Doumo, minna-san. Ai-chan come back again *nebar bunga*. Sebenarnya sekarang saya sedang mode ingin melakukan sesuatu karena sedang berada di minggu terakhir libur sebelum masuk semester 5. Setelah melihat ulang beberapa episode dari Conan, akhirnya saya punya ide untuk membuat sebuah fanfic. Dan, terinspirasi dari OVA 9 Conan, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil ide cerita dari OVA tersebut. Well, semoga bisa menghibur para readers sekalian. Let's start the movie.

Summary : Sepuluh tahun berlalu, selama itu pula Haibara terus berusaha untuk membuat antidote dari APTX-4869 dan selama itu pula Conan terus menjadi kelinci percobaan dari Haibara. Sepuluh tahun berlalu, Haibara maupun Conan kini sudah kembali tumbuh ke tubuh asli mereka sebelum mengecil. Apa semua akan baik-baik saja? Bagaimana dengan tanggapan orang-orang yang dulu kenal dengan Shinichi Kudo? Apakah Haibara dan Conan aman dari teror Black Organisation?

Disclamer : Meitantei Conan is mine *devil laugh* #ditimpuk Gosho Aoyama-sensei

Rating : T

Pairing : Haibara Ai/Miyano Shiho dan Edogawa Conan/Kudo Shinichi

Warning : OOC, AU, OOT, Gaje, Typo

~ Meitantei Conan ~

Ten Years After

Suasana sekolah di sore hari adalah yang terbaik. Ketenangannya bisa membuatku fokus untuk melakukan pekerjaanku.

Perkenalkan, namaku Miyano Shiho. Aku adalah mantan anggota dari sebuah organisasi hitam. Saat aku berada di organisasi tersebut, aku menjabat sebagai ilmuan. Dan karena keterlibatan orang tuaku dalam organisasi tersebut, aku harus meneruskan apa yang telah mereka teliti.

Untuk beberapa alasan, aku berencana megakhiri hidupku sendiri dengan obat yang sedang aku teliti. Itu yang ku pikirkan, sebelum aku tahu ternyata obat yang sedang ku teliti adalah obat yang bisa membuatku menyusut sepuluh tahun lebih muda.

Dan aku berakhir dengan keadaanku yang menjadi seorang anak SD dengan identitas baru. Ya, saat ini namaku adalah Haibara Ai.

Sepuluh tahun berlalu, dengan begitu aku kembali lagi ke bentuk asalku sebelum meminum APTX-4869. Aku yang sekarang adalah seorang siswi SMA berumur 17 tahun.

Selama sepuluh tahun terakhir, aku terus mencoba untuk membuat antidote dari APTX-4869, untungnya aku punya teman untuk ku jadikan kelinci percobaan.

Sebut saja Edogawa Conan. Dia punya masalah yang sama denganku, karena dia sempat terlibat masalah dengan Gin dan Vodka—anggota dari organisasi hitam—dan dia berakhir dengan dipaksa minum APTX-4869.

Setelahnya, kalian pasti paham apa yang terjadi.

Edogawa Conan, untuk banyak alasan dia ingin sekali kembali ke tubuh aslinya sebelum meminum obat yang ku buat. Ya, tentu saja dia ingin kembali. Pada dasarnya dia punya seseorang yang selalu menunggunya.

Selama sepuluh tahun aku terus meneliti, untuk membuat antidote yang berefek permanen untuk orang yang meminumnya. Tapi, aku masih belum mendapat jawabannya.

Conan—ah, tidak—Edogawa-kun atau mungkin bisa ku sebut Kudo-kun, selama sepuluh tahun dia berkali-kali meminum antidote yang ku buat. Hasilnya? Masih tetap sama. Efek dari antidotenya tidak lebih dari 24 jam.

Dan, atas permintaan darinya juga, meskipun saat ini kami sudah kembali ke tubuh awal kami, tapi Kudo-kun masih tetap ingin kembali ke tubuh awalnya—jika tidak mengecil, saat ini dia mungkin berumur 27 tahun.

"Haibara," suara seseorang terdengar mengaung dalam lab yang sedang ku gunakan.

Tanpa mengalihkan pandangan untuk melihat siapa yang datang, aku bisa menebaknya. Suara langkah kaki itu sudah terlalu sering ku dengar. Dan tentunya hanya ada satu orang yang berani menggangguku saat aku sedang berada di lab.

"Aku sudah mengatakannya kepadamu, bukan? Jangan ganggu aku saat aku sedang berada di lab," ucapku segera menaruh tabung reaksi pada tempatnya, ku alihkan pandanganku pada orang yang semula ku punggungi, "dan kau tidak berhak masuk lab jika kau tidak menggunakan jas lab, Kudo-kun."

Ku lihat Kudo tersenyum tanpa rasa bersalah, "Aku tidak berniat menganggumu. Ini sudah sore, sebaiknya kita pulang."

Ku gelengkan kepalaku dan menyilangkan tangan, "Sejak kapan kau jadi orang yang perhatian terhadapku? Menjijikkan."

Kudo menatapku dengan pandangan bosan, "Orang bakal curiga jika kau berlama-lama di lab. Tidak menutup kemungkinan para anggota organisasi itu terus mengejarmu meskipun sudah sepuluh tahun berlalu."

"Dan saat ini, tubuh kita sudah kembali seperti sedia kala," lanjutnya.

Aku menghela nafas dan berjalan mendahului Kudo. Semakin lama kenal dengannya, entah kenapa dia jadi banyak bicara.

"Hey, kau tidak peduli denganku?" Kudo mengikuti langkahku. Namun, dia memutuskan untuk berjalan di belakangku.

"Aku sudah mendapat ijin untuk memakai lab di sekolah sesuka hatiku—ya, meskipun aku harus mambayarnya dengan membuat sekolah ini menang dalam lomba sains. Kau sendiri yang memintaku," ucapku melepas jas lab dan menaruhnya di lemari khusus, ku tatap Kudo dengan pandangan datar, "dan aku menuruti permintaanmu. Bersyukurlah akan hal itu."

Kami berdua terus berpandangan dalam posisi yang sama. Lama membeku dengan posisi tersebut, akhirnya aku memutuskan untuk bergerak terlebih dahulu.

Bertatapan dengan Kudo memang bisa membuat hatiku tenang. Tapi, di sisi lain aku juga tidak mau merasakan hal tersebut.

Pemuda yang selalu berada di sampingku tersebut punya alasannya sendiri kenapa dia peduli kepadaku. Dia berbuat baik kepadaku tidak lain karena memang dia ingin mendapatkan antidote permanen.

Tidak lebih dari itu, jadi aku tidak mau berharap.

"Iya, aku tahu kau melakukannya atas permintaanku. Tapi, bukannya terlihat menakutkan jika kau terus-terusan berada di dalam lab?" kini Kudo berlari mengejarku, dia sudah mulai berani menyejajarkan jalannya denganku.

Untuk kedua kalianya aku menghela nafas, "Ada banyak hal yang harus ku teliti, Kudo-kun. Karena sudah berkali-kali meminum obatnya, tubuhmu menjadi tidak terpengaruh lagi oleh antidotenya. Oleh karena itu aku meneliti hal lain yang kemungkinan berhasilnya lebih tinggi."

Tidak ada tanggapan dari Kudo. Untuk beberapa saat suara langkah kami berdua lah yang meramaikan suasana dalam koridor yang sedang kami lewati.

"Aku tahu kau berusaha keras untuk hal itu," Kudo menyilangkan tangannya di belakang kepala dan mendongkak, "tapi, sekali-kali kau harus pergi ke ruang klub untuk menemui teman-teman. Mereka mengkhawatirkanmu."

Tanpa ku sadari, ujung bibirku terangkat sedikit.

Aku jadi teringat sesuatu. Mungkin sudah lama juga aku tidak menemui Yoshida-san, Tsuburaya-kun dan Kojima-kun. Sepertinya besok aku harus menemui mereka.

Setelah masuk SMA, kami berlima—sebenarnya aku dan Kudo tidak begitu tertarik—sepakat membuat sebuah klub sekolah dengan nama 'Klub Detektif'. Ya, kalian pasti sudah paham.

Di tahun pertama aku memang masih sering ke ruang klub, tapi semenjak masuk tahun kedua mungkin aku lebih sering berada di lab. Walau di jam istirahat sekalipun.

"Aku akan datang ke ruang klub jika ada orang yang menyeretku ke sana," ucapku sengaja tersenyum menantang. Kudo hanya membalasnya dengan wajah bosan.

Ku naikkan bahuku tidak peduli, "Baiklah, untuk besok tujuanku saat istirahat adalah lab. Tidak ada yang lain."

"Seharusnya aku paham kalau kau adalah orang paling menyebalkan yang pernah ku kenal," ucap Kudo terlihat tidak habis pikir.

Aku menatapnya dan tersenyum, "Tentu saja, ku pikir kau sudah cukup lama mengenalku."

...

"Haibara!"

Satu seruan itu berhasil membuat sumpit yang ku pegang mengambang di udara. Dengan bosan, ku tolehkan kepalaku ke sumber suara.

Kudo menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah mata kami bertemu, dia menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak menyangka orang sepertimu akan melanggar aturan, Haibara," ucapnya berjalan menuju meja tempat aku membuka makan siangku.

Ku turunkan kembali sumpitku, "Ya, kadanag ada gejolak anak muda dalam diriku yang ingin melanggar peraturan," ucapku sekenanya.

"Hey, sejak kapan kau ingin menjadi orang yang mencolok dengan melanggar peraturan?" tanya Kudo duduk di depanku—di seberang meja.

Kini perhatianku sukses tertuju pada Kudo, "Ada perlu apa?" tanyaku tidak berminat membahas tentangku yang melanggar peraturan.

Ngomong-ngomong, pasti kalian sudah paham bahwa saat kita masuk ke dalam lab, kita tidak boleh membawa makanan ataupun minuman.

Ekspresi Kudo tiba-tiba berubah, "Kemarin kau bilang tidak akan datang ke ruang klub jika tidak ada yang menarikmu ke sana, bukan?"

Dengan malas ku tutup kembali bento milikku, "Jadi, kau ke sini hanya untuk hal itu?"

Sebenarnya aku tidak serius saat mengatakan tidak mau datang ke ruang klub jika tidak ada yang mengajakku. Aku tidak bermaksud untuk menjadi orang yang menyendiri. Hanya saja hari ini aku belum ada mood untuk datang ke sana.

"Ayolah, Haibara. Kau sudah terlalu lama berada di lab. Lupakan sejenak tentang..."

Tiba-tiba saja Kudo menghentikan ucapannya. Dengan wajah penuh tanya, dia mulai memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan mengeluarkan sebuah ponsel.

Sepertinya dia mendapat e-mail.

Tidak berapa lama kemudian, Kudo membelalakkan mata. Pemuda tersebut tetap terpaku pada layar ponselnya. Aku baru sadar bahwa tangannya bergetar tidak kentara. Dengan gerak pelan, mata Kudo mulai beralih menatapku.

Ekspresi itu, jangan bilang...

"Ada apa, Kudo-kun?" tanyaku merasa tegang juga.

Mulut Kudo terbuka sedikit, dia pun berbisik, "Ran..."

Jantungku berdetak tak karuan. Jangan bilang para anggota organisasi menyakitinya. Oh, tidak.

"Ada apa dengannya?" dengan tidak sabar ku condongkan diriku.

Tidak biasanya aku melihat Kudo seperti ini, jika terjadi sesuatu pada gadis itu, dia tentunya akan panik dan khawatir. Tapi, selama ini dia tidak pernah menunjukkan ekspresi sama seperti sekarang.

Sesuatu yang buruk pasti terjadi.

"Ran telah dilamar Araide-sensei," gumam Kudo seperti orang tak benyawa.

Mataku terbelalak, sudah pasti. Akhirnya hal yang ditakutkan Kudo selama ini terjadi juga. Kudo sudah pergi terlalu lama dari kehidupan gadis tersebut. Tidak heran akan ada lelaki yang ingin memiliki Mouri Ran.

Ya, gadis itu memang pantas untuk diperebutkan banyak orang.

Ku tarik nafas pelan-pelan, mencoba untuk menenangkan diri. Sebenarnya aku merasa ingin mengutuk diriku sendiri karena ada rasa lega dalam hatiku. Maksudku, secara tidak langsung aku merasa bahagia.

"Ran baru saja mengabariku, dia mengirim e-mail ke ponsel Shinichi," lanjut Kudo masih seperti orang kehilangan nyawa.

Aku hanya bisa diam dan terus memperhatikan Kudo. Di mataku, pemuda tersebut sangat terlihat berantakan. Bahkan dalam waktu secepat ini, pengaruh gadis itu memang sangat besar untuknya.

"Dia tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya memberi kabar bahwa dia telah dilamar. Sepertinya dia tidak ingin bertemu denganku lagi."

Nafsu makanku tiba-tiba hilang. Melihat Kudo yang seperti mayat hidup membuat mood-ku menjadi jelek.

"Kudo-kun..." ucapku mencoba tenang, aku pun berdiri, "mau menemuinya?"

Mata Kudo beralih mengikutiku. Aku tersenyum kecil dan berjalan ke arah ujung ruangan tempat aku menyimpan berkas penelitianku.

"Aku punya antidote untukmu. Memang aku masih belum tahu hasilnya, tapi ku rasa efeknya akan lebih lama dari biasanya," ku tarik sebuah laci dan mengambil botol kecil berisi antidote APTX-4869, "ambil ini."

Tanpa berbalik untuk menatap Kudo, ku tunjukkan botol tersebut.

Tidak ada tanggapan dari Kudo, perlahan ku putar tubuhku berniat untuk mencarinya di meja yang ku tinggalkan tadi.

Aku terkejut saat tahu Kudo sudah berdiri di belakangku. Matanya tertuju pada botol yang kini ku genggam. Setelah cukup lama hening, matanya bergerak untuk menatap mataku.

"Berhentilah meneliti, aku sudah tidak membutuhkan obat itu lagi."

Secara mengejutkan Kudo berbalik dan meninggalkan diriku dalam kesunyian. Oh, tentu saja aku pantas mendapatkannya. Aku lah yang menjadi akar permasalahan dari masalah Kudo.

Jika aku tidak pernah meneliti tentang APTX-4869, dia tidak akan pernah menyusut sepuluh tahun lebih muda. Jika dia tidak menyusut, dia pasti bisa bahagia dengan gadis yang dia sukai tanpa harus menerima kabar yang tidak menyenangkan seperti hari ini.

Ku genggam botol berisi antidote ini keras-keras. Aku baru sadar dadaku terasa tersengat menyakitkan. Secara mengejutkan sudah mulai banyak tetesan air mata yang jatuh dari pipiku.

Jadi, dalam kesunyian di ruang lab ini, aku meruntuki diriku sendiri yang menjadi orang tidak berdaya. Aku memang tidak berguna.

...

"Ah, Ai-chan, akhirnya kau datang juga ke ruang klub," ucap Yoshida saat setelah aku menampakkan diri.

Tsuburaya dan Kojima serempak melihatku dan tersenyum.

"Sepertinya kau sedang sibuk ya, Haibara?" tanya Kojima masih tersenyum, tangannya segera tersilang di depan dada.

"Ku pikir Haibara-san tidak perlu bekerja sekeras itu untuk bisa menang dalam olimpiade. Untuk ukuran anak SMA, otak Haibara-san dalam sains sudah seperti seorang ilmuan profesional," itu tanggapan dari Tsuburaya.

Aku hanya diam dan menunduk. Aku memang sengaja ke ruang klub untuk memperlihatkan batang hidungku, tapi tidak untuk berbincang dengan mereka.

Lagipula, mood-ku masih belum kembali sepenuhnya, aku masih merasa kesal. Daripada nanti aku marah-marah tidak jelas, lebih baik aku diam.

Mungkin karena sudah terbiasa menghadapi sifatku, ketiga temanku tersebut hanya menatapku. Setelah ku rasa-rasa sepertinya mereka terus menatapku, jadi ku perhatikan mereka.

Yoshida dan Tsuburaya terlihat khawatir. Kojima sendiri menatapku dengan pandangan penuh tanya sekaligus menyelidiki.

"Kau baik-baik saja, Ai-chan?" tanya Yoshida terlihat makin khawatir.

Ah, seharusnya aku tadi masuk dengan ekspresi datar. Sepertinya efek tangisanku masih tersisa, mungkin saja saat ini wajahku terlihat mengenaskan.

"Aku baik-baik saja," ucapku menghela nafas.

Yoshida segera menatapku penuh maklum. Tsuburaya sendiri terlihat tidak terima dengan tanggapanku. Tapi, dia tetap diam saja.

"Ngomong-ngomong, Conan ke mana, ya? Tidak biasanya Haibara datang ke ruang klub, sekarang saat Haibara datang, malah Conan yang menghilang," seperti tidak tertarik lagi dengan keadaanku, Kojima mulai memperhatikan sekeliling.

Yoshida sendiri terlihat baru sadar bahwa Kudo sedang tidak berada di ruang klub, "Benar juga. Biasanya Conan-kun akan datang ke ruang klub saat makan siang."

"Aku tadi bertemu dengannya, sepertinya dia sedang ada urusan. Jadi, dia ijin untuk pulang lebih cepat," jelasku.

Mengingat hal tersebut membuat dadaku terasa sakit kembali. Wajah Kudo yang tidak bisa ku baca ekspresinya sungguh menggangguku. Dia tidak seperti Kudo yang biasanya. Baru kali ini dia memperlakukanku seperti itu.

Sekali lagi aku mencoba untuk menyadarkan diri. Aku adalah akar dari masalah yang dihadapi Kudo. Tidak heran jika dia marah kepadaku. Sudah sepantasnya aku mendapatkan hal itu.

"Eh, jadi Conan-kun tidak akan kembali ke sekolah lagi?" seru Yoshida terdengar protes, "padahal dia sudah janji akan berkumpul berlima setelah lama tidak berkumpul bersama."

Tsuburaya menatap Yoshida prihatin, "Ya, yang kita bicarakan adalah Conan-kun, dia memang selalu melakukan hal itu, bukan?"

Yoshida menggembungkan pipinya tidak terima. Namun, sepertinya dia tidak protes dengan pendapat Tsuburaya.

"Kalau sudah begini, bagaimana? Cuma berkumpul berempat?" tanya Kojima setelah keadaan di dalam ruangan klub hening.

Aku sebenarnya tidak suka beralasan, tapi hari ini aku benar-benar tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Keadaanku sedang tidak stabil. Aku takut akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak nantinya.

"Atashi wa pass," ucapku mengibaskan tangan di udara, "ada hal yang harus ku lakukan di lab. Lebih baik kita menunggu sampai Edogawa-kun bisa berkumpul."

Nada protes segera dilontarkan Yoshida, Tsuburaya dan Kojima. Namun, aku tidak mempedulikan hal itu. Seperti yang sudah-sudah, mereka bertiga tidak pernah protes—secara lisan (baca : berbicara)—jika berurusan denganku.

Anak-anak penurut nan baik hati.

...

Malam sudah larut saat aku terbangun.

Sepulang sekolah tadi diam-diam aku langsung pulang ke rumah tanpa dipergoki oleh Yoshida, Tsuburaya dan Kojima. Dengan begitu, mereka tidak akan menarikku pergi—jika saja mereka memutuskan untuk berkumpul sepulang sekolah.

Sesampainya di rumah, aku beruntung karena Profesor Agasa sedang tidak ada di rumah, jadi aku tidak perlu menjelaskan apapun agar aku dipersilahkan untuk tidur.

Dengan malas ku benarkan letak tidurku dan menarik kembali selimut yang semula menyibak. Aku mungkin tidak berniat tidur lagi, tapi aku juga tidak mau terlihat sedang terjaga.

Jadi, ku putuskan untuk memejamkan mata.

Baru beberapa menit aku mendapatkan ketenangan, tiba-tiba saja pintu kamarku diketuk oleh seseorang.

"Ai-kun, kau masih tidur?" terdengar suara profesor dari balik pintu.

Aku tidak berminat untuk menjawabnya, jadi aku tetap diam. Meskipun aku sudah tidur cukup lama, tapi mood-ku sama sekali belum berubah.

"Ada seseorang yang sedang mencarimu, jika kau sudah terjaga, lebih baik kau keluar kamar dan menemui orang tersebut," ucap Profesor Agasa sebelum terdengar suara langkah kaki menjauh dari kamarku.

Aku menghela nafas. Siapa orang yang mencariku di jam larut begini? Kenapa dia tidak datang besok? Toh, besok sekolah sedang libur.

Sambil menarik kaki menuju pintu kamar, ku sempatkan diriku untuk melihat keadaanku sendiri lewat cermin.

Keadaanku terlihat sedikit berantakan, tapi aku tidak berniat untuk merapikannya. Lebih baik begini, agar orang yang menemuiku tidak ingin lama-lama melihatku.

Dengan wajah bosan segera ku buka pintu kamarku.

Aku terkejut saat merasa ada sebuah ketukan yang bersarang di dahiku. Ketukannya cukup keras sampai-sampai membuat bunyi yang terdengar tidak menyenangkan. Selanjutnya, aku bisa merasa dahiku berkedut sakit.

Kudo terlihat panik saat mendapatiku berdiri di depan pintu kamar sambil mengelus pelan dahi yang baru saja dia ketuk. Dengan tampang sebal ku balas tatapannya.

"Jadi, kau ingin menemuiku malam-malam begini hanya untuk mengetuk dahiku keras-keras?" ucapku sebal.

Kudo mundur beberapa langkah dan mengangkat tangannya di depan dada, "Maaf, Haibara, tadi itu benar-benar tidak sengaja," ucapnya terdengar masih panik.

Aku mengangguk memberikan tanda perdamaian. Jadi, segera ku silangkan tanganku dan bersandar di pintu, "Ada apa?"

Gerak-gerik Kudo sekilas terlihat seperti orang tegang. Wajahnya terlihat tidak yakin, matanya menatap mataku dengan siratan ragu.

Setelah lama saling bertukar pandangan, akhirnya Kudo menunjukkan senyumnya. Bukan senyum angkuh ataupun bahagia. Dia tersenyum lemah.

"Tadi, aku menemui Ran dan mengatakan kalau aku adalah Kudo Shinichi," ucap Kudo sukses membuatku terbelalak dan langsung menegakkan punggung.

"Lalu?" tanggapku cepat. Ini benar-benar gila, tidak ku sangka Kudo akan melakukan hal ini saat dia sedang tertekan.

Kudo menekuk bibirnya dalam-dalam sebelum berkata, "Ran mengakui bahwa semakin aku beranjak dewasa, wajahku jadi makin mirip dengan Shinichi. Tapi, dia mengatakan agar aku tetap menjadi pribadiku sendiri."

Aku terus menatapnya dalam diam. Ini benar-benar gila. Kudo telah membahayakan dirinya sendiri, dan tentunya membahayakan gadis tersebut.

Karena tidak segera ku tanggapi, Kudo pun melanjutkan, "Dia bilang bahwa dia telah menunggu Shinichi selama sepuluh tahun, jadi, kenapa dia tidak menunggunya selama sepuluh tahun lagi."

Mungkin terlihat samar, tapi aku yakin sekali ada cahaya lega bercampur gembira di mata Kudo. Aku bisa mengerti perasaanya. Dia pasti tidak menyangka akan mendapatkan jawaban itu.

"Jadi, Mouri-san menolak lamaran Araide-sensei?" tanyaku mencoba untuk kembali rileks.

Kudo menatapku penuh arti. Dia tersenyum dan mengangguk.

"Untunglah, aku turut bahagia," ucapku santai. Memang ada gejolak tidak menyenangkan dalam dadaku. Tapi, melihat Kudo yang bisa tersenyum membuatku tenang.

"Terima kasih," ucap Kudo tulus, dia jadi sedikit pendiam selama beberapa saat sebelum merubah mimiknya menjadi gugup, "sebenarnya aku ke sini tidak hanya ingin memberi kabar itu."

Oke, perasaanku menjadi tidak tenang setelah mendengar ucapan itu. Jangan bilang Kudo telah melamar Mouri juga.

"Aku mau minta maaf kepadamu."

Oh, akhirnya dia mengatakannya juga. Membayangkan Kudo akan mengatakan hal tersebut langsung di depan mataku rasanya membuatku ngeri. Tapi, sebisa mungkin aku mencoba untuk tidak terlihat gugup.

"Maaf karena tadi aku mengatakan hal yang tidak sopan kepadamu, tapi sekarang sepertinya aku masih membutuhkan antidote yang kau teliti," ucap Kudo gugup sambil menggaruk belakang kepalanya.

Aku terbelalak sejenak. Sepertinya aku sudah terlalu stres karena bisa memikirkan hal yang tidak-tidak. Setelah ini akan ku pastikan aku akan tidur dengan tenang. Aku butuh istirahat.

Jadi, agar tidak terlihat gugup aku pun menjawab, "Tidak masalah. Aku juga tidak berniat berhenti dalam meneliti antidote itu."

Tiba-tiba saja Kudo menghambur dan memelukku. Aku tidak bisa mengelak karena dia bergerak begitu cepat. Karena posisiku saat ini yang sedang tidak seimbang, kami berdua akhirnya terdorong jatuh.

Seperti tidak peduli dengan posisi kami saat ini, Kudo memelukku semakin erat.

"Haibaraaa~ kau memang temanku yang paling pengertian," serunya terdengar gemas, masih dengan mode memelukku erat, Kudo menarik mukanya dan mengecup pipiku.

Aku terpaku. Setelah sadar dengan apa yang dia lakukan, Kudo pun terdiam. Matanya mulai bergerak untuk menatapku.

Dengan gerak cepat Kudo menarik dirinya dan duduk di lantai. Masih dengan wajah salah tingkah dia menjulurkan tangannya, "Maaf, aku tidak bermaksud..."

Aku menghela nafas dan menerima uluran tangannya, "Hentai."

Seperti tidak terganggu dengan ucapanku, Kudo terkikik geli, "Maaf saja, aku terlalu lega karena kau tidak marah kepadaku."

"Lebih tepatnya lega karena aku masih mau membuat antidote," ralatku menatapnya datar, "lagipula tidak ada gunanya marah kepadamu."

Kudo tersenyum, "Kau memang partner-ku. Terima kasih."

"Kau harus membayar mahal untuk ini," ucapku menatap Kudo penuh arti.

Kudo membalasku dengan tatapan yang sama, "Tentu saja."

...

Suara dering ponsel memekik di telingaku. Pagi hari yang seharusnya menjadi akhir pekan yang tenang diramaikan dengan suara ponselku.

Seharusnya aku tidak menyalakan ponsel saat liburan. Akan ku ingat-ingat ini.

Masih dengan mata tertutup, ku ulurkan tanganku untuk mencari ponselku. Masih dengan mata tertutup juga, segera ku terima panggilan telepon tersebut.

"Haibara!"

Belum sempat aku berkata 'moshi-moshi' terlebih dahulu suara dari orang di seberang sana meneriakiku. Dari suaranya, aku bisa menebak orang yang telah menghubungiku adalah Kudo.

Dia benar-benar menjengkelkan akhir-akhir ini.

"Aku tebak saat ini jam belum menunjukkan pukul tujuh," jawabku asal, jujur saja aku kesal.

"Untung saja masih sempat," ucap Kudo terdengar terengah, sepertinya dia sedang berlari—terdengar dari angin ribut yang mengganggu speaker ponselku, "kau masih di rumah profesor, kan?"

Dengan malas aku beranjak duduk, "Tentu saja, kenapa aku harus pergi dari rumah profesor?"

"Kunci pintu kamarmu, cepat! Sebelum aku datang, jangan bukakan pintu untuk siapapun. Jika aku sampai, aku akan... ah, nanti saja, sekarang cepat tutup pintumu!"

Mau tidak mau aku merasa bingung dengan kelakuan Kudo. Dia sedang ngelindur apa ya, pagi-pagi sudah panik.

"Ceritakan dulu, sebenarnya ada apa?" tanyaku turun dari kasur dan mulai melangkah menuju pintu.

"Aku baru saja mendapat panggilan, dari Vermouth," suara Kudo terdengar semakin samar-samar, nafas pemuda tersebut mulai putus-putus, "ini mungkin terdengar berbahaya, tapi pastikan kunci dirimu di kamar. Cek jendela dan segala sesuatu yang sekiranya bisa dimasuki orang."

Langkahku terhenti, tanganku yang semula akan memegang kunci pintu mengambang di udara.

Vermouth? Dia adalah anggota organisasi hitam, dan dia adalah salah satu orang paling yang berbahaya dalam organisasi tersebut.

"Apa yang dia katakan kepadamu?" tanyaku terbata. Rasa takut perlahan mulai menyelimuti tubuhku.

"Beberapa anggota dari organisasinya akan datang menculikmu. Mereka ingin memastikan apakah kau adalah Miyano Shiho yang telah menghilang selama sepuluh tahun terakhir," jelas Kudo, "aku mencoba untuk menghubungi profesor, tapi tidak bisa. Tapi, aku sudah menhubungi Subaru-san."

Dengan tangan bergetar ku kunci pintu kamarku. Cepat-cepat aku bergerak menuju jendela, memastikan bahwa jendela tersebut terkunci dengan baik.

"Bagaimana dengan kau, mereka pasti juga mengincarmu," ucapku mencoba untuk tenang meskipun jantungku mulai berpacu dengan cepat.

"Aku... tidak usah usah khawatir. Untuk saat ini nyawamu lah yang paling terancam," nafas Kudo terdengar semakin kacau, "aku sudah dekat, setelah ini aku akan memutus teleponku untuk menghubungi Subaru-san. Untuk sekarang, sembunyikan dirimu di suatu tempat agar tidak terlihat orang lain."

Aku tidak segera menanggapi. Hal ini terlalu cepat terjadi. Membuatku mau tidak mau mengingat kenangan saat aku berada di organisasi tersebut.

Saat ku pikir sambungan telepon dari Kudo sudah terputus, aku mendengar suara lemah dari speakerku.

"Jangan khawatir, aku akan melindungimu."

Itu ucapan terakhir Kudo sebelum sambungan telepon kami putus. Mendengar hal itu, hatiku terasa menghangat. Setitik keberanian bersarang pada dadaku. Sekuat tenaga aku berteriak dalam hati, aku harus menjadi orang yang kuat dan berani seperti Kudo.

"Kudo-kun, ku harap kau baik-baik saja."

Dengan segala kewaspadaan, ku perhatikan sekeliling sekali lagi, aku tidak mau lengah. Bisa saja para anggota organisasi sudah menyusup ke kamarku saat aku terlelap.

Jadi, dengan hati-hati aku mulai berjingkat dan menundukkan kepalaku untuk melihat kolong tempat tidur. Clear!

Di dalam kamarku tidak ada persembunyian lain selain kolong tempat tidur dan lemari. Jadi, aku mulai berjingkat lagi mendekati lemari.

Tanganku bergetar hebat saat terjulur di depan lemari. Aku bermaksud membukanya, tapi memikirkan kemungkinan terburuknya membuat nyaliku menciut.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil nafas dalam-dalam terlebih dahulu. Detik berikutnya ku buka pintu lemari dengan gerak cepat.

Aku hampir saja berteriak saat sebuah futon bergulir keluar dari lemariku. Ah, aku bersyukur itu hanya futon. Dengan begini, lemari aman.

Cepat-cepat aku memperhatikan sekeliling lagi, tidak ada tanda-tanda orang lain di sekitarku. Jadi, dengan cepat aku masuk ke dalam lemari untuk menyembunyikan diri.

Seperti yang dikatakan Kudo, ini mungkin terlihat menakutkan, tapi aku tidak punya jalan lain lagi selain bersembunyi di sini.

Kudo, ku harap kau datang secepatnya.

...

Cukup lama aku menunggu di dalam lemari. Sebisa mungkin aku tidak mempedulikan keluh yang terus bercucuran dari wajahku. Di luar keadaan memang sedang dingin, entah kenapa di dalam lemari rasanya panas sekali.

Karena keadaan sedang hening, aku bisa mendengar suara aneh dari luar lemari. Dengan perasaan was-was, ku beranikan diri untuk mengintip keadaan di luar melalui celah lemari.

Kamarku masih terlihat tenang dan tidak ada siapapun. Apa tadi aku salah dengar?

Tapi, setelah cukup lama hening, aku mendengar suara seseorang sedang berbisik.

"Code name A.I, Adler Irene, tanggapi aku."

Adler Irene? Salah satu karakter di novel Sherlock Holmes. Itu pasti Kudo.

Memang tidak seharusnya aku percaya dengan begitu saja, tapi jika aku terus bersembunyi di sini, aku juga tidak akan aman.

Karena tidak ada pilihan lain, aku segera keluar dari lemari dan bergerak cepat menuju pintu—ku usahan dengan sangat agar langkahku tidak menimbulkan suara.

Ku tempelkan telingaku di daun pintu, "Irene menanggapi, sebutkan code name-mu."

"Code name King Arthur, atas petintah raja, Irene, buka pintunya."

Oh, aku akan mengingat ini, aku harus memukul Kudo saat keadaannya sudah kembali aman.

Jadi, perlahan ku putar kuncinya. Mungkin tidak seharusnya aku membuang-buang waktu, tapi aku juga harus tetap hati-hati.

Ku pegang kenop pintunya dan menarik nafas. Dengan gerak cepat ku buka pintunya dan segera memposisikan diri seperti orang siap menembak. Aku tidak berniat bercanda, tapi jika yang berada di balik pintu adalah anggota organisasi, ku harap mereka tertipu dengan trikku.

Kudo terlihat terkejut dengan reaksiku. Di sampingnya, Subaru-san berdiri waspada sambil memunggungiku—aku bersyukur dia tidak melihat aksi memalukanku.

"Haibara," saat ku dengar Kudo menyebut namaku, aku tidak bisa menahan air mataku dan segera menghambur ke arahnya.

Untungnya Kudo tidak protes saat aku memeluknya tanpa ijin. Mengejutkan sekali saat ku rasa dia mengelus rambutku pelan sambil berbisik 'yosh-yosh'.

"Kita harus cepat bergerak sebelum mereka datang," ucap Subaru-san seperti tidak tertarik melihatku ketakutan.

Ya, tapi dia ada benarnya juga. Jika kita tidak segera bergerak, itu akan lebih menguntungkan lagi untuk para anggota organisasi.

Aku mengangguk menyetujui. Ku tatap Kudo yang menatapku balik dengan penuh keyakinan. Dia memang hebat. Sudah seharusnya dia merasa tenang di saat seperti ini, dia pasti tahu aku akan ketakutan.

Jika dia yang menjadi harapanku juga ikut merasa takut, tentu keadaannya akan menjadi lebih buruk lagi.

Baru saja kami bertiga akan bergerak, namun kegiatan kami segera berhenti saat melihat profesor keluar dari kamarnya.

"Profesor," ucap Kudo memecahkan keheningan yang sempat terjadi.

"Kenapa kalian semua ada di sini?" tanya profesor bingung, dia mengalihkan pandangannya ke arahku, "Ai-kun, ada apa?"

"Begini profesor..." saat Kudo mencoba untuk menjelaskan, tiba-tiba saja Subaru-san merentangkan tangannya—seperti menahan Kudo agar tidak berbicara lebih lanjut.

Kudo menatap Subaru-san dengan pandangan bingung. Ku lihat dia segera membelalakkan mata. Jadi, aku berinisiatif mengikuti arah pandang Kudo.

Sebuah pergerakan mulut tanpa suara yang ku tangkap dari Subaru-san membuatku ikut terbelalak.

Tanpa di komando, Kudo segera menarik tanganku dan berlari secepat kilat menuju pintu keluar yang sepertinya sengaja di buka. Saat kami berdua akan melewati pintu, terdengar suara tembakan dari belakangku.

Keadaan terakhir yang ku lihat adalah Subaru-san mengarahkan pistol ke arah profesor. Sebenarnya ada apa?

...

Setelah lama berlari, akhirnya Kudo memilih untuk berhenti sebentar di sebuah jalan yang ramai. Dia segera memanggil taksi kosong tak lama kemudian.

Jadi, saat ini aku dan Kudo sedang berada di dalam taksi. Kudo menjelaskan kepada supirnya agar berkendara terus, meskipun tanpa tujuan. Dia sendiri saat ini sedang sibuk berkutat dengan ponselnya.

"Ah, aku tidak punya pilihan lain," ucapnya terdengar frustasi.

Setelah mengutak-atik layar ponselnya, dia menghela nafas dan menempelkan ponsel tersebut ke telinganya.

"Moshi-moshi, kaa-san," gumam Kudo terdengar serius, "aku sedang membutuhkan bantuan. Apa ibu sedang berada di Jepang sekarang?"

Kudo kelihatan sedikit lega setelah lama hening, "Untunglah, ibu sekarang ada di mana?"

Kudo menganggukan kepala setelah dia mendapatkan jawaban, "Terima kasih, aku dalam perjalanan ke sana."

"Tolong antar kami ke Asakusa," ucap Kudo sebelum mengalihkan pandangan ke aku, "kau bawa ponsel?"

Segera ku ambil ponselku dari saku piama—bahkan aku lupa kalau sedang mengenakan baju ini.

"Matikan ponselnya sebelum ada orang lain yang melacak GPS kita," ucap Kudo sembari mematikan ponselnya sendiri, dia mendekatkan dirinya dan berbisik di telingaku, "tidak menutup kemungkinan anggota organisasi itu tahu ke mana kita pergi. Setelah sampai di Asakusa, kita akan mendapat bantuan dari ibu untuk menghapus jejak."

Aku mengangguk dan segera mematikan ponselku, "Bagaimana dengan Mouri-san?" tanyaku dengan nada yang sengaja dijaga.

Kudo menggigit ibu jarinya dan menatap pemandangan di luar dengan tajam, "Kita bicarakan nanti. Aku harap Subaru-san bisa keluar dari rumah profesor dan ikut membantu."

Ah, Subaru-san. Aku baru sadar tadi aku meninggalkan orang itu tanpa tahu apa yang sedang terjadi.

"Ku lihat tadi dia mengacungkan pistolnya ke profesor," ucapku mengingat-ingat kejadian yang terjadi begitu cepat di depan mataku.

"Dia, orang yang keluar dari kamar profesor sepertinya adalah salah satu anggota organisasi," jelas Kudo masih menatap gusar jalanan yang kami lewati, "Subaru-san sadar ada bayangan lain di dalam kamar profesor, kemungkinan besar profesor sudah ditangkap."

Jantungku berdetak dengan kencang. Profesor sudah ditangkap?

"Mereka adalah orang yang pintar menyamar, Haibara. Subaru-san punya insting yang kuat untuk mengetahui hal itu," Kudo menghela nafas berat, "sejak awal aku juga curiga mereka sudah menangkap profesor."

"Mereka..." suaraku terbata, "Profesor Agasa dan Subaru-san, mereka akan baik-baik saja, kan?"

Kudo terdiam sejenak. Dia memejamkan mata dan menghela nafas pelan, "Kita tidak bisa berharap lebih dari itu."

...

"Jangan murung seperti itu," ucap ibu Kudo sambil menyerahkan secangkir teh untukku dan untuk Kudo, "Yu-chan sudah bergerak setelah Shin-chan menghubungiku. Untuk sementara kalian akan aman di sini."

"Ibu, apa ibu mendapat kabar dari Ran?" tanya Kudo menatap ibunya penuh harap.

Ibu Kudo terlihat tidak yakin, namun dia tersenyum juga, "Kabar terakhir yang diberikan Yu-chan adalah kabar dari Subaru-kun yang untungnya bisa keluar dengan selamat dari rumah profesor Agasa. Ya, meskipun dia harus terluka karena sempat baku tembak."

Ku sesap isi cangkir yang ku bawa. Aku memang masih khawatir, tapi setidaknya aku lega orang yang telah menyelamatkanku bisa selamat dari kejaran organisasi hitam.

"Kalau sudah begini, semua orang yang kita kenal tidak akan selamat," ucapku pelan setelah lama hening.

Secara bersamaan pasangan ibu dan anak itu menjadikanku pusat perhatian.

"Seharusnya tadi aku menyerahkan diri agar hidup kalian tidak dalam bahaya," ku alihkan pandanganku, aku tidak berminat lagi untuk bertatap muka dengan pasangan ibu anak itu.

"Jika kau menyerahkan diri, lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Kudo dengan nada dingin, "hasilnya akan sama saja, Haibara."

Aku tidak menanggapi ucapan Kudo. Memang jika dipikirkan lagi, aku tidak bisa menjamin keselamatan orang-orang yang dekat denganku.

"Aku sudah menghubungi Jodie-sensei. Dia sudah berada di Jepang beberapa hari yang lalu karena ada tugas. Ku pikir, Jodie-sensei juga akan segera menghubungi pihak FBI untuk meminta bantuan," ucap Kudo diakhiri dengan helaan nafas berat.

"Baguslah, Shin-chan, gerakmu cepat sekali," ucap ibu Kudo terdengar lega, "untuk saat ini tunggu kabar dari Yu... tunggu dulu, aku dapat e-mail dari Yu-chan."

Punggungku menegak. Tanpa aku sadari aku menoleh penuh minat dan menatap ibu Kudo. Kudo sendiri juga melakukan hal yang sama. Kami berdua kini menunggu kabar tersebut dalam diam.

"Sepertinya Yu-chan perlu bantuanku untuk menyelamatkan Ran-chan dan yang lainnya. Dan juga, Yu-chan sekarang sudah bergabung dengan beberapa anggota FBI. Untuk sementara Subaru-kun tidak bisa lanjut dalam misi," jari ibu Kudo terus bergerak menyentuh layar ponselnya.

"Menurut penjelasan dari Subaru-kun, Profesor Agasa masih hidup, meskipun sekarang jadi tawanan organisasi itu," lanjutnya terus terpaku menatap layar ponsel sebelum menatap Kudo dan aku secara bergantian.

Segera ku pusatkan perhatianku pada Kudo. Pemuda tersebut terlihat berpikir keras.

"Aku akan ikut ibu membantu ayah," ucap Kudo pada akhirnya.

Ibu Kudo segera menggelengkan kepala tidak setuju, "Kau harus tetap di sini, Shin-chan. Lagipula, Ai-chan menjadi tanggung jawabmu untuk saat ini."

"Pergilah, Kudo-kun. Aku akan baik-baik saja," mungkin terdengar tidak masuk akal aku mengatakan hal itu. Pada kenyataanya suaraku terdengar bergetar saat berbicara.

"Tidak bisa!" secepat kilat pasangan ibu dan anak itu berseru serempak.

Kudo menghela nafasnya, "Ibu benar, aku tidak bisa meninggalkan kau di sini sendirian. Itu terlalu berbahaya."

"Baiklah, sudah diputuskan. Karena aku tidak punya banyak waktu lagi, jadi aku harus segera bergerak," ucap ibu Kudo mulai berkemas, "aku akan meninggalkan ponselku agar kita bisa terus memberi kabar. Jika terjadi sesuatu pada kalian saat ku tinggal, tolong segera kabari Yu-chan."

"Ibu dan yang lainnya akan baik-baik saja, kan?"

Kudo benar-benar terdengar khawatir. Mungkin dia merasa sedikit tidak berguna karena dia harus menemaniku di sini, dalam arti dia tidak ikut andil dalam 'perang' yang sepertinya akan terjadi sebentar lagi.

Ibu Kudo tersenyum dan mengelus pelan ujung kepala Kudo, "Jangan khawatir, kita semua saling melindungi satu sama lain," dia beralih menatapku, "Ai-chan, mungkin ada Shin-chan yang akan menjagamu, tapi kau harus tetap kuat menghadapi mereka, ya?"

Aku tersentak. Mungkin sedari tadi wajahku memang menunjukkan rasa takut yang amat sangat. Pasti sangat menyedihkan.

Ku coba untuk tersenyum meksipun rasanya sulit sekali, "Aku akan berusaha. Terima kasih."

Ibu Kudo menghambur ke arahku. Dia memelukku erat dan segera mengecup keningku sebelum dia melepaskan pelukannya. Hal yang sama juga ia lakukan pada Kudo.

"Jaga diri kalian, aku berangkat dulu," pamitnya saat sebelum menghilang dari balik pintu.

...

Sudah berjam-jam aku dan Kudo terdiam di dalam ruangan ini, dan selama itu pula kami tidak melakukan apapun.

Setelah Ibu Kudo pergi untuk membantu suaminya, kami belum mendapat kabar apapun. Kemungkinan terbesar mereka sudah memulai perangnya. Tidak akan ada orang yang sempat untuk memberi kabar.

Aku yakin sekali bahwa hal ini akan terjadi—para agen FBI dibantu dengan orang terdekat Kudo memburu para anggota organisasi. Tapi, aku tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi secepat ini.

Untukku yang menjadi mantan anggota merasa sedikit takut. Aku tahu para agen FBI tidak lemah—begitu juga dengan orang terdekat Kudo—tapi, organisasi hitam itu terlalu kuat untuk diremehkan.

Bahkan selama aku menjadi anggota di sana, aku tidak tahu siapa akar dari organisasi hitam tersebut—aku tidak tahu siapa ketua mereka. Bukan kah hal itu terlalu menakutkan? Kami belum punya banyak informasi untuk bisa menjatuhkan organisasi itu.

Aku beralih menatap Kudo, pemuda tersebut terlihat meringkuk di kursi. Wajahnya yang sedikit menunduk menunjukkan ekspresi serius—dia sedang berpikir keras. Terkadang tanpa dia sadari, Kudo menggigit ibu jarinya sendiri.

"Kudo-kun," panggilku, membuat orang yang ku maksud menatapku.

Alisnya bertaut serius, "Ya?" jawabnya dengan pancaran mata yang tidak bisa ku artikan.

"Menurutmu mereka akan selamat? Untuk pihak kita yang tidak punya banyak informasi, tentu akan sangat dirugikan saat perang terjadi," aku tidak bermaksud mengkeruhkan suasana, tapi hal ini perlu dibahas juga.

Kudo terlihat sedikit tersentak. Dia menegakkan punggung dan menatapku serius, "Kita tidak punya pilihan lain, Haibara. Mereka sudah mau terang-terangan bergerak, tidak mungkin kita diam saja."

Aku menghela nafas, "Baiklah, jika kau pikir hal ini benar," aku menatapnya dengan pandangan yang tak kalah seriusnya, "jadi, aku akan bertanya. Apa kau siap kehilangan mereka?"

Kudo membelalakkan matanya. Dia turun dari kursi dan berdiri dengan tangan terkepal. Saat mulutnya terbuka akan berbicara, aku menyela terlebih dahulu.

"Itu kemungkinan terburuk, Kudo-kun. Kau tidak boleh lari dari hal itu."

Kepala Kudo menunduk secara perlahan. Tangannya yang terkepal mulai terbuka. Dengan gerak pelan dia mundur beberapa kali dan duduk kembali di kursinya.

"Aku mungkin terlihat egois, Haibara. Tapi, ku harap tidak ada korban dari kejadian ini."

Ku perhatikan Kudo lama, "Benar juga," ucapku setelah beberapa detik hening, "ku pikir juga lebih baik tidak ada korban di kejadian ini."

Saat aku dan Kudo mulai sibuk dengan pikiran masing-masing, pintu ruangan yang sedang kami tempati diketuk oleh seseorang.

"Shin-chan, ini ibu. Tolong buka pintunya, ada perubahan rencana," terdengar suara dari balik pintu.

"Ibu? Apa maksudnya perubahan rencana?" tanya Kudo sambil berjalan mendekati pintu.

"Kita sedang terdesak. Para anggota organisasi itu benar-benar licik. Ayah mengirim ibu ke sini untuk membawa kalian ke tempat yang lebih aman."

Aku terbelalak. Sudah ku duga semua hal ini akan terjadi. Sekarang aku benar-benar berharap tidak ada kabar yang lebih buruk setelah ini.

Kudo terpaku di depan pintu. Meskipun itu Kudo, aku yakin pemuda tersebut juga terkejut. Kekuatan organisasi hitam memang tidak bisa diremehkan.

Seperti sadar dengan keterkejutannya, Kudo segera membuka pintu. Mungkin terlalu cepat untuk ditangkap mata orang biasa, namun aku bisa melihat Kudo terbelalak dengan cepat. Pemuda tersebut merentangkan tangannya tanpa menatapku.

"Haibara, lari!" teriaknya dengan wajah tegang.

Lari? Bagaimana bisa aku lari? Ini bangunan tinggi—gedung pencakar langit. Dan kami berada di tengah-tengah gedung ini.

Jalan satu-satunya untuk keluar adalah pintu di hadapan Kudo.

Tapi, mungkin saja ada jalan rahasia. Jadi, aku segera berdiri dan bergerak berlawanan arah dari tempat Kudo.

Baru tiga langkah, terpaksa aku menghentikan langkah saat mendengar suara tembakan. Aku berbalik untuk melihat ke sumber suara namun pandanganku segera kabur. Detik berikutnya aku merasa punnggungku menempel dengan lantai.

Semua terjadi begitu cepat sampai aku merasa tertindih sesuatu. Ku perhatikan Kudo berada di atasku sambil memejamkan mata, dia terlihat menahan sakit.

"Yare-yare, aku tidak akan menembakmu jika kau mau menurut, silver bullet-kun," ucap seseorang mendekati kami berdua.

Vermouth! Aku tidak bisa menahan rasa terkejutku. Jangan bilang Gin dan Vodka juga bersamanya saat ini, mungkin menunggu di parkiran.

Ku cengkram baju Kudo kuat-kuat. Pemuda tersebut berusaha untuk duduk sambil menutup luka dari tembakan yang diberikan oleh Vermouth.

"Kau sudah berjanji untuk tidak mengejar kami lagi," ucap Kudo dengan nada yang tidak bisa ku mengerti.

Merasa disalahkan, Vermouth mengankat tangannya, "Tenang dulu, cool guy, ini bukan ideku. Jadi, jangan menganggap aku melanggar perjanjian kita," dia menurunkan tangannya untuk meletakkan pistol ke sarungnya, "aku hanya anggota, bos menyuruh kami untuk menghabisi kalian berdua."

Vermouth tertawa sambil memperhatikan kami. Aku yakin sekali dia melakukan itu karena baik aku maupun Kudo berekspresi sama—terkejut dan membelalakkan mata.

"Sepertinya bos merasa terancam karena kau terlalu mengejar organisasi kami. Apalagi setelah mendapat laporan dari Gin dan Vodka, bahwa Sherry masih hidup di bawah perlindungan polisi, hal itu semakin membuat bos gusar," ucap Vermouth berjalan dan duduk di kursi yang semula ku duduki.

"Dan tentunya," lanjut Vermouth menjadikan Kudo sebagai pusat perhatian, "sejak Gin dan Vodka tahu orang yang mereka pikir sudah terbunuh di tangan mereka masih hidup, semuanya menjadi semakin panas."

Kudo terlihat menahan geram. Aku sendiri sekuat tenaga berusaha untuk tetap tenang, meskipun pada kenyataannya badanku terasa kaku karena terlalu tegang.

Vermouth kembali dengan senyumnya, "Jangan takut begitu, Sherry, silver bullet-kun, bos memang memberikan perintah untuk menghabisi kalian. Tapi, aku punya rencana yang lebih menarik lagi."

Wajah tegang Kudo perlahan terlihat semakin tenang. Dengan pandangan mata yakin, dia membalas tatapan Vermouth, "Apa rencanamu?"

Vermouth terlihat begitu puas dengan tanggapan dari Kudo. Perlahan dia turun dan mendekatkan dirinya pada Kudo.

"Ikut aku, jika kalian ingin hidup lebih lama lagi," ucapnya setengah berbisik.

Kudo terlihat sangat tenang, tanpa berkedip sama sekali dia terus memperhatikan Vermouth yang balas menatapnya. Setelah cukup lama dalam posisi tersebut, Kudo menganggukan kepalanya,

"Vermouth, bukannya bos memberi perintah agar segera menghabisi mereka berdua?"

Suara yang begitu tidak ingin ku dengar menggema dalam ruangan ini, tidak perlu melihat siapa orang tersebut, aku bisa tahu siapa orangnya.

Vermouth sendiri terlihat sedikit terkejut sebelum dia berbalik untuk menatap Gin yang sedang berdiri di pintu sambil menodongkan pistol ke arah Kudo.

Senyum khas dari Gin tersungging, "Aku tidak menyangka akan melakukan kejahatan yang sama padamu.. Kudo Shinichi."

Mata Gin beralih menatapku, "Dan juga, aku tidak menyangka, Sherry, kau akan bekerja sama dengan polisi dan FBI untuk menghancurkan kami."

"Tunggu dulu, Gin. Aku yang menemukan mereka pertama kali, biarkan aku berbicara dengan mereka," ucap Vermouth terdengar seperti membela kami, tapi apapun itu, aku yakin dia melakukannya demi kepentingannya sendiri.

Dengan begitu, mata Gin kini beralih menatap Vermouth. Dua orang tersebut terus bertatapan. Membuat keadaan di dalam ruangan ini menjadi lebih tegang lagi. Cukup lama hening, dan selama itu pula Gin terus menodongkan pistolnya ke arah Kudo.

Pelan-pelan tangan Kudo bergerak mendekati tanganku. Dia terlihat berusaha untuk tidak melakukan gerakan kentara agar perhatian Gin tidak teralihkan dari Vermouth.

Kudo segera meremas tanganku saat tangannya berhasil menggenggam tanganku. Perhatiannya terus tertuju pada Gin—sesekali melirik ke arah Vermouth. Tapi, dari remasan tangannya, aku yakin dia berusaha untuk memberiku kode agar bersiap-siap untuk lari bersamanya.

Sebuah tarikan tiba-tiba memaksaku untuk berdiri dan mengikuti gerakan orang yang telah menarikku. Masih dengan memegangi luka tembaknya, Kudo memutar tubuhnya dan memelukku.

Suara tembakan terdengar berkali-kali sebelum aku mendengar suara pecahan kaca. Detik berikutnya aku merasa mengambang di udara—dan ternyata aku memang sedang mengambang di udara.

"Haibara, naik punggungku, cepat!" perintah Kudo, dia sendiri sibuk menyiapkan sabuk yang dibuat oleh profesor.

Tanpa menunggu aba-aba lagi, aku segera bergerak ke punggung Kudo. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya—bahkan aku terlalu shock untuk bisa paham dengan hal yang sedang terjadi.

"Pegangan yang erat. Jangan sampai terlempar!" sekali lagi Kudo bertertiak.

Ku peluk erat Kudo. Karena terlalu takut untuk melihat kenyataan yang akan terjadi, aku memejamkan mata.

Aku bisa mendengar suara dahan pohon patah dan suara dedaunan yang bergesekan kasar. Setelahnya aku bisa mendengar suara bola pecah.

Kudo tiba-tiba menarik tanganku dan kembali memposisikan dirinya untuk memelukku. Aku bisa merasa pelukan Kudo semakin erat sebelum suara mengerikan terdengar. Tidak perlu membuka mata aku pun tahu, punggung Kudo baru saja beradu dengan tanah.

Tubuhku terasa kaku setelah jatuh dari lantai tinggi gedung pencakar langit dan terkena dahan ranting yang menggores kulit. Segera ku buka mata untuk melihat keadaan Kudo.

Harusnya aku tidak terkejut, namun aku masih saja terkejut. Tentu saja keadaan Kudo lebih parah dari aku. Dia telah melindungiku sejak kami berdua terjun dari gedung tadi.

Air mataku menetes ketika memperhatikan Kudo tidak bergerak sama sekali. Jangan bilang, gara-gara aku Kudo...

"Kudo-kun," gumamku mencoba memanggil namanya, "bangun, ku mohon."

Aku mulai mencoba mengguncang bahunya. Namun, tidak ada tanggapan dari Kudo. Dengan tangan bergetar ku coba untuk mencari denyut nadi di tangan Kudo. Mungkin karena aku gugup, aku belum juga menemukannya.

Terus ku tekankan tanganku pada pergelangan tangan Kudo, namun aku tidak merasakan apa-apa.

Ku gigit bibir bawahku untuk menahan isak, "Kudo-kun!"

~ Tsuzuku ~

Akhirnya saya melakukannya juga *plak*. Pada awalnya saya ingin membuat one-shot untuk cerita ini, tapi sepertinya jalan cerita yang ada di dalam kepala saya masih terlalu panjang untuk dijadikan one-shot. Kemungkinan, akan saya jadikan 2 chapter saja, kalaupun chapter depan masih banyak hal yang harus saya ceritakan, maka akan ada 3 chapter untuk fic ini. Well, yang pastinya mohon dukungannya untuk kelanjutan fanfic ini. Dengan hormat, saya minta untuk mereview ceritanya. Siapa tahu ada beberapa hal yang kurang, saya akan mencoba memperbaikinya. Sekali lagi, *nunduk dalem-dalem* yoroshiku onegaishimasu!

R

E

V

I

E

W

P

L

E

A

S

E