepon mu." Cegah Fugaku, membuat Sasuke menyadari hal itu juga.

"Ada apa?"

Suara Fugaku berubah jadi serius. "Kau tahu perusahaan yang baru berdiri di Tokyo tiga bulan lalu itu?"

Sasuke berpikir sejenak, setelah ingat ia menjawab, "Ya, kenapa?"

"Mereka mulai mendirikan cabang perusahaan mereka dan mulai berkembang pesat."

"Aku tak melihat dimana masalahnya, Pa."

"Dan cabang perusahaan mereka itu akan di dirikan di semua kota yang sudah kita duduki!"

Mendengar itu Sasuke terdiam. "Maksud Papa?"

"Mereka juga penawar saham yang sama dengan perusahaan kita. Bisa bisa klien kita diserap oleh mereka. Kau tahu benar 'kan apa dampaknya?"

"Aku mengerti."

"Kau harus waspada, dan amati terus perkembangan perusahaan mereka. Kalau perlu intai semua perjanjian dan kesepakatan yang mereka buat."

"Kurasa tak perlu seketat itu, Pa,"

"Itu Penting, Nak! Kecuali kau punya ide lain yang lebih baik untuk bisa mempertahankan klien kita agar tak lepas dari perusahaan, dan malah menjual saham saham mereka ke perusahaan baru sialan itu,"

Sasuke terdiam, menggumam selagi berpikir. Cara? Seperti apa? Sesuatu yang bisa mempertahankan klien, dan kalau bisa, malah menambah?

Sasuke berpikir semakin keras, tapi seketika itu juga konsentrasinya terpecah saat mendengar pintu ruang kerjanya terbanting terbuka dengan kasar. Otomatis ia memalingkan wajah kearah pintu masuk untuk melihat siapa orang yang berani menginterupsi perbincangan penting antara dia dan ayahnya.

Dan disanalah gadis itu berdiri.

.


~xXx~


.

"Sasuke?" tanya ayahnya, bingung akan kesunyian yang tiba tiba. Tapi tak mendapat respon.

Ekspresi serius dan kesal yang tadi terpasang diwajah Sasuke karena konsentrasinya buyar, seketika mengendur. Ia mengamati gadis itu dari ujung kepala sampai keujung kaki. Mereguk segala keindahan yang dapat disaksikannya.

"Uh, Sasuke? Kau masih disana?" pertanyaan Fugaku terabaikan. Lagi.

Rambut hitam indigo tergerai indah di balik punggungnya, dengan poni rata membingkai wajah yang putih dan agak merona karena panas. Mata lavender dengan bulu mata yang lentik itu memancarkan emosi kemarahan yang membuat Sasuke ikut merasa terbakar. Hidung mancung, dengan garis tulang wajah yang menawan. Bibir merah kecil yang terlihat menggairahkan untuk dilumat. Leher jenjang putih. Serta tubuh indah dengan segala lekukan yang berada di tempat yang tepat, terbalut jas putih panjang yang tampak berantakan. Seandainya saja Sasuke tak menyadari benda putih yang tertiup ke belakang gadis itu adalah jas lab putih dokter, dan bukanlah sayap burung merpati, ia rela bersumpah bahwa ia sedang melihat malaikat.

Sasuke sadar bahwa tatapan mata yang diberikannya ke gadis itu sangat tidak pantas, nyaris menelanjangi, tapi ia tak bisa melakukan apapun untuk menutupi kekagumannya. Ia terlalu terpesona, tanpa sadar, ia meletakkan ganggang telepon itu di atas meja, tanpa memutuskan saluran teleponnya, dan terpaku di kursinya.

Tiba tiba kegaduhan di belakang gadis itu menarik perhatian keduanya. Pintu ruang kerjanya kembali terbanting terbuka, dan masuklah sosok Karin dengan dua orang sekuriti yang langsung menggenggam kedua lengan gadis berambut indigo itu.

"Bawa dia keluar, Sekuriti!" Perintah Karin pada kedua petugas, sedangkan pada Sasuke suaranya melembut, "Maaf atas keributan yang diperbuat gadis ini, Pak Uchiha. Saya sudah melarangnya masuk, tapi ia tidak mau mendengar. Ia bersikeras untuk menemui direktur." Keluh Karin, sambil membenarkan letak kacamatanya.

Melihat dua pria berseragam itu hendak membawa keluar 'sang malaikat', Sasuke dengan cepat mencegah.

"Tidak…" larang Sasuke. Mata onyxnya memandang tajam ke dalam mata lavender yang membalas tatapannya dengan berani, sebelum ia menambahkan, "Aku bisa menanganinya. Biarkan dia tetap disini. Keluarlah kalian."

Mendengar perintah tegas sang direktur, kedua sekuriti itu langsung melepaskan cengkraman mereka dari lengan gadis bersurai Indigo itu. Mereka melangkah keluar ruangan, mengikuti Karin yang keluar lebih dulu.

Akhirnya Sasuke tinggal berdua saja dengan gadis itu.

Sasuke berdehem, tidak untuk membersihkan tenggorokannya, tapi untuk mengembalikan konsentrasinya. Dengan helaan nafas berat, Sasuke mencoba duduk santai dikursi empuknya. Tapi tetap saja tak bisa mengabaikan sosok indah dihadapannya. Karena takut konsentrasinya akan terpecah lagi, Sasuke memutuskan sudah saatnya mereka berbincang.

"Silahkan duduk, aku yakin kau punya sesuatu yang menarik dan sangat penting karena berani menerobos kantorku seperti itu…"


~T.B.C~