Disclaimer:

Gundam Seed/Destiny – Sunrise

Moon on the Water –Beat Crusaders (ost. BECK)

World on Color –original works by Koyori, utaite by KK

Warning:

plot is mine.


The Wind that Had Swept His Voice

[prolog]

.

.

.

[What a fool, I don't know about tomorrow

What it's like to be

I was fool, couldn't let my self to go.

Even though I feel the end]

.

.

.

Waktu itu adalah musim semi. Bunga-bunga sakura jatuh berguguran dengan lambat. Meskipun demikian yang tercepat akan mendarat ke tanah, atau jika mereka lemah sebagian dari mereka akan terdorong berlarian mengikuti irama angin musim semi, menimbulkan gemerisik senandung alam.

Ia menikmatinya. Pemandangan musim semi waktu itu.

Tertutuplah kedua kelopak matanya kemudian, menghirup dalam-dalam aroma yang ia temui tiap tahun. Walau familier karena setiap tahun ia ada, masih saja suasana yang ditimbulkan membuat siapapun merasa kangen. Ia tertawa. Tubuhnya berbaring menghadap angkasa yang tak berbintang. Hanya satu layar penuh dengan warna kegelapan. Sekali lagi ia hirup udara.

Ia tak mendengar senandung alamnya. Tak begitu suka, demikian alasan yang terlontar. Karena itulah earphone yang telah tersambung dengan pemutar musik ia pasang di kedua telinganya. Ia lebih suka mendengar lagu ini, lagu rindu di musim semi itu. Ya, lagu rindu itu...


Cagalli Hibiki tersentak dari tidurnya. Sepasang keping seperti warna madu itu terbelalak setelah beberapa detik yang lalu ditutupi oleh kelopak mata. Kepalanya merasa pening karena terbangun dengan tiba-tiba.

Mimpi.

Cagalli mengerang dan menyembunyikan wajahnya di bantal. Agaknya dia menolak untuk bangun meskipun sebenarnya otaknya sudah mulai bekerja secara spontan akibat kesadarannya dipaksa dengan waktu cukup singkat. Sayup-sayup telinganya menangkap suara orang mengobrol dan celotehan burung khas pagi hari di luar apartemen yang sudah ia tinggali selama hampir dua tahun ini. Nampaknya memang matahari sudah memunculkan dirinya. Kemudian ia mengambil posisi duduk, meraih segelas air yang memang ada di atas nakas yang memang ia sediakan semalam untuk di minum.

Ya ampun, mimpi itu lagi ... Bukannya ini yang ketiga?

Cagalli mengembalikan gelasnya ke tempat semula –agak dibanting, untung airnya sudah berkurang. Cagalli mengambil napas panjang untuk menenangkan detak jantungnya. Lalu menepuk-nepuk kepalanya, memberikan sugesti bahwa itu bukan apa-apa. Hanya bunga tidur, begitu ucapnya tiga kali.

Lalu ia bangkit, mencari ponsel tidak up to date miliknya yang dicharge semalaman. Terdapat notifikasi tiga e-mail yang masuk dan status bar masih menunjukkan pukul 06.30. Masih banyak waktu sebelum ia berangkat bekerja.

Setelah mencabut charger, gadis pirang itu kemudian membuka notifikasi e-mail di ponsel, membaca salah satunya yang ia terima dari Miriallia, rekan kerjanya di 'the ArchMusic', sebuah majalah cukup populer di kalangan pecinta musik. Cagalli sudah menjadi editor di sana selama hampir dua tahun ini. Miriallia merupakan teman sekantor Cagalli yang berprofesi sebagai wartawan, atau terkadang membantu Cagalli di divisi editorial, yang kemudian ia menjadi akrab dengan gadis auburn tersebut.

Kembali soal e-mail. Isi dari e-mail Miriallia adalah permintaan tentang pinjaman album Striforce keluaran jaman SMAnya dulu. Sebenarnya Miriallia menge-mail Cagalli sebatas untuk mengingatkan gadis itu saja karena Cagalli adalah seorang pelupa. Terlebih lagi gadis itu sebelumnya suka sedikit malas untuk mencari kaset cd yang sudah bertahun-tahun tertumpuk. Salahnya juga ia keceplosan mengatakan kalau ia memiliki album yang dicari-cari si penggemar berat duo Striforce yang beranggotakan dua pria berambut pirang bernama La Flaga, dan Le Creuset itu saat mereka mengobrol dengan heboh soal musik jadul dua hari yang lalu.

Ah, terpaksa ia mencari benda yang dimau Miriallia karena sudah berjanji. Ia pun berjalan ke arah rak-rak tempat ia biasa menyimpan barang-barang kecil berharganya di kamar. Setau Cagalli tumpukan CD musik koleksinya ditaruh di satu kardus besar, hanya beberapa yang masih ia dengar yang tidak ikut 'dimusiumkan'. Musik memang bagaikan pakaian, kadang butuh pembaharuan mode tiap beberapa waktu karena kalau tidak ia akan dianggap jadul, tak up to date, belum lagi rasa bosan yang menyerang. Oleh karena itu, yang lama akan ia simpan agar lebih ringkas.

Kardus yang ia maksud akhirnya ketemu. Tidak begitu sulit mencarinya, beruntung kardus itu tidak berada di tempat tinggi dan hanya ditumpuki majalah, pun warna dan coraknya yang berbeda di antara boks lainnya membuat Cagalli langsung tahu itu adalah tempat penyimpanan koleksi CD pemusik-pemusik kesukaannya.

Saat ia mengaduk-aduk agar mendapatkan apa yang ia cari, tak jarang pula Cagalli berseru di dalam hati ketika menemukan beberapa CD berisikan lagu lawas yang dulu sering ia dengar. Dan pada akhirnya beberapa CD lagu itu ia sortir sebagai proyek memainkan lagu-lagu nostalgia yang baru saja ia putuskan. Tujuannya jadi agak melenceng. Ia berpikir, kadang lagu-lagu lawas itu sebenarnya tidak habis dimakan jaman, malah kadang membuat pendengarnya merasa rindu. Cagalli jadi memiliki ide untuk mengajukan pembahasan lagu lawas kepada tim kreatif di kantornya.

Tapi sebelum itu ia harus mencari kembali apa yang Miriallia inginkan. Pemilik mata madu itu kembali mangacak-acak kardus.

Tidak sampai semenit matanya kemudian tertuju pada salah satu CD tak berkover terselip tepat di atas pesanan Miriallia. Cagalli sempat diam tak melakukan apa-apa karena ia mencoba mengingat tentang CD yang tak bercover tersebut. Meskipun selanjutnya Cagalli memutuskan untuk mengambil CD itu beserta CD yang Miriallia minta. Hanya saja CD pesanan Miriallia itu langsung Cagalli letakkan di atas tempat tidurnya dengan tidak begitu peduli.

Karena fokus mata madu Cagalli kini hanya pada CD lagu itu saja.

Untuk Cagalli ...

Itu yang tertulis dengan spidol tebal bewarna biru di bagian atas CD case.

Tidak seperti yang lainnya, CD tersebut memang dari awal adalah CD kosongan yang diperoleh dengan gampang di toko komputer manapun. Tidak ada desain cover atau nama pabrik pemegang lisensi. Tapi Cagalli tahu CD itu memiliki data di dalamnya.

Apalagi kalau bukan data musik.

Cagalli menatap kosong benda tersebut. Dan waktu seakan terhenti saat ia tidak mengalihkan pandangannya kepada benda itu.

Selanjutnya seperti digerakkan oleh sihir, gadis pirang itu melesat ke arah meja komputer, bermaksud untuk mentransfer seluruh isi di dalam CD itu ke dalam pemutar musik yang ia miliki. Setelah status komputer menunjukkan pemindahan file telah terlaksana, Cagalli kemudian memasang earphone di piranti pemutar musiknya. Kemudian ia berjalan menuju pintu kaca yang memotong ruang tidurnya dengan balkon apartemen.

Cahaya mataharipun masuk setelah tirai dan pintu kaca itu dibuka. Aroma pagi musim semi yang sudah ia hapal masuk menggantikan udara semalam di kamar. Biasanya gadis itu akan menghirupnya dalam-dalam sambil meregangkan badan. Ia percaya bahwa efek melihat sinar matahari dan menghirup oksigen di pagi hari mampu membuatnya bugar selama satu hari penuh. Membangun semangat untuk hari yang panjang. Tapi kali ini Cagalli tidak menghiraukan hal tersebut.

Gadis Hibiki ini terlalu sibuk dengan perangkat keras di tangannya.

Cagalli memencet tombol, menimbang-nimbang mana yang akan ia dengarkan.

Satu lagu yang ia pilih mulai diputar.

[Let me sing a song for you. Strumming out my melody

Because I don't want to say goodbye. I had nothing yet you created a world for me.

Without hesitation we will aim for our one goal.]

Cagalli menggumamkan satu bait yang ia hapal di luar kepala. Seperti mantra sihir, suara di mimpinya tadi kini menjadi nyata.

Tidak, lebih tepatnya ia hanya ingin mengulang masa lalu.

Lagu masih berjalan.

Cagalli Hibiki sungguh hapal suara, bait, notasi ini. Semuanya. Yang telah ia tinggalkan beberapa tahun silam. Kenangan lama itu sontak kembali kepadanya di dalam durasi empat menit lagu yang terputar. Selama itu pula batinnya bergejolak. Bimbang antara terus mendengarnya atau tidak. Meskipun sebenarnya Cagalli lebih suka untuk menghentikan lagu ini.

Tapi hatinya mengatakan untuk tidak berhenti.

Cagalli kemudian bersandar di pagar balkon untuk menyamankan diri. Sekali lagi ia menghirup napas sebelum ia benar-benar memutuskan untuk menekan tombol reply di pemutar musiknya.

Masa bodoh, lah.

Anehnya angin musim semi bergerak cepat di pagi hari itu. Menerpa tubuh si gadis yang berdiri di balkon apartemen di lantai lima yang ia sewa. Helaian pirangnya ikut bergerak searah dengan angin yang menggoda. Cagallipun menyelipkan anak rambut di belakang telinga.

Benar-benar seperti sihir yang membuatnya tak bisa berhenti menyusuri memori.

Ia bersenandung.

Hanya saja ...

Ada suara lain yang mengusiknya.

"Wow. Sepertinya aku tahu lagu itu."

Eh.

Cagalli termangu. Suara ini ...,

Tunggu.

Sehebat itukah kekuatan lagu yang ia dengarkan?

Karena bukan hanya kenangan, si pencipta lagu juga turut muncul sekarang.

Kedua earphonenya dicabut dengan paksa dari telinga.

Tidak mungkin.

Cagalli berputar menghadap asal si suara selain bersumber dari pemutar musiknya.

"K-kau!"

Dia dari balkon apartemen sebelah.

Seorang pria berambut biru yang masih sama panjangnya seperti terakhir Cagalli temui. Ia memakai kemeja putih membuat kulitnya yang putih nampak lebih pucat kontras dengan pemandangan musim semi. Netra hijaunya lebih pekat dibandingkan beberapa tahun silam. Seorang pria dari masa lalu itu sedang mencondongkan diri ke arahnya, terasa dekat meskipun masih ada jarak setengah meteran karena mereka berada di balkon berbeda.

Angin musim semi bertiup, menerpa keduanya. Membawa ratusan kelopak yang ikut terbang bersama angin dari pohon sakura yang berada di halaman apartemen.

Seperti adegan dramatis di opera sabun.

Yang benar saja!

"Lama tidak berjumpa ... Cagalli Hibiki!"

Athrun Zala, pencipta sekaligus penyanyi lagu yang Cagalli dengar sedang tersenyum kepadanya.

(tbc)


A/N:

next update: May 4th (Hopefully!)

thanks for read! :D