Thanks for Fransisca Indriana atas izin-nya untuk terbitin fanfict ini :D
.
.
Aku mendongak memandangi langit yang tidak tertutup awan sama sekali. Panas matahari tidak begitu panas karena tertutup rimbunnya hutan.
Hari ini, Profesor Agasa mengajak kami, anggota Detektif Cilik — termasuk aku tentu saja — Ran, dan Shinichi berkemah di pegunungan.
.
.
Shinichi..
Aku menghitung pelan. Sudah 3 tahun yang lalu aku membuat penawar racun itu. Conan memang kembali menjadi dirinya yang sudah kelas 2 SMA. Tapi, muncul Conan yang lainnya. Efek samping yang tidak biasa terjadi pada obat yang pernah kubuat.
Aku senang Conan tetap menjadi Conan. Tapi, aku tidak tahu apakah perasaan Conan sama sepertiku. Mengingat Ran dan Shinichi yang memang sudah berpacaran hanya membuatku bertambah khawatir saja. Aku khawatir kalau Conan hanya menganggapku sebagai ilmuwan gila, temannya.
Daripada memikirkan hal itu, aku bergabung dengan anggota Detektif Cilik yang lainnya. Aku duduk di sebelah Conan.
"Wah, keren!" kudengar Ayumi memekik kesenangan.
Mitsuhiko menimpali ucapan Ayumi, "Ya, udaranya juga sejuk."
"Apalagi sambil makan kare panas seperti ini!" Rupanya Genta. Untung saja ia tidak menghabiskan bagiannya untuk besok.
"Huh, genta pikirannya makanan terus!" gerutu Mitsuhiko kesal. Aku hanya tersenyum melihat mereka bertingkah seperti itu.
Ran muncul di belakangku. Ia tertawa pelan melihat ketiga anak itu saling mengejek.
"Hei, sudah, sudah. Siapa yang ingin ikut jalan-jalan denganku?" tawar Ran.
"Maaf Ran-neechan. kami ingin main disini," tolak ayumi halus. Aku berani bersumpah tadi aku melihat Mitsuhiko dan Genta menyeringai senang. Aku menduga itu karena Ayumi lebih memilih menghabiskan waktu siang ini bersama mereka.
Kalau kulihat dari ekspresi Conan, sepertinya ia sependapat dengan Ayumi.
Tapi, aku lebih suka keadaan sepi daripada ramai begini. "Aku ikut denganmu," jawabku.
"Baiklah, ayo Ai-chan."
.
.
Kami menyusuri jalan setapak di hutan itu. Tenang rasanya.
"Sssstt! Kau terlalu berisik tau!" aku mendengar suara orang berbisik-bisik. Entah mengapa, aku sangat yakin ada yang tidak beres dengan orang-orang itu. Aku dengan cepat menarik Ran ke balik batu besar.
Aku mengintip melalui celah antara batu besar dan semak-semak. Mungkin aku nyaris jantungan melihatnya, kami menjadi saksi penting kasus pembunuhan!
Aku membalik tubuhku dan berbisik pada Ran, "Sebaiknya kau cepat hubungi Kudo-kun."
Ran mengangguk, lalu meraih HP-nya dan menelepon shinichi.
Kudengar Shinichi mengangkat telepon. Suaranya terdengar bingung, "Halo? Ada apa Ran?"
Ran menjawab dengan suara bergetar, "Ka, kami terjebak kasus pembunuhan. Bisakah kau cepat kemari?"
"Apa? Kalian dimana?"
Ran menoleh-noleh sebentar untuk mencari tahu berada di mana kami.
Di sudut mataku, aku menangkap gerakan dan bayangan dari balik batu. Sepertinya pembunuh-pembunuh itu sudah mengetahui kami ada disini.
"Kami di—"
"Lari!" jeritku sambil menarik tangan Ran dan berlari menjauhi tempat itu. Aku mencari tempat di mana kami dapat bersembunyi dengan aman.
.
.
.
Lumayan lama kami berlari dan aku melihat sebuah penginapan. Aku menarik Ran untuk bersembunyi ke bagian belakang penginapan.
Nafasku sesak. Kupaksakan untuk bertanya, "Bagaimana? kudo-kun… akan datang kan?"
"Eh?"
"Apa?" Aku melihat Ran melirik tangannya sendiri.
Kosong.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dengan cepat, aku mengeluarkan badge Detektif Cilik untuk menghubungi Conan.
"Hei, Haibara, kau dimana? Kalian baik-baik saja? Aku mendengar Shinichi mengerang!"
Aku sedikit kesal karena ia bicara sambil berteriak. "Bisakah kau tidak berteriak-teriak Edogawa-kun?" Aku memelankan suaraku. Tak seharusnya aku marah padanya. "Kami baik-baik saja."
Kudengar Conan menghela nafas, "Syukurlah. Kalian dimana?"
"Kami bersembunyi di balik penginapan Midori. Bisakah kau kesini?"
"Baiklah. Pastikan kalian tersembunyi dengan baik sampai aku tiba di sana."
Aku mengangguk. Perbuatan yang sia-sia mengingat aku memakai badge, bukan berdiri di hadapannya. "Aku mengerti," jawabku kemudian.
.
.
.
Kudengar suara langkah kaki semakin mendekat. Untuk berjaga-jaga, aku bersembunyi di balik kardus-kardus yang bertumpukan. Ran mengikutiku, tapi ia bersembunyi di balik kardus yang lebih tinggi, tidak satu ruangan persembunyian denganku.
"Jangan bersembunyi gadis manis.." Memang pembunuh itu yang datang. Apa maksud mereka gadis manis? Setelah menjadi pembunuh, mereka mau jadi perayu juga, hah?
Tapi, tak berapa lama kemudian, aku mendengar suara pukulan kencang dan jeritan tertahan Ran. Aku langsung sadar 'gadis' yang mereka maksud adalah Ran. Ran tertangkap! Mereka membawa senjata! Bagaimana aku melawannya?
Aku meringkuk lebih rapat agar tidak ketahuan. Maaf Ran.. Aku akan segera menghubungi Shinichi, janjiku dalam hati.
Kudengar langkah kaki mereka menjauh. Mereka sepertinya memang tidak melihatku tadi. Aku mengintip dari balik dinding. Salah satu dari mereka menggendong Ran ke arah danau. Oh tidak! Mereka mau menenggelamkan Ran?
Sial!
Aku segera berlari menghampiri mereka yang berada 500 meter jauhnya dari tempatku berada. Mereka memakai alat selam dan segera melompat ke dalam danau. Membawa serta Ran. Aku semakin mempelebar langkah kakiku.
Tidak! Ran! Kumohon!
Sia-sia, mereka sudah lenyap dari permukaan. Aku segera menghubungi Conan.
"Perubahan rencana Edogawa-kun! Aku akan menyelam!"
"Menyelam? Apa maksudmu?"
"Ran tertangkap! Dia dibawa ke danau!"
"Ran tertangkap?" kudengar suara Conan tercekat.
Aku hanya bisa tersenyum sedih. Conan rupanya tidak bisa melupakan Ran.
"Tenang saja, aku akan menolong Ran-neechan mu."
Aku langsung mematikan badge. Sebelum ku tekan tombol 'off' aku mendengarnya berteriak. "Tunggu! Haibara!"
.
.
.
Aku menyelam ke danau yang dingin itu. Aku baru ingat sekarang bulan Oktober. Musim panas sudah berubah menjadi musim gugur.
Aku mempertajam mata untuk mencari sosok mereka di dalam keruhnya air danau. Dan akhirnya aku menemukan mereka. Aku yakin mataku pasti membelalak keluar. Mereka punya tempat persembunyian di dalam danau!
Ku hampiri mereka. Tidak peduli aku akan mati atau bagaimana. Yang penting, selama aku dapat memancing mereka, Ran tersadar dan bisa segera pergi dari sini. Yang terpenting bagiku sekarang hanyalah keselamatan Ran dan kebahagiaan Shinichi dan Conan.
Ran, sosok pengganti kakakku yang berharga..
Mereka seperti mendengar semua yang kurencanakan. Mereka mengejarku tanpa melepaskan Ran sedetik pun. Sial! Aku tidak mempertimbangkan hal itu!
Aku segera berenang menjauh. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan mereka. Oh, tidak! Mereka berenang terlalu cepat! Sedangkan aku, berenang seperti anak bebek!
"AAAAAAA…" aku hanya menjerit di dalam pikiranku. Mana bisa aku berteriak sementara salah satu dari mereka mencekikku di dalam air? Yak, tidak bisa.
.
.
Samar-samar aku melihat Conan dan Shinichi di sini.
Haha.. Mungkin aku sudah mati dan melihat mereka dari surga. Atau neraka? Aku pernah berbuat jahat pada orang lain dan berada di posisi lebih rendah dari mereka, mungkin di neraka.
"Wah, wah.. Ada tamu rupanya?" kudengar pria dihadapanku ini menyambut kedatangan Shinichi dan Conan dengan sindiran yang luar biasa pe-denya. Aku paksakan otakku untuk berpikir. Kalau aku masih bisa merasakan siksaan ini dan mendengar suara mereka, itu artinya aku masih hidup. Setengah lega, setengahnya lagi tidak karena aku pasti sedang sekarat sekarang.
"Kalau mau mereka selamat, pergi sekarang juga!" teriak orang yang menahan Ran.
Ku paksakan diriku untuk melirik Conan. Wajahnya penuh dengan amarah, begitu pula Shinichi.
Mereka mirip, ya..
Conan melirik ke arahku. Aku mengerti arti dari tatapan itu. Kucoba mengangguk untuk meyakinkannya.
Dan mereka pun kembali ke permukaan. Aku ingin berteriak rasanya. Kembali!
.
.
.
Kurasakan cekikan di leherku semakin mengencang. Paru-paru ku terasa terbakar sekarang. Aku terbatuk-batuk di dalam air. Itu malah membuat keadaanku semakin parah saja. Air danau masuk ke dalam tenggorokanku yang panas dan membuatnya semakin panas saja.
Dalam kelinglunganku, aku berpikir.
Bukannya air bisa memadamkan api ya? Kok ini nggak?
Haha.. Bodoh..
Aku merasa tangan yang mencekikku mulai melepaskanku.
Haha.. Masa aku melayang sih? Perasaan bodoh macam apa itu?
Mungkin aku memang bodoh. Masa air danau yang hijau, berubah menjadi hitam pekat?
Gelap pula!
Agak lama, aku mulai berkhayal lagi.
Ohoho.. Wajah Conan muncul di benakku. Kini aku mendengar ia memanggilku.
Hahaha.. Semakin parah saja pikiranku. Aku merasa ia memelukku!
.
.
.
Pasti sekarang aku sudah mati.
Karena di depanku hanya ada kegelapan.
