WARNING! OC as main characters, twincest but not twincest (you'll know what I mean), chara death, non-consensual twincest
VOCALOID © Yamaha
Kore Kara Mo Zutto © purimuroozu (on FictionPress)
.
.
.
— afterdark —
.
.
.
"Kizuna, Kiseki, aku akan menikah."
Kalau saja ritual makan malam yang mereka jalani hampir setiap hari pernah dilengkapi oleh sosok seorang pria yang bisa dipanggil "otou-san", mungkin salah satu (atau malah kedua-keduanya) dari si kembar akan tersedak saat itu juga. Tapi tidak. Status ibu mereka yang bukan perawan bukan pula janda jelas hanya berakibat terdiamnya kedua anak bersurai merah yang sama persis dengan Mami, wanita yang telah melahirkan mereka kurang enam belas tahun yang lalu.
"Umm... kurasa ini berita yang bagus. Tapi kenapa mendadak? Kami bahkan belum pernah bertemu dengan calon suami Okaa-san itu," tanya gadis berambut panjang yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara tersebut. Dia tahu Mami punya pekerjaan yang melibatkan... ahem, banyak laki-laki. Menjadi hostess bukan hal yang mudah. Hanya saja seharusnya tak ada perasaan apapun terlibat di sana, dan ia tahu Mami bukan tipe yang suka menggunakan perasaannya.
Atau mungkin laki-laki ini bukan salah satu kliennya?
"Siapa peduli? Kita akan punya ayah, bukankah itu yang selama ini kau impikan, Kizuna?" Seperti biasanya, Kiseki memilih untuk bersikap acuh. Cowok berperawakan kecil untuk seorang yang memiliki hobi berenang itu kembali mengunyah donburi seraya memandang bosan ke acara tv. Sikapnya yang dinilai menyebalkan oleh Kizuna tidak direspon oleh gadis tersebut, sementara Mami yang sama apatisnya seolah menganggap ucapan anak sulungnya tak pernah ia dengar.
"Pernikahannya akan digelar dua minggu dari sekarang. Kita akan pindah dari Tokyo, dan kalian juga akan pergi ke sekolah yang sama dengan anak Yohio."
"Apa?! Aku tidak mau pindah sekolah!" Kiseki tiba-tiba menggebrak meja. Semua pembicaraan mengenai Mami yang akan menikah lagi dengan si... siapa tadi katanya? Ah, peduli setan. Apapun yang terjadi aku akan tetap sekolah di SMA Ueno! Batinnya bersikeras. Jangan pernah berpikir akan semudah itu ia meninggalkan klub renang dan teman-teman seperjuangannya.
Mami memandang agak jengkel pada si sulung. Dia tahu ini akan terjadi, dan takkan ada seorangpun yang mampu menghalangi Kiseki jika anak itu sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu.
"Terserah. Tapi kuperingatkan padamu, rumah tempat kita tinggal nanti jauh dari stasiun. Mungkin waktumu akan terbuang sia-sia sebelum kau tiba di sekolah," jelas Mami, "Jadi, siapa yang mau ikut memilih gaun pengantin bersamaku besok?"
Tentu saja Kizuna menjadi satu-satunya yang paling antusias menemani Mami dan segala yang berhubungan dengan persiapan pernikahannya selama beberapa hari ke depan.
.
.
.
Kiseki menghela napas. Peringatan Mami ternyata bukan bualan belaka. Perjalanan dari Tokyo menuju sebuah tempat antah-berantah yang memakan waktu hampir setengah hari dari kediaman mereka semula ternyata cukup menguras tenaga. Ketika adik kembarnya sudah selesai mengurus kepindahan ke sekolah baru, dia masih bersikukuh untuk tetap pergi ke SMA Ueno, yang katanya akan memakan waktu kurang lebih tiga jam untuk bisa sampai ke sana.
Ayah tiri mereka, Kagamine Yohio, Kiseki akui sejauh ini merupakan orang yang baik. Tidak seperti Kizuna yang sudah mengenal lebih dulu pria berambut pirang tersebut sehari setelah deklarasi pernikahan Mami, Kiseki baru melihatnya dua minggu kemudian di upacara pernikahan mereka yang diselenggarakan di sebuah gereja Katolik di Tokyo. Suatu hal yang mengejutkan saat mengetahui ternyata Yohio adalah seorang penganut Katolik, karena selama ini keluarga mereka sama sekali tak mempunyai keyakinan yang spesifik.
Apa yang Mami lakukan untuk membuat pria itu melamarnya? Sampai hari kepindahan mereka ia mempertanyakan peristiwa yang baginya cukup aneh ini, bukan dalam artian yang buruk. Yah, mungkin ada sedikit rasa sangsi di hatinya namun Kiseki memutuskan untuk tidak peduli. Bisa saja lelaki itu tipe yang tidak terlalu taat, kan? Banyak orang beragama di dunia ini yang memiliki kelakuan tak jauh beda dengan yang tidak beragama, atau bisa jadi justru lebih parah.
"Kita sudah sampai," suara Yohio memecah pemikiran pemuda tersebut. Mata Kiseki memperhatikan sekelilingnya. Mobil yang mereka naiki melewati sebuah gerbang tinggi yang tampak begitu tua, lalu melaju di antara halaman luas yang terbelah oleh jalanan beraspal terapit oleh tumbuh-tumbuhan hias. Ia menahan napas, melihat bangunan megah yang lebih cocok disebut mansion ketimbang rumah.
Rumah mereka.
"Sugoii… apa kami akan benar-benar tinggal di sini?" Kizuna tampak terpesona oleh pekarangan dan bangunan yang ia saksikan di balik kaca. Enam belas tahun ia hidup dalam sebuah apartemen kecil, tidak heran jika rumah sebesar itu membuatnya merasa bahwa ini pasti hanyalah mimpi atau lelucon yang amat sangat kejam.
Yohio sempat tertawa mendengar pertanyaan gadis tersebut.
"Tentu saja! Kalian adalah keluargaku sekarang, apa ada alasan lain untuk meragukannya?" Kiseki menyadari kebahagiaan yang terpancar dari air muka Kizuna saat ayah tiri mereka mengatakan pertanyaan retoris itu. Mobil pun berhenti tepat di hadapan pintu utama, dengan teras yang ditopang dua pilar tinggi bercat putih kusam. Dua orang lelaki yang merupakan pekerja di rumah itu membantu mereka membawa barang-barang ke dalam, memberi kesempatan bagi Kizuna untuk terpesona lebih jauh lagi.
"Boleh kami pergi melihat-lihat?" tanya Kizuna dengan polosnya. Dalam hati Kiseki mengumpat betapa bodohnya gadis itu.
"Tidak. Sekarang masuklah ke dalam dan sapa saudara kalian," kali ini Mami yang menjawab. Kizuna manut, sedangkan Kiseki hanya menyimak arahan Yohio untuk pergi ke ruangan di mana mereka bisa bertemu dengan putra Yohio yang tidak hadir saat pernikahan dilangsungkan.
Katanya, dia sedang tidak sehat.
Entah tidak sehat karena sakit atau apa, Yohio tak menjelaskannya secara detail. Tapi yang pasti penyebabnya cukup parah hingga berakibat anak lelaki Yohio tidak bisa datang ke hari sepenting itu.
"Aku ingin tahu Len sakit apa," kata Kizuna saat mereka menaiki tangga marmer berbirai kayu jati. Caranya menyebut nama anak Yohio seolah ia sudah lama kenal dengan si Len ini sementara Kiseki jujur saja tidak terlalu berminat, sehingga ia tidak terlalu responsif terhadap semua omongan Kizuna saat mereka berjalan menuju pintu pertama yang mereka temukan saat berbelok ke sayap kiri.
Setiba di hadapan pintu bercat putih tersebut, keduanya berdebat siapa yang akan mengetuk. Butuh beberapa menit sampai akhirnya Kiseki setuju dia yang akan mengetuk duluan sedangkan Kizuna-lah yang harus memulai pembicaraan terlebih dahulu. Gadis itu mungkin agak kaku di hadapan laki-laki namun setidaknya semua orang tahu dia mustahil mengatakan hal-hal yang menyebalkan di depan seseorang yang baru dikenalnya.
"Tidak ada respon," kata Kiseki setelah ia mengetuk entah untuk yang keberapa kali, "Mungkin dia sedang tidur?"
"Mungkin. Lalu bagaimana?" tanya Kizuna.
"Ya sudah, kita sapa saja nanti," ungkapnya memberi solusi.
"Hei, ada apa? Apa Len tidak membukakan pintunya untuk kalian?" tanya Yohio yang muncul dari tangga. Lelaki itu lalu mengambil alih dan membukakan pintu kamar Len yang tidak terkunci. Mereka tidak langsung masuk, melihat di ambang pintu ketika Yohio mendatangi sosok seseorang yang menggelung tubuhnya dengan selimut di atas kasur, duduk diam membelakangi mereka.
"Len, saudaramu datang untuk menyapamu," ucap Yohio, suaranya terdengar lembut, seakan mencoba untuk memberi pengertian. Kiseki mengernyit, ada apa dengan anak itu? Batinnya, merasa ada yang salah dengan saudara baru mereka ini.
Saat Yohio menyentuh bahu putranya tersebut, Len tetap tak bergeming. Baru beberapa detik kemudian pemuda yang katanya sebaya dengan si kembar itu menjawab dengan suara yang amat sangat pelan, suara yang biasa kau dengar dari seseorang yang membisikkan suatu rahasia,
"Aku… aku sedang bicara dengan Rin sekarang," katanya, masih membelakangi. Baik Kiseki maupun Kizuna sekarang tengah berpikir pasti ada ponsel yang tersembunyi di balik gelungan selimut itu sekarang, dan siapapun itu yang ada di seberang sana adalah orang yang amat sangat penting.
"Tidak, Len. Kau harus menemui saudaramu sekarang," Yohio menyingkirkan selimut itu dari kepalanya, menampakkan seorang pemuda berambut pirang diikat ponytail berantakan. Yohio kini beralih pada dua anak tirinya yang masih terpaku di dekat pintu, "Kalian berdua kemarilah. Len, mulai sekarang mereka adalah saudaramu. Kau bisa membicarakan banyak hal dengan mereka, bukan Rin."
"K-Konnichiwa, Len… Namaku Kizuna. Margaku Mutou, t-tapi karena sekarang ibuku sudah menikah dengan ayahmu sekarang… kita punya marga yang sama," Len mulai memberikan perhatiannya pada gadis itu. Kizuna mencoba untuk tersenyum, sulit untuk melakukannya saat mata biru Len yang berlingkar hitam samar memandangnya dengan tatapan yang tidak biasa, "umm… aku harap kita bisa… berteman…" lanjutnya hati-hati.
Di belakangnya, Kiseki masih berdiri, diam-diam memberikan penilaian pada saudara baru mereka tersebut. Dia tidak kelihatan seperti seseorang yang akan memancing emosi, tapi Kiseki juga tidak bisa mengatakannya sebagai orang yang bisa diajak berteman dengan mudah. Apa kata yang lebih cocok untuk mendeskripsikannya?
Aneh?
Misterius?
… Abnormal?
"Kizuna-san dan… Kiseki-san," Len menyebut nama keduanya begitu pelan. Oh, mungkinkah Yohio sudah menceritakannya sebelum mereka datang kemari? Kali ini, sebuah tarikan kecil di masing-masing sudut bibir Len terbentuk. Senyuman samar itu sempat membuat Kizuna merasa lega. Sayang, kelegaan itu tidak berlangsung lama, "Rin bilang kalian orang yang baik. Yah, kita bisa berteman. Bisa," katanya, matanya yang biru terang tampak sedikit melebar. Kiseki menelan saliva.
Oh, siapa juga yang mau berteman dengan orang aneh sepertimu?
.
.
.
"Dia itu kenapa sih? Siapa pula itu Rin? Kenapa dia selalu melibatkan si Rin itu dalam setiap pembicaraan?" tanya Kiseki bertubi-tubi. Banyak hal bagus yang ia temukan semenjak pindah ke rumah ini. Makanan enak setiap hari, kamar mandi dalam ruang tidur, bahkan kolam renang pribadi yang terletak di halaman belakang. Di samping kenyataan merepotkan kalau ia harus bangun benar-benar lebih pagi ketimbang biasanya untuk pergi sekolah, Len adalah hal buruk (atau aneh) yang mereka temui.
"Entahlah, tapi yang pasti mereka berdua sangat dekat," sahut Kizuna yang tengah tengkurap di depan laptop. Gadis itu selalu datang ke kamarnya setiap malam, entah untuk belajar bersama atau sekedar mengobrol hal-hal sepele.
"Bukan itu masalahnya. Kau tahu sendiri kan, bagaimana dia seperti sedang mengobrol dengan seseorang? Seolah-olah ada orang lain selain kita," pemuda itu mengatakannya dengan nada nyaris terdengar jijik, "Itu aneh sekali, tahu. Aku yakin dia pasti sudah gila," pemikiran tentang memiliki orang gila sebagai saudara entah kenapa membuatnya merinding.
"Hush! Jangan bicara begitu," dan seperti biasa, Kizuna akan menjadi si Nona Bijaksana yang akan menceramahinya, "Ngomong-ngomong soal hal aneh, aku mengalami kejadian yang lebih aneh lagi belakangan ini," ungkapnya, menggeser posisinya lebih dekat dengan sang kakak.
"Apa? Len lagi?" ejeknya. Gadis itu menggeleng,
"Bukan. Saat menonton televisi, remote yang kutaruh tepat di sampingku kadang-kadang menghilang," katanya, sedikit berbisik, "lalu saat malam hari, aku selalu mendengar suara dok dok dok di langit-langit kamar. Atau suara langkah kaki di depan kamarku."
Kiseki melemparkan tatapan remeh,
"Hah, omong kosong! Kau pasti melupakan remote-mu, dan yang di atas itu pasti tikus," tudingnya, mengingat sifat Kizuna yang ceroboh dan terkadang paranoid.
"Mustahil, tikus tidak membuat suara yang bertempo teratur seperti itu!" sangkalnya. "Dan waktunya juga hampir selalu sama, pukul setengah satu malam."
"Lalu apa? Kau mau bilang rumah ini berhantu?" tanyanya setengah mengolok-olok. Ini benar-benar konyol. Pertama Len. Dan sekarang kejadian juga suara-suara yang lebih mirip hantu di film-film. Kizuna pasti hanya ingin mengerjainya. Apapun itu, Kiseki berjanji dia takkan jatuh pada jebakan adiknya ini. Tidak akan pernah.
"Entahlah. Tapi sebenarnya itulah yang kupikirkan, rumah ini berhantu," ia mengulang pertanyaan Kiseki menjadi sebuah pernyataan yang menggelikan di telinga pemuda itu. Kiseki tertawa,
"Kau harus berhenti berkhayal terlalu tinggi," peringatnya, kali ini kata-katanya berhasil membuat gadis itu cemberut,
"Kenapa kau tidak tidur bersamaku malam ini?"
"Uh, aku baru saja dapat kamarku sendiri setelah enam belas tahun, dan sekarang aku harus tidur bersamamu lagi? Tidak, terima kasih," tolaknya.
"Kalau begitu untuk malam ini kita tukar tempat. Aku tidur di sini dan kau tidur di kamarku. Bagaimana?" tantangnya lagi, terlihat begitu antusias akan pembuktian yang ingin diperdengarkannya. Kiseki terdiam.
Oh sial. Dia takut, dan Kiseki tentu saja terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Tidak, kalau aku menurutimu berarti aku percaya padamu," jawabnya mencari alasan, mengalihkan matanya ke buku pelajaran yang sedang ia baca.
"Aku hanya ingin kau mendengarnya sendiri," ujar Kizuna, lalu kembali sibuk dengan apapun itu yang ia kerjakan di laptopnya.
Keesokan harinya, Kizuna baru saja pulang dari sekolah. Dan salah satu rutinitasnya sebelum beristirahat adalah memberikan catatannya untuk adik tirinya, karena mereka satu sekolah bahkan satu kelas. Beberapa teman barunya terkadang menanyakan keadaan Len, namun Kizuna bisa mendeteksi adanya penyesalan tiap kali mereka menyinggung soal pemuda itu. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Rin?
Sejak awal mereka ada di sini sampai kemarin, belum pernah Kizuna sekalipun melihat Len keluar dari gerbang rumah. Dia nyaris selalu berada di kamarnya, menggelung diri dalam selimut, dan sesekali terlihat di beberapa lokasi seperti halaman, ruang keluarga atau dapur.
Namun satu hal yang Kizuna sadari setiap kali memperhatikan pemuda yang lebih muda sekitar lima bulan dari mereka tersebut, matanya selalu kosong. Seakan-akan tubuh dan pikirannya tak pernah benar-benar berada di satu tempat yang sama.
"Mungkin dia pecandu narkoba," berbagai spekulasi sarkastik terus bermunculan dari mulut Kiseki setiap malamnya. Satu hal yang membuat Kizuna semakin keki terhadap kakaknya itu adalah keapatisannya. Dia terus mengkomplain tentang keanehan Len setiap malam, tapi tak ada satupun hal yang dia lakukan! Kiseki pun mulai menunjukkan tanda-tanda kalau dia tak mau lagi berurusan dengan Len, terlihat dari bagaimana pemuda itu selalu menolak tiap kali Kizuna mengajaknya untuk mendatangi Len.
Sebagai saudara, mereka sudah tentu harus mengenal satu sama lain lebih dekat lagi. Hubungannya dengan Yohio tidak sekaku saat pertama dulu. Kizuna bahagia kini ia memiliki seseorang untuk dipanggil "otou-san" tanpa ada rasa ragu, dan kenyataan bahwa ia terlihat lebih dekat dengan Yohio ketimbang putranya sendiri membuat Kizuna merasa sedih.
Ditambah lagi, Yohio juga sepertinya tidak ingin menceritakan terlalu banyak tentang Len ataupun Rin yang namanya selalu disebut-sebut. "Sekarang belum saatnya, Kizuna. Kau akan tahu," katanya, setiap kali ia menyinggung tentang dua nama itu. Dan ketika Kizuna mencoba menanyakannya pada Mami, yang kemungkinan besar mengetahui apa duduk perkaranya, wanita itu selalu memberinya jawaban yang kurang lebih sama.
Kizuna mengepalkan tangannya. Jika mereka tidak mau memberi tahunya, mungkin Len mau mengatakan sesuatu.
Tok tok tok!
"Len, apa kau ada di dalam?" Kizuna mengangkat suaranya, takut-takut Len tidak mendengar. Hening. "Len, aku masuk, ya?"
Dibukanya pintu itu. Masih sama, Len duduk di atas kasur dengan selimut menutupi sekujur tubuh kecuali sebagian wajahnya, mulutnya tampak sedang menggumamkan sesuatu yang terlalu pelan untuk Kizuna dengar. Diberanikannya untuk mendekat,
"Umm… Len? Ini catatan pelajaran hari ini," ucapan itu sudah berulangkali ia ucapkan. Len menoleh ke arahnya selama beberapa detik, lalu kembali membuang muka.
Kizuna terhenyak, "Ngomong-ngomong, semua orang di kelas menanyakan keadaanmu, lho," lanjutnya, hanya ingin Len tahu kalau banyak orang yang mempedulikan keadaan pemuda itu.
Len menenggelamkan wajah di kedua tekukan lututnya, "Aku tidak menyukai mereka. Mereka membuat Rin menderita. Kau juga seharusnya tidak berteman dengan orang-orang itu, Kizuna-san."
Menderita? Rin? Sebenarnya siapa Rin ini dan kenapa Len begitu terikat padanya?
Kizuna memutuskan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk bertanya. Dia bersumpah akan mengungkap semuanya dan membantu Len, bahkan Rin jika memang pemilik nama itulah yang bisa membuat keadaan Len menjadi lebih baik.
"Len, aku tidak bermaksud menyudutkanmu, tapi maukah kau memberitahuku siapa itu Rin? Tak seorangpun di rumah ini yang mau memberitahuku, karena itu kumohon, beritahu aku," Len menggigit bibirnya, kelihatan ragu, "aku janji takkan mengatakannya pada siapapun kalau kau ingin ini menjadi rahasia."
"Ini bukan rahasia," sahut Len pelan, "Semua orang di rumah sudah mengetahuinya, mereka hanya tak ingin kau ketakutan."
Kizuna mengernyit. Takut? Kenapa?
"Apa maksudmu?"
Len menarik napas panjang,
"Akankah kau percaya kalau aku bilang Rin sudah meninggal?"
Ada jeda panjang sebelum gadis itu kembali bicara.
"Aku percaya."
Len merapatkan selimutnya. Entah karena AC yang ada di ruangan ini selalu menyala, suhu di kamar Len terasa lebih dingin ketimbang ruangan lainnya. Hanya saja, rasanya tidak sama. Suhu di sini membuatnya merasa tidak nyaman, bulu romanya sedikit demi sedikit mulai meremang.
"Suara Rin… aku masih bisa mendengarnya," bisik Len, "Rin ada di sini."
"…" tenanglah Kizuna, tenanglah.
"… kau pasti berpikir aku sudah gila, kan? Seperti Kiseki-san."
Tudingannya menimbulkan keterkejutan. Pembicaraan itu terjadi hanya di antara dirinya dengan Kiseki, dari mana Len bisa mengetahuinya? Dicobanya untuk terlihat biasa. Mungkin sekarang ia justru kelihatan seperti orang yang baru tertangkap basah melakukan tindak kriminal.
"Rin yang memberitahuku. Dia bisa mendengar kalian, tahu," pemuda di hadapannya lagi-lagi berhasil membuat Kizuna terbata,
"L-Len… tolong jangan membenci Kiseki. Dia memang menyebalkan, tapi percayalah, dia orang yang baik."
"Aku tahu," jawab Len, matanya mengerjap dalam interval yang cukup panjang, "Kalian berdua orang yang baik. Rin sudah memberitahuku sejak awal, tapi aku bisa mengerti kalau kalian membenciku."
"Aku tidak membencimu," sanggah Kizuna, "Saat pertama kali bertemu denganmu kuakui kau memang aneh, tapi aku tidak membencimu. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu juga Rin," gadis itu tersenyum pias, "Len, bisakah kau memberitahuku kenapa Rin meninggal?"
Mata Len tampak berair, ada keraguan di antara kilauan bening air matanya. Sebuah ingatan yang tak ingin ia reka kembali karena terlalu menyakitkan, dan mengungkapkannya sekali lagi menjadi suatu hal yang terbilang sulit, meski hanya sekedar kata-kata,
"Dia bunuh diri."
Kami-sama…
Kizuna tidak tahu harus mengatakan apa pada pemuda di hadapannya. Jadi di sanalah dia, terperangah mendengar penyataan pilu anggota keluarga barunya tersebut. Padahal ia sudah merasa mengenal Yohio dengan baik… ternyata Kizuna salah. Ada banyak hal di rumah ini, di keluarga ini, yang tidak ia ketahui.
Apakah ia tidak cukup peka? Seharusnya ia mencari tahu lebih jauh lagi. Bunuh diri bukanlah perkara sepele, pasti ada penyebab besar di baliknya. Lagipula di tengah-tengah rumah semewah ini, dengan figur seorang ayah yang baik dan para karyawan yang ramah, desakan apa yang mampu membuat seorang anak mengakhiri nyawanya sendiri?
"Aku turut berduka," lirihnya parau, "mungkin ini sedikit lancang, bisakah kau memberitahuku…"
"Rin bilang aku tidak boleh memberitahumu," sela Len, membuatnya terkesiap akibat interupsi terhadap pertanyaan yang belum diungkapkan itu.
"M-Maafkan aku…"
Len kembali memalingkan wajah, tidak menghiraukan buku yang Kizuna taruh di atas kasurnya,
"Tidak apa-apa… tapi, lain kali dia ingin bisa bicara langsung denganmu."
Petang berlalu. Hingga waktu tidurnya tiba, Kizuna tidak bisa melupakan kata-kata Len. Dipastikannya pintu dan jendela kamar terkunci, kemudian menarik tirai rapat-rapat. Percuma saja memberitahu Kiseki, karena kakak kembarnya itu pasti takkan percaya dan menganggapnya mengada-ada. Kizuna tetap menyalakan lampu, kemudian berbaring di kasurnya untuk mencoba tidur.
Kapan tepatnya ia telah terlelap Kizuna tidak sadar, tetapi ia ingat betul dirinya sama sekali tidak menyentuh saklar lampu. Dan saat ia terjaga, kamarnya dalam keadaan remang. Kizuna mengucek matanya, berjalan ke arah pintu dan menemukan benda itu masih terkunci dari dalam.
Mati lampu? Pikir Kizuna, sementara jemarinya meraba permukaan dinding yang terasa beku. Pats, cahaya pun memenuhi ruangan. Gadis itu menelan ludah. Ada sesuatu yang… terasa berbeda, Kizuna mulai merasa takut bergerak, termasuk untuk menarik napas sekalipun. Dikalahkannya perasaan itu, lalu cepat-cepat membuka laci dan keluar dari kamar dengan kunci yang tetap menggantung di lubangnya. Segelas air mungkin bisa menenangkan hatinya.
Lorong di depan kamarnya seperti biasa hanya disinari oleh lampu-lampu hias bercahaya redup semenjak jam menunjukkan pukul dua belas, yang mana saat ini, entah berapapun waktunya sekarang, ia sudah berkeliaran di tengah malam (atau lebih). Kizuna menoleh ke belakang, tepat di mana pintu kamar Kiseki tertutup rapat. Tiba-tiba ia berharap pemuda itu keluar dari sana dan menemaninya turun ke dapur.
Setidaknya ia tidak akan sendirian.
Ting…!
Langkah pertamanya menuruni anak tangga dibarengi dengan dentingan tuts piano dari jarak yang tidak jauh. Ada sebuah piano klasik di lantai bawah dalam satu tempat dengan ruang tamu. Tak seorangpun di rumah ini yang bisa memainkan alat musik tersebut kecuali Len.
Dan menurut cerita pembantu yang sering membersihkannya, orang kedua yang tahu cara memainkan benda itu hanyalah Rin…
Telapak tangan Kizuna mencengkram birai kayu tempatnya menahan tubuh. Telinganya masih berfungsi dengan baik, Kizuna yakin sekali. Karenanya ia tidak ragu bahwa dirinya tak salah dengar saat denting-denting tuts piano itu kembali menggema ke langit-langit rumah yang begitu tinggi, menciptakan sebuah alunan melodi bernada sedih di tengah keheningan malam.
Itu pasti Len. Itu pasti Len. Batinnya meyakinkan diri sendiri.
Dan sosok itu duduk di sana. Kedua tangannya menari dengan lihai, diiringi senandung kecil yang baru mampu Kizuna tangkap saking lemahnya. Dengan suara feminim serta bahu kecil yang terbalut gaun tidur sutra, bisa dipastikan kalau tebakannya salah.
Gadis berambut merah itu merasa ia bisa terjerembab kapan saja, merasakan langkahnya begitu terseret di atas lantai marmer yang dingin. Mulutnya terbuka, sempat menemukan dirinya kesulitan mengeluarkan suara,
"… R-Rin…?"
Alunan melodi itu pun terhenti.
"Jadilah satu denganku…" saat itulah Kizuna melihat matanya. Mata biru yang sama dengan milik Len. Tidak ada kekosongan. Apakah sosok di hadapannya benar-benar hantu? Karena jika ya, mata itu terlihat begitu hidup. Penuh akan hasrat duniawi. Rasa rindu. Juga…
"Hey, Kizuna-chan."
… kilatan kekejaman.
"Apa kau benar-benar Rin? Kau benar-benar datang untuk bicara denganku?" rasa ingin tahu Kizuna telah mengalahkan ketakutannya, terlebih sosok 'hantu' yang ia lihat benar-benar memutarbalikkan ekspektasi. Ia menghampiri gadis itu, merasa ingin meraihnya, seakan mencoba untuk menolongnya dari semua hal buruk yang membuatnya berkeputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Rin masih menatapnya, dengan mata berwarna turkish yang tak pernah bergeser sedikitpun. Seolah berkata bahwa ia menunggu jemari saudara tirinya untuk menyentuhnya,
"Kizuna?"
Mendadak seluruh lampu di ruangan serempak menyala. Kizuna sempat membeku sebelum suara itu menyadarkan bahwa di rumah ini tak hanya dirinya seorang. Ia pun menoleh, menemukan Yohio berdiri di jalan masuk menuju ruang tamu, ekspresinya penuh tanya,
"Kau yang memainkan piano itu?" sang ayah bertanya. Kizuna kembali mengalihkan matanya ke arah piano, berharap Rin-lah yang akan menjawab pertanyaan itu.
Namun, tak seorangpun duduk di sana.
To be continued…
Akhirnya fict di mana anak-anak-?-ku berada satu cerita dengan Rin dan Len ;_;
Yah, memang tadinya aku bilang ini akan jadi oneshot tapi apa boleh buat ternyata jadi panjang dan lebih baik ini kubuat MC aja haha *selesaiin dulu yang lain oi
Sorry kalau horror-nya nggak kerasa. Entah berapa tahun yang lalu aku nulis cerita horror, aku bahkan gak yakin apa ini benar-benar fict horror…
Btw aku berani jamin meskipun menggunakan OC, aku nggak akan memanjakan mereka. Baik yang hidup maupun yang mati (Rin: uhuk!) semua yang menjadi tokoh utama punya peran yang setara di sini dengan penderitaan mereka masing-masing.
Jangan lupa tinggalkan krisaran dan komentar ya, dan aku juga penasaran apa komentar kalian tentang karakterisasi Kizuna dan Kiseki X3
See ya!
