Batas

Shiroi Kage's Project

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Mature

.

.

.

ItaFemNaru

.

.

.

Kau tahu batas ?

Sebuah garis pemisah ?

Bagiku batas lebih dari itu,

Batas adalah keegoisan yang menghancurkanku secara perlahan

.

.

.

Bab I [ Awal Cerita Kita ]

Naruto berjalan sendiri melewati ribuan orang yang berlalu lalang. Kaki kecilnya masih berjalan lurus tanpa takut akan terbawa arus orang-orang dewasa yang ada disekitarnya. Langit sudah berubah gelap. Dia sudah sangat terlambat untuk jam pulang. Salahkan Kakashi-sensei yang tanpa perasaan menghukumnya membersihkan seluruh toilet sekolah sepulang sekolah, padahal dia tidak bersalah, hanya karena mulut munafik si kakak kelas tidak tahu diri itulah yang membuat Naruto seperti ini, memutar balikkan fakta. Pandai sekali dia. Jika mengingat kembali, semua ini berawal saat Gaara –sahabat Naruto diganggu –dirape oleh kakak kelas yang Naruto tahu bernama Hidan. Naruto yang tidak sengaja melihatnya, langsung menyeret Gaara pergi. Hal itulah yang membuat Hidan naik darah, dia mendorong Naruto hingga jatuh menghantam dinding sekolah. Gaara membolakan matanya saat mendengar suara 'Bugh' yang cukup keras saat punggung kecil Naruto berhantaman langsung dengan dinding. Namun Naruto sama sekali tidak menunjukkan raut kesakitan, wajahnya masih sama –datar. Sepasang sapphirenya justru memandang Hidan dengan pandangan polosnya. Membuat urat kemarahan tercetak jelas di wajah Hidan. Saat dia akan memukul Naruto, tiba-tiba –

'Byur'

Tangannya secara spontan berhenti diudara saat cairan lengket berwarna putih itu menyembur tepat di wajahnya.

"Maaf, tanganku terpeleset. Ayo Gaara kita pergi."

Tanpa menunjukkan rasa bersalah Naruto langsung berlalu begitu saja, dia membuang sekotak susu yang tadi dia gunakan untuk menyemprot wajah Hidan di tempat sampah yang dilewatinya.

"Ah susu pagiku terbuang percuma."

Dia berkata dengan nada polosnya. Sedangkan Gaara hanya menggeleng tidak percaya. Diam-diam dia memandang punggung Naruto. Berharap tidak ada tulang punggungnya yang bergeser akibat kejadian tadi.

"Jangan membahayakan dirimu seperti itu?"

Naruto mengangkat bahu. Tidak peduli.

"Aku bisa melindungi diriku sendiri. Aku laki-laki ingat?"

Naruto mengangguk, dia memandang Gaara dengan pandangan polos yang memang sudah menjadi ciri khasnya. Sedangkan Gaara yang dilihat seperti itu hanya mendengus geli. Melihat wajah datar Naruto, justru seperti melihat wajah kucing yang akan dibuang oleh majikannya.

"Aku malu kalau harus dibela oleh perempuan, dimana harga diriku."

Naruto memegang kedua bahu Gaara. Pandangannya berubah tajam. Aura kemarahan jelas keluar dari tubuh mungilnya. Walaupun wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tetap saja datar.

"Kenapa diam saja?"

Gaara mengerutkan kening. Tidak mengerti kemana arah pembicaraan Naruto. Hening sebentar, hingga akhirnya Gaara menggeleng mantap.

"Kau tahu, laki-laki itu berbicara dengan tinjunya. Jadi itu bukan masalah besar !"

Naruto mengerjabkan matanya. Dia memandang dua kancing seragam Gaara yang terbuka. Ada bekas keunguan di leher Gaara. Hal yang membuatnya bingung, dia tidak pernah tahu ada orang yang meninju tepat dileher. Dilihat dari sisi manapun, itu jelas kissmark. Kakak kelas sialan, lain kali Naruto akan memastikan mereka menginap di rumah sakit satu bulan penuh. Berani sekali mereka memberikan tanda kepemilikan di leher Gaara.

"Dia menciummu."

Kedua jade Gaara membola. Badannya bergetar hebat saat mendengar nada datar Naruto saat mengatakannya. Runtuh sudah pertahanannya. Tubuhnya jatuh merosot. Diikuti pandangan Naruto yang tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Maaf, harusnya aku bisa lebih kuat."

Puk

Naruto menepuk pucuk kepala Gaara, mencoba untuk menenangkannya. Bahu Gaara semakin bergetar, tapi tidak ada isakan yang keluar dari bibir ranumnya.

"Menjijikkan. Kenapa mereka memandangku dengan pandangan seperti itu?"

Tanya Gaara entah pada siapa. Naruto tidak menyahut, dia kini sudah duduk berjongkok dihadapan Gaara, mengawasi apapun yang dilakukan oleh teman baiknya itu.

"Apa salahku Naruto ?"

Tanya Gaara sambil memandang tepat di mata sapphire Naruto. Si pirang mengerjapkan matanya. Dia memandang Gaara lama. Menganalisis apa yang salah dari fisik Gaara. Ah ketemu!

"Kau terlalu imut."

Sahut Naruto dengan polosnya. Dia mengatakannya seolah apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang wajar. Sementara Gaara hanya meringis ngeri mendengar komentar Naruto tentangnya. Memang sih Gaara itu imut, sangat malah. Tapi ini juga bukan keinginannya, salahkan gen ibunya yang terlalu kental sehingga dia bisa memiliki wajah dan fisik seperti ini –badan kecil dan wajah bulat. Tapi seimut apapun Gaara, dia masih menyukai perempuan cantik yang menarik perhatiannya. Bukan pada sekumpulan seme yang selalu menatap lapar kearahnya. Mengerikan.

.

.

.

'Prang'

Belum sempat Naruto memutar kenop pintu, dia mendengar suara barang pecah dari dalam rumahnya. Mengangkat bahu, dia lalu membuka pintu rumah dan masuk kedalam. Dia sama sekali tidak peduli saat melewati seorang laki-laki yang sedang membanting setiap barang yang dilihatnya. Pasti dia mabuk lagi. Lihat bagaimana surai ravennya yang tergerai acak-acakan, juga wajahnya yang memerah. Dasar laki-laki tidak berguna. Pandangan Naruto terhenti pada seorang perempuan yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya.

"Ada apa?"

Perempuan itu memandang Naruto dengan air muka penuh kecemasan. Menampilkan garis-garis tak kasat mata di kening dan kedua pipinya.

"Kenapa baru pulang?"

Perempuan itu memegang kedua baju Naruto. Matanya berkilat khawatir.

"Kakashi-sensei menghukumku. Kaa-san juga kapan pulang?"

Perempuan itu membolakan kedua matanya. Tidak senang mendengar ucapan Naruto. Naruto sempurnanya dihukum. Pasti ada yang salah.

"Kaa-san baru saja datang tapi kau tidak ada di kamar. Tapi kenapa kau dihukum? apa kau berbuat kesalahan?"

Naruto menggeleng. Perempuan itu mengerutkan kening tidak suka. Jika tidak bersalah kenapa dia dihukum.

"Bukankah Kaa-san sudah mengatakannya ?"

Naruto mengangguk. Bosan juga sebenarnya mendengarkan ceramah ibunya yang selalu saja memaksanya untuk menjadi anak yang sempurna.

"Selalu menjadi yang nomor satu, jangan berbuat kesalahan, jangan menunjukkan kelemahan."

Perempuan itu mengangguk puas. Dia membelai rambut Naruto sayang. Naruto adalah anak yang baik dan penurut. Hanya dia lahir di keluarga yang tidak tepat. Karena itulah perempuan itu menanamkan tiga hal itu di benak Naruto. Agar dia tidak merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki keluarga yang lebih harmonis dari keluarganya. Dia ingin Naruto tidak malu dengan kondisi keluarga mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja.

"Apa ayah mabuk lagi ?"

Kushina –nama wanita itu mengangguk. Dia melirik kearah suaminya yang masih memasang wajah murka, dia duduk sambil memandang pecahan barang yang menjadi pelampiasan rasa marahnya.

"Dia memang selalu pulang dalam keadaan mabuk. Pasti dia kalah lagi."

Naruto ikut memandang ayahnya yang memang terlihat seperti seorang pecundang yang baru saja kalah dari permainan. Apa dia tidak bisa lebih menghargai orang lain atau setidaknya dirinya sendiri. Tidak baik jika dia selalu pulang dengan keadaan seperti itu. Apa kata tetangga. Ah Naruto lupa, bahkan disini mereka sama sekali tidak memiliki tetangga. Hanya ilalang tinggi yang mungkin akan menjadi tetangga mereka, mengingat terpencilnya lokasi rumah yang mereka tempati.

"Istirahatlah, kamu pasti lelah. Kaa-san akan menyiapkan makan malam. Tunggulah dikamar."

Naruto mengangguk. Dia masuk kedalam kamar. Pandangannya langsung terpaku pada gambar yang terpasang di dinding kamarnya. Dia berjalan mendekat. Melihat gambar ayah, ibu dan dirinya sendiri sedang tersenyum bahagia. Keluarga yang harmonis. Tapi sayang, itu hanya angan-angan yang seharusnya menjadi hal yang terlarang untuk dia bayangkan. Mustahil.

"Naruto makananmu sudah siap."

Naruto segera bergegas berganti baju dan keluar dari kamar.

.

.

.

Pagi harinya Naruto sarapan sendiri. Dia menyiapkan ramen instan yang selalu ada di lemari dapur. Ayahnya masih tidur, entah kapan dia akan bangun dan bersikap seperti ayah normal lainnya. Sedangkan ibunya sudah pergi sejak pagi-pagi buta karena ada meeting di kantornya. Sebagai seorang sekretaris perusahaan ibunya memang dituntut untuk selalu datang di jam-jam yang tidak dapat ditentukan. Darimana peraturan itu berasal juga Naruto tidak tahu. Pekerjaan apa yang menyebabkan ibunya harus dipanggil dini hari seperti semalam. Tidakkah mereka tahu ibunya juga membutuhkan istirahat. Belum lagi kalau harus menemani atasannya keluar kota, ibunya bisa pergi paling cepat tiga bulan. Selalu seperti ini. Naruto hanya menyantap makanannya dalam diam. Dia masih tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sampai matanya memandang sang ayah yang baru saja keluar dari kamar, dia masih tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia hanya memandang datar sang ayah yang sekarang berjalan mendekat kearahnya.

"Buatkan satu juga untukku."

Naruto tidak menyahut. Dia masih menikmati ramen miliknya. Walaupun dia bingung, tidak ada aroma alcohol yang tercium dari ayahnya. Bukankah semalam dia pulang larut dalam keadaan mabuk, bajunya juga bahkan belum berganti. Masih menggunakan kemeja berwarna putih lengan pendek. Hanya bajunya yang bertambah kusut. Sang ayah yang tidak sadar sedang diawasi oleh Naruto tidak juga bersuara setelahnya. Dia ikut memandang Naruto tanpa berkedip.

"Kau sangat mirip dengan ayahmu."

Naruto menghentikan sumpitnya diudara. Dia memandang ayahnya dengan pandangan tidak mengerti. Walaupun ekspresinya masih datar seperti biasa. Tapi sangat terlihat jelas ada pancaran rasa ingin tahu di kedua mata langit musim panasnya.

"Kau sedang membicarakan siapa ?"

Ayahnya tertawa. Dia mengambil sumpit yang tadi digunakan oleh Naruto. Dan memakan sisa ramen Naruto yang masih tersisa setengah.

"Apa kau tidak pernah bertanya? Kenapa warna rambutmu pirang?"

Naruto mengerutkan keningnya, dia memandang ayahnya dengan pandangan tidak mengerti. Memang kenapa dengan rambutnya. Dia berbicara seolah dia bukanlah ayah Naruto. Aneh. Kalau dia bukan ayah Naruto lalu siapa. Atau kenapa dia ada disini. Entah pertanyaan mana yang lebih tepat saat ini. Naruto sama sekali tidak mengerti.

"Perlu kau tahu, semua Uzumaki itu bersurai merah. Dan di keluargaku juga tidak ada yang bersurai kuning. Semuanya bersurai raven sepertiku."

Sang ayah memandang jari kelingking Naruto yang pernah dia patahkan beberapa tahun yang lalu. Apakah masih sakit. Harusnya dia bisa menahan diri. Bukan Naruto yang salah. Bahkan dia sama sekali tidak terlibat. Tapi wajahnya yang terlalu mirip dengan 'dia' membuat laki-laki itu gelap mata dan melakukan hal diluar akal sehatnya.

"Apakah jari kelingkingmu sudah sembuh ?"

.

.

.

Flashback

.

.

.

Bagi Naruto tidak menjadi masalah dia harus lahir di keluarga seperti ini. Dia tidak membenci ibunya yang telah salah memilih suami. Dia juga berusaha untuk tidak menyalahkan ayahnya yang selalu menghabiskan uang. Dia juga tidak terlalu peduli saat sang ayah membanting barang saat dia marah atau mabuk. Walaupun semua itu didengarnya dari penuturan sang ibu. Tetap saja dia tidak bisa membenci ayahnya. Tapi kali ini berbeda. Melihat sang ayah akan mengakhiri hidupnya sendiri membuat Naruto geram. Tidak cukupkah dia bersikap egois. Sebenci apapun Naruto padanya, dia juga tidak akan mau melihat ayahnya merenggang nyawa dihadapannya lalu menjadi seorang anak yatim –hell no!. Belum lagi ibunya yang sebelumnya sudah berpamitan akan keluar kota selama tiga bulan. Yang berate hanya tinggal mereka berdua disini. Jika laki-laki itu bunuh diri, otomatis Naruto yang akan menjadi saksi utama. Lalu dia harus mengatakan apa. Dia sendiri juga tidak tahu alasan pasti kenapa ayahnya mengiris lehernya sendiri dengan pisau dapur.

"Jangan bunuh diri disini. Aku tidak mau membersihkan darahmu."

Ucapan Naruto membuat laki-laki itu tersentak. Dia segera menjatuhkan pisau yang tadi sempat mengiris kulit lehernya. Dia memandang kearah Naruto yang juga memandang kearahnya. Melihat wajah Naruto membuat emosi laki-laki itu naik di level tertinggi. Matanya menggelap. Ada kilatan benci yang ketara dari sepasang onyx miliknya.

"Kau. Semua ini gara-gara kau!"

Desisnya dengan nada rendah.

"Aku tidak melakukan apapun."

Laki-laki itu mendelik tidak suka saat mendengar sahutan Naruto. Berani sekali dia menjawab ucapannya. Tangan besarnya lalu menarik tangan Naruto. Menarik Naruto untuk mendekat kearahnya.

"Kau tidak mengerti apapun!"

Naruto tidak langsung menyahut. Dia masih memandang laki-laki itu dengan pandangan datarnya. Sama sekali tidak ada secuilpun rasa takut dari kilatan matanya. Seolah ini adalah hal yang biasa.

"Apa yang tidak aku mengerti ?"

Kratak

Laki-laki itu menekuk jari kelingking Naruto kebelakang. Membuat suara tulang patah yang terdengar menyakitkan. Tapi gadis pirang itu sama sekali tidak menjerit. Dia hanya memandang datar jari kelingkingnya yang terlihat bengkok dengan posisi abnormal.

"Apa kau puas."

Laki-laki itu mundur satu langkah. Dia menatap horror kearah jari kelingking Naruto.

"Maaf."

Lirihnya nyaris tidak terdengar.

"Aku tidak mau melihatmu dalam keadaan mayat saat aku pulang. Ingat itu. Itekimasu."

.

.

.

FLASHBACK OFF

.

.

.

Naruto melirik jari kelingkingnya. Bahkan dia lupa jika dia masih memiliki jari kelingking. Seingatnya setelah laki-laki dihadapannya mematahkan jari kelingkingnya. Tangannya terasa kebas dan akhirnya dia tidak lagi bisa merasakan apapun di jari kelingkingnya.

"Sudah."

Ayahnya mengacak pucuk rambut Naruto gemas.

"Aku heran, kenapa wajahmu datar sekali? Bahkan saat itu aku hampir mati karena khawatir."

Naruto tidak langsung menyahut. Dia masih bingung kenapa sang ayah bisa berubah seperti ini. Apa mungkin dia salah minum obat sebelum tidur. Mungkin saja.

"Kau aneh."

Komentar Naruto membuat laki-laki yang masih menyandang status sebagai ayahnya tertawa lepas. Tawa yang selama ini tidak pernah Naruto bayangkan bisa terlukis pas di wajah ayahnya yang biasanya datar –sepertinya.

"Aku lelah. Mungkin aku akan segera menceraikan ibumu. Asal kau tahu aku bahkan sekalipun tidak pernah menyentuhnya."

Naruto mulai bisa menebak kemana arah pembicaraan sang ayah. Mungkin Naruto akan mencoba untuk mendengarkan curhat colongan sang ayah kali ini. Tidak adil jika dia hanya membela pada ibunya. Dia harus mendengar dari sudut pandang yang berbeda juga bukan. Mengingat selama ini mereka juga tidak pernah berbicara empat mata seperti ini. Bahkan bertegur sapa juga hampir tidak pernah. Astaga, apa Naruto sudah menjadi anak yang durhaka selama ini.

"Kau bukan ayahku?"

Pertanyaan Naruto yang terkesan to the point itu membuat ayahnya terbatuk karena salivanya sendiri. Mungkin memang seharusnya dia tidak harus menerima tawaran perempuan yang sekarang menyangdang status istri sahnya. Istri, khe bahkan perempuan itu tidak pernah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Boleh aku bertanya ?"

Ayahnya kembali membalas dengan pertanyaan, tanpa berniat menjawab pertanyaan Naruto. Toh, dia sudah tahu jawabannya. Melihat anggukan Naruto, ayahnya kembali bersuara.

"Menurutmu aku ayah yang bagaimana?"

Naruto tersenyum miring. Terkesan meremehkan. Tapi ayahnya sama sekali tidak peduli.

"Kau ayah yang brings*k. Suka menghabiskan uang kaa-san. Ayah brengs*k yang melempar semua barang di rumahku."

Frontal sekali. Laki-laki itu terkekeh. Naruto memang bukan anaknya, tapi entah kenapa dia merasa sifat Naruto sedikit tidak jauh berbeda dengan sifat alami keluarganya. Bermulut tajam.

"Kau percaya kalau itu uang ibumu ?"

Naruto mengangguk dengan polosnya. Ayahnya tertawa melihat anggukan Naruto.

"Asal kau tahu. Ibumu bahkan tidak memiliki uang sepeserpun. Semua barang disini adalah milikku. Termasuk semua barang yang aku banting. Toh, aku juga akan menggantinya dengan yang baru."

Naruto mengerjabkan matanya. Tidak percaya dengan informasi baru yang diterima oleh gendang telinganya. Pasti dia salah dengar.

"Tapi kaa-san bilang Tou-san itu selalu menghabiskan uang kaa-san untuk berjudi."

Sadar atau tidak wajah datar Naruto melunak saat mengatakannya. Menyisakan wajah polos yang sudah lama hilang dari wajah cantiknya.

"Berjudi eh? Apa kau bercanda. Bahkan aku tidak tahu tempat untuk berjudi. Jadi selama ini ibumu menggambarkanku sejelek itu ?"

Anggukan polos Naruto membuat ayahnya tersenyum maklum. Dia masih tidak sadar perubahan mimic muka Naruto yang mulai melunak.

"Ceritakan apa yang tidak aku tahu."

Bukannya menjawab, dia justru meminum jus jeruk milik Naruto tanpa merasa sungkan.

"Ugh. Manis sekali."

Naruto terkikik geli melihat ekspresi menggelikan laki-laki dihadapannya. Dia tidak tahu kalau ayahnya bisa bertingkah sekonyol ini. Hanya karena jus jeruk.

"Aku memang manis."

Sejak kapan juga Naruto menjadi senarsis itu. Ayahnya mendongak saat mendengar suara Naruto yang entah kenapa terasa lebih hidup ditelinganya.

"Kau mengatakan sesuatu ?"

Naruto kembali memasang wajah datarnya.

"Tidak."

.

.

.

Something bad may not the WORST. It's could be too nice to called the BEAST when he know it'sbetter for them

.

.

.

"Kau tahu apa yang membedakan kita dengan makhluk lainnya?"

Naruto menatap tidak suka pada sang ayah yang mengekori Naruto hingga di kamar Naruto. Bahkan ibunya saja tidak pernah berani masuk kedalam kamarnya. Karena memang Naruto tidak suka area pribadinya dimasuki orang selain dirinya. Termasuk ayah dan ibunya.

"Keluar."

Ayahnya tidak bergeming. Dia justru asik mengamati kamar Naruto yang terlihat sangat rapi. Dinding kamar yang penuh dengan gambar-gambar yang ditempelnya secara manual.

"Ini semua gambarmu?"

Naruto menyender di dinding. Tangannya tersilang di depan dada. Dia tidak tahu kalau berhadapan dengan ayahnya bisa membuatnya sekesal ini. Dia bahkan sudah membuang jauh-jauh topeng wajah datar miliknya.

"Kau bisa menjadi pelukis professional."

Ayahnya berjalan mendekati sebuah gambar yang sangat menarik perhatiannya. Gambar dirinya, Kushina –istrinya dan Naruto sedang tersenyum bersama. Seperti keluarga normal lainnya.

"Apa kau melepaskan semua ekspresimu di gambar yang kau buat ?"

Naruto tidak menyahut. Suaranya seperti tercekat di leher. Ada perasaan sesak saat ayahnya berhasil menggali satu kebenaran tentangnya.

"Kau tahu. Manusia itu special karena kita memiliki nafsu. Nafsu untuk makan, nafsu untuk berkuasa, bahkan nafsu untuk menunjukkan ekspresi yang mewakili perasaannya. Itu bukan kesalahan, itu memang sifat dasar manusia."

Naruto masih tidak menjawab. Kepalanya tertunduk lesu.

"Padahal dulu kau anak yang periang. Sejak kapan ekspresimu menjadi datar seperti sekarang ?"

Laki-laki itu membelai gambar sang anak dengan tangan bergetar. Tuhan, apa yang sudah dia lakukan sebenarnya.

"Aku bisa menjadi ayah yang baik jika kau mau."

Laki-laki itu berjalan mendekat kearah Naruto. Dia mengacak gemas pucuk rambut Naruto.

"Tapi kau tidak boleh menunjukkan wajah datarmu dihadapanku. Kalau memang marah kau bisa memakiku, kalau kau sedih kau bisa menangis sepuasmu, kalau memang senang kau bisa tertawa sampai pita suaramu putus. Aku tidak akan melarangnya."

Laki-laki itu mengangkat dagu Naruto. Membuat pandangan mereka bertemu. Laki-laki itu sempat terdiam saat sepasang mata senada musim panas itu memandangnya dengan pandangan berkaca-kaca.

"Tapi aku masih harus berperan sebagai ayah brengsek saat ada ibumu. Anggap saja ini rahasia kecil ayah dan anak. Bagaimana ?"

Kenapa kau masih harus berpura-pura. Ingin sekali Naruto menyahut. Tapi suaranya tidak mau keluar. Ada rasa sesak menyenangkan saat mendengar 'Ayah yang baik' dari ayahnya. Akhirnya hanya anggukan yang Naruto berikan. Dia juga memeluk ayahnya dengan erat. Nyaman, dia tidak tahu kalau memeluk ayahnya akan senyaman ini. Walaupun dia masih tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Tapi dia lega, ayahnya tidak seburuk yang dia lihat selama ini.

.

.

.

Hari ini tepat pukul tujuh pagi Kushina –ibu Naruto pulang. Maka dimulailah drama rahasia ayah anak yang sudah Naruto sepakati dengan ayahnya kemarin. Ibunya datang dengan dengan wajah lelah. Dia langsung berbaring di sofa setelah meletakkan tas kerjanya. Naruto datang dengan nampaan berisi jus jeruk untuk ibunya.

"Terimakasih. Apa ayahmu melakukan sesuatu selama ibu pergi?"

Naruto menggeleng. Dia duduk di hadapan ibunya. Memandangnya dengan pandangan menyelidik.

"kaa-san membeli baju baru ?"

Kushina –ibu Naruto mengerutkan kening. Bertanya 'kenapa' lewat tatapan matanya.

"Kemarin kaa-san menggunakan kemeja hitam."

Uhuk

Kushina terbatuk saat mendengar ucapan Naruto. Matanya bergerak gusar.

"Baju kaa-san terkena kopi, jadi ibu membeli baju baru."

Brak

Suara pintu dibanting mengagetkan keduanya. Rupanya sang ayah baru saja menutup pintu kamarnya dengan tenaga kuda. Naruto mengerutkan kening. Jelas ada yang disembunyikan kedua orang tuanya. Apapun itu, Naruto jadi bertanya siapa yang paling tersiksa dari mereka semua, dan hati kecilnya berteriak kencang, mengatakan bahwa ayahnya lah yang selama ini paling menderita diantara mereka. Aneh.

"Nanti malam ibu akan pergi keluar kota selama satu tahun. Jaga diri baik-baik. Kalau ayahmu berbuat sesuatu segera hubungi kaa-san."

Kushina pergi bergitu saja. Meninggalkan Naruto yang mencoba untuk menggabungkan potongan puzzle kebenaran yang diberikan kedua orang tuanya.

"Apa Tou-san seburuk itu ?"

Ucap Naruto tanpa sadar. Kushina menghentikan langkah kakinya. Dia menoleh kebelakang.

"Dia sudah mematahkan jari tanganmu. Apa kau tidak trauma ?"

Naruto memandang ibunya dengan pandangan datar andalannya.

"Kalau memang dia seburuk itu kenapa kaa-san menikah dengannya ?"

Kushina berbalik. Berjalan menghampiri Naruto.

"Bukankah kaa-san sudah pernah bilang ? Kami dijodohkan."

Naruto terkekeh. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa dibohongi oleh hal semacam itu. Dijodohkan. Khe, kenapa dulu dia bisa percaya pada ucapan ibunya begitu saja. Itu adalah alasan paling konyol yang pernah terlintas dikepalanya. Memangnya mereka sedang melakukan syuting drama keluarga perjodohan.

"Kalian bisa bercerai. Tidak harus tinggal dengan keluarga seperti ini."

Wajah Kushina memerah. Naruto memandang Kushina tanpa berkedip. Sama sekali tidak takut melihat perubahan air muka ibunya yang mengeras.

Plak !

Kushina menampar Naruto. Terlalu keras hingga pipi kiri Naruto langsung membiru dan darah segar mengalir dari hidung bangir Naruto. Naruto tidak mengeluarkan suara. Dia kembali memandang datar kearah ibunya.

Plak !

Tamparan itu kembali diterima Naruto. Bahkan sekarang tubuh kecilnya terhuyung kebelakang. Hampir saja Naruto kehilangan keseimbangan. Beruntung ada seseorang yang menahan tubuhnya. Dia menoleh kebelakang. Dia melihat ayahnya yang sedang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Mulai sekarang kau tinggal dengan laki-laki brengsek itu! Jangan pernah mencariku !"

Seru Kushina murka. Wajahnya merah padam, nafasnya memburu. Dia lalu pergi meninggalkan Naruto masuk kekamarnya. Tidak lama Kushina keluar dengan membawa koper dan pergi begitu saja. Sementara Naruto otaknya mendadak blank saat melihat ibunya melangkah keluar dari rumah. Dia ingin berlari menahan ibuny agar tidak pergi. Tapi kenapa kakinya terasa kaku. Apa yang harus dia lakukan.

.

.

.

"Apa aku melakukan kesalahan ?"

Laki-laki raven itu menggeleng. Dia masih sibuk mengetik sesuatu di laptop miliknya. Sementara Naruto sedang tiduran di kasur laki-laki itu. baru kali ini Naruto masuk kekamar ayahnya. Ternyata kamar ayahnya sangat rapi.

"Apa Tou-san akan meninggalkanku sendiri ?"

Gerakan tangan laki-laki itu terhenti diudara. Dia memutar kursinya menghadap kearah Naruto yang masih memandangi langit-langit kamarnya.

"Kenapa kau berpikir seperti itu ?"

Naruto menghela nafas. Dia berguling kesamping. Memandang langsung kearah sang ayah yang kini memandangnya tajam.

"Aku bukan anakmu. Kau tidak harus merawatku."

Terdengar tawa renyah dari sang ayah. Naruto baru akan protes, namun suara ayahnya membuat Naruto terdiam.

"Aku memang bukan ayahmu. Bisa dibilang aku memang tidak pernah menjadi ayahmu. Tapi aku tidak mungkin menelantarkanmu begitu saja."

Laki-laki itu berjalan menuju sebuah pintu kayu. Tempat dimana dia menyimpan semua buku kesayangannya.

"Mau masuk kedalam ?"

Mencium aroma tumpukan buku, Naruto langsung mengangguk semangat. Dia berlari menghampiri laki-laki itu.

.

.

.

"Aku sangat suka buku ini !"

Seru Naruto kelewat riang sambil menunjuk sebuah buku bersampul hitam dengan tulisan berwarna emas menyala. Free. Kebebasan, hidup tanpa batas. Dari judulnya saja Naruto sudah sangat tertarik untuk membaca isi didalamnya.

"Itu juga salah satu buku favoritku."

Naruto mau tidak mau tersenyum lebar mendengarnya. Tidak ada lagi wajah datar yang selama ini melekat pada wajah cantiknya.

"Menurutmu siapa yang lebih bodoh diantara mereka berdua ?"

Tanya laki-laki itu, lembar demi lembar buku yang berada didalam dekapan kedua tangannya terbuka.

"Kadang saat menyukai seseorang kau bisa menjadi sangat bodoh dan konyol. Tapi aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran laki-laki dibuku ini. Sudah jelas istrinya tidak menghargainya, tapi dia masih saja tetap bertahan. Aku penasaran sebaik apa hatinya."

Laki-laki itu terkekeh. Dia berjalan mendekat kearah Naruto. Meletakkan buku yang dibawanya di lemari buku yang ada disampingnya.

"For Your Information, hatinya sudah tidak berbentuk. Hancur berkeping-keping. Mengetahui istrinya mendesahkan nama laki-laki lain setiap malam, sementara dia sendiri tidak pernah berada diatas ranjang yang sama dengan istrinya. Melihat istrinya mengandung anak laki-laki lain. Dianggap laki-laki brengsek oleh anaknya sendiri. Dia benar-benar bodoh."

Naruto tidak tahu sejak kapan laki-laki itu sudah berada didepannya. Menyandarkan tubuhnya di rak buku yang otomatis sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan.

"Kenapa dia tidak menceraikan istrinya ? dia bisa hidup bahagia dengan wanita lain yang lebih baik. Tidak harus bersandiwara seperti itu."

Laki-laki itu menyunggingkan senyum pahit. Seandainya semudah itu jalan ceritanya, mungkin dia juga akan menyerah jauh sebelum semua terjadi. Dan kali ini, sudah terlalu terlambat untuk mengakhiri semuanya.

"Kau tidak tahu seberapa besar perasaan laki-laki bodoh itu untuk istrinya."

Naruto berjalan mendekat. Dia meletakkan buku yang tadi menjadi topik pembicaraan mereka. Tangan tan nya terulur untuk menyentuh wajah laki-laki yang selama ini dipanggilnya dengan sebutan ayah.

"Apa sekarang aku masih harus memanggilmu 'Ayah'?"

Laki-laki itu memandang langsung ke mata Naruto. Pandangan mereka terkunci beberapa saat. Hingga tanpa tahu siapa yang memulai bibir mereka saling memaut satu sama lain. Bahkan tangan laki-laki itu sudah menarik Naruto untuk berada dalam pelukannya. Sedangkan kedua tangan Naruto mengalung di leher laki-laki yang sejak kemarin masih dipanggilnya ayah.

"Panggil aku Itachi."

.

.

.

Pagi ini suasana canggung begitu terasa. Mereka –Itachi dan Naruto masih duduk diam di meja makan tanpa menyentuh makanan yang ada dihadapannya, yang sepertinya sudah mulai mendingin. Mengingat sudah setengah jam lamanya mereka duduk seperti patung di meja makan.

"A-aku akan berangkat sekarang."

Cicitan Naruto membuat Itachi mendongak. Saat pandangan mereka bertemu keduanya langsung mengalihkan pandangan. Ada semburat kemerahan yang menghiasi wajah keduanya. Manisnya.

"Makanlah dulu. Aku akan mengantarmu."

Naruto mengangguk kaku. Lalu mulai memakan sarapannya dalam diam. Sedangkan Itachi hanya memandang gesture canggung Naruto yang terlihat menggemaskan untuknya. Walau bagaimanapun secara hukum Naruto itu masih anaknya. Walaupun bukan dirinya yang membuat Naruto ada di dunia ini. Kenapa harus serumit ini.

" Aku akan menceraikan ibumu. Hari ini."

Uhuk.

Naruto tersedak. Dia segera meminum air mineral yang ada didepannya. Menenggaknya hingga habis tidak tersisa.

"Lalu kita benar-benar tidak akan memiliki hubungan apapun ?"

Tanya Naruto suara mencicit. Ada perasaan tidak rela jika mengingat sebentar lagi dia tidak akan tinggal satu atap lagi dengan ayahnya.

"Aku tidak bilang begitu. Kalau tidak tinggal disini, kau akan tinggal dimana ?"

Naruto menggeleng pasrah.

"Ibumu tidak akan bisa membawamu. Kau hanya akan menyulitkan posisinya."

Ada perasaan sakit saat mendengar penuturan Itachi.

"Apa aku beban untuk kaa-san ?"

Itachi menggeleng. Tapi tidak lama dia juga mengangguk kaku.

"Kau tahu, permasalahan orang dewasa itu terlalu kompleks. Jangan mencoba untuk terlibat. Aku tidak mau kau terluka."

Naruto memandang Itachi dengan pandangan tidak mengerti. Dari kedua sapphirenya Naruto bisa melihat banyak kesakitan yang selama ini selalu ditimbun Itachi di kedua onyx hitamnya.

"Apa hubungan kita sebenarnya ?"

Itachi menyeruput kopi pahitnya. Dia menimang-nimang jawaban yang tepat untuk pertanyaan Naruto.

"Sampai hari ini aku masih ayahmu secara hukum, tapi setelah aku dan ibumu bercerai. Kita akan menjadi orang asing."

Ada rasa senang saat mendengar kata orang asing dari bibir Itachi.

"Baguslah."

Itachi mendelik tidak suka. Baguslah. Jadi dia lebih senang jika mereka menjadi orang asing, begitu.

"Aku bisa menyukaimu."

Uhuk.

"Kau mengatakan sesuatu ?"

Naruto menggeleng polos.

"Aku tidak mengatakan apapun."

.

.

.

Hari sabtu. Pasangan ayah dan anak –secara hukum itu terlihat asik berjalan bersama di sebuah taman bermain. Hari ini mereka sengaja pergi ke Disney land untuk berlibur bersama. Mungkin ini adalah liburan pertama dan terakhir mereka sebagai ayah dan anak. Besok, status ayah itu tidak akan berlaku lagi. Mengingat besok Itachi dan Kushina resmi bercerai secara hukum.

"Ayo masuk kesana !"

Seru Naruto sambil menyeret Itachi masuk ke rumah hantu. Itachi hanya menurut saat Naruto dengan semangat masuk kedalam lorong goa rumah hantu itu. Awalnya dia bersikap seperti seorang pemberani. Tapi setelah melihat kepala orang tergantung di langit-langit goa, Naruto menjerit histeris sambil memeluk Itachi. Begitu terus sampai akhirnya mereka keluar dari rumah hantu. Bahkan saat diluar, Naruto masih belum mau melepaskan pelukannya. Dia masih memejamkan matanya dengan memasang ekspresi takutnya.

"Hei, kita sudah ada diluar. Kau mau memelukku sampai kapan?"

Tubuh Naruto menegang. Dia mendongak keatas. Melihat wajah Itachi yang memasang mode mesum. Secepat kilat Naruto melepaskan pelukannya dan membuang wajahnya kesamping. Sial, wajahnya memerah.

"Tou-san no baka !"

Gerutu Naruto dengan bibir mengerucut.

.

.

.

Sampai malam. Mereka sudah menaiki semua wahana. Hingga akhirnya pilihan terakhir mereka ada pada kapal yang disewakan kepada pengunjung yang akan menyebrangi danau buatan. Naruto dan Itachi duduk berhadap-hadapan. Itachi memegang kedua galah di kedua tangannya untuk melajukan perahu itu. Sementara Naruto hanya duduk nyaman tanpa berusaha membantu Itachi mengayuh perahu. Sampai ditengah danau. Itachi menghentikan acara mengayuhnya. Mereka sama-sama mendongak keatas. Melihat langit yang terlihat lebih indah dari biasanya.

"Kau tahu mitos di danau ini?"

Itachi membuka suara. Naruto menggeleng, tanpa berniat mengalihkan pandangannya dari langit.

"Kalau ada sepasang kekasih yang bisa menemukan ikan berwana putih di danau, mereka akan langgeng sampai kakek-nenek."

Naruto mengalihkan pandangannya. Dia menatap Itachi dengan pandangan penuh pengharapan.

"Benarkah ? dimana ikan putih itu ?"

Kratak.

Itachi berdiri dan berjalan mendekat kearah Naruto. Membuat perahu yang mereka gunakan berbunyi karena menerima beban tambahan dari tubuh Itachi. Sedangkan Naruto masih diam ditempat. Dia hanya mengawasi apa yang dilakukan Itachi hingga kini Itachi duduk disampingnya.

"Ikan itu hanya muncul setelah sepasang kekasih itu mengungkapkan perasaannya didanau ini. Apa kau percaya mitos konyol itu ?"

Naruto mengangguk semangat.

"Berati seharusnya kau datang bersama dengan laki-laki yang kau sukai. Bukan dengan pria berusia tiga puluhan sepertiku."

Naruto menggeleng. Tidak terima dengan penuturan Itachi yang merendahkan dirinya sendiri.

"Wajahmu masih seperti remaja SMA."

Itachi terkekeh mendengar pujian Naruto, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa dia awet muda.

"Suki desu !"

Itachi terkejut mendengar pernyataan cinta Naruto yang terasa mendadak. Dia mencoba mencari setitik saja kebohongan di balik dua maniks sapphire Naruto. Tapi nihil. Hanya ada kesungguhan disana.

"Aku lebih tua dua puluh tahun darimu bocah."

Naruto tertawa.

"Aku tidak peduli. Suki desu Tou-san !"

Sret

Itachi langsung menarik tengkuk Naruto. wajah mereka saling berhadap-dahapan dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan hidung mereka saling bersentuhan.

"Boku mo, suki desu Naru-chan."

Cup

Itachi mencium bibir Naruto dengan lembut. Tidak ada tuntutan disana. Hanya ciuman lembut untuk menyalurkan perasaan mereka masing-masing.

Kriet

"Huaaa!"

Naruto berteriak panik saat perahu yang mereka gunakan oleng. Begitupun Itachi. Dia langsung melihat kebawah, dan kedua onyx nya langsung membola saat melihat hewan yang dikiranya mitos ternyata benar ada di depan matanya.

"Wah, ikan itu benar-benar ada!"

Seru Naruto senang. Dia tertawa saat melihat ikan berukuran besar itu berenang mengintari perahu mereka. Lucunya.

.

.

.

Hari ini Itachi sudah bangun pagi-pagi buta. Dia memilih baju yang menurutnya paling bagus. Hari ini dia akan mengakhiri statusnya sebagai suami, sekaligus akan melamar seseorang yang dia harap akan menjadi istrinya. Dia bahkan menggunakan parfume mahal yang sebenarnya tidak pernah dia gunakan. Tapi hari ini berbeda. Dia harus terlihat mempesona di depan calon mertua. Khe menggelelikan. Bagaimana bisa dia menjadikan mantan istrinya menjadi calon mertuanya. Menggelikan. Tapi ini demi Naruto.

"Tou-san sudah siap ?"

Sapa Naruto saat Itachi baru saja berjalan keruang tengah.

"Panggil aku nii-san. Aku bukan ayahmu."

Naruto tertawa mendengar nada merajuk yang membuat Itachi OOC.

"Baiklah, apa kita akan berangkat sekarang nii-san ?"

Itachi mengangguk.

.

.

.

Diruang sidang, Naruto melihat ibunya yang selama kurang lebih setengah tahun ini tidak lagi dilihatnya. Wajahnya semakin terlihat dewasa, tapi tidak bisa melunturkan kecantikan alaminya. Naruto akan menghampiri ibunya, namun langkahnya terhenti saat melihat seorang pria seusia Itachi datang menghampiri sang ibu dan memeluk pinggang ibunya protektif. Siapa pria itu. Tunggu ada yang aneh disini. Kenapa pria itu memiliki surai pirang sepertinya. Jangan bilang –

"Ah, kau sudah melihat ayah kandungmu ?"

Tanya Itachi yang kebetulan melihat Naruto berdiri seperti patung didepannya.

"Dia ayahku ?"

Itachi mengangguk.

"Namikaze Minato. Kau pasti pernah mendengar namanya bukan ?"

Kali ini Naruto yang mengangguk.

"Kenapa kaa-san bisa berhubungan dengan laki-laki itu ?"

Itachi menghela nafas. Ada perasaan sakit saat akan menjawab pertanyaan Naruto. mau tidak mau dia akan kembali membuka luka lamanya lagi. Walaupun sekarang dia menyukai Naruto, tapi masih tetap ada tempat untuk Kushina di hatinya.

"Tentu saja karena mereka suami istri."

Ucap Itachi dengan nada bergetar.

"Ayah dan ibumu dulu adalah sepasang kekasih, tapi keluarga ayahmu menolak hubungan mereka karena memang Uzumaki dan Namikaze memiliki hubungan yang kurang baik. Ibumu sampai mencoret namanya sendiri untuk bisa bersama ayahmu, tapi sayang keluarga ayahmu masih tidak merestui hubungan mereka. Akhirnya mereka membuat sebuah permainan yang melibatkan aku didalamnya."

Naruto masih setia mendengarkan.

"Ibumu tahu aku menyukainya dan memintaku untuk menikahinya. Tapi kami membuat sebuah perjanjian pranikah. Bahwa aku tidak akan menyentuhnya selama kami menikah. Dan aku juga harus mengakui anak yang nanti akan dikandungnya sebagai anakku. Awalnya aku menolak, tapi kapan lagi aku bisa melihat orang yang aku sukai setiap hari. Akhirnya aku menerima perjanjian itu."

Naruto menundukkan kepalanya. Ada perasaan bersalah pada Itachi saat mendengar apa yang sudah dilakukan ibunya di masa lalu.

"Tapi dia hampir tidak pernah berada dirumah. Setelah aku mencari tahu. Ternyata dia juga menikah siri dengan ayahmu, dan mereka tinggal bersama seperti suami istri sungguhan. Sedangkan aku yang suami sahnya hidup sendiri seperti seorang pecundang."

Greb.

Naruto memeluk Itachi. Hatinya berdenyut sakit mendengar cerita Itachi.

"Aku membanting barang seperti orang gila karena aku marah. Istri yang seharusnya melayaniku justru membuka kakinya untuk laki-laki lain. Aku –"

Naruto menepuk pundak Itachi. Berusaha untuk menenangkan.

"Aku tahu."

.

.

.

Suara ketukan palu menjadi akhir untuk permainan mereka. Kushina berjalan menghampiri Itachi dan mengulurkan tangannya.

"Terimakasih sudah menjadi suami dan ayah untuk Naruto selama ini. Aku akan mengambil Naruto, dan kau bisa bebas menentukan jalan hidupmu mulai sekarang."

Itachi tidak bergeming. Dia masih berdiri seperti patung dihadapan Kushina.

Tap tap

Minato datang menghampiri Kushina. Dia memandang Itachi dengan pandangan yang sulit diartikan.

Sret

Itachi jatuh terduduk di depan Kushina dan Minato yang kini menatap terkejut kearahnya.

"Tolong jangan ambil Naruto."

Suara berat Itachi membuat Kushina dan Minato mengerutkan kening tidak mengerti.

"Apa maksudmu? dia anakku, wajar jika aku mengambilnya."

Kali ini suara Minato yang terdengar.

"Aku akan menikahi Naruto."

Hening.

Minato menahan nafas. Dia tidak percaya akan mendengar pengakuan jujur Itachi sesaat setelah dia resmi bercerai dari Kushina.

"Brengsek! apa yang sudah kau lakukan pada Naruto. Apa kau menidurinya !"

Itachi tidak menjawab. Bibirnya berseringai kejam. Sebrengsek itukah dirinya dimata laki-laki yang selama ini merebut istrinya.

"Apa kau bisu!"

Naruto yang melihat Itachi akan dihajar oleh ayah kandungnya akan berlari membela Itachi, namun Kushina menahannya agar tidak ikut campur. Naruto berusaha memberontak, tapi tenaga Kushina lebih kuat darinya.

"Ya aku menidurinya. Aku tidak bisa meniduri istriku sendiri, wajar jika aku meniduri anaknya. Impas bukan?"

Bruk

Minato memukuli Itachi hingga sudut bibirnya robek. Tidak puas hanya memukul, Minato bahkan menendang ulu hati Itachi hingga Itachi terbatuk darah.

"Nii-san. Jangan pukul nii-san !"

Pekik Naruto tidak terima. Dia terus memberontak dari pelukan ibunya. Dan berhasil, dia berlari menghampiri Itachi.

"Nii-san bangun."

Uhuk

Itachi menyentuh pipi kanan Naruto dengan tangan penuh dengan darah.

"Aku mencintaimu."

Itu adalah dua kata terakhir sebelum akhirnya pandangan Itachi berubah gelap dan semuanya terasa ringan. Tidak ada lagi rasa sakit yang dirasakannya. Apakah dia sudah mati. Entahlah. Naruto menangis histeris saat Itachi menutup matanya, dia menggoyang tubuh Itachi. Berusaha

membangunkannya. Tapi nihil, Itachi sama sekali tidak merespon. Tuhan, apa memang ini akhirnya.

"Naruto –"

Plak

Naruto menampik tangan Minato yang akan menyentuh pundaknya.

"Pembunuh."

Desis Naruto dengan nada tajam. Dia melihat Itachi lagi, wajahnya sudah berubah pucat dan bibirnya membiru.

Cup

Naruto mencium bibir Itachi untuk terakhir kalinya. Air matanya jatuh saat dia mencium bau amis dari darah Itachi yang terasa asin di indra pengecapnya.

"Aku akan segera menyusulmu. Tunggu aku, nii-san."

.

.

.

TBC?