Warning: Genderswitch. Please leave if you don't like it.

.

.

.

To those who are hopeless in love,

To those who are crazy in love,

To those who are happy in love…

.

.

.

Chapter One

So Close but Far Away

.

.

.

Jimin berlari keluar kelasnya dengan cepat. Dia harus cepat atau dia tidak akan punya kesempatan untuk melihat Yoongi oppa di kafe hari ini. Dia berlari begitu cepat sehingga dia menabrak beberapa siswa yang memaki Jimin berkali-kali.

"Maaf, aku sedang terburu-buru." Jimin berkali-kali berkata begitu.

Kemudian, ponselnya berdering, dia tahu yang meneleponnya pasti Jungkook, karena dia lupa mengirim pesan bahwa dia tidak bisa datang ke rumah Jungkook untuk 'dramas and chill' hari ini.

Oh Tuhan lebih cepat Jiminnie. Kau mungkin bisa punya waktu satu jam untuk menghirup udara yang sama dengan Yoongi jika kau tidak terlambat, Jimin berkata dalam hatinya.

Dia akhirnya sampai di kafe yang dia tuju. Dia mengambil napas dalam-dalam lalu berjalan masuk. Dia perlahan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya dan mengoleskan liptint strawberry favoritnya. Matanya mencari-cari ke seluruh ruangan untuk menemukan seorang pria berambut merah yang dicintainya. Dia tersenyum ketika dia menemukan pria itu duduk dengan teman-temannya di dekat sebuah jendela terbuka, dengan cepat mengambil tempat duduk di seberang mereka.

Belum sempat melirik ke arah pria pujaanya, dia mengutuk dalam hati ketika dia mendengar ponselnya berdering sekali lagi. Dia dengan cepat menjawab "Yah! Jeon Jungkook Aku sedang dalam misiku yang biasa! Aku akan datang setelah part time-ku berakhir dan jangan telepon aku! Sudah seminggu sejak terakhir kali aku bertemu dengan Yoongi oppa. Jangan benci aku. Aku hanya berusaha bahagia. Kita bertemu nanti, bye!" Dia mengakhiri panggilan itu dengan cepat dan tidak memberikan kesempatan untuk Jungkook untuk mengatakan apa-apa. Dia bahkan mengatakan itu semua dalam satu tarikan napas. Wow. Park Jimin.

Kemudian Jimin memesan hidangan favoritnya dan the staring game began. Ini akan menjadi aktivitasnya selama satu jam hingga alarmnya berbunyi.

Namun, di meja lain, Seokjin memerhatikan bagaimana gadis malang itu terus mengintip ke meja mereka. Dia benar-benar tidak bisa mengerti apa yang terjadi. Gadis ini harus berhenti.

"Yah! Min Yoongi! Gadis itu ada di sini lagi. Kau harus mulai melakukan sesuatu." Seokjin mengomel sambil memberikan satu pandangan terakhir untuk gadis yang terus mengintip mereka melalui daftar menu kafe yang dipegangnya, meskipun dia sudah memesan makanan dari tadi dan aktingnya benar-benar gagal. Poor girl. Kemudian, Seokjin melakukan kontak mata dengan gadis itu, Seokjin memberikan sebuah seringai dan gadis itu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya dengan menu yang dipegangnya sekali lagi.

Yang dimarahi, Min Yoongi, hanya bergumam dan bertindak seperti tidak ada yang salah atau apa pun. Orang lain yang juga duduk dengan mereka tertawa keras. Sedikit terlalu keras sampai Seokjin kesal.

"Tidak, Namjoon. Guys, serius, aku serius. Yoongi lakukan sesuatu, bicara dengannya, katakan padanya bahwa kau tidak menyukainya atau hanya cukup beritahu dia untuk berhenti memata-mataimu seperti itu. Ini menyeramkan." Seokjin menambahkan sambil meneguk Vanilla Latte-nya. Boys are weird.

Yoongi hanya mengangguk sambil berkata, "Kau akan terbiasa nanti." Dia meneguk dari Americano-nya yang pahit dan melirik seorang gadis di depan meja mereka. Gadis itu sedang makan fish cake dan minum air minum dari botol yang dibawanya. Itu sedikit mengejutkan Yoongi, mengapa ada sebuah kafe di universitas yang menjual fish cake? Yoongi menggeleng dan mengangkat bahunya. Untuk beberapa saat dia terus menatap gadis itu. Dia bertanya-tanya apa yang membawa mereka ke titik ini. Karena yang Yoongi tahu hanyalah gadis ini pernah mengira Yoongi adalah orang yang dikenalnya dan hanya itu. Dia tidak pernah benar-benar peduli atau bahkan berbicara dengannya sejak hari itu. What's going on?

Gadis itu, anehnya, memutuskan untuk juga melirik Yoongi sehingga mata mereka bertemu. Yoongi yakin dia melihat mata gadis itu berkaca-kaca dan dia benar-benar bisa melihat rasa takut di dalamnya. Gadis itu membeku untuk sementara waktu, kemudian melemparkan pandangannya ke tempat lain selain Yoongi. Dia perlahan-lahan mencoba untuk bertingkah seperti tidak ada yang terjadi. Yoongi kemudian memutuskan untuk berhenti menatap dan bergabung dengan pembicaraan teman-temannya.

"Tapi, aku serius, Jin. Dia akan pergi pada pukul tiga." Kata Namjoon saat dia menulis sesuatu untuk lirik lagu barunya.

Seokjin kaget, "Wow. Seberapa sering dia mengikutimu untuk membuat si bodoh Kim Namjoon ingat jadwalnya?"

Seokjin benar. Namjoon bahkan tidak mengingat jadwalnya sendiri. Orang itu bahkan pernah lupa untuk pergi ke acara hari kelulusan adiknya. "Man, aku tidak tahu." Kata Namjoon.

Mereka berbicara sebentar sampai akhirnya waktunya untuk Jimin untuk pergi. Seokjin dan Namjoon memerhatikan Jimin pergi sambil berteriak, "Apa kubilang!" dan "Wow. Ini adalah sebuah keajaiban." Yoongi hanya diam dan menatap ponselnya.

Sudah biasa. Yoongi sudah terbiasa diikuti gadis itu.

.

Jimin bergegas pergi. Perlu satu jam baginya untuk pergi ke tempat kerja, tapi di jam sibuk seperti ini akan memakan waktu lebih lama. Dia melirik the love of her life untuk terakhir kalinya dan benar-benar meninggalkan kafe. Jimin cemberut dan mendesah. Ah. Dia berharap dia akan bertemu lagi dengan Yoongi, segera.

Selalu seperti ini. Dia selalu mengintai Yoongi tanpa alasan sama sekali. Dia hanya senang melihat Yoongi karena melihat Yoongi membuatnya bahagia, tidak ada alasan lain, dan lagi pula Yoongi memiliki senyum yang benar-benar menawan meskipun dia jarang tersenyum. Tapi, dia pernah melihat sekali dan dia ingin melihat senyum itu lagi. Walaupun, sampai sekarang dia tidak bisa menemukan senyum itu.

Jimin memasang earphone dan mendengarkan musik yang bagus lewat ponselnya. Kemudian menutup matanya setelah dia duduk bangku di halte bus.

"Ah Yoongi oppa, suatu hari aku akan pasti melihat senyummu lagi." Jimin bergumam.

.

Jimin masuk ke dalam restoran kecil tempat dia bekerja. Dia akan bekerja paruh waktu selama empat jam kemudian dia harus pulang dan memasak untuk bibinya dan suami bibinya.

"Jimin, ponselmu berdering!" Teriakan dari rekan kerjanya membuatnya dia bergegas ke dapur. Jimin berpikir bahwa itu pasti bibinya atau Jungkook tapi yang dia lihat di layar ponselnya adalah nomor tak dikenal. Jimin bertanya-tanya siapa itu bisa sebelum dia mengangkatnya.

"Halo, ini Park Jimin," jawabnya. Jika ternyata ini adalah Jungkook yang menggunakan nomor lain dan mencoba untuk berpura-pura menjadi seseorang yang kenal Yoongi dan bisa mengenalkan Yoongi padanya, Jimin lebih dari yakin untuk memukul little demon itu nanti.

"Halo, Park Jimin ini staf universitas," Dia mendengar seorang pria berbicara. Great. Ini buruk. Apa lagi yang terjadi dengan kehidupan kuliahnya yang menyedihkan? Dia tidak ingat melakukan sesuatu yang buruk akhir-akhir jadi pasti bukan sesuatu yang buruk. Semoga saja bukan sesuatu yang buruk.

"Oh... Apakah ada masalah?" Jimin tiba-tiba merasa ini akan jadi sesuatu yang buruk.

"Ya, kami lihat kau belum membayar SPP semester ini. Kami ingin tahu apakah kau masih tersedia untuk semester berikutnya atau tidak." Nada lelaki itu begitu kuat sampai Jimin merinding.

"Ah, jadi itu masalahnya. Oke aku akan berbicara dengan orang tuaku dan pasti akan membayarnya! Semuanya akan baik-baik saja." Jimin berkata, tidak yakin apakah dia menjawab atau bersorak untuk dirinya sendiri.

"Yah, kami senang mendengarnya. Hanya itu yang kami ingin informasikan. Selamat siang." Pria itu menjawab dengan nada datar.

"Ah ya. Selamat siang, Sir." Jimin meletakkan ponselnya di tasnya. Kecemasan tiba-tiba menghampirinya. Bibinya harusnya sudah membayar biaya kuliahnya. Jimin menggigit bibirnya, apa yang bisa menjadi alasannya?

Kemudian, dia mendengar rekan kerjanya memanggilnya untuk membantu, "Jimin, bisa bantu aku?"

"Ah ya, sebentar." Jimin berkata sambil berlari untuk membantu.

.

Shift Jimin berakhir pada pukul enam sore. Hari itu adalah satu hari lain yang sibuk di pertengahan musim gugur dan semua orang keluar untuk makan di luar dan menikmati pemandangan. Jimin tersenyum saat berjalan pulang, musim gugur di Seoul sangat berbeda dari di Busan. Daun-daun kering di Seoul kurang berwarna-warni tapi pohon-pohonnya dihias dengan berbagai macam ornamen. Dia benar-benar menyukainya. Ah Busan...

Jimin meninggalkan begitu banyak kenangan di tempat itu. Dia lahir dan dibesarkan di Busan. Itu adalah tempat yang menyenangkan untuknya. Rumahnya berada dekat dengan gunung, tidak seperti anak-anak Busan biasa, dia tidak tumbuh dan bermain di pantai. Sebaliknya, dia tumbuh dan bermain dengan menjelajahi bukit. Busan yang indah. Pada musim gugur begini pohon-pohon dari tempat-tempat lain kecuali bukit akan berguguran dan kemudian semuanya akan berubah menjadi merah, coklat atau oranye kecuali bukitnya. Bukitnya akan tetap hijau. Jimin selalu memuja pemadangan itu. Semuanya terlihat sangat indah.

Jimin ingat bagaimana ibunya selalu melarangnya untuk berlari di bukti.

"Nanti kau bias jatuh, Jiminnie." Itu adalah kalimat rutin yang selalu dia dengar dari ibunya dulu.

Angin menerpa wajahnya dan membawa beberapa kenangan hari-harinya di Busan. Dia merindukan Busan, tempat kelahirannya. Dulu dia selalu berpikir bahwa dia akan tinggal selamanya di Busan dengan ibunya. Tapi akhirnya ibunya pergi dan dia tidak punya alasan untuk tinggal di sana lagi. Busan yang dulu adalah tempat yang indah menjadi tempat yang menyakitkan sampai dia tidak pernah ingin mengunjungi lagi.

"Ibu, andai saja ibu ada di sini. Kau bisa menikmati malam ini denganku di Sungai Han sekarang." Jimin tersenyum sedih. Dia menatap Sungai Han di sebelahnya dan tersenyum lagi.

Kemudian Jimin memutuskan untuk berhenti mengenang Busan dan berpikir tentang bagaimana dia akan menjelaskan masalah kuliahnya ke bibinya. Apa yang harus dia katakan? Dia tidak bisa hanya sekedar bertanya, "Hei, bibi aku dengar kau tidak membayar biaya kuliahku semester ini? Hahaha aku bertanya-tanya mengapa. Kau lebih baik membayarnya segera atau aku tidak akan bisa ikut ujian akhir semester dan aku akan gagal di semester ini dan aku selalu mencoba untuk belajar dengan baik. Ugh. KAU TIDAK BISA MELAKUKAN ITU."

Tidak. Dia tidak bisa bilang begitu. Dia tidak bisa bilang begitu kepada orang yang memberinya tempat tinggal dan kesempatan untuk masuk universitas.

Jimin sampai di halte bus tepat sebelum bus yang sedang berhenti melaju. Dia dengan cepat masuk ke dalam bus dan mengambil tempat duduk di baris terakhir. Dia sedikit lelah jadi dia bersandar ke jendela di sampingnya. Dia masih berusaha memikirkan cara terbaik untuk memberitahu bibinya tentang masalah biaya kuliahnya sebelum dia pergi ke dunia mimpi di mana dia bertemu dengan seekor Unicorn yang bisa berbicara.

Jimin bermimpi. Mimpinya begitu indah sampai dia tersenyum.

Tiga puluh menit kemudian, Jimin bangun dan akhirnya dia melewatkan tepat tujuannya dan harus berjalan kaki untuk pulang. Dasar Jimin ceroboh.

Dia tiba pada pukul sembilan malam dengan segala sesuatunya gelap. Dia mengetuk pintu beberapa kali dan dia bertemu bibinya di depan pintu.

"Hai bibi, hehe, aku minta maaf aku terlambat. Sibuk sekali di restoran." Dia menjelaskan.

"Oh Jiminnie. Tidak masalah. Masuklah. Di luar dingin." Jawab bibinya.

Dia masuk dan bibinya menutup pintu di belakangnya. Bibinya tidak mengatakan apa-apa lagi dan berjalan ke lantai atas. Jimin melihat sesuatu yang aneh dari bibinya. Bibinya tidak seperti biasanya.

Memang bibinya berubah sedikit terlalu banyak setelah dia pindah ke Seoul dan menikah dengan pria yang dia kenal dalam hanya tiga bulan. Dia telah berubah sejak setahun yang lalu. Dia tidak pernah terlihat seperti orang yang bahagia dan dia jarang tersenyum. Jimin selalu bertanya-tanya setelah bertahun-tahun tinggal di Seoul apa dia juga akan berubah.

Tapi, bibinya sangat berbeda hari ini. Dia bisa melihat dengan jelas mata bibinya bengkak. Sepertinya dia sudah menangis sepanjang hari. Apakah karena suaminya?

Jimin tidak pernah benar-benar tahu pamannya. Pamannya dingin. Tentunya bukan tipe pria yang akan membuat bibinya jatuh cinta tetapi, tidak apa-apa.

Cinta tidak memiliki tipe.

Kemudian memutuskan Jimin pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi, dan menghapus makeup-nya dan dia harus tidur. Dia memeluk boneka beruangnya dan dengan segera tertidur. Ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara tentang masalah dirinya sendiri pada bibinya. Dia akan berbicara dengan besok pagi atau hari lain.

.

Jimin sedang mengalami pagi yang buruk. Dia bangun terlambat pagi ini dan dengan bodohnya lupa untuk menanyakan bibinya tentang biaya kuliahnya. Dia buru-buru berlari ke kelasnya. Jimin berharap dosennya terlambat sehingga dia bisa selamat untuk hari ini.

Jimin lupa satu fakta besar bahwa dosen ini akan selalu terlambat. Ugh, dia bisa memiliki lebih banyak waktu tidur atau dia bisa makan sesuatu tadi. Dosen sialan.

Dia memutuskan untuk tidur sebentar dan menunggu. Baiklah, hanya delapan jam menjengkelkan dan membosankan dari Ekonomi yang dia tidak mengerti dan dia akan bebas. Bersabarlah, Jimin. Jimin menghibur dirinya sendiri.

Setelah beberapa menit tertidur, Jimin terbangun karena suara teman sekelasnya yang mengutuk dosen mereka. Oh. Bagus sekali. Dosennya tidak datang. Jimin hanya bisa mendesah kesal. Usahanya untuk datang ke sini sia-sia. Dia tadi hampir membunuh dirinya sendiri dengan mencoba berjalan tanpa bernapas selama sepuluh menit, dia juga berlari dari pintu gerbang ke kelasnya selama sepuluh menit dengan jarak yang lebih dari satu kilometer. Wow. Itu adalah prestasi yang bagus.

"I wonder how many pounds I lost. Ha ha ha. Mari kita membeli makanan mahal untuk merayakannya." Jimin menghibur dirinya sendiri.

Jimin kemudian mengirim pesan singkat kepada Jungkook untuk bilang bahwa dosennya tidak datang. Semenit kemudian, Jungkook menjawab kalau dia masih di sekolahnya mencoba memahami Fisika dan dia mengatakan kepada Jimin untuk diam. Ugh, dasar anak tidak sopan.

Jimin meletakkan ponselnya di sakunya dan berjalan ke kafe yang selalu Yoongi kunjungi. Selain Yoongi, alasan mengapa dia mengunjungi tempat ini adalah karena kafe ini sangat nyaman dan hangat, terutama pada musim gugur. Jimin tidak sabar menantikan musim dingin datang sehingga dia bisa menatap salju turun melalui jendela kafe. Kafe ini memiliki jendela yang besar sehingga dia bisa lihat segalanya di luar kafe. Dia juga suka lingkungan sekitar kafe, kadang-kadang dia melihat orang yang sibuk di jalan. Makanannya juga enak. Like, where on earth could you buy fish cakes cafe? Nowhere but at this cafe.

Jimin mengambil tempat duduk di mana Yoongi biasanya duduk. Dia memesan fish cake favoritnya dan menatap kosong pada piringnya. Dia menunggu kelas berikutnya dan Jungkook menyelesaikan waktu yang membosankan di sekolahnya.

Jimin sempat membayangkan Yoongi yang sedang tersenyum sambil tertawa pelan.

Kemudian, tiba-tiba waktu Jimin terbuang tepat dua jam sama seperti kelas Mr. Jung, yang tidak hadir hair ini, di cafe. Dia melirik jam digital di ponselnya dan memutuskan untuk kembali kampus lagi.

Oke. Sebentar lagi hari ini akan berakhir.

.

Jimin menguap untuk kesekian kalinya di menit-menit terakhir dia duduk di kelas. Dia tidak tahu apa-apa tentang ekonomi secara keseluruhan dan dia tidak memiliki rencana untuk memahaminya. Itu lucu, kan? Aneh, mengapa seseorang memilih untuk mengambil jurusan Ekonomi jika orang itu tidak punya kepentingan dengan itu?

Jimin juga ingin tahu mengapa. Dia bukan murid yang baik. Bahkan setelah menghabiskan 12 tahun belajar yang menyiksa, dia tidak tahu apa-apa dan tidak ada yang bisa menyalahkannya. Dia tidak pernah meminta mereka memberikanya pendidikan yang berlebihan. Tidak ada yang pernah bertanya tentang apa yang dia ingin lakukan. Semua orang terlalu sibuk memberitahu bahwa dia harus masuk ke perguruan tinggi atau dia tidak akan memiliki masa depan apa pun.

Dia di sini karena keluarganya dan semua orang mengatakan bahwa menjadi pekerja kantoran adalah pekerjaan terbaik. Tapi tetap saja, dia tidak mengerti Ekonomi.

Beberapa menit kemudian, kelas berakhir. Jimin segera keluar kelas untuk menelepon Jungkook. Little demon itu harusnya sudah di rumah sekarang.

"Jungkook! Apakah kamu di rumah? Aku masih punya waktu selama 25 menit sebelum aku bekerja. Mari kita makan es krim! Aku akan membayarnya!" Jimin berteriak dengan penuh kegembiraan.

"Ah tidak. Eonnie, aku ada kencan! Aku tidak akan datang bahkan jika kau yang bayar." Jawab Jungkook.

"Apa? SEJAK KAPAN?! Kau tidak pernah memberitahuku. Oh Tuhan aku sangat sedih. Beraninya kau..." Jimin terkejut. Wow, Jungkook berkencan?

"Aish, eonnie, kau adalah orang yang menolak untuk tahu. Aku sudah mengatakan itu sebelumnya. Saat kita pergi ke Disneyland, aku sudah bilang bahwa aku memiliki hubungan dengan salah satu teman Yoongi dan kau tidak percaya padaku!" Jungkook mendengus.

"Hahaha. Oh kau manis sekali, Jeon Jungkook tentu saja aku menolak untuk percaya itu." Jimin tersenyum kecil. Jungkook sangat lucu. Dia bahkan pernah bilang pada Jimin bahwa dia bisa mengenalkan Yoongi padanya.

Itu pasti bohong kan?

"Lihat? Oke, kalau begitu aku ada kencan. Selamat bersenang-senang! Jangan telepon aku!" Jungkook baru saja mengakhiri panggilan saat dia mendengar Jimin menjerit.

"Baik Jungkook. Pergi saja. Kau dapat pergi dan meninggalkan eonnie menyedihkan ini. Ah benar juga. Jangan telepon aku. Mari kita tidak bertemu lagi dan aku..." Jimin berhenti berbicara ketika mendengar Jungkook mengumpat perlahan.

"Oh Tuhan aku akan berada di sana dalam sepuluh menit. Aku benci kau." Kata Jungkook.

Jimin tersenyum lebar dan berkata, "Oh Jungkookie! Aku mencintaimu juga!"

Trik ini selalu berhasil.

Jungkook adalah satu-satunya teman Jimin di kota besar yang disebut Seoul. Mereka memiliki ikatan yang sangat kuat bersama-sama. Jimin dan Jungkook dulu hidup bersama di Busan. Tapi, Jungkook pindah beberapa tahun yang lalu karena orang tuanya. Jungkook masih duduk di kelas dua SMP pada waktu itu dan Jimin sudah di tahun keduanya SMA.

Mereka melakukan perpisahan yang mengiris hati ketika Jungkook meninggalkan Busan. Mereka sempat mencoba untuk menjaga persahabatan mereka dengan mengirimkan pesan tapi gagal karena Jungkook pindah dari apartemennya tuanya ke sebuah rumah yang lebih baik. Jimin pikir itu adalah akhir persahabatan mereka sampai satu hari ibu Jimin meninggal dunia dan Jimin tidak punya pilihan selain tinggal dengan bibinya yang bersedia untuk membayar uang kuliahnya. Jimin pindah ke Seoul dan tiba-tiba menemukan fakta mengejutkan bahwa Jungkook adalah tetangganya. Mungkin itu takdir yang membawa mereka kembali bersama-sama.

Jimin terkejut saat Jungkook akhirnya menjadi salah satu gadis Seoul. Segala sesuatunya canggung saat itu tapi seiring waktu berlalu, mereka semakin dekat. Meskipun, Jungkook bukan sahabatnya manis dan polos lagi. Setiap orang yang pindah dari Busan ke Seoul tampaknya banyak berubah. Hanya Jimin yang belum berubah. Mungkin belum saatnya.

Jimin ingat cuacanya dingin ketika Jimin datang ke Seoul. Yang mengisyaratkan bahwa dia sudah menghabiskan satu tahun di Seoul.

.

Jungkook hampir muak akan Jimin dan rencana gilanya dalam menguntit Yoongi. Dia pernah melakukan hal-hal yang hampir tidak manusiawi dalam menguntit Yoongi ketika dia melakukan hal-hal yang orang-orang di usianya tidak seharusnya tahu. Jimin pernah memintanya untuk menguntit Yoongi ketika dia sedang bermesraan dengan seorang senior yang sangat seksi. Yap, separah itu dan Jungkook tidak bisa bilang tidak pada Park Jimin. Bahkan zombie yang benar-benar bodoh di film menakutkan yang pernah dia tonton tidak akan pernah melakukan itu. Dia bahkan pernah mengambil gambar dari mereka. Itu menjijikkan sekali. Tapi, karena Jimin adalah kakak yang dia cintai lebih dari apa pun, Jungkook selalu mengikuti Jimin.

Mereka sekarang di salah satu klub di Hongdae. Mereka akan menonton beberapa underground rapper. Mengapa? Mengapa mereka melakukan itu? Mereka berdua tidak punya hasrat untuk Hiphop. Tapi Yoongi punya. Min Yoongi cinta Hiphop dengan seluruh hatinya. Jadi itulah alasannya.

"For the love of God, Eonnie kau bilang bahwa kita akan makan es krim!" Jungkook menggerutu.

"Ya, kita pasti akan makan es krim nanti. Hanya saja… Yoongi akan punya satu show di klub ini bersama dengan Bangtan oppa." Jimin menjelaskan dengan senyum manisnya.

Bangtan hanya sekelompok rapper yang memiliki beberapa pertunjukan di Hongdae setiap hari Jumat tapi, mereka benar-benar populer. Kebanyakan gadis di lingkungan ini tergila-gila akan mereka.

"Eonnie! Oh betapa aku berharap aku bisa membunuhmu." Jungkook menyapu matanya ke sekeliling klub. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke tempat seperti ini.

"Eonnie. Jika mereka memeriksa kartu identitasku apa yang harus aku lakukan?! Aku tidak diizinkan untuk datang ke sini," Jungkook menatap Jimin takut setelah melihat sekelompok orang yang sedang mabuk. Jimin masih sibuk mencari Yoonginya.

"Eonnie... Kau tahu bahwa aku tidak diizinkan untuk minum atau bahkan untuk datang ke sini kan?" Jungkook mencoba mengguncang bahu Jimin.

"Ssst, Jungkook. Tidak apa-apa. Klub ini sedang mengadakan pesta untuk semua orang, non-anggota juga dapat bergabung. Semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang akan tahu." Jimin menempatkan lengan kanannya di bahu Jungkook.

Jimin benar. Klub ini benar-benar diisi dengan banyak gadis-gadis cantik yang benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Hiphop. Mereka semua di sini untuk Oppa. Seperti mereka. Itu sedikit menenangkannya.

Tiba-tiba kerumunan gadis-gadis di depannya berteriak dan itu adalah tanda bahwa Bangtan telah tiba. Jimin bergerak cepat ke baris paling depan dari panggung. Bangtan mulai naik ke atas panggung dan Jimin siap dengan kamera ponselnya. Dia melihat Yoongi memakai pakaian serba hitam seperti biasanya. Jimin tersenyum kecil ketika dia melihat beanie baru Yoongi dengan tulisan 'SUGA'. Suga adalah nama panggung Yoongi dan Jimin menyukainya. Sangat menyukainya.

Salah satu anggota, Namjoon berteriak, "A-yo everybody turn up!"

Jimin dan semua orang di ruangan itu berteriak keras.

"Apakah kalian siap untuk Bangtan?" Kali ini anggota lain yang Jimin kenal sebagai Hoseok berteriak.

"Who's here for Bang! Tan!" Yoongi bergabung dan kerumunan di depannya menggila.

"Katakan bersama-sama. Are you ready?" Beat dimulai dan semua orang menjadi liar.
Setiap gadis mengambil kamera mereka untuk merekam atau mengambil gambar. Yoongi melihat mereka. Dia merasa mereka semua bodoh dengan datang dan tidak melakukan apa-apa selain mengambil gambarnya. Tapi, mereka semua adalah penggemarnya, dia hidup dari cinta dan kegilaan mereka termasuk cinta seorang gadis yang sering mengganggunya di barisan depan, Park Jimin. Yoongi tidak menyadari bahwa dia melamun sampai Hoseok datang dan meletakan tangannya di bahunya. Yoongi kembali memusatkan pikirannya dan bergabung acaranya. Sampai dia menemukan bahwa Park Jimin berjalan keluar dari kerumunan. Yoongi mengernyit bingung. Bukannya dia datang untuk melihat Yoongi?

.
Jimin begitu siap di depan panggung sampai ida menyadari bahwa Jungkook sudah tidak berada di sampingnya. Dia lupa untuk menggenggam tangan Jungkook tadi. Ugh, Jungkook hanya seorang anak kecil bodoh yang bertindak seperti dia tahu seluruh alam semesta. Oh tidak. Jimin sangat panik, dia bahkan tidak menyadari suara Yoongi di atas panggung. Hal ini tidak biasa terjadi.

Bagaimana jika Jungkook tertangkap oleh beberapa orang jahat dan diperkosa? Ah tidak. Jimin mencoba menjernihkan pikirannya dari hal-hal negatif. Matanya terus mencari ke sekeliling kerumunan dan setiap sudut klub. Jimin tidak akan memaafkan dirinya snediri kalau terjadi sesuatu pada Jungkook.

"Jungkook!" Jimin menjerit saat melihat Jungkook diseret oleh seorang pria yang dia tidak dia kenal. Dia menabrak semua orang dan mengejar mereka. Jimin sudah sangat dekat tapi seseorang menginjak kakinya dan dia berhenti untuk mengutuk.

"Aww, brengsek." Jimin mengutuk.

"Astaga. Maaf aku tidak melihatmu. Kau harusnya tidak berlari seperti itu." Orang itu menjelaskan.

Jimin membeku di tempatnya. Shit. Dia sangat mengenal suara itu. Itu milik kekasih Namjoon. Kim Seokjin. Oh Tuhan, dia hanya berusaha untuk bersenang-senang. Semuanya tiba-tiba kacau. Dia harus cepat-cepat lari.

"Eum ya. Tidak masalah. Aku baik-baik saja. Hahaha. Permisi." Kata Jimin cepat. Dia sudah siap untuk berlari saat gadis itu menahan tangannya.

"Eh tunggu! Park Jimin? Wow. Aku selalu ingin berbicara denganmu. Siapa yang sangka kita akan bertemu dalam situasi seperti ini?" Gadis itu tersenyum tulus. Jimin tidak tahu harus berkata apa. Gadis itu pasti tahu bahwa dia di sini untuk Min Yoongi.

"Haha, tapi eonnie, aku tidak kenal kau, hehe, maaf aku punya hal-hal penting yang harus dilakukan." Jimin tertawa lemah. Apa yang baru saja dia katakan? Bodohnya.

Park Jimin, itu tadi kasar sekali.

"Ah, Jiminie. Tapi, aku tahu kau. Ikut aku, aku perlu bicara denganmu." Gadis itu tersenyum. Oke. Sekarang Jimin takut. Eonnie ini punya aura jahat yang sulit untuk diabaikan di sekelilingnya.

"Hei, tidak apa-apa. Kau ke sini untuk melihat Bangtan, kan? Aku duduk kursi VVIP. Itu sudut adalah yang terbaik jika kau ingin mengambil foto." Seokjin berjanji. Jimin terdiam. Tidak, dia tidak akan ikut Seokjin. Ini perangkap, Jimin tahu itu. Eonnie ini hanya ingin mengancamnya untuk berhenti menguntit Yoongi. Pasti begitu.

"Kau benar-benar lucu. Aku benar-benar ingin mencubit pipimu. Semuanya akan baik-baik saja. Ayo. Aku akan membelikanmu beberapa minuman." Seokjin memberinya sebuah senyum manis.

"Ah, aku tidak minum, eonnie. Sepertinya aku hanya akan duduk di sini." Jimin berkata sambil tersenyum kecil.

"Oh tidak boleh begitu. Aku bersikeras. Ayo." Dia menarik Jimin ke kursi VVIP.

"Oh. Baik. Aku kira aku akan ikut denganmu…" Kata Jimin, tiba-tiba dia lupa fakta bahwa Jungkook hilang.

"Hahaha, kau adalah yang termanis dari yang termanis. Aku Seokjin, " Seokjin mencubit pipi kiri Jimin.

"Hahaha, aku tahu kok. Aku Jimin."Jimin tertawa.

"Oh gurl, I know." Seokjin mengedipkan sebelah matanya kepada Jimin. Mereka berdua tertawa.

.
Jimin tidak mengerti apa yang terjadi tapi dia menikmati segala sesuatunya. Dia mengambil begitu banyak video dan gambar Yoongi. Seokjin benar. Ini sudut yang sempurna. Walaupun, kursi VVIP ini agak kosong tanpa alasan, Jimin penasaran untuk apa mereka mengosongkan kursi sebanyak ini. Tapi dia tidak punya cukup waktu untuk memikirkan itu. Dia sibuk menatap Yoongi.

"Jimin! Lihat Yoongi!" Dia mendengar Seokjin berteriak.

"Apa, eonnie?" Dia dengan cepat terfokus pada panggung. Yoongi memercikkan air dari air mineral yang dia bawa di tangannya. Jimin menelan ludahnya. Oke, mungkin dia salah! Akan lebih baik jika dia ada di bawah sana. Yoongi bisa memercikan air dari botol yang baru saja dia minum! Itu akan lebih menakjubkan.
Jimin bahkan tidak siap saat dia melihat Yoongi melakukan kejahatan paling gila yang pernah dilakukannya dengan menuangkan air sialan itu ke atas kepalanya sendiri sambil menggelengkan kepalanya dengan seksi dan bermain dengan kengerian yang Jimin suka yaitu lidahnya. Yoongi menjilat bibirnya dengan seduktif dan seketika Jimin rasanya mau lompat ke bawah kerumunan di bawahnya.

Jimin berteriak keras. Cukup keras untuk didengar oleh Yoongi dari atas panggung meskipun ada musik keras dan bising di sekitarnya.

Di sisi lain Yoongi melihat Jimin. Dia sangat terkejut saat melihat Jimin dengan Seokjin karena mereka tidak mengenal satu sama lain, sejauh yang Yoongi tahu. Tapi, dia diam dan bertindak seperti dia tidak melihat Jimin.

Gadis itu punya seribu satu cara untuk menguntit Yoongi. Yoongi seharusnya tidak terkejut.

Mini konser terus berlangsung sampai Jimin menyadari satu hal penting. MANA JUNGKOOK? Dia tiba-tiba menjadi tidak stabil dan Seokjin memanggilnya cemas.

"ASTAGA! EONNIE, AKU LUPA SATU HAL PENTING!" Jimin berteriak. Dia memang terlalu banyak berteriak dalam satu malam.

"Oh baiklah. Dan apa itu? " Seokjin bertanya perlahan-lahan.

"Aku pergi ke sini dengan seorang teman. Dia adalah teman terbaikku tapi aku kehilangan dia tadi ketika aku bertemu denganmu, aku sedang mencarinya. Tapi aku bodoh, aku lupa." Jimin hampir menangis. Seokjin menatapnya bingung. Oke. Ini aneh dan random. Seokjin hampir menganggapnya sebagai lelucon jika dia tidak melihat mata berair Jimin.

"Apa? Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti sama sekali." Seokjin panik. Jimin hampir menangis. Jika dia ingin menangis maka pasti ini masalah penting. Jadi, dia meraih Jimin dan memeluknya.

"Oke... Ambil napas dalam-dalam." Seokjin berkata pelan untuk menenangkan dan Jimin.

"Sekarang, katakan padaku apa yang salah. Perlahan-lahan." Kata Seokjin sambil membelai rambut Jimin.

"Temanku, eonnie. Dia hanya masih di bawah umur. Aku memaksanya untuk datang ke sini denganku. Aku kehilangan dia. Aku melihatnya dengan seorang pria tadi. Aku takut. Oh bagaimana aku bisa lupa?" Kata Jimin. Dia akhirnya menangis.

"Ya Tuhan. Tidak, jangan menangis." Seokjin menangis bersamanya. Dia tidak tahan. Dia akan menangis jika dia melihat seorang yang lucu dan manis menangis dan Jimin adalah gadis yang benar-benar imut: lucu dan manis.

"Eonnie, ini semua kesalahanku. Bagaimana jika dia dalam bahaya… bagaimana kalau-" Jimin menangis lebih keras.

"Oh, tidak, tidak. Dia akan baik-baik saja. Aku kenal beberapa penjaga di sini. Aku akan meminta mereka mencarinya, oke? Aku juga akan meminta Namjoon untuk membantu. Dia kenal sebagian besar orang di sini." Seokjin memeluk Jimin erat. Mereka berdua menangis sampai Namjoon tiba.

"Jin... Apa yang terjadi?" Tanya Namjoon. Tapi Seokjin tidak menjawabnya. Dia terus memeluk Jimin erat dan menangis bersama Jimin.

"Kenapa menangis?" Kata Namjoon cemas.

"Namjoon... Jimin kehilangan temannya." Seokjin berkata sambil terisak

"Oke Jin. Bisakah kau memberitahu siapa Jimin? Aku agak bingung di sini." Namjoon berkata perlahan. Dia sangat khawatir. Seokjin jarang menangis. Tapi begitu dia menangis, itu akan memakan waktu setidaknya satu jam baginya untuk berhenti.

"Ugh Namjoon! Jimin adalah bayi kecil yang lucu yang sedang aku peluk ini. Lihat dia, Namjoon. Dia begitu lucu, kan? Betapa kejamnya dunia ini bisa membuat gadis semanis dia menangis? Aku tidak percaya ini." Kata Seokjin dan dengan itu segala sesuatunya akhirnya klik di pikiran Namjoon. Seokjin pernah bilang pada Namjoon bahwa dia akan mencoba bicara dengan Jimin dan dia benar-benar melakukannya. Tapi tiba-tiba menjadi bencana saat teman Jimin hilang atau apa pun itu. Namjoon tidak mengerti.

"Baik. Sekarang, apa namanya? Atau siapa namanya? Aku akan meminta para penjaga mencarinya." Namjoon perlahan mengusap punggung kekasihnya.

"Ladies, aku tidak dapat membantu kalian kecuali kalian memberitahuku namanya." Dia berkata dengan lembut agar gadis-gadis di depannya berhenti menangis. Dia begitu frustrasi hingga untungnya dan sialnya, Yoongi dan Hoseok datang ke tempat duduk mereka. "Jin noona! Apakah kau lihat kami tadi? We totally killed it, right?" Kata Hoseok riang berharap Seokjin akan beteriak riang dan memujinya sampai dia melihat dua orang gadis menangis keras. Hoseok menatap Yoongi, Yoongi jelas tidak senang.

"Hahaha... Eh? Apa yang terjadi?" Dia bertanya dan Yoongi masih sibuk dengan menjadi tidak senang. Hoseok tidak mendapat jawaban sama sekali. Dia memberikan sinyal sedih yang berbunyin, 'please help me' untuk Namjoon. Tapi, Namjon menggeleng bingung.

"Maaf, tapi aku butuh tempat dudukku." Kata Yoongi datar.

"Ya Tuhan!" Jimin tahu suara itu dan dia segera bangkit.

"Eonnie, aku minta maaf aku harus pergi. Aku akan menemukan temanku sendiri. Terima kasih. Kau adalah orang yang benar-benar baik." Katanya sambil menyeka air matanya.

"Aku benar-benar menyesal." Jimin menatap semua orang di ruangan itu kemudian membungkuk. Setelah satu lirikan terakhir untuk Yoongi, dia lari ke pintu keluar.

"Jiminnie tunggu! Kau tidak bisa pergi seperti itu!" Seru Seokjin. Tapi, Jimin telah menghilang ke kerumunan orang-orang di bawah. Semua orang menajdi bingung kecuali Min Yoongi, dia hanya memutar matanya sambil santai duduk di sofa kemudian meneguk alkoholnya.

Terserah.

.
Jimin berlari secepat yang dia bisa. Ini adalah ide yang buruk. Semuanya adalah ide yang buruk. Dia seharusnya mengabaikan Seokjin eonnie, dia tidak boleh berbicara kepada teman-teman Yoongi. Ini semua mimpi buruk.

Sekarang Yoongi akan lebih membencinya. Jimin tahu Yoongi membencinya walaupun mereka bahkan tidak berbicara satu sama lain. Jimin tahu itu dari tatapan mata Yoongi setiap kali mereka bertemu. Mengapa tidak bisa dia hanya berbicara dengannya seperti yang orang normal akan akan lakukan dan menjadi temannya? Dia harusnya melakukannya. Tapi, dia takut dibenci atau diabaikan oleh Yoongi.

Jimin berlutut di suatu tempat dekat klub dan menyandarkan punggungnya di dinding di belakangnya. Dia mendapat tatapan aneh oleh beberapa pejalan kaki yang berlalu-lalang. Who the hell cares! Pikirnya

"Oh Tuhan! Jeon Jungkook." Jimin bangun mulai panik lagi. Dimana Jungkook sekarang? Dia menangis lagi berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi kepada temannya. Dia harus kembali ke klub. ya, dia akan pergi ke sana lagi. Tidak peduli apa yang terjadi dia harus menemukan Jungkook.

"Eonnie? Mengapa kau menangis?" Jimin berhenti terisak saat dia mendengar suara Jungkook. Dia mendongak dan menemukan Jungkook merunduk di depannya.

"Jungkook! Oh Tuhan. Aku menemukanmuu!" Jimin menjerit dan bergegas memeluknya.

"Ew, no. Aku menemukanmuu." Kata Jungkook kesal tapi dia balas memeluk Jimin.

"Kau tidak akan percaya apa yang terjadi padaku... Jungkook, aku sangat takut bahwa aku akan kehilangan kau selamanya." Dia memeluk Jungkook lagi.

"Ya. Ya aku bisa melihat dengan jelas bahwa kau khawatir setengah mati." Jungkook mengejek.

"Serius. Jungkook, kau perlu lebih sopan kepadaku. Aku dua tahun lebih tua darimu!" Protes Jimin. "Sekarang, katakan padaku apa kau baik-baik saja?" Nada suaranya melunak.

"Stop. Aku melihatmu dengan Seokjin di kursi VVIP. Kau tidak dapat menipuku." Jungkook berkata ketus kemudian dia melepaskan dirin dari pelukan Jimin.

"Apa... oh..." Jimin menatap kakinya. Ya, Jimin memang keterlaluan tadi.

"Sekarang, kau tidak bisa mengatakan apa-apa? Aku akan pulang." Jungkook mendengus sambil berjalan pergi.

"Tidak Jungkook. Aku serius. Aku bisa menjelaskan semuanya kepadamu." Jimin mengikuti Jungkook.

"Hem, ceritakan semuanya kalau begitu," kata Jungkook sambil meletakkan tangannya di dadanya.

"Eum Itu... Arrgghh! Kau tidak akan percaya betapa bodohnya aku." Jimin menampar pipinya sendiri.

"Kau memang bodoh. Aku tahu itu, apa yang baru dari itu?"Jungkook mengejek lagi.

"Ya Tuhan, ampunilah anak ini!" Jimin menggeleng. Jungkook hanya tertawa.

"Pokoknya aku melihatmu dengan seorang pria yang aneh di sana!" Tambah Jimin.

"Uh? Apa? Tidak, aku tidak bertemu dengan siapa pun di sana. Bagaimana aku tahu seseorang di klub itu? Aku bahkan tidak akan berada di sana jika kau tidak menyeretku ke sana." Kata Jungkook dalam satu tarikan napas. Kemudian dia berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang.

"Aku kehilanganmu makanya aku mencarimu. Aku melihatmu di kursi VVIP kemudian berjalan keluar klub karena aku tidak bisa melakukan apa-apa di sana. Aku pergi untuk membeli es krim. Kau sudah berjanji kau akan membelikan aku es krim. Fin." Dia berkata lagi. Jimin melihat sesuatu yang aneh. Rasanya seperti Jungkook sedang berbohong padanya. Ini hanya terjadi pada teman terbaikmu… kau akan menangkap sebuah kebohongan dari tatapan temanmu. Tapi, Jimin membiarkannya karena alibi Jungkook itu terlalu kuat dank arena dia merasa bersalah pada Jungkook.

"Baiklah." Jawab Jimin.

"Now, you will you stop beating around the bush, please? I need to know what happened. C'mon spill the beans!" Jungkook menatap Jimin cuiga.

"Eum, eonnie, ingin memberitahumu segalanya tapi sekarang... Eonnie tidak bisa pulang. Bibiku akan marah..." Jimin sengaja menggantung kata-katanya dan membuat ekpresi sedih.

"Oh tidak. Don't go there!" Teriak Jungkook.

"TIDAK! Please Jungkook. Bolehkan aku menginap malam ini, please! Katakan saja pada bibiku dan ibumu bahwa aku membantumu belajar tes masuk perguruan tinggi, oke?" Jimin cemberut sambil memegang tangan Jungkook.

"Things I do for you Park Jimin. Ya ampun." Jungkook mendesah.

"Oh, aku tahu kau mencintaiku, cutie." Jimin memeluk Jungkook lagi.

"Ew, no. Fuck off. Aku tidak ingin bicara denganmu." Jungkook mencoba untuk membebaskan dirinya.

"Aku juga mencintaimu!" Jimin mencium pipi Jungkook. Mereka berdua terus berbincang dan menggila saat mereka berjalan pulang.

.

Kembali di klub, di mana Namjoon masih berusaha untuk membuat Seokjin tenang. Hoseok benar-benar menikmati pemandangan di depannya, saat Namjoon sedang stres dan Yoongi, menjadi Yoongi yang biasanya, dia hanya bermain dengan ponselnya. Yoongi bergerak sedikit dari tempat duduknya untuk meraih botol bir baru. Kemudian, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan satu gelas lagi untuk dirinya sendiri.

Saat Yoongi berjalan ke tempat duduknya dia melihat sesuatu, sebuah dompet yang jelas bukan milik Jin karena waranya bukan merah muda. Dompet itu berwarna biru langit dengan karakter kartun kekanak-kanakan yang dia tidak tahu. Yoongi membukanya dan melihat nya foto di dalamnya di samping kartu identitas pemilik dompet. Dia mendesah keras. Kartu identitas yang dilihatnya adalah gambar seorang gadis muda dengan senyum malu-malu yang dia kenal terlalu baik.

Yoongi hanya tersenyum kecil kemudian dengan santai meletakkan dompet itu di saku hoodie hitamnya. What a clumsy girl you are, Park Jimin.

Yoongi bertanya-tanya bagaimana gadis itu bisa pulang tanpa uang atau mungkin dia sedang menangis di luar mencari dompetnya. Terserah. Dia tidak peduli. Dia sudah cukup baik untuk tidak membuang dompet itu. Tapi, dia juga tidak akan benar-benar berbicara dengan gadis itu dan mengembalikan dompetnya. Tidak, Yoongi tidak akan pernah berbicara dengannya. Dia akan melupakan dompet sialan ini dan menikmati sisa malam. Dia akan memikirkannya nanti.

Yoongi bersandar ke sofa hitam di sebelahnya dan perlahan-lahan menutup matanya. Ini adalah hari yang sangat melelahkan baginya. Dia menerima beberapa telepon dari ibunya yang memintanya pulang ke rumah. Dia tidak sadar dia sudah tinggal di Seoul selama tiga musim gugur, tiga tahun. Dia merindukan Daegu: kampung halamannya, ibunya, kamarnya dan segala sesuatu. Tapi, dia tidak bisa kembali. Tidak sekarang. Dia perlu waktu. Ayahnya perlu lihat dia berhasil.

Yoongi sangat lelah akan semuanya. Dia baru saja akan tertidur saat seseorang memanggilnya.

"Hyung-nim, you killed it! Wow!" Dia mendengar seseorang berteriak.

"Get lost, Kim Taehyung. Aku sedang tidak mood." Yoongi berkata tanpa membuka matanya.

"Yah, hyung! Kau menyebalkan. Aku sangat bangga padamu tahu!" Taehyung berkata dan duduk di samping Yoongi.

"Suck it for yourself. Aku tidak melihatmu menonton. Pembohong." Kata Yoongi dengan ekspresi datar seperti biasanya, mata masih tertutup.

"Hahaha. Hyung, aku menyaksikan pertunjukannya! Aku tidak menonton seluruh pertunjukannya tetapi aku melihatmu." Taehyung membela diri. Taehyung hanya merengek ketika melihat Yoongi bahkan tidak mengatakan apa-apa. Right. Yoongi selalu seperti ini.

"Hahaha, that must be suck to be you, Tae." Hoseok bergabung dengan percakapan mereka.

"Tidak, hyung. Jangan begitu. Kau harus jadi pelindungku. Kau mencintaiku!" Taehyung merengek lagi.

"Baiklah. Aku melihatmu dari panggung, Taehyung," Jawab Hoseok dengan sebuah senyuman.

"See? Yoongi hyung! Aku menontonnya." Kata Taehyung pada Yoongi. Tapi, tetap tidak ada respon.

"...Dengan seorang gadis yang matanya besar seperti boneka dan lucu seperti kelinci. Siapa gadis itu, Tae? Aku menyukainya." Hoseok menambahkan sambil mengedipkan matanya ke Taehyung.

"Hah! Now, we're talking." Yoongi berkata penuh semangat ketika dia akhirnya mendengar sesuatu yang cukup menarik baginya untuk membuka matanya. Taehyung tidak dapat berkata-kata dan Hoseok tahu dia tepat sasaran.

"Gadis apa?" Seokjin menyela mereka semua dan Namjoon hanya bisa tertawa.

"Hahaha. Aku ingin tahu nomor teleponnya, please." Hoseok menggoda Taehyung lebih lagi.

"That's none of your business, Hyung." Semua orang melihat nada suara Taehyung berubah. Taehyung tiba-tiba menjadi serius.

"Whoah! Having a serious relationship here, Taehyungie?" Hoseok tertawa sedikit terlalu keras.

"Seolah-olah dia memiliki hubungan apa pun." Kata Yoongi mengejek dan tertawa untuk sementara waktu.

"Tidak, aku serius. Tidak ada yang bisa mendapatkan dia." Taehyung berkata tegas.

"Oke, Tae. Kami mengerti. Sekarang beritahu kami siapa dia." Perlahan Seokjin berbicara.

"Dia seseorang adik kelas dari SMA kita, noona. Dia lulus tahun depan. Dia berencana untuk masuk jurusan musik di Kyunghee seperti kita." Taehyung tersenyum.

"Ahh! Aku ingin bertemu dengannya! Apakah dia lucu? Aku benar-benar suka anak-anak yang lucu, kau tahu," Seokjin menjerit.

"Ya, dia manis sekali. Tapi, aku pikir ini belum saatnya untuk memperkenalkan dia ke temanku." Taehyung tersenyum lagi, kali ini pahit. Namjoon dan Yoongi saling memandang, mereka berdua terkejut.

"Kau yakin kau sedang serius di sini?" Tanya Yoongi.

"Ya, Tae. Aku agak penasaran apa yang kau cari dalam hubungan serius? Maksudku, kau tahu, they suck." Namjoon tertawa keras.

"Oh begitu, kalau begitu kita tidak serius. Oke, Namjoonie. Aku mengerti." Seokjin mengeluh kesal.

"Apa? Tidak Itu bukan apa yang aku maksud, princess. Tentu saja, aku serius." Namjoon mencoba menjelaskan.

"Tidak apa-apa jika kau tidak serius. Aku juga tidak serius. Jadi, ya tidak masalah." Kata Seokjin mengejek.

"Bukan itu yang aku maksud. Aku hanya bercanda, oke?" Namjoon mencoba menenangkan Seokjin sedikit.

"Ya. Seluruh keberadaanku juga lelucon." jawab Seokjin lagi.

"Tidak seperti itu, Jinnie. Dengar..." Namjoon berhenti ketika dia melihat Seokjin menangis.

"Astaga. Jangan menangis. Maafkan aku." Namjoon menariknya ke pelukan.

Semua orang tiba-tiba terdiam. Yoongi hanya memutar matanya malas sementara, Taehyung dan Hoseok berusaha untuk tidak menertawakan Namjoon.

Yoongi mendesis. Tiba-tiba dia bertanya-tanya apakah dia akan berkencan dengan seseorang di masa depan. Dia benci menjalanin hubungan roamantis. Mungkin dia akan hidup sendiri selamanya.

Seokjin terus mengeluh sambil menangis dan dengan itu, Namjoon dan yang lainnya tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.

.

.

.

a/n: Project baru. GS. Hahaha. _

Ada yang minat? As always, sorry for typo. Makasih udah baca ^^