Disclaimer: Haikyuu! merupakan anime/manga yang hak cipta sepenuhnya dimiliki oleh Furudate Haruichi sensei. Tiada ada saya mengambil keuntungan materiil dari peminjaman tokoh-tokoh yang ada di dalam fanfiksi ini.
Note: Alternate Reality, Alternate Universe. Four seasons with love. Multichapter fiction.
.:::.
.:Reverse:.
.:Selamat membaca:.
Shoyo tertawa kegirangan sembari berlari dengan tertatih-tatih, kesulitan. Kaki-kaki kecilnya tenggelam oleh daun-daun gugur berwarna emas dan merah itu. Ketika ia jatuh karena tersandung tumpukan dedaunan maple pun Shoyo masih tertawa gembira. Koshi tersenyum bahagia. Putra kecilnya tak lagi secengeng dulu.
"Pappaa… Pappa…. Kyaaa… hahaha." Ketika Shoyo dikejar Koshi yang berlari kecil, bocah jingga itu segera bersembunyi ke balik tumpukan tinggi yang dikumpulkan seseorang entah siapa. Berpura-pura menghilang. Koshi tertawa ringan dan turut berpura-pura merasa kehilangan si jingga. "Sho chan? Sho chan mana ya? Kok semuanya mirip Sho chan, sih?"
Ketika ia melewati tumpukan daun tempat Shoyo bersembunyi, si perak anggun itu masih berpura-pura tak melihat. Justru menghampiri dahan pendek di dekatnya yang masih menguning daunnya. "Shoyo ya?"
Shoyo tergelak geli melihat ayahnya yang salah mengira dahan itu adalah ia. Bocah itu segera berlari menghampiri si perak dan memeluk kaki Koshi dengan erat. "Pappa… Cho chan… Cho chan!"
"Uwah, Sho chan? Papa kaget, loh." Masih dengan kejut sandiwara, Koshi terperanjat pelan dan matanya melotot sedikit pada sang putra. Ia tatap lagi dahan yang tadi ia pandangi, "Loh, kalau ini Sho chan, terus yang ini apa?" tunjuknya pada dahan kuning itu. Katanya lagi, "Jangan-jangan yang ini palsu, ya?"
Shoyo menggembungkan pipinya karena dituduh palsu oleh ayahnya sendiri. Matanya menyipit tak senang dan bibir kecilnya seperti bibir ikan koi peliharaan mereka di rumah. Balita itu berseru tak terima sambil menarik-narik celana sang ayah, "Cho chan. Ini… Ini… Cho chan ini!"
Yang perak yang tertawa gembira melihat bagaimana merahnya wajah si buah hati. Ia begitu senang menggoda putranya, melihat bagaimana Shoyo sering merajuk padanya, perubahan wajah manis itu yang semakin membuatnya gemas dan seolah minta dicubiti dua pipi merah itu. Diangkatnya bocah dua tahunnya setinggi dada dan diciuminya pipi tembam itu. "Iya… Cho chan yang imut ini pasti yang asli."
Dagu putihnya sedikit ditumbuhi rambut, dan rambut-rambut baru itu menusuk-nusuk kulit halus si jingga. Ia tertawa sambil menolak ciuman ayahnya yang terasa ganjil. Merasa geli pada sensasi tak menyenangkan yang ia terima. Tangan kecilnya mendorong wajah sang ayah meskipun tak cukup kuat untuk menghentikan cumbuan kasih sayang itu.
"Suga?"
Shoyo segera berteriak gembira saat Daichi menghampiri mereka. Ia segera merengek minta digendong si hitam, tangan dan tubuhnya menjorok ke arah pria tangguh itu, ingin lepas dari pelukan ayahnya dan beralih pada orang yang baru beberapa bulan lalu mulai hadir di kehidupannya dan ayahnya.
Daichi tertawa. Ia turunkan seluruh barang bawaannya ke tanah dan menyambut Shoyo yang tak sabar minta digendong. Ia dudukkan Shoyo ke pundaknya dan balita jingga itu tertawa girang. Koshi tertawa ringan dan mengambil gulungan tikar dan kotak besar yang tadinya dijatuhkan Daichi. "Aku tahu tempat bagus, Daichi. Di dekat pohon besar di sana."
Si hitam mengangguk dan membuka lebar tangan Shoyo, ia sedikit menunduk dan bermain pesawat-pesawatan dengan bocah itu. Berlari pelan mengelilingi satu dua pohon maple besar di hutan itu, bersuara berisik seperti mesin pesawat, bahkan kadang ia bernarasi seolah berbicara dengan menara pemancar. Koshi tersenyum lebar pada laku darah daging serta sang dambaan hati. Berjalan pelan-pelan agar masih bisa dilihat Daichi dan diikuti langkahnya menuju sisi lain hutan maple itu. Ada seru penuh gembira di dalam dadanya. Yang memenuhi dan membuatnya tenang. Kebahagiaan itu seolah satu-satunya rasa bahagia yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Senyuman si perak sama sekali tak luntur sepanjang perjalanan penuh tawa itu. Koshi menikmati bagaimana pekik penuh suka itu membanjiri telinganya, warna merah dan jingga yang terhampar di depan matanya, bau menyenangkan dedaunan maple yang berguguran ke tanah, dan lembut angin musim gugur yang menggoda kulitnya. Seolah tak pernah ada rintih kesakitan yang menyiksa, merah kehitaman yang membuatnya jijik, bau amis tak menyenangkan, dan rasa sakit nun perih yang menusuki tubuhnya hingga dalam hatinya. Membikinnya tersiksa dan merana berkepanjangan.
"Suga?"
Koshi nyaris menabrak sepohon maple kecil di depannya. Shoyo tertawa saat ayahnya tersenyum kikuk dan menghamparkan tikar mereka di bawah pohon besar yang mereka lalui sebelumnya. Tempat itu sedikit sepi, namun lebih lapang dan luas dari area-area lain yang sedikit demi sedikit menyempit seiring bermunculannya kelompok-kelompok orang yang sama ingin bersantainya seperti mereka. Menikmati hari libur yang tenang dan penuh damai bersama dengan orang-orang tersayang.
"Kau membuat banyak sekali makanan, Daichi." Koshi terpana ketika ia membuka kotak besar yang sedari tadi memberati langkahnya. Ia keluarkan satu demi satu kotak-kotak bekal di dalamnya dan membuka penutupnya. Mata cokelatnya menatap Daichi yang tersenyum ganjil dan menurunkan Shoyo ke dekat sang ayah. "Yah, mau bagaimana lagi. Aku tak tahu harus membawa apa saja. Jadi aku membuat banyak."
"Pemborosan!" Koshi mendesah pelan. "Kita kan hanya bertiga. Mana bisa makan sebanyak ini. Kau itu ya dasar—"
Ceramah itu mungkin takkan habis jika saja tangan kecokelatan Daichi tak menggenggam telapak yang putih bersih itu. "Kita bisa berbagi pada yang lainnya, kok. Ya?"
Jika sudah begitu, Koshi hanya sanggup membuang napasnya panjang dan mendelik bosan. Ia cegah si jingga yang mulai mengambil makanan di depannya dengan tangan kosong. "Hayo, Sho chan. Nanti dulu. Pakai sendok. Sendok."
"Onyijiri?"
"Tidak ada onigiri," jawab Koshi tegas. Shoyo merengut dan beralih pada si pembuat makanan. Tanyanya dengan cadel, "Jichan. Onyijiri?"
"Jichan, katanya?" Daichi menatap Koshi tak percaya sambil menunjuk si bocah yang kini menarik-narik ujung lengan bajunya. Meminta jawaban. Koshi memandangi cokelat gelap itu dengan tak mengerti. "Memangnya kenapa?"
Diangkat Daichi Shoyo dan dibuatnya duduk di pangkuannya. Membuat si jingga harus mendongak untuk menanti jawaban dari si hitam. Diusap Daichi dengan lembut helaian jingga itu dan katanya pada sang ayah, "Kapan kau mengajarinya memanggilku 'Papa'?"
Yang kemerahan itu mendadak muncul di pipi putih Koshi. Senyuman ganjilnya tak bisa disembunyikan, dan ia hanya beralih ke wadah minuman di dalam kotak yang belum ia keluarkan. Ujarnya tergagap, "Shoyo akan bingung kalau punya dua papa."
"Onyijiri?" ulang si jingga lagi. Daichi tersenyum tipis dan memegangi tangan kecil si bocah, "Papa tidak buat onigiri, Sho chan."
"Papa?"
Si hitam tertawa dan dengan gemas mempermainkan pipi si balita. "Iya, Papa. Papa, loh."
"Shoyo akan bingung kalau dia harus memanggilmu papa juga." Koshi menggerutu. Mulutnya kini sama seperti bibir Shoyo ketika si jingga itu merajuk padanya.
"Kalau begitu kau disebut 'mama'," dengan enteng Daichi menjawab. Ia mengambil mangkuk kecil yang disodorkan Koshi padanya. Mangkuk itu ia letakkan di depan Shoyo, ia masukkan sejumput makanan dari wadah lain ke sana dan ia biarkan si jingga memegang sendok kecilnya.
"Tapi aku sekarang adalah papa." Koshi berujar pelan dan hampa. Namun Daichi masih bisa mendengar ucap itu dan tersenyum tipis. "Kau tetap mama, Suga. Kau adalah mama."
"Papa?"
Diletakkan Daichi Shoyo ke atas tikar, dibiarkannya duduk sendiri sementara ia berdiri dan mencari-cari satu dua batu besar dan menimpakannya pada ujung tikar yang sedikit terangkat ketika angin musim gugur yang dingin bertiup. Koshi masih terdiam dan tak memedulikan Daichi, membantu Shoyo yang kesusahan menyuap santapannya sendiri ke mulutnya yang kecil. Mata cokelat itu terkadang menyipit ketika tertawa geli saat sendok yang Shoyo pegang terbalik dan isinya menumpahi celemek di dada kecil sang putra.
Dan Daichi menyukai tawa bagai denting lonceng kecil yang merdu dan menenangkan itu. Duduklah ia di dekat si perak, menggenggam tangan yang menopang berat ketika Koshi mencondongkan tubuh pada sang putra, membersihkan saus yang menempel di pipi anaknya. Tangan itu masih digenggamnya meski kini sang perak sudah duduk tegak lagi dan menarik tangannya. "Kau marah?"
"Aku tak marah, Daichi. Sudahlah." Koshi menaikkan sebelah alisnya. Menatap tak mengerti pada pria itu. "Kau kenapa?"
Senyuman itu pahit dilihat Koshi. Daichi berujar hambar, "Kau tak tahu bagaimana aku merasa bersalah karena apa yang telah kulakukan dulu." Daichi mencari objek lain untuk ditatap selain sepasang kemilau indah di depannya, namun godaan untuk tetap memandangi bola mata itu membuatnya kembali. "Kau sudah berjuang keras sendirian tanpa aku. Aku tak tahu apa-apa mengenai penderitaanmu."
Tatapan Koshi melembut. Ia tersenyum tipis dan mengangkat tangan yang digenggam kuat oleh kekasihnya. Dikecupnya lembut setiap jemari kecokelatan itu. "Kau tak perlu memikirkannya. Aku baik-baik saja. Sekarang kita baik-baik saja."
"Pappaa?"
Dua pasang mata indah itu menatap si jingga yang kini tak mengerti pada laku dua orang dewasa di depannya. Ia berdiri dengan kesusahan dan menghampiri Daichi pun Koshi. Turut menggenggam tangan yang saling bertautan itu, lalu ia tersenyum sumringah. Daichi tertawa pelan pada Shoyo yang tak mau merasa ditinggalkan. Ia peluk tubuh kecilnya dan diciuminya wajah manis itu. "Shoyo ya…."
Koshi turut tertawa jua. Matanya menyipit, dan Daichi makin menyukai sang pemilik wajah bercahaya. Serta tahi lalat manis yang ada di sudut mata pujaan hatinya itu, yang makin menggoda untuk dikecup dan dicumbuinya. Hidung kecil dan bibir mungil itu membuat napas Daichi hampir terhenti dan ia tertegun ketika melihat rambut-rambut halus yang muncul di dagu si perak ayunya.
"Ah, rasanya aneh melihatmu punya janggut."
Koshi terperanjat dan memegangi dagunya dengan cepat. Merasakan kulit-kulit jemarinya menemu rambut yang meruncing dan mengganggu sapuan lembut di kulit wajahnya. Tak lama, ia tersenyum tipis dan menggoda. Tatapnya nakal pada Daichi dan katanya, "Kau harus biasakan ini mulai sekarang."
Dahi itu berkerut, tatapan mata cokelat gelap tak terima, "Kau harus mencukurnya. Kau tidak pantas punya janggut. Shoyo saja tidak suka, iya kan, Shoyo?"
Si hitam mengangkat tubuh si jingga kecil dan memutarnya, berhadapan langsung dengan kekasih ayahnya sendiri. "Mama jelek ya kalau punya janggut?"
Tapi mata yang serupa dengan yang indah di depannya itu menatap penuh tanya. Tak mengerti. "Mamma?"
Ah, benar juga. Daichi belum mengajarkan sebutan baru untuk mereka berdua. Koshi tertawa geli dan merebut Shoyo dari pangku si hitam. "Aku sudah bilang, jangan buat Shoyo bingung. Lagipula Shoyo suka kok kalau papa punya janggut. Ya Shoyo, ya?"
Digesekkan Koshi dengan sengaja dagunya ke pipi putih sang putra yang menjerit geli dan memukul pelan wajah sang ayah. Ia tertawa-tawa dan menolak menyentuh wajah si perak. Koshi tergelak penuh kejahilan dan makin kuat mempermainkan dagunya pada pipi sang putra. Daichi yang merasa tak tega pada 'penindasan' yang dilakukan si perak menyambut Shoyo yang mencondongkan diri padanya, minta berganti pangku. Minta diselamatkan nyawanya.
"Mama jahat ya, Shoyo? Mama jahat." Dengan suara dibuat-buat seperti anak kecil, Daichi berbisik-bisik pada sang putra. Koshi masih terbahak, begitu senang menggoda dua orang itu. "Hei, jangan buat anakku makin bingung, Daichi."
Ketika Koshi akan merebut kembali Shoyo yang kegirangan di pangkuan Daichi, bocah itu berdiri dan berlari menghindari serbuan ayahnya. Tergelak gembira menginjaki tanah yang diselimuti dedaunan maple merah dan jingga yang bertumpuk tebal. Ketika angin musim gugur bertiup, ia tak kalah menjerit kesukaannya kala daun-daun itu terbang dan menghujani tubuh kecilnya. Berlari-lari dengan girang di tanah yang lapang dan lembut.
"Coba lihat tawanya itu." Daichi tak lepas pandangannya pada yang bergembira tak bisa diam tak jauh dari mereka. "Benar-benar mirip kau."
Koshi menatap wajah cokelat itu dalam diam. Tak ada senyuman di wajah itu, namun tak jua tatap kesedihan. Hanya pancaran penuh harapan di sana.
"Shoyo kan anakmu juga, Daichi."
.::see you in the next week :)
